Dian Sukarno *)
Mohamad Ponari, 9 tahun, warga desa Balongsari, Megaluh, Jombang, Jatim menjadi selebrita/ seleb berita dalam kurun waktu satu bulan terakhir setelah secara tidak sengaja selamat dari malapetaka petir pada suatu sore yang hujan. Dan berita pun cepat menyebar setelah media massa tanah air mengemas kejadian langka yang dialami Ponari sebagai suatu hal yang tidak terjangkau nalar/ logika. Nama Ponari pun melambung bak roket menembus kabut hitam angkasa tempat tinggalnya di sebuah dusun kecil sekitar delapan kilometer barat kota Jombang. Kepopuleran Ponari sanggub untuk sementara menghapus noda hitam berita Ryan si jagal dari Jombang.
Kisah hidup anak dusun Kedungsari, desa Balongsari, Megaluh, Jombang ini serta merta mengalami antiklimaks setelah diketahui ia menemukan batu yang konon dianggab bertuah karena bisa menjadi sarana pengobatan alternatif. Terlepas dari anggapan klenik dan sebagainya, tetapi fakta di lapangan kemudian mengangkat pamor Ponari sebagai dukun cilik atau dukun tiban menurut istilah desa Balongsari yang dianggab sakti mandraguna. Pasien pun berdatangan seperti rombongan wisatawan yang haus hiburan. Bahkan tidak hanya datang dari Indonesia melainkan sampai warga negara Malaysia rela mengantri bersama ribuan pasien lainnya.
Satu hari-dua hari, satu minggu-dua minggu, kelebihan Mohamad Ponari dielu-elukan tidak hanya keluarganya yang tergolong ekonomi lemah, tetapi juga masyarakat desa sekitar yang meraup keuntungan berlipat ganda atas kepopuleran sang dukun. Sampai-sampai desa Ponari bersolek membangun fasilitas jalan paving dari dana yang terkumpul melalui retribusi penitipan sepeda.
Ada hal-hal yang menarik di balik seorang anak kecil bernama Mohamad Ponari, antara lain pertama ia menjadi sosok pahlawan bagi banyak orang karena ribuan pasien konon berhasil sembuh setelah jenuh berobat ke mana-mana tidak mendapatkan hasil, kemudian secara ekonomi Ponari telah mengangkat ratusan pedagang asongan, tukang ojek, warung nasi dadakan yang mendapatkan rezeki di sekitar tempat praktek si dukun. Kedua Ponari kecil berhasil menyugesti ribuan orang untuk mendapatkan kesembuhan. Barangkali seorang ahli hipnotis seperti Romy Rafael bisa jadi harus menengok si anak langka ini. Karena dalam satu hari ia melayani terapi sugesti kepada lima hingga limapuluh ribu orang. Subhanallah.
Meskipun fenomena Ponari menjadi oase bagi banyak kepentingan, ternyata apa yang telah dilakukannya menjadi kontra produktif setelah timbul korban meninggal dunia akibat terinjak pasien lain saat mengantri pengobatan. Ponari sendiri dan keluarganya kini menghadapi kelelahan fisik dan psikis akibat diserbu ribuan pasien setiap harinya.
Yang muncul kemudian sugesti Ponari yang pada awalnya produktif (bermanfaat) harus berhadapan dengan budaya latah masyarakat kita yang kontra produktif. Mengapa demikian? Karena kita cenderung memanjakan diri dengan kelatahan massal. Misalnya meskipun mengetahui sesuatu itu irasional, tidak sesuai dengan keyakinan maupun hati nurani, tetap kita lakukan karena orang lain pun melakukannya. Sehingga secara komunal kita merasa kuat sebab mendapat dukungan tindakan yang sama dari orang lain. Ya itulah kenyataan. Lagi-lagi memang dibutuhkan sebuah sikap berbeda agar tidak terjebak dalam kelatahan massal yang konon telah menjadi produk kebudayaan sebuah bangsa yang pernah menjadi emperium besar abad pertengahan.
Secara umum penulis memberanikan diri menarik sebuah simpulan, bahwa latah sekarang telah berkembang melewati batas waktu, tempat maupun peristiwa. Dengan lain perkataan penyakit latah telah berkembang menjadi sebuah produk kebudayaan. Meskipun lagi-lagi kebudayaan yang kontra produktif alias budaya sampah. Satu bukti penyakit latah ini bisa kita jumpai pada setiap sendi kehidupan, seperti pada busana, aksesoris, tata rias dan sebagainya. Begitu dasyatnya efek kelatahan massal ini sampai-sampai kita terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan, yaitu kehilangan nilai lama tetapi nilai baru belum ditemukan wujudnya.
Sering kita terbawa arus secara sengaja maupun ikut-ikutan menertawakan kelatahan teman kita yang notabene menderita penyakit latah sebenarnya. Sementara di sisi lain kita lupa dengan kelatahan budaya yang mendarah daging dalam jiwa kita sebagai manusia Indonesia yang konon dikenal memiliki budaya yang adiluhung.
Seorang Ponari memang telah menunjukkan bukti nyata sebuah pengorbanan, seperti dikatakan bangsawan Mongolia Temujin/ Gengis Khan, bahwa lebih baik menjadi lilin daripada mengutuk kegelapan. Tetapi haruskah kita tetap bertahan ikut-ikutan ngalap berkah atas keberadaan Ponari?
Latah! Lagi-lagi kita mengakrabinya tanpa ragu menjadi orang lain dan jengah menjadi diri sendiri. Apakah ini bukan suatu hal yang kontra produktif? Wallahualam.
*) Penulis adalah pegiat budaya dan pimpinan Sanggar Tari Lung Ayu Jombang.
e-mail : dians_lungayu@yahoo.co.id
Mohamad Ponari, 9 tahun, warga desa Balongsari, Megaluh, Jombang, Jatim menjadi selebrita/ seleb berita dalam kurun waktu satu bulan terakhir setelah secara tidak sengaja selamat dari malapetaka petir pada suatu sore yang hujan. Dan berita pun cepat menyebar setelah media massa tanah air mengemas kejadian langka yang dialami Ponari sebagai suatu hal yang tidak terjangkau nalar/ logika. Nama Ponari pun melambung bak roket menembus kabut hitam angkasa tempat tinggalnya di sebuah dusun kecil sekitar delapan kilometer barat kota Jombang. Kepopuleran Ponari sanggub untuk sementara menghapus noda hitam berita Ryan si jagal dari Jombang.
Kisah hidup anak dusun Kedungsari, desa Balongsari, Megaluh, Jombang ini serta merta mengalami antiklimaks setelah diketahui ia menemukan batu yang konon dianggab bertuah karena bisa menjadi sarana pengobatan alternatif. Terlepas dari anggapan klenik dan sebagainya, tetapi fakta di lapangan kemudian mengangkat pamor Ponari sebagai dukun cilik atau dukun tiban menurut istilah desa Balongsari yang dianggab sakti mandraguna. Pasien pun berdatangan seperti rombongan wisatawan yang haus hiburan. Bahkan tidak hanya datang dari Indonesia melainkan sampai warga negara Malaysia rela mengantri bersama ribuan pasien lainnya.
Satu hari-dua hari, satu minggu-dua minggu, kelebihan Mohamad Ponari dielu-elukan tidak hanya keluarganya yang tergolong ekonomi lemah, tetapi juga masyarakat desa sekitar yang meraup keuntungan berlipat ganda atas kepopuleran sang dukun. Sampai-sampai desa Ponari bersolek membangun fasilitas jalan paving dari dana yang terkumpul melalui retribusi penitipan sepeda.
Ada hal-hal yang menarik di balik seorang anak kecil bernama Mohamad Ponari, antara lain pertama ia menjadi sosok pahlawan bagi banyak orang karena ribuan pasien konon berhasil sembuh setelah jenuh berobat ke mana-mana tidak mendapatkan hasil, kemudian secara ekonomi Ponari telah mengangkat ratusan pedagang asongan, tukang ojek, warung nasi dadakan yang mendapatkan rezeki di sekitar tempat praktek si dukun. Kedua Ponari kecil berhasil menyugesti ribuan orang untuk mendapatkan kesembuhan. Barangkali seorang ahli hipnotis seperti Romy Rafael bisa jadi harus menengok si anak langka ini. Karena dalam satu hari ia melayani terapi sugesti kepada lima hingga limapuluh ribu orang. Subhanallah.
Meskipun fenomena Ponari menjadi oase bagi banyak kepentingan, ternyata apa yang telah dilakukannya menjadi kontra produktif setelah timbul korban meninggal dunia akibat terinjak pasien lain saat mengantri pengobatan. Ponari sendiri dan keluarganya kini menghadapi kelelahan fisik dan psikis akibat diserbu ribuan pasien setiap harinya.
Yang muncul kemudian sugesti Ponari yang pada awalnya produktif (bermanfaat) harus berhadapan dengan budaya latah masyarakat kita yang kontra produktif. Mengapa demikian? Karena kita cenderung memanjakan diri dengan kelatahan massal. Misalnya meskipun mengetahui sesuatu itu irasional, tidak sesuai dengan keyakinan maupun hati nurani, tetap kita lakukan karena orang lain pun melakukannya. Sehingga secara komunal kita merasa kuat sebab mendapat dukungan tindakan yang sama dari orang lain. Ya itulah kenyataan. Lagi-lagi memang dibutuhkan sebuah sikap berbeda agar tidak terjebak dalam kelatahan massal yang konon telah menjadi produk kebudayaan sebuah bangsa yang pernah menjadi emperium besar abad pertengahan.
Secara umum penulis memberanikan diri menarik sebuah simpulan, bahwa latah sekarang telah berkembang melewati batas waktu, tempat maupun peristiwa. Dengan lain perkataan penyakit latah telah berkembang menjadi sebuah produk kebudayaan. Meskipun lagi-lagi kebudayaan yang kontra produktif alias budaya sampah. Satu bukti penyakit latah ini bisa kita jumpai pada setiap sendi kehidupan, seperti pada busana, aksesoris, tata rias dan sebagainya. Begitu dasyatnya efek kelatahan massal ini sampai-sampai kita terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan, yaitu kehilangan nilai lama tetapi nilai baru belum ditemukan wujudnya.
Sering kita terbawa arus secara sengaja maupun ikut-ikutan menertawakan kelatahan teman kita yang notabene menderita penyakit latah sebenarnya. Sementara di sisi lain kita lupa dengan kelatahan budaya yang mendarah daging dalam jiwa kita sebagai manusia Indonesia yang konon dikenal memiliki budaya yang adiluhung.
Seorang Ponari memang telah menunjukkan bukti nyata sebuah pengorbanan, seperti dikatakan bangsawan Mongolia Temujin/ Gengis Khan, bahwa lebih baik menjadi lilin daripada mengutuk kegelapan. Tetapi haruskah kita tetap bertahan ikut-ikutan ngalap berkah atas keberadaan Ponari?
Latah! Lagi-lagi kita mengakrabinya tanpa ragu menjadi orang lain dan jengah menjadi diri sendiri. Apakah ini bukan suatu hal yang kontra produktif? Wallahualam.
*) Penulis adalah pegiat budaya dan pimpinan Sanggar Tari Lung Ayu Jombang.
e-mail : dians_lungayu@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar