Dian Sukarno *)
Pelajaran Sejarah pada hakekatnya adalah memperkenalkan manusia yang berjuang kepada manusia yang sedang berjuang (R.Moh.Ali,2005:352). Karena itu diperlukan strategi yang tepat agar generasi sekarang tidak gagab terhadap sejarah bangsanya. Peran guru sebagai pendidik sangat menentukan keberhasilan pencapaian hasil pelajaran sejarah. Dalam hal ini guru-guru sejarah harus memiliki kemampuan penceritaan sejarah yang diharapkan nilai-nilai kejuangan dapat ditransformasikan kepada peserta didik yang notabene sebagai generasi penerus.
Satu fakta ketika penulis menjadi salah satu narasumber bidang sejarah dan budaya pada pemilihan Duta Wisata kabupaten Jombang beberapa waktu yang lalu, ternyata dari puluhan peserta pemilihan Duta Wisata tersebut tidak satupun yang dapat menceritakan, meski sedikit sejarah daerahnya. Mereka beralasan pelajaran sejarah membuat mata mereka mengantuk. Nah! Itulah fakta yang dihadapi tidak hanya kabupaten Jombang dalam skup kecil, melainkan juga problem secara nasional, dan ini berbahaya sekali bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diingatkan Bung Karno sebagai salah satu founding fathers atau pendiri negara, Jas Merah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Memang banyak cara untuk mengenalkan dan mengingatkan warga masyarakat terutama pelajar tentang arti penting sejarah. Di antaranya melalui pemakaian nama-nama tokoh daerah maupun non daerah pada jalan-jalan, baik jalan utama maupun biasa. Sehingga paling tidak ketika kita melintas di salah satu jalan, aroma nilai kejuangan tokoh bersangkutan dapat mempengaruhi keseharian kita. Misalnya jalan KH Wahid Hasyim dan KH Hasyim Asy’ari, akan mengingatkan kita pada sosok pahlawan nasional asal Tebuireng. Jalan KH Wahab Chasbulloh, akan mengingatkan kita pejuang kemerdekaan pendiri pondok pesantren Tambakberas dan lain-lain.
Sayangnya upaya pemberian nama tokoh-tokoh maupun peristiwa yang berkait erat dengan sejarah pada ruas-ruas jalan yang ada di kabupaten Jombang sebagian besar terkesan tidak dilakukan secara serius. Artinya tidak disertai kajian historiografi atau metode penulisan sejarah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menguatkan nama jalan bersangkutan. Sebaliknya ada penamaan jalan yang sudah tepat, tetapi pada perkembangannya diubah secara membabibuta oleh perangkat birokrasi yang sangat gagab sejarah. Sebagai contoh misalnya Jalan Pahlawan di sebelah utara kantor PLN, nama jalan Pahlawan ada karena salah seorang pejuang kemerdekaan asal Jombang yang gugur pertama kali pada peristiwa 10 Nopember Surabaya adalah orang Wersah. Untuk memberi penghormatan kepada jasa pejuang tadi, maka jalan yang melintasi wilayah Wersah, kecamatan Jombang dinamakan Jalan Pahlawan. Kemudian tanpa alasan yang jelas nama itu diganti menjadi jalan Siliwangi. Waduh! Seandainya yang mengubah itu paham sejarah tidak akan terjadi hal demikian. Untungnya kemudian nama jalan Pahlawan dikembalikan lagi seperti semula.
Kesadaran untuk mengabadikan nama tokoh setempat sebagai nama jalan rupanya cukup disadari oleh warga desa Mojokrapak, kecamatan Tembelang, Jombang. Hal ini patut diacungi jempol mengingat kesadaran itu tumbuh justru dari kalangan masyarakat desa, sangat paradoksal dengan penggantian nama jalan Pahlawan yang saya sebutkan di atas. Nama-nama tokoh yang dianggab cukup berjasa bagi sejarah desa Mojokrapak diabadikan cukup manis tanpa mengurangi rasa hormat berlebihan yang mengarah pada kultus individu.
Ada empat nama tokoh yang sempat penulis catat, antara lain; pertama Jalan Abd. Kharim, nama ini adalah tokoh pejuang asal Sendang Duwur Gresik yang datang di Mojokrapak sebelum adanya sistem pemerintahan yang lengkap seperti sekarang.
Kedua Jalan Sumo Prawiro Dirjo, nama kepala desa II Mojokrapak.
Ketiga Jalan KH Tamjis pejuang sekaligus tokoh agama.
Keempat Jalan Paidin, sebagai tokoh kepala desa ketiga desa setempat.
Memang belum ada penelitian secara langsung korelasi penamaan jalan dengan tokoh atau peristiwa sejarah. Namun upaya pemerintah kabupaten Jombang untuk mengabadikan nama besar Gus Dur sebagai Bapak Bangsa pada salah satu ruas jalan di kabupaten Jombang ibarat oase di padang gersang. Meskipun belum diwujudkan paling tidak kesadaran menghormati tokoh besar dari daerah mulai bergeliat. Semoga upaya ini tidak berhenti hanya pada nama Gus Dur, karena banyak tokoh nasional maupun internasional asal kabupaten Jombang yang patut untuk diabadikan menjadi nama-nama jalan. Ke depan penulis berharap agar nama-nama yang sangat layak diabadikan sebagai nama jalan tidak sebatas pada tokoh politik ataupun kebangsaan, melainkan juga tokoh-tokoh seniman, ulama yang memberi kontribusi sangat besar pada keharuman nama Jombang, Jawa Timur, bahkan Indonesia.
Tokoh ulama misalnya KH Bisri S. dari Denanyar, Pangeran Benowo asal Jipang Panolan Demak yang diduga makamnya di Wonosalam. Tokoh seni seperti Sastro Bolet Amenan pencipta remo boletan asal Tawangsari, Gombloh musikus asal Tawangsari, Jombang, Markeso tokoh kidungan garingan kini dimakamkan di desa Tunggorono, dan Cak Durasim orang Kaliwungu yang membawa ludruk ke Surabaya. Tokoh-tokoh seperti Kanjeng Bupati Jombang juga sangat pantas untuk diabadikan. Sehingga kelak generasi muda Jombang tidak asing dengan nama-nama Kanjeng Suroadiningrat sebagai bupati Jombang pertama dan lain-lain.
Ada baiknya kita renungkan kata mutiara yang berbunyi,”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa pahlawannya.” Salah satu bentuk penghargaan dimaksud adalah mengabadikan nama-nama beliau pada ruas-ruas jalan yang kita miliki. Karena para pahlawan mempunyai semangat juang yang tetap abadi meskipun zaman terus berganti. Sehingga dengan langkah sederhana ini kita tidak lagi gagab akan sejarah kebesaran bangsa. Kita akan bangga karena Sejarah telah diabadikan di sepanjang jalan yang kita punya.
Pelajaran Sejarah pada hakekatnya adalah memperkenalkan manusia yang berjuang kepada manusia yang sedang berjuang (R.Moh.Ali,2005:352). Karena itu diperlukan strategi yang tepat agar generasi sekarang tidak gagab terhadap sejarah bangsanya. Peran guru sebagai pendidik sangat menentukan keberhasilan pencapaian hasil pelajaran sejarah. Dalam hal ini guru-guru sejarah harus memiliki kemampuan penceritaan sejarah yang diharapkan nilai-nilai kejuangan dapat ditransformasikan kepada peserta didik yang notabene sebagai generasi penerus.
Satu fakta ketika penulis menjadi salah satu narasumber bidang sejarah dan budaya pada pemilihan Duta Wisata kabupaten Jombang beberapa waktu yang lalu, ternyata dari puluhan peserta pemilihan Duta Wisata tersebut tidak satupun yang dapat menceritakan, meski sedikit sejarah daerahnya. Mereka beralasan pelajaran sejarah membuat mata mereka mengantuk. Nah! Itulah fakta yang dihadapi tidak hanya kabupaten Jombang dalam skup kecil, melainkan juga problem secara nasional, dan ini berbahaya sekali bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diingatkan Bung Karno sebagai salah satu founding fathers atau pendiri negara, Jas Merah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Memang banyak cara untuk mengenalkan dan mengingatkan warga masyarakat terutama pelajar tentang arti penting sejarah. Di antaranya melalui pemakaian nama-nama tokoh daerah maupun non daerah pada jalan-jalan, baik jalan utama maupun biasa. Sehingga paling tidak ketika kita melintas di salah satu jalan, aroma nilai kejuangan tokoh bersangkutan dapat mempengaruhi keseharian kita. Misalnya jalan KH Wahid Hasyim dan KH Hasyim Asy’ari, akan mengingatkan kita pada sosok pahlawan nasional asal Tebuireng. Jalan KH Wahab Chasbulloh, akan mengingatkan kita pejuang kemerdekaan pendiri pondok pesantren Tambakberas dan lain-lain.
Sayangnya upaya pemberian nama tokoh-tokoh maupun peristiwa yang berkait erat dengan sejarah pada ruas-ruas jalan yang ada di kabupaten Jombang sebagian besar terkesan tidak dilakukan secara serius. Artinya tidak disertai kajian historiografi atau metode penulisan sejarah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menguatkan nama jalan bersangkutan. Sebaliknya ada penamaan jalan yang sudah tepat, tetapi pada perkembangannya diubah secara membabibuta oleh perangkat birokrasi yang sangat gagab sejarah. Sebagai contoh misalnya Jalan Pahlawan di sebelah utara kantor PLN, nama jalan Pahlawan ada karena salah seorang pejuang kemerdekaan asal Jombang yang gugur pertama kali pada peristiwa 10 Nopember Surabaya adalah orang Wersah. Untuk memberi penghormatan kepada jasa pejuang tadi, maka jalan yang melintasi wilayah Wersah, kecamatan Jombang dinamakan Jalan Pahlawan. Kemudian tanpa alasan yang jelas nama itu diganti menjadi jalan Siliwangi. Waduh! Seandainya yang mengubah itu paham sejarah tidak akan terjadi hal demikian. Untungnya kemudian nama jalan Pahlawan dikembalikan lagi seperti semula.
Kesadaran untuk mengabadikan nama tokoh setempat sebagai nama jalan rupanya cukup disadari oleh warga desa Mojokrapak, kecamatan Tembelang, Jombang. Hal ini patut diacungi jempol mengingat kesadaran itu tumbuh justru dari kalangan masyarakat desa, sangat paradoksal dengan penggantian nama jalan Pahlawan yang saya sebutkan di atas. Nama-nama tokoh yang dianggab cukup berjasa bagi sejarah desa Mojokrapak diabadikan cukup manis tanpa mengurangi rasa hormat berlebihan yang mengarah pada kultus individu.
Ada empat nama tokoh yang sempat penulis catat, antara lain; pertama Jalan Abd. Kharim, nama ini adalah tokoh pejuang asal Sendang Duwur Gresik yang datang di Mojokrapak sebelum adanya sistem pemerintahan yang lengkap seperti sekarang.
Kedua Jalan Sumo Prawiro Dirjo, nama kepala desa II Mojokrapak.
Ketiga Jalan KH Tamjis pejuang sekaligus tokoh agama.
Keempat Jalan Paidin, sebagai tokoh kepala desa ketiga desa setempat.
Memang belum ada penelitian secara langsung korelasi penamaan jalan dengan tokoh atau peristiwa sejarah. Namun upaya pemerintah kabupaten Jombang untuk mengabadikan nama besar Gus Dur sebagai Bapak Bangsa pada salah satu ruas jalan di kabupaten Jombang ibarat oase di padang gersang. Meskipun belum diwujudkan paling tidak kesadaran menghormati tokoh besar dari daerah mulai bergeliat. Semoga upaya ini tidak berhenti hanya pada nama Gus Dur, karena banyak tokoh nasional maupun internasional asal kabupaten Jombang yang patut untuk diabadikan menjadi nama-nama jalan. Ke depan penulis berharap agar nama-nama yang sangat layak diabadikan sebagai nama jalan tidak sebatas pada tokoh politik ataupun kebangsaan, melainkan juga tokoh-tokoh seniman, ulama yang memberi kontribusi sangat besar pada keharuman nama Jombang, Jawa Timur, bahkan Indonesia.
Tokoh ulama misalnya KH Bisri S. dari Denanyar, Pangeran Benowo asal Jipang Panolan Demak yang diduga makamnya di Wonosalam. Tokoh seni seperti Sastro Bolet Amenan pencipta remo boletan asal Tawangsari, Gombloh musikus asal Tawangsari, Jombang, Markeso tokoh kidungan garingan kini dimakamkan di desa Tunggorono, dan Cak Durasim orang Kaliwungu yang membawa ludruk ke Surabaya. Tokoh-tokoh seperti Kanjeng Bupati Jombang juga sangat pantas untuk diabadikan. Sehingga kelak generasi muda Jombang tidak asing dengan nama-nama Kanjeng Suroadiningrat sebagai bupati Jombang pertama dan lain-lain.
Ada baiknya kita renungkan kata mutiara yang berbunyi,”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa pahlawannya.” Salah satu bentuk penghargaan dimaksud adalah mengabadikan nama-nama beliau pada ruas-ruas jalan yang kita miliki. Karena para pahlawan mempunyai semangat juang yang tetap abadi meskipun zaman terus berganti. Sehingga dengan langkah sederhana ini kita tidak lagi gagab akan sejarah kebesaran bangsa. Kita akan bangga karena Sejarah telah diabadikan di sepanjang jalan yang kita punya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar