Dian Sukarno *)
Suatu hari salah satu murid sanggar tari Lung Ayu bernama Ita, lulusan sebuah SMA favorit di Jombang, mengaku bahwa dirinya sengaja tidak memilih program study IPS sewaktu duduk di bangku SMA, karena ketakutan menghadapi mata pelajaran hafalan. Apalagi jika bertemu dengan mata pelajaran IPS yang di dalamnya meliputi geografi dan sejarah, bisa-bisa remaja seperti Ita yang maunya serba praktis, tidak menginginkan hal-hal yang ribet, termasuk dalam pelajaran, harus suntuk habis-habisan menghadapi menu harian di kelas yang penuh dengan deret hafalan.
Pada kasus berbeda saya secara iseng bertanya pada sekelompok mahasiswi matematika sebuah perguruan tinggi swasta di Jombang, apakah mereka mengetahui sejarah angka nol (0)? Jawabnya sungguh di luar dugaan. Ketika itu saya sangat berharap sekelompok mahasiswi itu akan menerangkan, bahwa penemu angka nol adalah seorang ilmuwan muslim. Berkat penemuan itu akhirnya seluruh umat manusia bisa menulis angka dengan kesangkilan dan kemangkusan (efektif dan efisien) yang mengagumkan dibandingkan jika menulis dengan menggunakan angka romawi. Tapi saya tidak mendapatkan jawaban ilmiah khas mahasiswa yang menjadi tameng di garis depan dunia pendidikan. Saya justeru mendapat jawaban ala wong ndeso, “Itu bukan urusan kami mas. Kami kan mahasiswi jurusan matematika,” jawab mereka dengan entengnya. Waduh! Pikir saya, kalau seluruh mahasiswa kita seperti mereka pantas saja indeks prestasi pendidikan bangsa ini sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
Tapi kemudian pikiran saya mengkilasbalik jauh ke belakang ketika saya masih pelajar sekolah dasar di daerah Gudo, Jombang. Waktu itu saya mempunyai tetangga seorang tukang bangunan bernama Lik To. Tetangga saya itu pernah mbedeki/ berteka-teki tentang keunikan angka 11/ sebelas. Menurut Lik To angka puluhan berapapun jika dikalikan dengan angka 11, maka tinggal menjumlahkan dua angka bersangkutan dan hasilnya ditaruh di tengah-tengah angka tersebut. Contoh 17x11, maka angka 1 ditambah 7 = 8. Kemudian angka 8 ditaruh di antara angka 17, akhirnya diperoleh hasil 17 x 11 = 187. Batin saya bersorak kegirangan mendapatkan rumus yang tidak saya dapatkan di sekolah itu. Yang saya herankan kenapa seorang tukang bangunan seperti Lik To bisa mendapatkan rumus tersebut dengan mudah. Padahal saya tahu persis pendidikannya tidak terlalu tinggi.
Problematika pendidikan kita memang cukup unik. Hampir setiap ganti pimpinan, setingkat menteri misalnya, selalu diikuti dengan perubahan besar-besaran pada kurikulum dan materi ajar. Termasuk memasukkan materi Bahasa Inggeris sebagai muatan lokal di lembaga pendidikan/ sekolah. Namanya saja muatan lokal, saya yang cukup awam dengan dunia pendidikan ini menjadi semakin bingung, apa bahasa Inggeris itu sudah menjadi konsumsi kelokalan kita? Sementara bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan bahasa kebudayaan harus merana tergerus zaman.
Kita memang cenderung gagap budaya di segala lini kehidupan. Fakta di depan mata, bahwa apakah kita sudah memiliki budaya baca yang lumayan bagus sebagaimana diingatkan dalam kitab suci agar umat manusia membaca? Membaca tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual. Bahkan untuk budaya membaca ini orang Mesir setingkat satpam saja ketika bertugas ditemani setumpuk tinggi majalah dan buku-buku ilmu pengetahuan. Kalau di lingkungan kita, apa coba? Yang pasti kita banyak melihat di pos jaga satpam lebih memilih main karambol maupun catur untuk perintang waktu. Dan itu pun belum tentu memiliki prestasi.
Tiga kasus berbeda di awal tulisan ini sudah memberikan ilustrasi kepada kita bahwa konsep hafalan masih sangat mewarnai proses belajar di lembaga-lembaga pendidikan bangsa ini. Ironinya manusia-manusia berpredikat pelajar itu terus-menerus dijejali deret hafalan dan dipaksa untuk menjadi kamus berjalan. Guru sebagai tukang-tukang pencetak ensiklopedi hidup itu akan bangga ketika melihat murid-muridnya menyebut dengan tepat tanggal kejadian sebuah peristiwa. Tetapi sebaliknya para murid itu dibiarkan kebingungan masal karena tidak mampu mencerna isi pelajaran yang mereka dapatkan.
Pujangga besar Rabindranath Tagore melukiskan pendidikan semacam itu sebagai : pendidikan burung nuri atau sekolah beo. Murid menjadi nuri sejarah, beo ilmu bumi, kakatua hitung dan sebagainya atau menjadi robot yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Robot, beo, nuri, kakatua, gramopon, tape recorder bukan manusia dalam arti sebenarnya. Manusia tidak hanya meniru, manusia tidak hanya melisankan saja. Manusia berpikir, merasakan sesuatu dan sebagainya. Ia bukan benda ataupun alat tetapi makhluk utama. Hafalan berarti menurunkan derajat manusia menjadi benda atau menjadi alat. (R.Moh.Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, 2005 : 1)
Nah kalau begitu apakah cukup kita hanya menertawakan kecerobohan berjamaah di dunia pendidikan kita? Sebuah persoalan baru yang mengemuka, dapatkah ilmu-ilmu itu (sejarah) dipelajari tanpa hafalan ? Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi paling tidak pertanyaan tersebut marilah kita tarik pada cita-cita yang lebih manusiawi, misalnya ;pertama apakah tujuan mata pelajaran sejarah? , kedua apakah arti sejarah dalam kehidupan kita sehari-hari?, ketiga adakah hubungan timbal balik antara cita-cita kemanusiaan kita dengan sejarah? Dalam tulisan ini sengaja saya mengambil mata pelajaran sejarah sebagai contoh kasus, karena mata pelajaran ini erat kaitannya dengan perjalanan peradaban sebuah bangsa beserta budayanya.
Sebenarnya nenek moyang kita sangat arif menciptakan maha kreasi budaya yang adiluhung/ penuh keluhuran, misalnya dengan diciptakannya bahasa lambang angka tahun dalam tradisi tulis sengkalan di tanah Jawa. Sehingga dengan membaca sengkalan, maka orang tidak lagi dipaksa menjadi kamus hidup. Karena ia langsung mengetahui dari kalimat sastera yang diabadikan melalui sengkalan. Misalnya keruntuhan kerajaan Majapahit ditandai dengan sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi atau tahun 1400 M. Dan sayangnya jangankan si murid, para guru sudah sangat asing mendengar istilah sengkalan ini. Lagi-lagi pelajaran sejarah untuk dihafalkan dan murid sebagai generasi penerus biarlah tergagap dengan budayanya sendiri.
Suatu hari salah satu murid sanggar tari Lung Ayu bernama Ita, lulusan sebuah SMA favorit di Jombang, mengaku bahwa dirinya sengaja tidak memilih program study IPS sewaktu duduk di bangku SMA, karena ketakutan menghadapi mata pelajaran hafalan. Apalagi jika bertemu dengan mata pelajaran IPS yang di dalamnya meliputi geografi dan sejarah, bisa-bisa remaja seperti Ita yang maunya serba praktis, tidak menginginkan hal-hal yang ribet, termasuk dalam pelajaran, harus suntuk habis-habisan menghadapi menu harian di kelas yang penuh dengan deret hafalan.
Pada kasus berbeda saya secara iseng bertanya pada sekelompok mahasiswi matematika sebuah perguruan tinggi swasta di Jombang, apakah mereka mengetahui sejarah angka nol (0)? Jawabnya sungguh di luar dugaan. Ketika itu saya sangat berharap sekelompok mahasiswi itu akan menerangkan, bahwa penemu angka nol adalah seorang ilmuwan muslim. Berkat penemuan itu akhirnya seluruh umat manusia bisa menulis angka dengan kesangkilan dan kemangkusan (efektif dan efisien) yang mengagumkan dibandingkan jika menulis dengan menggunakan angka romawi. Tapi saya tidak mendapatkan jawaban ilmiah khas mahasiswa yang menjadi tameng di garis depan dunia pendidikan. Saya justeru mendapat jawaban ala wong ndeso, “Itu bukan urusan kami mas. Kami kan mahasiswi jurusan matematika,” jawab mereka dengan entengnya. Waduh! Pikir saya, kalau seluruh mahasiswa kita seperti mereka pantas saja indeks prestasi pendidikan bangsa ini sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
Tapi kemudian pikiran saya mengkilasbalik jauh ke belakang ketika saya masih pelajar sekolah dasar di daerah Gudo, Jombang. Waktu itu saya mempunyai tetangga seorang tukang bangunan bernama Lik To. Tetangga saya itu pernah mbedeki/ berteka-teki tentang keunikan angka 11/ sebelas. Menurut Lik To angka puluhan berapapun jika dikalikan dengan angka 11, maka tinggal menjumlahkan dua angka bersangkutan dan hasilnya ditaruh di tengah-tengah angka tersebut. Contoh 17x11, maka angka 1 ditambah 7 = 8. Kemudian angka 8 ditaruh di antara angka 17, akhirnya diperoleh hasil 17 x 11 = 187. Batin saya bersorak kegirangan mendapatkan rumus yang tidak saya dapatkan di sekolah itu. Yang saya herankan kenapa seorang tukang bangunan seperti Lik To bisa mendapatkan rumus tersebut dengan mudah. Padahal saya tahu persis pendidikannya tidak terlalu tinggi.
Problematika pendidikan kita memang cukup unik. Hampir setiap ganti pimpinan, setingkat menteri misalnya, selalu diikuti dengan perubahan besar-besaran pada kurikulum dan materi ajar. Termasuk memasukkan materi Bahasa Inggeris sebagai muatan lokal di lembaga pendidikan/ sekolah. Namanya saja muatan lokal, saya yang cukup awam dengan dunia pendidikan ini menjadi semakin bingung, apa bahasa Inggeris itu sudah menjadi konsumsi kelokalan kita? Sementara bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan bahasa kebudayaan harus merana tergerus zaman.
Kita memang cenderung gagap budaya di segala lini kehidupan. Fakta di depan mata, bahwa apakah kita sudah memiliki budaya baca yang lumayan bagus sebagaimana diingatkan dalam kitab suci agar umat manusia membaca? Membaca tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual. Bahkan untuk budaya membaca ini orang Mesir setingkat satpam saja ketika bertugas ditemani setumpuk tinggi majalah dan buku-buku ilmu pengetahuan. Kalau di lingkungan kita, apa coba? Yang pasti kita banyak melihat di pos jaga satpam lebih memilih main karambol maupun catur untuk perintang waktu. Dan itu pun belum tentu memiliki prestasi.
Tiga kasus berbeda di awal tulisan ini sudah memberikan ilustrasi kepada kita bahwa konsep hafalan masih sangat mewarnai proses belajar di lembaga-lembaga pendidikan bangsa ini. Ironinya manusia-manusia berpredikat pelajar itu terus-menerus dijejali deret hafalan dan dipaksa untuk menjadi kamus berjalan. Guru sebagai tukang-tukang pencetak ensiklopedi hidup itu akan bangga ketika melihat murid-muridnya menyebut dengan tepat tanggal kejadian sebuah peristiwa. Tetapi sebaliknya para murid itu dibiarkan kebingungan masal karena tidak mampu mencerna isi pelajaran yang mereka dapatkan.
Pujangga besar Rabindranath Tagore melukiskan pendidikan semacam itu sebagai : pendidikan burung nuri atau sekolah beo. Murid menjadi nuri sejarah, beo ilmu bumi, kakatua hitung dan sebagainya atau menjadi robot yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Robot, beo, nuri, kakatua, gramopon, tape recorder bukan manusia dalam arti sebenarnya. Manusia tidak hanya meniru, manusia tidak hanya melisankan saja. Manusia berpikir, merasakan sesuatu dan sebagainya. Ia bukan benda ataupun alat tetapi makhluk utama. Hafalan berarti menurunkan derajat manusia menjadi benda atau menjadi alat. (R.Moh.Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, 2005 : 1)
Nah kalau begitu apakah cukup kita hanya menertawakan kecerobohan berjamaah di dunia pendidikan kita? Sebuah persoalan baru yang mengemuka, dapatkah ilmu-ilmu itu (sejarah) dipelajari tanpa hafalan ? Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi paling tidak pertanyaan tersebut marilah kita tarik pada cita-cita yang lebih manusiawi, misalnya ;pertama apakah tujuan mata pelajaran sejarah? , kedua apakah arti sejarah dalam kehidupan kita sehari-hari?, ketiga adakah hubungan timbal balik antara cita-cita kemanusiaan kita dengan sejarah? Dalam tulisan ini sengaja saya mengambil mata pelajaran sejarah sebagai contoh kasus, karena mata pelajaran ini erat kaitannya dengan perjalanan peradaban sebuah bangsa beserta budayanya.
Sebenarnya nenek moyang kita sangat arif menciptakan maha kreasi budaya yang adiluhung/ penuh keluhuran, misalnya dengan diciptakannya bahasa lambang angka tahun dalam tradisi tulis sengkalan di tanah Jawa. Sehingga dengan membaca sengkalan, maka orang tidak lagi dipaksa menjadi kamus hidup. Karena ia langsung mengetahui dari kalimat sastera yang diabadikan melalui sengkalan. Misalnya keruntuhan kerajaan Majapahit ditandai dengan sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi atau tahun 1400 M. Dan sayangnya jangankan si murid, para guru sudah sangat asing mendengar istilah sengkalan ini. Lagi-lagi pelajaran sejarah untuk dihafalkan dan murid sebagai generasi penerus biarlah tergagap dengan budayanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar