Dian Sukarno *)
Pada kurun waktu 70 hingga 80-an sangat akrab di telinga pendengar dan pecinta siaran radio, sebuah acara bertajuk pemilihan Bintang Radio dan Televisi Nasional atau BRTV yang dihelat oleh RRI sebagai radio pemerintah dan TVRI. Barangkali kalau dikaitkan masa sekarang adalah ajang pemilihan bakat lewat serangkaian audisi. Acara itu tak pelak menjadi sorotan nasional, karena khusus memilih jawara di bidang musik keroncong dan seriosa. Nama-nama pelantun keroncong yang sangat disegani pun terlahir dari ajang tersebut, salah satunya Sundari Sukoco. Wanita asal Jawa Timur ini hingga saat sekarang masih menyandang gelar sebagai Ratu Keroncong.
Sekitar tahun 1985 cukup marak siaran sandiwara radio. Judul-judul seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi seolah membius ruang publik. Sehingga tidak hanya ibu rumah tangga, kepala keluarga, bahkan para pelajar rela membawa pesawat radio ke sekolah masing-masing. Nyaris sandiwara radio telah merasuki hampir seluruh elemen masyarakat. Memang, radio telah menjadi candu masa itu. Namun daya biusnya masih menumbuhkan imaji positif. Pendengar seolah-olah dibawa pada situasi sejarah masa lalu dan merasa turut serta di dalamnya. Pada sisi ini radio menunjukkan kekuatan theatre of mind-nya. Di samping itu tayangan sandiwara radio telah membuktikan sebuah kerja kebudayaan yang melibatkan banyak disiplin ilmu tersaji cukup apik.
Kesenian sebagai anak emas kebudayaan sangat sangkil (efektif) disiarkan di radio. Sehingga tidak sedikit kita jumpai produk-produk seni pertunjukan turut meramaikan ruang dengar masyarakat. Seperti misalnya siaran ludruk RRI Surabaya, siaran wayang kulit semalam suntuk di RKIP (Radio Khusus Informasi Pertanian) Wonocolo, Surabaya. Sedangkan di skup local Jombang acara-acara tersebut hanya terbatas siaran wayang kulit semalam suntuk. Itupun sering diputar berulangkali karena minimnya koleksi kaset. Kenyataan ini meskipun agak memilukan, namun pantas diberi acungan jempol bagi stasiun radio yang masih peduli dengan penyelamatan produk budaya (kesenian).
Lagi-lagi sangat disayangkan pada perkembangannya stasiun radio sebagai sebuah kekuatan pelestari budaya seolah mati kutu terkait produk kebudayaan bangsa sendiri, khususnya yang bersifat etnik. Sehingga sering kita jumpai sejumlah stasiun radio yang coba mengangkat ikon Jombangan justru terjebak pada standar rendah kemasan. Hal ini sangat mungkin disebabkan pemahaman SDM keradioan, baik penyiar, maupun music director, dan karyawan radio yang masih rendah terhadap kebudayaan Jombang pada khususnya. Acara-acara seperti Jula-juli Jombangan tapi lekat dengan campursarian, mengangkat ikon Besutan namun yang terdengar justru ludrukan, semboyan Radione Wong Njombang justru dialek yang digunakan kejakartean dan masih banyak lagi.
Belum lagi seabreg talkshow budaya yang digelar di radio milik pemerintah kabupaten Jombang. Alih-alih membuat terobosan, tetapi narasumber sering tidak nyambung dengan tema sentral perbincangan. Pernah satu ketika penulis dipertemukan dengan narasumber lain yang membahas Endahing Sastra Jawi yang dikemas dalam acara Uri-uri Budaya Jawi. Dan yang terjadi bukan membahas sastra Jawa yang adiluhung, ternyata bahasan berubah menjadi Kridha Basa.
Melihat kondisi demikian selayaknya praktisi radio yang masih kental dengan nasionalisme kebudayaan melakukan upaya maksimal dalam rangka penyelamatan produk kebudayaan Jombangan. Apalagi melihat posisi Jombang yang cukup strategis ditinjau dari segala sudut pandang. Sehingga paling tidak ada stasiun radio yang membumi alias menyatu dengan khalayak dengar di ranah kebudayaan. Muara dari langkah strategis itu barangkali sebuah stasiun radio bervisi Radio Budaya. Kedengarannya agak aneh memang di tengah hingar-bingar persaingan radio swasta seperti jamur di musim hujan.
Pertanyaannya kemudian masih adakah radio budaya di wilayah ini? Lha wong ngomong soal budaya saja belum begitu fasih. Ditambah kemudian dengan serbuan “radio-radioan” alias radio waton muni, baik dari segi program, kemasan, maupun permodalan. Radio berbasis trend, ketika ada orang mencoba bersiaran menggunakan pemancar FM, maka dengan sedikit kreatifitas ratusan orang mencoba peruntungan di jalur FM. Sehingga memunculkan perang frekwensi yang merugikan stasiun radio resmi, baik swasta maupun pemerintah.
Fenomena radio abal-abal ini saya memberanikan diri menggunakan istilah Budaya Radio. Dengan bahasa lain radio berdasarkan mode/ trend alias usum-usuman. Nanti saya yakin suatu saat kelatahan massal itu akan surut dengan sendirinya. Karena gejala budaya radio atau booming radio bergerak seperti mode busana atau fashion. Ketika sudah ndak jaman maka akan terseleksi oleh alam.
Gejala makin bertumbuh Budaya Radio di tengah masyarakat memunculkan kekhawatiran sejumlah kalangan perradioan. Contoh nyata pernah digagas oleh PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ) Jawa Timur yang mencantumkan tulisan 100 % RESMI pada sticker nama radio anggotanya. Hal ini dipicu radio-radio abal-abal yang seenak sendiri memutar lagu tanpa membayar royalti. Sedangkan radio resmi di bawah PRSSNI diwajibkan membayar royalti, pajak iklan, pajak frekwensi dan lain-lain.
Pada wilayah strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan terbukti telah terjadi persinggungan yang tidak sehat antara radio resmi dengan satu titik kemungkinan sebagai Radio Budaya dengan Budaya Radio berupa trend radio abal-abal alias waton muni yang bermodal kenekatan. Sehingga diakui atau tidak akan muncul dampak negatif di tengah masyarakat. Untuk itu perlu kiranya para praktisi radio, masyarakat, dan pemerintah bisa lebih arif memperlakukan budaya sebagai titik puncak karya kemanusiaan. Sehingga tanggungjawab kebudayaan ini tidak terciderai persaingan tidak sehat antara radio terang dan radio remang-remang.
Pada kurun waktu 70 hingga 80-an sangat akrab di telinga pendengar dan pecinta siaran radio, sebuah acara bertajuk pemilihan Bintang Radio dan Televisi Nasional atau BRTV yang dihelat oleh RRI sebagai radio pemerintah dan TVRI. Barangkali kalau dikaitkan masa sekarang adalah ajang pemilihan bakat lewat serangkaian audisi. Acara itu tak pelak menjadi sorotan nasional, karena khusus memilih jawara di bidang musik keroncong dan seriosa. Nama-nama pelantun keroncong yang sangat disegani pun terlahir dari ajang tersebut, salah satunya Sundari Sukoco. Wanita asal Jawa Timur ini hingga saat sekarang masih menyandang gelar sebagai Ratu Keroncong.
Sekitar tahun 1985 cukup marak siaran sandiwara radio. Judul-judul seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi seolah membius ruang publik. Sehingga tidak hanya ibu rumah tangga, kepala keluarga, bahkan para pelajar rela membawa pesawat radio ke sekolah masing-masing. Nyaris sandiwara radio telah merasuki hampir seluruh elemen masyarakat. Memang, radio telah menjadi candu masa itu. Namun daya biusnya masih menumbuhkan imaji positif. Pendengar seolah-olah dibawa pada situasi sejarah masa lalu dan merasa turut serta di dalamnya. Pada sisi ini radio menunjukkan kekuatan theatre of mind-nya. Di samping itu tayangan sandiwara radio telah membuktikan sebuah kerja kebudayaan yang melibatkan banyak disiplin ilmu tersaji cukup apik.
Kesenian sebagai anak emas kebudayaan sangat sangkil (efektif) disiarkan di radio. Sehingga tidak sedikit kita jumpai produk-produk seni pertunjukan turut meramaikan ruang dengar masyarakat. Seperti misalnya siaran ludruk RRI Surabaya, siaran wayang kulit semalam suntuk di RKIP (Radio Khusus Informasi Pertanian) Wonocolo, Surabaya. Sedangkan di skup local Jombang acara-acara tersebut hanya terbatas siaran wayang kulit semalam suntuk. Itupun sering diputar berulangkali karena minimnya koleksi kaset. Kenyataan ini meskipun agak memilukan, namun pantas diberi acungan jempol bagi stasiun radio yang masih peduli dengan penyelamatan produk budaya (kesenian).
Lagi-lagi sangat disayangkan pada perkembangannya stasiun radio sebagai sebuah kekuatan pelestari budaya seolah mati kutu terkait produk kebudayaan bangsa sendiri, khususnya yang bersifat etnik. Sehingga sering kita jumpai sejumlah stasiun radio yang coba mengangkat ikon Jombangan justru terjebak pada standar rendah kemasan. Hal ini sangat mungkin disebabkan pemahaman SDM keradioan, baik penyiar, maupun music director, dan karyawan radio yang masih rendah terhadap kebudayaan Jombang pada khususnya. Acara-acara seperti Jula-juli Jombangan tapi lekat dengan campursarian, mengangkat ikon Besutan namun yang terdengar justru ludrukan, semboyan Radione Wong Njombang justru dialek yang digunakan kejakartean dan masih banyak lagi.
Belum lagi seabreg talkshow budaya yang digelar di radio milik pemerintah kabupaten Jombang. Alih-alih membuat terobosan, tetapi narasumber sering tidak nyambung dengan tema sentral perbincangan. Pernah satu ketika penulis dipertemukan dengan narasumber lain yang membahas Endahing Sastra Jawi yang dikemas dalam acara Uri-uri Budaya Jawi. Dan yang terjadi bukan membahas sastra Jawa yang adiluhung, ternyata bahasan berubah menjadi Kridha Basa.
Melihat kondisi demikian selayaknya praktisi radio yang masih kental dengan nasionalisme kebudayaan melakukan upaya maksimal dalam rangka penyelamatan produk kebudayaan Jombangan. Apalagi melihat posisi Jombang yang cukup strategis ditinjau dari segala sudut pandang. Sehingga paling tidak ada stasiun radio yang membumi alias menyatu dengan khalayak dengar di ranah kebudayaan. Muara dari langkah strategis itu barangkali sebuah stasiun radio bervisi Radio Budaya. Kedengarannya agak aneh memang di tengah hingar-bingar persaingan radio swasta seperti jamur di musim hujan.
Pertanyaannya kemudian masih adakah radio budaya di wilayah ini? Lha wong ngomong soal budaya saja belum begitu fasih. Ditambah kemudian dengan serbuan “radio-radioan” alias radio waton muni, baik dari segi program, kemasan, maupun permodalan. Radio berbasis trend, ketika ada orang mencoba bersiaran menggunakan pemancar FM, maka dengan sedikit kreatifitas ratusan orang mencoba peruntungan di jalur FM. Sehingga memunculkan perang frekwensi yang merugikan stasiun radio resmi, baik swasta maupun pemerintah.
Fenomena radio abal-abal ini saya memberanikan diri menggunakan istilah Budaya Radio. Dengan bahasa lain radio berdasarkan mode/ trend alias usum-usuman. Nanti saya yakin suatu saat kelatahan massal itu akan surut dengan sendirinya. Karena gejala budaya radio atau booming radio bergerak seperti mode busana atau fashion. Ketika sudah ndak jaman maka akan terseleksi oleh alam.
Gejala makin bertumbuh Budaya Radio di tengah masyarakat memunculkan kekhawatiran sejumlah kalangan perradioan. Contoh nyata pernah digagas oleh PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ) Jawa Timur yang mencantumkan tulisan 100 % RESMI pada sticker nama radio anggotanya. Hal ini dipicu radio-radio abal-abal yang seenak sendiri memutar lagu tanpa membayar royalti. Sedangkan radio resmi di bawah PRSSNI diwajibkan membayar royalti, pajak iklan, pajak frekwensi dan lain-lain.
Pada wilayah strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan terbukti telah terjadi persinggungan yang tidak sehat antara radio resmi dengan satu titik kemungkinan sebagai Radio Budaya dengan Budaya Radio berupa trend radio abal-abal alias waton muni yang bermodal kenekatan. Sehingga diakui atau tidak akan muncul dampak negatif di tengah masyarakat. Untuk itu perlu kiranya para praktisi radio, masyarakat, dan pemerintah bisa lebih arif memperlakukan budaya sebagai titik puncak karya kemanusiaan. Sehingga tanggungjawab kebudayaan ini tidak terciderai persaingan tidak sehat antara radio terang dan radio remang-remang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar