Selasa, 07 September 2010

SUGESTI PONARI VS BUDAYA LATAH

Dian Sukarno *)

Mohamad Ponari, 9 tahun, warga desa Balongsari, Megaluh, Jombang, Jatim menjadi selebrita/ seleb berita dalam kurun waktu satu bulan terakhir setelah secara tidak sengaja selamat dari malapetaka petir pada suatu sore yang hujan. Dan berita pun cepat menyebar setelah media massa tanah air mengemas kejadian langka yang dialami Ponari sebagai suatu hal yang tidak terjangkau nalar/ logika. Nama Ponari pun melambung bak roket menembus kabut hitam angkasa tempat tinggalnya di sebuah dusun kecil sekitar delapan kilometer barat kota Jombang. Kepopuleran Ponari sanggub untuk sementara menghapus noda hitam berita Ryan si jagal dari Jombang.

Kisah hidup anak dusun Kedungsari, desa Balongsari, Megaluh, Jombang ini serta merta mengalami antiklimaks setelah diketahui ia menemukan batu yang konon dianggab bertuah karena bisa menjadi sarana pengobatan alternatif. Terlepas dari anggapan klenik dan sebagainya, tetapi fakta di lapangan kemudian mengangkat pamor Ponari sebagai dukun cilik atau dukun tiban menurut istilah desa Balongsari yang dianggab sakti mandraguna. Pasien pun berdatangan seperti rombongan wisatawan yang haus hiburan. Bahkan tidak hanya datang dari Indonesia melainkan sampai warga negara Malaysia rela mengantri bersama ribuan pasien lainnya.

Satu hari-dua hari, satu minggu-dua minggu, kelebihan Mohamad Ponari dielu-elukan tidak hanya keluarganya yang tergolong ekonomi lemah, tetapi juga masyarakat desa sekitar yang meraup keuntungan berlipat ganda atas kepopuleran sang dukun. Sampai-sampai desa Ponari bersolek membangun fasilitas jalan paving dari dana yang terkumpul melalui retribusi penitipan sepeda.

Ada hal-hal yang menarik di balik seorang anak kecil bernama Mohamad Ponari, antara lain pertama ia menjadi sosok pahlawan bagi banyak orang karena ribuan pasien konon berhasil sembuh setelah jenuh berobat ke mana-mana tidak mendapatkan hasil, kemudian secara ekonomi Ponari telah mengangkat ratusan pedagang asongan, tukang ojek, warung nasi dadakan yang mendapatkan rezeki di sekitar tempat praktek si dukun. Kedua Ponari kecil berhasil menyugesti ribuan orang untuk mendapatkan kesembuhan. Barangkali seorang ahli hipnotis seperti Romy Rafael bisa jadi harus menengok si anak langka ini. Karena dalam satu hari ia melayani terapi sugesti kepada lima hingga limapuluh ribu orang. Subhanallah.

Meskipun fenomena Ponari menjadi oase bagi banyak kepentingan, ternyata apa yang telah dilakukannya menjadi kontra produktif setelah timbul korban meninggal dunia akibat terinjak pasien lain saat mengantri pengobatan. Ponari sendiri dan keluarganya kini menghadapi kelelahan fisik dan psikis akibat diserbu ribuan pasien setiap harinya.

Yang muncul kemudian sugesti Ponari yang pada awalnya produktif (bermanfaat) harus berhadapan dengan budaya latah masyarakat kita yang kontra produktif. Mengapa demikian? Karena kita cenderung memanjakan diri dengan kelatahan massal. Misalnya meskipun mengetahui sesuatu itu irasional, tidak sesuai dengan keyakinan maupun hati nurani, tetap kita lakukan karena orang lain pun melakukannya. Sehingga secara komunal kita merasa kuat sebab mendapat dukungan tindakan yang sama dari orang lain. Ya itulah kenyataan. Lagi-lagi memang dibutuhkan sebuah sikap berbeda agar tidak terjebak dalam kelatahan massal yang konon telah menjadi produk kebudayaan sebuah bangsa yang pernah menjadi emperium besar abad pertengahan.

Secara umum penulis memberanikan diri menarik sebuah simpulan, bahwa latah sekarang telah berkembang melewati batas waktu, tempat maupun peristiwa. Dengan lain perkataan penyakit latah telah berkembang menjadi sebuah produk kebudayaan. Meskipun lagi-lagi kebudayaan yang kontra produktif alias budaya sampah. Satu bukti penyakit latah ini bisa kita jumpai pada setiap sendi kehidupan, seperti pada busana, aksesoris, tata rias dan sebagainya. Begitu dasyatnya efek kelatahan massal ini sampai-sampai kita terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan, yaitu kehilangan nilai lama tetapi nilai baru belum ditemukan wujudnya.
Sering kita terbawa arus secara sengaja maupun ikut-ikutan menertawakan kelatahan teman kita yang notabene menderita penyakit latah sebenarnya. Sementara di sisi lain kita lupa dengan kelatahan budaya yang mendarah daging dalam jiwa kita sebagai manusia Indonesia yang konon dikenal memiliki budaya yang adiluhung.

Seorang Ponari memang telah menunjukkan bukti nyata sebuah pengorbanan, seperti dikatakan bangsawan Mongolia Temujin/ Gengis Khan, bahwa lebih baik menjadi lilin daripada mengutuk kegelapan. Tetapi haruskah kita tetap bertahan ikut-ikutan ngalap berkah atas keberadaan Ponari?
Latah! Lagi-lagi kita mengakrabinya tanpa ragu menjadi orang lain dan jengah menjadi diri sendiri. Apakah ini bukan suatu hal yang kontra produktif? Wallahualam.

*) Penulis adalah pegiat budaya dan pimpinan Sanggar Tari Lung Ayu Jombang.
e-mail : dians_lungayu@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar