(Tanggapan Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto)
Dian Sukarno *)
Menyoal apa yang dipapar oleh kawan Fahrudin Nasrulloh penggiat sastra dari komunitas Lembah Pring berjudul Memperbincangkan Seni-Budaya Jombang pada Serambi Budaya Radar Mojokerto, Minggu,28 Maret 2009, sebuah pemikiran yang menggigit dan lontaran komentar nan nyengit. Tetapi itulah fakta dan kenyataan yang tidak layak untuk diingkari apalagi ditutupi. Ibarat borok sudah ngemburuk, andai luka telah bernanah-nanah. Memang! Kita selama ini (ndak seniman budayawannya, birokrasi, bahkan masyarakat) seolah mati rasa dengan ikon-ikon yang menyiratkan kita sebagai wong nJombang.
Kenyataan ini kemudian diungkap secara bernas oleh sahabat Fahrudin Nasrulloh dengan ketajaman pisau analisisnya. Tapi, sayangnya letupan kerinduan seorang pegiat seni yang coba membincang dan menarik temuan dari proses telusur itu membuahkan kesan cauvinistis! Ah…Bagaimana letupan kesadaran beridentitas itu harus dicap sebagai kedaerahan yang sempit?!
Fakta adanya wayang topeng Jatiduwur, Mbah Bolet, tradisi Sandur Manduro, dan Watu Gilang Tembelang (bukan Ploso seperti ditulis saudara Fahrudin) adalah bukti nyata yang tidak bisa dianggab remeh dan dipandang sebelah mata. Apalagi dari serangkaian temuan itu masih meninggalkan artefak-artefak sebagai bukti penting pengungkapan simpul sejarah. Misalnya pada topeng-topeng wayang topeng Jatiduwur masih dapat disaksikan surya Majapahit atau lambang kebesaran imperium (kerajaan besar) Majapahit. Hal ini membuktikan bahwa wayang topeng Jatiduwur adalah sisa-sisa produk peradaban kerajaan abad pertengahan itu. Sedangkan Mbah Bolet, meskipun hingga saat ini belum ditemukan tinggalan foto beliau, namun masih banyak saksi hidup yang bisa dijadikan rujukan mengungkap sosok sang maestro. Sedangkan topeng sandur Manduro, meskipun belum bisa dibuktikan muasal keberadaannya, sangat lekat dengan dugaan bahwa masyarakat pemilik tradisi topeng sandur adalah keturunan sisa-sisa prajurit Arya Wiraraja pada awal Majapahit dan Adipati Cakraningrat era Mataram Islam. Untuk situs Watu Gilang di Dusun Gilang, Desa Mojokrapak, kecamatan Tembelang semakin menguatkan daerah Tembelang sebagai pusat kerajaan Mataram Kuna Wangsa Isana seperti termuat dalam prasasti Turyyan tahun 929 Masehi yang ditemukan di desa Watugodeg, Tumpang, Malang.
Proses telusur dan penulisan sejarah sesuai kaidah historiografi patut dilakukan. Sehingga paling tidak ada pertanggungjawaban ilmiah yang mencerahkan. Tidak sebaliknya menjadi semacam pepesan kosong dan bualan di warung kopi. Seperti secara tersadar atau tidak sering kita lakukan.
Persoalan-persoalan yang muncul di wilayah komunitas seniman tradisipun tidak cukup hanya dinilai dengan label “keprihatinan”. Namun saya tidak menampik jika rasa prihatin itu diperlukan sebagai proses pematangan kondisi dan elemen-elemen pendukung dimana seni budaya itu berada. Lagi-lagi dibutuhkan satu kearifan dari para pegiat dan personal-personal yang secara sukarela maupun paksarela turut melebur dalam proses berkebudayaan.
Kisah traumatis Bu Darwati yang “terbuang” oleh ulah segelintir oknum ketika berpentas pada malam pelantikan Dewan Kesenian Jombang seolah menjadi pemandangan biasa. Sedangkan sesepuh seniman ludruk macam Pak Ali Markasa yang sengaja “pasang badan” memprotes birokrasi Paguyuban Ludruk Arek Jombang harus menelan kenyataan pahit suaranya tidak didengar oleh elit paguyuban. Karenanya tidak mengherankan jika beliau hanya mampu mengelus dada dan berekawicara,”Masyaallah...! Kok cik nemene Arek-arek iku?!”
Melihat langsung dinamika dan peta konflik di atas membuktikan telah terjadi persinggungan antara wilayah idealis kritis dan kepedulian berbau politis. Kedua mazhab ini berdiri kukuh pada isme-isme yang sudah terlanjur mereka yakini. Golongan idealis kritis terkesan lebih jujur memapar masalah dan berimaji akan solusi penanganannya. Sedangkan kelompok peduli berbau politis bisa jadi terus berhitung untung rugi akan proses berkebudayaan yang mereka lakoni.
Mendiang Presiden Soeharto pernah berpesan agar para pemimpin berhati-hati dengan para “pembisik”. Sehingga membincang lokalitas Jombang sebagai hibriditas budaya Arek (purwa) dan Mataraman (Pracima) terkait kepedulian Bupati Suyanto menjadi tokoh pengayom Paguyuban Ludruk Arek Jombang tidak tercoreng oleh ulah oknum-oknum yang memanfaatkan aji mumpung. Karena mengurusi kesenian sebagai anak emas kebudayaan bukanlah persoalan mudah. Gebrakan demi gebrakan pemimpin Jombang ini hendaknya dibarengi dengan memilih orang yang tepat untuk menjalankan roda organisasi seperti keberadaan Dekajo atau Dewan Kesenian Jombang yang baru orok.
Mengancang Jombang sebagai mercusuar kebudayaan, secara pribadi saya agak tidak optimis. Alasannya Jombang itu hanya alas (hutan) atau semacam kurungan. Sehingga noktah kecil di tengah peta wilayah Jawa Timur bernama Jombang ini hanya nama yang menempel pada kualitas tindakan warganya. Jika orang di luar sana banyak mengenal tokoh-tokoh besar berasal dari Jombang, itu karena tokoh-tokoh itu menjadi besar bukan karena Jombang! Melainkan menjadi agung karena tindakan dan ucapannya semata. Seperti kata pepatah siapa yang menanam akan menuai hasilnya.
Proses telusur sejarah dan berkebudayaan yang digerakkan oleh pribadi-pribadi warga Jombang sekarang ini akan menjadikan mereka abadi dalam catatan sejarah. Torehan prestasi warga Jombang tersebut adalah rekaman peristiwa yang pasti bermanfaat untuk anak cucu kelak. Sehingga letupan kerinduan identitas ini tidak bermuara pada paham kedaerahan yang sempit (cauvinistis). Semoga…
Dian Sukarno *)
Menyoal apa yang dipapar oleh kawan Fahrudin Nasrulloh penggiat sastra dari komunitas Lembah Pring berjudul Memperbincangkan Seni-Budaya Jombang pada Serambi Budaya Radar Mojokerto, Minggu,28 Maret 2009, sebuah pemikiran yang menggigit dan lontaran komentar nan nyengit. Tetapi itulah fakta dan kenyataan yang tidak layak untuk diingkari apalagi ditutupi. Ibarat borok sudah ngemburuk, andai luka telah bernanah-nanah. Memang! Kita selama ini (ndak seniman budayawannya, birokrasi, bahkan masyarakat) seolah mati rasa dengan ikon-ikon yang menyiratkan kita sebagai wong nJombang.
Kenyataan ini kemudian diungkap secara bernas oleh sahabat Fahrudin Nasrulloh dengan ketajaman pisau analisisnya. Tapi, sayangnya letupan kerinduan seorang pegiat seni yang coba membincang dan menarik temuan dari proses telusur itu membuahkan kesan cauvinistis! Ah…Bagaimana letupan kesadaran beridentitas itu harus dicap sebagai kedaerahan yang sempit?!
Fakta adanya wayang topeng Jatiduwur, Mbah Bolet, tradisi Sandur Manduro, dan Watu Gilang Tembelang (bukan Ploso seperti ditulis saudara Fahrudin) adalah bukti nyata yang tidak bisa dianggab remeh dan dipandang sebelah mata. Apalagi dari serangkaian temuan itu masih meninggalkan artefak-artefak sebagai bukti penting pengungkapan simpul sejarah. Misalnya pada topeng-topeng wayang topeng Jatiduwur masih dapat disaksikan surya Majapahit atau lambang kebesaran imperium (kerajaan besar) Majapahit. Hal ini membuktikan bahwa wayang topeng Jatiduwur adalah sisa-sisa produk peradaban kerajaan abad pertengahan itu. Sedangkan Mbah Bolet, meskipun hingga saat ini belum ditemukan tinggalan foto beliau, namun masih banyak saksi hidup yang bisa dijadikan rujukan mengungkap sosok sang maestro. Sedangkan topeng sandur Manduro, meskipun belum bisa dibuktikan muasal keberadaannya, sangat lekat dengan dugaan bahwa masyarakat pemilik tradisi topeng sandur adalah keturunan sisa-sisa prajurit Arya Wiraraja pada awal Majapahit dan Adipati Cakraningrat era Mataram Islam. Untuk situs Watu Gilang di Dusun Gilang, Desa Mojokrapak, kecamatan Tembelang semakin menguatkan daerah Tembelang sebagai pusat kerajaan Mataram Kuna Wangsa Isana seperti termuat dalam prasasti Turyyan tahun 929 Masehi yang ditemukan di desa Watugodeg, Tumpang, Malang.
Proses telusur dan penulisan sejarah sesuai kaidah historiografi patut dilakukan. Sehingga paling tidak ada pertanggungjawaban ilmiah yang mencerahkan. Tidak sebaliknya menjadi semacam pepesan kosong dan bualan di warung kopi. Seperti secara tersadar atau tidak sering kita lakukan.
Persoalan-persoalan yang muncul di wilayah komunitas seniman tradisipun tidak cukup hanya dinilai dengan label “keprihatinan”. Namun saya tidak menampik jika rasa prihatin itu diperlukan sebagai proses pematangan kondisi dan elemen-elemen pendukung dimana seni budaya itu berada. Lagi-lagi dibutuhkan satu kearifan dari para pegiat dan personal-personal yang secara sukarela maupun paksarela turut melebur dalam proses berkebudayaan.
Kisah traumatis Bu Darwati yang “terbuang” oleh ulah segelintir oknum ketika berpentas pada malam pelantikan Dewan Kesenian Jombang seolah menjadi pemandangan biasa. Sedangkan sesepuh seniman ludruk macam Pak Ali Markasa yang sengaja “pasang badan” memprotes birokrasi Paguyuban Ludruk Arek Jombang harus menelan kenyataan pahit suaranya tidak didengar oleh elit paguyuban. Karenanya tidak mengherankan jika beliau hanya mampu mengelus dada dan berekawicara,”Masyaallah...! Kok cik nemene Arek-arek iku?!”
Melihat langsung dinamika dan peta konflik di atas membuktikan telah terjadi persinggungan antara wilayah idealis kritis dan kepedulian berbau politis. Kedua mazhab ini berdiri kukuh pada isme-isme yang sudah terlanjur mereka yakini. Golongan idealis kritis terkesan lebih jujur memapar masalah dan berimaji akan solusi penanganannya. Sedangkan kelompok peduli berbau politis bisa jadi terus berhitung untung rugi akan proses berkebudayaan yang mereka lakoni.
Mendiang Presiden Soeharto pernah berpesan agar para pemimpin berhati-hati dengan para “pembisik”. Sehingga membincang lokalitas Jombang sebagai hibriditas budaya Arek (purwa) dan Mataraman (Pracima) terkait kepedulian Bupati Suyanto menjadi tokoh pengayom Paguyuban Ludruk Arek Jombang tidak tercoreng oleh ulah oknum-oknum yang memanfaatkan aji mumpung. Karena mengurusi kesenian sebagai anak emas kebudayaan bukanlah persoalan mudah. Gebrakan demi gebrakan pemimpin Jombang ini hendaknya dibarengi dengan memilih orang yang tepat untuk menjalankan roda organisasi seperti keberadaan Dekajo atau Dewan Kesenian Jombang yang baru orok.
Mengancang Jombang sebagai mercusuar kebudayaan, secara pribadi saya agak tidak optimis. Alasannya Jombang itu hanya alas (hutan) atau semacam kurungan. Sehingga noktah kecil di tengah peta wilayah Jawa Timur bernama Jombang ini hanya nama yang menempel pada kualitas tindakan warganya. Jika orang di luar sana banyak mengenal tokoh-tokoh besar berasal dari Jombang, itu karena tokoh-tokoh itu menjadi besar bukan karena Jombang! Melainkan menjadi agung karena tindakan dan ucapannya semata. Seperti kata pepatah siapa yang menanam akan menuai hasilnya.
Proses telusur sejarah dan berkebudayaan yang digerakkan oleh pribadi-pribadi warga Jombang sekarang ini akan menjadikan mereka abadi dalam catatan sejarah. Torehan prestasi warga Jombang tersebut adalah rekaman peristiwa yang pasti bermanfaat untuk anak cucu kelak. Sehingga letupan kerinduan identitas ini tidak bermuara pada paham kedaerahan yang sempit (cauvinistis). Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar