Catatan Penelitian Seni Budaya Tengger (Bagian II)
Dian Sukarno *)
Perjalanan menuju desa Wonokerso, kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo membutuhkan waktu sekitar 2 jam 30 menit dari basecamp utama di kecamatan Sukapura. Jalan yang berkelok-kelok, serta kabut tebal sepanjang perjalanan sangat mempengaruhi kecepatan laju kendaraan. Tetapi ada hikmah yang sangat berarti karena tim bisa leluasa merencanakan tugas utama melalui diskusi di dalam kendaraan. Apa saja yang nanti bisa secepatnya didokumentasikan sepanjang sisa waktu penelitian budaya Tengger.
Tepat pukul 16.49 WIB akhirnya kami bersama tim dewan kesenian Jawa Timur tiba di balai desa Wonokerso, kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo yang merupakan komunitas suku Tengger paling tua dibandingkan suku Tengger yang ada di daerah sekitarnya. Perlu diketahui bahwa suku Tengger berdiam di empat kabupaten, yaitu Probolinggo, Lumajang, Pasuruhan, dan Malang. Di kabupaten Probolinggo mereka tersebar di dua kecamatan, masing-masing kecamatan Sukapura meliputi desa Ngadisari, Ngadas, Wonotoro, Jetak, Sariwani, dan Ngadirejo, serta di kecamatan Sumber yang terdiri atas desa Wonokerso, Sumberanom, Ledokombo, Pandansari, Gemito. Di kabupaten Lumajang terdapat di kecamatan Gucialit tepatnya desa Tlutur Kandangan dan kecamatan Senduro meliputi desa Argosari, Ranupani, Pakel, dan Wonocepoko Ayu. Di kabupaten Malang adalah desa Ngadas kecamatan Poncokusumo. Di kabupaten Pasuruhan komunitas Tengger bisa dijumpai di kecamatan Tosari (desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo) dan kecamatan Puspo (desa Keduwung), serta kecamatan Tutur (desa Ngadirejo dan Ledok Pring).
Riwayat suku Tengger konon bermula dari keturunan orang-orang Majapahit yang menyingkir ketika Majapahit mengalami kemunduran pada sekitar abad 14 hingga 15 Masehi. Sebagian orang mengira bahwa suku Tengger beragama Hindu, tetapi kenyataannya mereka juga beragama selain Hindu. Hanya memang barangkali penganut Hindu lebih banyak dibandingkan penganut agama lain. Ini bisa dibuktikan di desa Wonokerso, kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo sesama suku Tengger tetap hidup rukun meskipun memiliki agama berbeda.
Setiba di balai desa Wonokerso yang merupakan pusat kegiatan seni budaya dan kemasyarakatan salah satu komunitas Tengger, penulis dan tim mendapati sekitar tujuh upacara adat yang belum pernah dijumpai di daerah lain. Sehingga secara tidak langsung merupakan berkah tim peneliti, karena tujuan semula hanya mendokumentasikan seni topeng Tengger. Dan di antara tujuh upacara adat tersebut, penulis mencatat tiga upacara adat utama, yaitu walagara, among-among, dan entas-entas.
Walagara adalah upacara adat pernikahan dengan tujuan sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME atau dalam istilah suku Tengger disebut Hong Ulun. Proses menuju walagara didahului dengan upacara pinangan, yaitu kedua orang tua pihak laki-laki berkunjung ke pihak perempuan. Pelaksanaan pinangan adat Tengger dilakukan secara sederhana, diawali dengan kata-kata orang tua pihak laki-laki,”Kang, sarehne anak reang karo anak rika wis padha seneng, sak umpama digoleken dina apik piye?” Terjemahan,”Kang, berhubung anakmu dan anakku sudah saling cinta, gimana kalau kita carikan hari baik (untuk pernikahan)?” Setelah itu dilanjutkan dengan notog atau membalas lamaran. Ketika sudah disepakati baru dilangsungkan upacara walagara/ pernikahan. Rangkaian pesta walagara membutuhkan waktu sekitar 24 hari dari persiapan sampai pasca acara. Konon dari sumber yang ada di lokasi penelitian biaya upacara bisa mencapai 150 juta rupiyah lebih.
Berikutnya adalah upacara among-among, memiliki tujuan untuk mengenalkan keluarga baru dalam hal ini cucu kepada pihak keluarga, baik famili yang masih hidup maupun leluhur yang sudah di alam kelanggengan. Orang Tengger sangat menghormati kekerabatan atau hubungan famili, sehingga mereka juga menghormati para leluhur yang telah berjasa menghadirkan orang-orang Tengger ke dunia fana ini. Upacara among-among merupakan kewajiban kakek dan nenek. Sedangkan kewajiban orang tua si anak atau ayah dan ibu jabang bayi adalah upacara kekerik. Masing-masing upacara menggunakan upakara/ sarana upacara yang agak berbeda.
Upacara adat selanjutnya adalah entas-entas , dimaksudkan untuk mengentas/ mengangkat arwah leluhur dari alam semesta ke swargaloka. Menurut anggapan sedulur Tengger para leluhur akan terus bersemayam di sekitar anak cucu. Karena itu untuk membantu mereka (para leluhur) menuju kaswargan (surga abadi) harus dilakukan upacara entas-entas. Piranti upacara entas-entas sendiri antara lain boneka petra yang dibuat dari rumput alang-alang kering, daun tlotok, daun pampung, tali pring, janur, kembang senikir. Maksud yang terkandung adalah alang-alang adalah mboten sumelang , yang punya hajat dan para sanak famili tidak merasa was-was. Daun tlotok diharapkan antar keluarga tidak saling gontok-gontokan. Daun senikir jangan memiliki pikiran yang macam-macam. Daun janur perlambang cahaya. Tali pring sebagai peringatan ajaran/wewaler dari para leluhur yang baik jangan sampai dilupakan. Daun pampung agar para leluhur atau makhluk lain tidak mengganggu kepada yang punya hajat.
Setelah tiga hari sejak boneka petra dibuat disertai serangkaian upacara, akhirnya entas-entas diakhiri dengan pembacaan doa-doa suci dan pembakaran petra di sanggar. Upacara ini melibatkan seluruh keluarga pendukung entas-entas. Aturan dalam entas-entas adalah seluruh keluarga mendata para leluhur yang akan dientas. Sebelum dibakar boneka dibekali pakaian terbaik yang disukai almarhum/ para leluhur selama masih hidup. Selanjutnya pakaian dilipat rapih sebelum boneka dibakar. Boneka petra diangkat bersama-sama para ahli waris untuk melambangkan proses pengentasan. Kemudian boneka digendong menuju sanggar dan dibakar di tempat perabuan sanggar.
Karena upacara adat ini merupakan kearifan lokal atau nilai-nilai luhur nenek moyang, maka terlepas dari agama dan keyakinan komunitas Tengger, orang Tengger akan terus melakukan upacara entas-entas. Sehingga ada kalanya umat muslim, kristen, maupun katolik di wilayah Tengger merasa bersalah seandainya meninggalkan budaya warisan leluhur mereka. Hal itu diakui para tokoh masyarakat desa Wonokerso yang berhasil ditemui penulis.
Bagi orang Tengger mereka juga menghormati catur guru, yaitu guru swadiaya/ Tuhan YME, guru paka/ orang tua (ayah-ibu), guru pengajian/ yang memberi ilmu secara formal maupun informal, dan guru wisesa/ pemerintah.
Tak terasa penulis dan tim dewan kesenian Jawa Timur telah lima hari berbaur dengan sedulur-sedulur Tengger. Berat rasanya meninggalkan oase kearifan yang mereka miliki. Semoga kerja telusur ini ada guna dan manfaatnya. Salam budaya..!
Dian Sukarno *)
Perjalanan menuju desa Wonokerso, kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo membutuhkan waktu sekitar 2 jam 30 menit dari basecamp utama di kecamatan Sukapura. Jalan yang berkelok-kelok, serta kabut tebal sepanjang perjalanan sangat mempengaruhi kecepatan laju kendaraan. Tetapi ada hikmah yang sangat berarti karena tim bisa leluasa merencanakan tugas utama melalui diskusi di dalam kendaraan. Apa saja yang nanti bisa secepatnya didokumentasikan sepanjang sisa waktu penelitian budaya Tengger.
Tepat pukul 16.49 WIB akhirnya kami bersama tim dewan kesenian Jawa Timur tiba di balai desa Wonokerso, kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo yang merupakan komunitas suku Tengger paling tua dibandingkan suku Tengger yang ada di daerah sekitarnya. Perlu diketahui bahwa suku Tengger berdiam di empat kabupaten, yaitu Probolinggo, Lumajang, Pasuruhan, dan Malang. Di kabupaten Probolinggo mereka tersebar di dua kecamatan, masing-masing kecamatan Sukapura meliputi desa Ngadisari, Ngadas, Wonotoro, Jetak, Sariwani, dan Ngadirejo, serta di kecamatan Sumber yang terdiri atas desa Wonokerso, Sumberanom, Ledokombo, Pandansari, Gemito. Di kabupaten Lumajang terdapat di kecamatan Gucialit tepatnya desa Tlutur Kandangan dan kecamatan Senduro meliputi desa Argosari, Ranupani, Pakel, dan Wonocepoko Ayu. Di kabupaten Malang adalah desa Ngadas kecamatan Poncokusumo. Di kabupaten Pasuruhan komunitas Tengger bisa dijumpai di kecamatan Tosari (desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo) dan kecamatan Puspo (desa Keduwung), serta kecamatan Tutur (desa Ngadirejo dan Ledok Pring).
Riwayat suku Tengger konon bermula dari keturunan orang-orang Majapahit yang menyingkir ketika Majapahit mengalami kemunduran pada sekitar abad 14 hingga 15 Masehi. Sebagian orang mengira bahwa suku Tengger beragama Hindu, tetapi kenyataannya mereka juga beragama selain Hindu. Hanya memang barangkali penganut Hindu lebih banyak dibandingkan penganut agama lain. Ini bisa dibuktikan di desa Wonokerso, kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo sesama suku Tengger tetap hidup rukun meskipun memiliki agama berbeda.
Setiba di balai desa Wonokerso yang merupakan pusat kegiatan seni budaya dan kemasyarakatan salah satu komunitas Tengger, penulis dan tim mendapati sekitar tujuh upacara adat yang belum pernah dijumpai di daerah lain. Sehingga secara tidak langsung merupakan berkah tim peneliti, karena tujuan semula hanya mendokumentasikan seni topeng Tengger. Dan di antara tujuh upacara adat tersebut, penulis mencatat tiga upacara adat utama, yaitu walagara, among-among, dan entas-entas.
Walagara adalah upacara adat pernikahan dengan tujuan sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME atau dalam istilah suku Tengger disebut Hong Ulun. Proses menuju walagara didahului dengan upacara pinangan, yaitu kedua orang tua pihak laki-laki berkunjung ke pihak perempuan. Pelaksanaan pinangan adat Tengger dilakukan secara sederhana, diawali dengan kata-kata orang tua pihak laki-laki,”Kang, sarehne anak reang karo anak rika wis padha seneng, sak umpama digoleken dina apik piye?” Terjemahan,”Kang, berhubung anakmu dan anakku sudah saling cinta, gimana kalau kita carikan hari baik (untuk pernikahan)?” Setelah itu dilanjutkan dengan notog atau membalas lamaran. Ketika sudah disepakati baru dilangsungkan upacara walagara/ pernikahan. Rangkaian pesta walagara membutuhkan waktu sekitar 24 hari dari persiapan sampai pasca acara. Konon dari sumber yang ada di lokasi penelitian biaya upacara bisa mencapai 150 juta rupiyah lebih.
Berikutnya adalah upacara among-among, memiliki tujuan untuk mengenalkan keluarga baru dalam hal ini cucu kepada pihak keluarga, baik famili yang masih hidup maupun leluhur yang sudah di alam kelanggengan. Orang Tengger sangat menghormati kekerabatan atau hubungan famili, sehingga mereka juga menghormati para leluhur yang telah berjasa menghadirkan orang-orang Tengger ke dunia fana ini. Upacara among-among merupakan kewajiban kakek dan nenek. Sedangkan kewajiban orang tua si anak atau ayah dan ibu jabang bayi adalah upacara kekerik. Masing-masing upacara menggunakan upakara/ sarana upacara yang agak berbeda.
Upacara adat selanjutnya adalah entas-entas , dimaksudkan untuk mengentas/ mengangkat arwah leluhur dari alam semesta ke swargaloka. Menurut anggapan sedulur Tengger para leluhur akan terus bersemayam di sekitar anak cucu. Karena itu untuk membantu mereka (para leluhur) menuju kaswargan (surga abadi) harus dilakukan upacara entas-entas. Piranti upacara entas-entas sendiri antara lain boneka petra yang dibuat dari rumput alang-alang kering, daun tlotok, daun pampung, tali pring, janur, kembang senikir. Maksud yang terkandung adalah alang-alang adalah mboten sumelang , yang punya hajat dan para sanak famili tidak merasa was-was. Daun tlotok diharapkan antar keluarga tidak saling gontok-gontokan. Daun senikir jangan memiliki pikiran yang macam-macam. Daun janur perlambang cahaya. Tali pring sebagai peringatan ajaran/wewaler dari para leluhur yang baik jangan sampai dilupakan. Daun pampung agar para leluhur atau makhluk lain tidak mengganggu kepada yang punya hajat.
Setelah tiga hari sejak boneka petra dibuat disertai serangkaian upacara, akhirnya entas-entas diakhiri dengan pembacaan doa-doa suci dan pembakaran petra di sanggar. Upacara ini melibatkan seluruh keluarga pendukung entas-entas. Aturan dalam entas-entas adalah seluruh keluarga mendata para leluhur yang akan dientas. Sebelum dibakar boneka dibekali pakaian terbaik yang disukai almarhum/ para leluhur selama masih hidup. Selanjutnya pakaian dilipat rapih sebelum boneka dibakar. Boneka petra diangkat bersama-sama para ahli waris untuk melambangkan proses pengentasan. Kemudian boneka digendong menuju sanggar dan dibakar di tempat perabuan sanggar.
Karena upacara adat ini merupakan kearifan lokal atau nilai-nilai luhur nenek moyang, maka terlepas dari agama dan keyakinan komunitas Tengger, orang Tengger akan terus melakukan upacara entas-entas. Sehingga ada kalanya umat muslim, kristen, maupun katolik di wilayah Tengger merasa bersalah seandainya meninggalkan budaya warisan leluhur mereka. Hal itu diakui para tokoh masyarakat desa Wonokerso yang berhasil ditemui penulis.
Bagi orang Tengger mereka juga menghormati catur guru, yaitu guru swadiaya/ Tuhan YME, guru paka/ orang tua (ayah-ibu), guru pengajian/ yang memberi ilmu secara formal maupun informal, dan guru wisesa/ pemerintah.
Tak terasa penulis dan tim dewan kesenian Jawa Timur telah lima hari berbaur dengan sedulur-sedulur Tengger. Berat rasanya meninggalkan oase kearifan yang mereka miliki. Semoga kerja telusur ini ada guna dan manfaatnya. Salam budaya..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar