Sabtu, 11 September 2010

RADIO BUDAYA VS BUDAYA RADIO

Dian Sukarno *)

Pada kurun waktu 70 hingga 80-an sangat akrab di telinga pendengar dan pecinta siaran radio, sebuah acara bertajuk pemilihan Bintang Radio dan Televisi Nasional atau BRTV yang dihelat oleh RRI sebagai radio pemerintah dan TVRI. Barangkali kalau dikaitkan masa sekarang adalah ajang pemilihan bakat lewat serangkaian audisi. Acara itu tak pelak menjadi sorotan nasional, karena khusus memilih jawara di bidang musik keroncong dan seriosa. Nama-nama pelantun keroncong yang sangat disegani pun terlahir dari ajang tersebut, salah satunya Sundari Sukoco. Wanita asal Jawa Timur ini hingga saat sekarang masih menyandang gelar sebagai Ratu Keroncong.

Sekitar tahun 1985 cukup marak siaran sandiwara radio. Judul-judul seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi seolah membius ruang publik. Sehingga tidak hanya ibu rumah tangga, kepala keluarga, bahkan para pelajar rela membawa pesawat radio ke sekolah masing-masing. Nyaris sandiwara radio telah merasuki hampir seluruh elemen masyarakat. Memang, radio telah menjadi candu masa itu. Namun daya biusnya masih menumbuhkan imaji positif. Pendengar seolah-olah dibawa pada situasi sejarah masa lalu dan merasa turut serta di dalamnya. Pada sisi ini radio menunjukkan kekuatan theatre of mind-nya. Di samping itu tayangan sandiwara radio telah membuktikan sebuah kerja kebudayaan yang melibatkan banyak disiplin ilmu tersaji cukup apik.

Kesenian sebagai anak emas kebudayaan sangat sangkil (efektif) disiarkan di radio. Sehingga tidak sedikit kita jumpai produk-produk seni pertunjukan turut meramaikan ruang dengar masyarakat. Seperti misalnya siaran ludruk RRI Surabaya, siaran wayang kulit semalam suntuk di RKIP (Radio Khusus Informasi Pertanian) Wonocolo, Surabaya. Sedangkan di skup local Jombang acara-acara tersebut hanya terbatas siaran wayang kulit semalam suntuk. Itupun sering diputar berulangkali karena minimnya koleksi kaset. Kenyataan ini meskipun agak memilukan, namun pantas diberi acungan jempol bagi stasiun radio yang masih peduli dengan penyelamatan produk budaya (kesenian).

Lagi-lagi sangat disayangkan pada perkembangannya stasiun radio sebagai sebuah kekuatan pelestari budaya seolah mati kutu terkait produk kebudayaan bangsa sendiri, khususnya yang bersifat etnik. Sehingga sering kita jumpai sejumlah stasiun radio yang coba mengangkat ikon Jombangan justru terjebak pada standar rendah kemasan. Hal ini sangat mungkin disebabkan pemahaman SDM keradioan, baik penyiar, maupun music director, dan karyawan radio yang masih rendah terhadap kebudayaan Jombang pada khususnya. Acara-acara seperti Jula-juli Jombangan tapi lekat dengan campursarian, mengangkat ikon Besutan namun yang terdengar justru ludrukan, semboyan Radione Wong Njombang justru dialek yang digunakan kejakartean dan masih banyak lagi.

Belum lagi seabreg talkshow budaya yang digelar di radio milik pemerintah kabupaten Jombang. Alih-alih membuat terobosan, tetapi narasumber sering tidak nyambung dengan tema sentral perbincangan. Pernah satu ketika penulis dipertemukan dengan narasumber lain yang membahas Endahing Sastra Jawi yang dikemas dalam acara Uri-uri Budaya Jawi. Dan yang terjadi bukan membahas sastra Jawa yang adiluhung, ternyata bahasan berubah menjadi Kridha Basa.

Melihat kondisi demikian selayaknya praktisi radio yang masih kental dengan nasionalisme kebudayaan melakukan upaya maksimal dalam rangka penyelamatan produk kebudayaan Jombangan. Apalagi melihat posisi Jombang yang cukup strategis ditinjau dari segala sudut pandang. Sehingga paling tidak ada stasiun radio yang membumi alias menyatu dengan khalayak dengar di ranah kebudayaan. Muara dari langkah strategis itu barangkali sebuah stasiun radio bervisi Radio Budaya. Kedengarannya agak aneh memang di tengah hingar-bingar persaingan radio swasta seperti jamur di musim hujan.

Pertanyaannya kemudian masih adakah radio budaya di wilayah ini? Lha wong ngomong soal budaya saja belum begitu fasih. Ditambah kemudian dengan serbuan “radio-radioan” alias radio waton muni, baik dari segi program, kemasan, maupun permodalan. Radio berbasis trend, ketika ada orang mencoba bersiaran menggunakan pemancar FM, maka dengan sedikit kreatifitas ratusan orang mencoba peruntungan di jalur FM. Sehingga memunculkan perang frekwensi yang merugikan stasiun radio resmi, baik swasta maupun pemerintah.

Fenomena radio abal-abal ini saya memberanikan diri menggunakan istilah Budaya Radio. Dengan bahasa lain radio berdasarkan mode/ trend alias usum-usuman. Nanti saya yakin suatu saat kelatahan massal itu akan surut dengan sendirinya. Karena gejala budaya radio atau booming radio bergerak seperti mode busana atau fashion. Ketika sudah ndak jaman maka akan terseleksi oleh alam.

Gejala makin bertumbuh Budaya Radio di tengah masyarakat memunculkan kekhawatiran sejumlah kalangan perradioan. Contoh nyata pernah digagas oleh PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ) Jawa Timur yang mencantumkan tulisan 100 % RESMI pada sticker nama radio anggotanya. Hal ini dipicu radio-radio abal-abal yang seenak sendiri memutar lagu tanpa membayar royalti. Sedangkan radio resmi di bawah PRSSNI diwajibkan membayar royalti, pajak iklan, pajak frekwensi dan lain-lain.

Pada wilayah strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan terbukti telah terjadi persinggungan yang tidak sehat antara radio resmi dengan satu titik kemungkinan sebagai Radio Budaya dengan Budaya Radio berupa trend radio abal-abal alias waton muni yang bermodal kenekatan. Sehingga diakui atau tidak akan muncul dampak negatif di tengah masyarakat. Untuk itu perlu kiranya para praktisi radio, masyarakat, dan pemerintah bisa lebih arif memperlakukan budaya sebagai titik puncak karya kemanusiaan. Sehingga tanggungjawab kebudayaan ini tidak terciderai persaingan tidak sehat antara radio terang dan radio remang-remang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar