Selasa, 07 September 2010

LETUPAN KERINDUAN IDENTITAS

(Tanggapan Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto)
Dian Sukarno *)

Menyoal apa yang dipapar oleh kawan Fahrudin Nasrulloh penggiat sastra dari komunitas Lembah Pring berjudul Memperbincangkan Seni-Budaya Jombang pada Serambi Budaya Radar Mojokerto, Minggu,28 Maret 2009, sebuah pemikiran yang menggigit dan lontaran komentar nan nyengit. Tetapi itulah fakta dan kenyataan yang tidak layak untuk diingkari apalagi ditutupi. Ibarat borok sudah ngemburuk, andai luka telah bernanah-nanah. Memang! Kita selama ini (ndak seniman budayawannya, birokrasi, bahkan masyarakat) seolah mati rasa dengan ikon-ikon yang menyiratkan kita sebagai wong nJombang.
Kenyataan ini kemudian diungkap secara bernas oleh sahabat Fahrudin Nasrulloh dengan ketajaman pisau analisisnya. Tapi, sayangnya letupan kerinduan seorang pegiat seni yang coba membincang dan menarik temuan dari proses telusur itu membuahkan kesan cauvinistis! Ah…Bagaimana letupan kesadaran beridentitas itu harus dicap sebagai kedaerahan yang sempit?!

Fakta adanya wayang topeng Jatiduwur, Mbah Bolet, tradisi Sandur Manduro, dan Watu Gilang Tembelang (bukan Ploso seperti ditulis saudara Fahrudin) adalah bukti nyata yang tidak bisa dianggab remeh dan dipandang sebelah mata. Apalagi dari serangkaian temuan itu masih meninggalkan artefak-artefak sebagai bukti penting pengungkapan simpul sejarah. Misalnya pada topeng-topeng wayang topeng Jatiduwur masih dapat disaksikan surya Majapahit atau lambang kebesaran imperium (kerajaan besar) Majapahit. Hal ini membuktikan bahwa wayang topeng Jatiduwur adalah sisa-sisa produk peradaban kerajaan abad pertengahan itu. Sedangkan Mbah Bolet, meskipun hingga saat ini belum ditemukan tinggalan foto beliau, namun masih banyak saksi hidup yang bisa dijadikan rujukan mengungkap sosok sang maestro. Sedangkan topeng sandur Manduro, meskipun belum bisa dibuktikan muasal keberadaannya, sangat lekat dengan dugaan bahwa masyarakat pemilik tradisi topeng sandur adalah keturunan sisa-sisa prajurit Arya Wiraraja pada awal Majapahit dan Adipati Cakraningrat era Mataram Islam. Untuk situs Watu Gilang di Dusun Gilang, Desa Mojokrapak, kecamatan Tembelang semakin menguatkan daerah Tembelang sebagai pusat kerajaan Mataram Kuna Wangsa Isana seperti termuat dalam prasasti Turyyan tahun 929 Masehi yang ditemukan di desa Watugodeg, Tumpang, Malang.

Proses telusur dan penulisan sejarah sesuai kaidah historiografi patut dilakukan. Sehingga paling tidak ada pertanggungjawaban ilmiah yang mencerahkan. Tidak sebaliknya menjadi semacam pepesan kosong dan bualan di warung kopi. Seperti secara tersadar atau tidak sering kita lakukan.

Persoalan-persoalan yang muncul di wilayah komunitas seniman tradisipun tidak cukup hanya dinilai dengan label “keprihatinan”. Namun saya tidak menampik jika rasa prihatin itu diperlukan sebagai proses pematangan kondisi dan elemen-elemen pendukung dimana seni budaya itu berada. Lagi-lagi dibutuhkan satu kearifan dari para pegiat dan personal-personal yang secara sukarela maupun paksarela turut melebur dalam proses berkebudayaan.

Kisah traumatis Bu Darwati yang “terbuang” oleh ulah segelintir oknum ketika berpentas pada malam pelantikan Dewan Kesenian Jombang seolah menjadi pemandangan biasa. Sedangkan sesepuh seniman ludruk macam Pak Ali Markasa yang sengaja “pasang badan” memprotes birokrasi Paguyuban Ludruk Arek Jombang harus menelan kenyataan pahit suaranya tidak didengar oleh elit paguyuban. Karenanya tidak mengherankan jika beliau hanya mampu mengelus dada dan berekawicara,”Masyaallah...! Kok cik nemene Arek-arek iku?!”

Melihat langsung dinamika dan peta konflik di atas membuktikan telah terjadi persinggungan antara wilayah idealis kritis dan kepedulian berbau politis. Kedua mazhab ini berdiri kukuh pada isme-isme yang sudah terlanjur mereka yakini. Golongan idealis kritis terkesan lebih jujur memapar masalah dan berimaji akan solusi penanganannya. Sedangkan kelompok peduli berbau politis bisa jadi terus berhitung untung rugi akan proses berkebudayaan yang mereka lakoni.

Mendiang Presiden Soeharto pernah berpesan agar para pemimpin berhati-hati dengan para “pembisik”. Sehingga membincang lokalitas Jombang sebagai hibriditas budaya Arek (purwa) dan Mataraman (Pracima) terkait kepedulian Bupati Suyanto menjadi tokoh pengayom Paguyuban Ludruk Arek Jombang tidak tercoreng oleh ulah oknum-oknum yang memanfaatkan aji mumpung. Karena mengurusi kesenian sebagai anak emas kebudayaan bukanlah persoalan mudah. Gebrakan demi gebrakan pemimpin Jombang ini hendaknya dibarengi dengan memilih orang yang tepat untuk menjalankan roda organisasi seperti keberadaan Dekajo atau Dewan Kesenian Jombang yang baru orok.

Mengancang Jombang sebagai mercusuar kebudayaan, secara pribadi saya agak tidak optimis. Alasannya Jombang itu hanya alas (hutan) atau semacam kurungan. Sehingga noktah kecil di tengah peta wilayah Jawa Timur bernama Jombang ini hanya nama yang menempel pada kualitas tindakan warganya. Jika orang di luar sana banyak mengenal tokoh-tokoh besar berasal dari Jombang, itu karena tokoh-tokoh itu menjadi besar bukan karena Jombang! Melainkan menjadi agung karena tindakan dan ucapannya semata. Seperti kata pepatah siapa yang menanam akan menuai hasilnya.

Proses telusur sejarah dan berkebudayaan yang digerakkan oleh pribadi-pribadi warga Jombang sekarang ini akan menjadikan mereka abadi dalam catatan sejarah. Torehan prestasi warga Jombang tersebut adalah rekaman peristiwa yang pasti bermanfaat untuk anak cucu kelak. Sehingga letupan kerinduan identitas ini tidak bermuara pada paham kedaerahan yang sempit (cauvinistis). Semoga…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar