Sabtu, 11 September 2010

SEPASANG TINTA EMAS

Aang Fatihul Islam

Pagi itu langit begitu cerah dihiasi indahnya awan putih yang berjalan begitu lembut bersama terangnya sinar matahari yang baru muncul dari biliknya. Beragam aktifitas mulai bertebaran di kota pahlawan dalam percikan-percikan semangat sesegar embun pagi dan sepanas sang matahari. Tiba-tiba melintas sesosok pemuda dengan sorot matanya yang begitu tajam dihiasi dengan alis tebal yang tertata rapi di atas matanya. Pemuda itu postur tubuhnya kekar dengan kulit sawo matang, rambut panjang sebahu dengan kaos oblong hitam dan celana jeans biru tua compang-camping terkesan seperti tampang preman berjalan menelusuri kota Surabaya.
Orang sering menyebut nama akrab pemuda itu dengan panggilan Jatmiko, dia adalah seorang pemuda yang suka menelusuri jalan, nongkrong di warung kopi bersama teman-temannya untuk berdiskusi dan menyendiri di tempat yang sunyi ketika butuh ketenangan, menyegarkan fikirannya yang kalut agar kembali jernih lagi. Dia suka membawa buku untuk dibaca ketika ada waktu luang dan mendiskusikan hasil bacaannya bersama teman-temannya dengan harapan untuk menambah pengetahuan akan banyak hal sehinggah tidak buta terhadap realitas.

Siang itu terik matahari begitu terang dan menyengat kulit, sebuah kebetulan yang terjadi secara tidak kebetulan Jatmiko bertemu dengan seorang gadis cantik di suatu tempat dimana dia suka menyendiri untuk merenung, tepatnya di lembah pandalawangi. Dia takjub, kenapa gadis secantik itu juga suka menyendiri di tempat seperti ini. “Mungkin dia juga mencari ketenangan atau inspirasi sama seperti aku” (Hati Jatmiko berbisik). Gadis itu begitu anggun dengan badan tinggi semampai dan rambut panjang terurai, sorot matanya begitu indah dengan lekukan alis yang membingkai bentuk bulan sabit bagaikan seorang bidadari yang baru turun dari kayangan, entah apa lagi yang bisa buat menggambarkan sesosok gadis itu. Jatmiko begitu terpesona melihat gadis itu dan desakan dalam hati kecilnya membuatnya ia memberanikan diri untuk menyapa gadis itu dengan suara lembut “ada yang bisa saya bantu mbak?” (dengan cuek gadis itu memalingkan muka). Jatmiko menggiring lagi pertanyaanya “namanya siapa mbak? Rumahnya mana?” (gadis itu tetap tidak menggubris Jatmiko, seakan dia ketakutan dengan tampang Jatmiko yang mirip preman).

Hari berikutnya tepatnya di pagi hari tanpa sengaja Jatmiko bertemu lagi dengan gadis itu di jalan ketika gadis itu mengendarai mobil yang begitu mewah untuk ukuran orang kaya dengan merek BMW. Jatmiko mencoba untuk menyapanya tetapi lagi-lagi Jatmiko tidak diperhatikan seakan gadis itu ketakutan dengan tampang Jatmiko yang terlihat tidak rapi dan acak-acakan seakan penampilannya mewakili sebuah gambaran kebobrokan akan moralnya. Sikap apatis itu telah merobohkan pertahanan hati Jatmiko menjadi kejengkelan yang membeku . Hati Jatmiko berontak dengan lontaran-lontaran suara “Kenapa gadis itu melihatnya hanya dari tampangku yang mirip preman?, kenapa semuanya harus hanya dilihat dari kulit luarnya saja?adakah tidak ada sedikitpun pandangan positif terhadap orang yang bertampang preman?”.

Dibalik tampangnya yang tidak meyakinkan, sebenarnya Jatmiko adalah pemuda yang punya kecerdasan dan ketajaman pemikiran. Tampangnya yang seperti sekarang ini adalah pengaruh dari cara berfikir dia yang lebih mendahulukan substansi daripada kulit luar belaka. Penampilannya sebenarnya hanya digunakan untuk mengelabuhi siapa dia sebenarnya. Itulah manusia seringkali sampul luarnya yang dilihat dan menjastifikasi sesuai dengan penampilan tanpa mau tahu hati dan kepribadiannya. Orang akan lebih menghormati pengusaha yang berdandan rapi dan berkendaraan mewah dari pada seorang pahlawan yang menyamar jadi seorang gembel, ataupun seorang wali yang menyamar jadi pengemis. Tentu itu adalah sebuah cara berfikir yang tidak adil karena keluasan pengetahuan yang dimiliki ternyata tidak mempengaruhi untuk berfikir secara holistik tidak berfikir secara parsial saja.

Jatmiko seorang pemuda yang bisa dibilang kritis. Seringkali dia melakukan inovasi pemikiran, melahirkan ide-ide baru yang cemerlang, akan tetapi mungkin karena ketererbatasannya seringkali perkataannya tidak dihiraukan orang. Dia hanya dianggap orang yang tidak waras dan membual saja. Mungkin karena penampilannya yang sangat tidak meyakinkanlah yang membuat dia seringkali tidak dihargai, padahal pemikirannya selalu cemerlang dan penuh dengan pembaharuan. Dalam hati kecilnya Jatmiko bergumam dan menyimpan dendam positif yang terbingkai dalam pemberontakan akan kemapanan yang sangat menjengkelkannya. Dalam hati kecilnya tersimpan rapi ungkapan “suatu hari nanti ia ingin membuktikan bahwa dibalik bentuk kulit rambutan yang kasar menyimpan isi yang begitu lembut, dibalik penampilan luar seseorang tidak selalu merepresentasikan kepribadian seseorang”. Lingkungan kehidupan Jatmiko masih kental dengan kultur yang ada di jawa yang seringkali beranggapan bahwa penampilan luar menentukan isi, sehinggah ketika ada rambutan yang luarnya kasar maka dalamnya juga dianggap kasar, begitu juga dengan kedondong yang luarnya halus maka dalamnya pasti juga halus. Itulah kebiasaan asumsi yang salah dari orang jawa dan Jatmiko ingin meruntuhkan semua persepsi-persepsi salah yang sudah mendarah daging itu.

Dalam guratan kejengkelan hatinya pada sang gadis, sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa disadari ada benih-benih cinta yang terkubur dalam relung hati yang paling dalam. Keangkuhan gadis itu telah memotivasi seorang Jatmiko untuk menunjukkan pada dunia bahwa seorang yang selama ini diannggap preman dan sampah bisa membalik dunia dengan telapak tangannya. Kecuekan itu juga telah mencubiti otak jatmiko yang telah lama tertidur dan segera bangun untuk terbang ke angkasa. Seakan-akan dalam kehidupan Jatmiko yang kurang terarah karena keliaran pemikirannya berubah arah Sembilan puluh derajat untuk berlari kencang mencapai puncak gunung es cita-cita dan menyambut pagi yang cerah. Seringkali seseorang baru akan bangun dari ketidaksadaran dan tidur yang panjang manakala ada kekuatan kontradiktif yang dahsyat, walaupun dimulai dengan kekecewaan dan pemberontakan akan tetapi hal itu akan segera berubah menjadi hawa segar yang menyeret ketidaksadaran yang tidak disadari dalam asupan cahaya terang dan segera bangun untuk memperbaiki diri.

Sore itu angin berhembus begitu berirama berpadu dengan kicauan burung yang begitu menggema dan rancak, tiba-tiba ada kekuatan dahsyat yang menggiring hati Jatmiko untuk menuntunnya menuju sebuah tempat yang selama ini ia rindukan yaitu lembah pandalawangi. Tempat itu merupakan sebuah ruang kontemplasi yang tepat untuk menyegarkan otaknya sembari mencari inspirasi buat ide-ide barunya atau sekedar untuk refleksi diri. Hatinya begitu gundah dengan peristiwa yang baru saja menimpahnya, seakan ada pertarungan yang begitu dahsyat antara hati dan nafsunya. Maka hati Jatmiko berhasil mengalahkan nafsunya dan kemenagan itu telah menuntunnya menuju tempat itu. Suasana di lembah yang begitu ekspressif dan membuat Jatmiko terbang dalam dunia imaginasi. Jatmiko sering menyebutnya lembah itu sebagai taman surga karena keindahannya dan hatinya begitu tenang saat berada di dalamnya.

Dalam posisinya yang demikian itu tiba-tiba sesosok pemuda sebayanya dengan pakaian panjang serba putih dan mata yang berbinar cahaya keteduhan membawa buku dan bulpoin tinta emas menghampirinya. Pemuda itu mendekat menepuk pundak Jatmiko. Jatmiko begitu kaget karena kedatangannya begitu tiba-tiba. Pemuda tua itu begitu bersahaja dengan perawakan yang begitu berwibawa dan penuh dengan ketenangan. Seakan ada kekuatan ghoib yang mengetuk hati Jatmiko bagaikan setruman aliran listrik yang mengalir lewat kabel putih dalam letupan cahaya putih. Hati kecil Jatmiko berkata “pemuda itu kok seakan begitu dekat dengan aku, apakah dia merupakan bagian dariku?

Dalam ketakjubannya pemuda itu tiba-tiba berkata dengan begitu santun dan bjaksananya “wahai saudaraku kamu sebenarnya punya kelebihan yang belum tersalurkan”, Jatmiko menjawab “maksudnya bakat apa mas?”. Pemuda tua itu hanya tersenyum dan memberikan sebuah Bulpoin bertinta emas “ini terimalah hadiah buat kelebihanmu yang terpendam”. Kakek tua itu menambahkan dalam perkataannya yang terakhir sebelum ia pergi yaitu “ngelmu iku kelakone kanthi laku” Jatmiko bertanya lagi “saya tidak mengerti maksud kamu?” (tiba-tiba pemuda tadi menghilang tanpa bekas) Jatmiko memanggil kakek tadi dengan keras “mas kamu dimana? Pembicaraan kita belum selesai”. Namun keinginan Jatmiko untuk menemukan pemuda yang misterius tadi sia-sia. Jatmiko berjalan menyusuri lika-liku jalan di sekitar lembah itu, tapi tidak ketemu juga. Jatmikopun merasa begitu lemas karena kecapekan melakukan penyusuran sampai kakinya terasa mau patah.

Hari sudah semakin sore dan matahari sudah mulai melaju ke ufuk barat. Jatmiko melihat sebuah telaga jernih di belakang dimana dia tadi bertemu dengan sang kakek. Telaga itu begitu indah dengan dihiasi cahaya guratan pelangi yang mengelilinginya. Dia begitu kagum dan segera menuju telaga itu karena sudah merasa haus seharian belum sempat meneguk air. Setelah minum air telaga tersebut Jatmiko merasa sudah lebih tenang dan segar lagi otaknya. Lalu dia duduk di bawah pohon rindang disamping telaga sambil berfikir (“sebenarnya apa maksud perkataan pemuda tadi? mengapa dia memberikan sebuah bulpoin bertinta emas? Lalu apa hubungannya dengan kelebihanku yang terpendam?, ditambah lagi kakek itu juga mengatakan dalam istilah jawa “ngelmu iku kelakone kanti laku”, kalau tidak salah arti dari kalimat itu adalah manfaat ilmu itu bisa dirasakan ketika sudah dipraktekkan atau diamalkan ) hati Jatmiko terus berdiskusi tentang apa yang baru saja dialaminya tadi. Seakan semua terbungkus dalam kalimat yang singkat, rapi akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam.

Hari semakin larut, Jatmiko segera bergegas pulang karena hari semakin gelap. Dia segera masuk rumah dan merebahkan tubuhnya yang lemas dan letih karena kecapekan yang menyelimutinya. Dalam suasana sepi di dalam kamar Jatmiko melamun, tiba-tiba otaknya tergiring bersama terjemahan-terjemahan dari kejadian yang ia alami ketika bertemu dengan kakek tua di lembah pandalawangi tadi. Seakan relung hatinya menuntun otaknya untuk menerjemahkan arti dari semua ini. Dia teringat bahwa sebenarnya dia punya keinginan dan ide-ide cemerlang yang belum pernah ia tulis dan bukukan. Selama ini ide-idenya hanya terhenti pada retorika dan wacana saja. Hatinya kembali menggelitik “Apakah yang dimaksud dengan kelebihan tadi adalah kelebihan untuk menulis? Kemudian maksud dari kalimat jawa itu tadi adalah dia harus segera memulai apa yang menjadi keinginannya selama ini dalam bentuk sebuah praktek, kalau dalam konteks ini berarti segera mulai menulis”. Pertanyaan itu semakin kuat mencekik relung hatinya berbaris berjubel-jubel untuk menunggu jawaban.

Otak Jatmiko kembali digiring relung hatinya untuk menemukan jawabannya, bagaikan seorang striker yang menggiring bola menuju gawang untuk mencapai goal jawaban. Dia tiba-tiba ingat dengan bulpoin bertinta emas yang diberikan kakek tua itu, bulpoin adalah lambang menulis atau alat yang dipakai untuk menulis,sedangkan tinta emas adalah sebuah hikmah atau sebuah manfaat dari sebuah tulisan. Emas adalah benda berharga yang disukai dan dicari. Berarti suatu saat sebuah tulisan akan bernilai sama dengan emas. “Subhanalloh apakah aku akan jadi seorang penulis?” (Jatmiko bergumam dalam hati). “Jika itu benar maka keinginan-keinginanku yang selama ini tidak tersampaikan bisa saya wakilkan lewat bahasa tulisan, sedangkan kalimat terkhir yang berbahasa jawa dari kakek itu adalah sebuah hentakan yang berarti ia harus segera memulai keinginanya dalam bentuk tindakan yaitu menulis. Jatmikom berfikir begitu cemerlang seakan ada wahyu atau ilham yang menghampiri pikirannya. Dia juga berfikir walaupun suatu saat nanti jasadnya hilang terkubur tanah, akan tetapi karyanya akan tetap hidup dan dbaca orang. Sunggguh sebuah anugerah yang luar biasa.

Tanpa berfikir panjang Jatmiko segera menuliskan apa yang selama ini menjadi unek-uneknya. Maka jadilah beberapa tulisan diantaranya; novel, cerpen, puisi, artikel, essai dan sebagainya. Lambat laun Jatmiko menjadi penulis besar dan semakin banyak orang yang mengenalnya. Sampai suatu saat dia diundang ke acara bedah buku di suatu lembaga seni dan sastra sebagai pembicara. Dalam penampilannya yang sama kayak dulu (low profile) tapi lebih percaya diri, dia berjalan dengan santainya menuju tempat acara dilaksanakan. Para hadirin menyambut dengan hangat atas kedatangan Jatmiko. Pada saat acara bedah buku dimulai dia merasa kaget ketika bertemu dengan gadis yang angkuh dulu. Ternyata dia diundang sebagai pembanding. Jatmiko mengetahuinya setelah pembuka acara menyebut nama gadis itu, namanya Angelia. Sebuah nama yang indah seindah orangnya. Angelia ternyata adalah juga seorang penulis yang terkenal karena kekayaan karyanya.

Yang belum terungkap adalah kenapa Angelia begitu tidak nyaman dengan orang yang berpenampilan tidak rapi dan alakadarnya. Kenapa dibalik keapatisannya yang menurut asumsi Jatmiko tidak pantas menjadi seorang penulis berbalik arah dan sangat kontradiktif. Ini berarti anggapan Jatmiko yang meramu menjadi sebuah kejengkelan terhadap gadis itu salah. Jatmiko terdiam seribu bahasa di depan para audience. Tiba- tiba suara lembut dari moderator memanngil namanya “para hadirin inilah seseorang yang telah kita tunggu kedatangannya, namanya mas Jatmiko, tentu kalian semunya sudah mengenalnya lewat karya-karyanya bukan?” sang moderator begitu antusias untuk memperkenalkan Jatmiko pada para audience. Tetapi Jatmiko masih terhipnotis dengan kebetulan-kebetulan nyang ditemuinya mengenai dirinya dan Angelia.

Suasana heningpun tiba-tiba mendarah menjadi berjubel-jubel tanda tanya diantara keduanya. Seakan sebuah mimpi yang mengganjal Angelia, rasa tidak percaya kepada sosok preman yang selama ini dia tidak pedulikan pada saat dia disapa. Gadis itu merasa bersalah dan minta maaf pada Jatmiko karena telah melihat dia hanya dari penampilannya bukan hati dan otaknya. Jatmiko yang sekarang lebih bijaksana dalam bertindak, perkataanya membawa kesejukan pada siapa saja yang diajak bicara termasuk gadis itu. Dengan sikap bijaksana Jatmiko berkata “tidak ada yang bersalah kok mbak, masa lalu adalah pembelajaran untuk masa sekarang untuk jadi lebih baik”, gadis itu menjawab “terimakasih mas Jatmiko kamu begitu bijaksana”. Keduanyapun tersenyum manis seakan menggiring benih-benih cinta diantara keduanya.

Dalam arus pembicaraan diantara keduanya Jatmiko segera mengeluarkan rasa penasaranya dengan lemparan pertanyaan : “Angelia apakah saya boleh bertanya?” Silahkan mas Jatmiko (Suara lembut keluar dari bibir indah Angelia). Jatmiko kembali merespon Angelia begini “Angelia saya terus terang berada pada ruang diantara percaya dan tidak yang membuat kamu seperti yang sekarang ini?” Angelia segera menyahutnya dengan perkataan yang begitu lugas dan bijaksana “begini mas Jatmiko dulu ketika saya berada pada keluraga yang serba berkecukupan saya selalu berfikir bahwa segala sesuatu hanya diukur dengan uang dan penampilan, tetapi suatu hari saya mengalami sebuah kebosanan yang luar biasa,” Jatmiko menyahutnya dengan mata melotot “kenapa bias begitu?” Angelia menambahkan “Kebosanan saya akan kemewaan hidup telah mengantarkan saya pada pencarian jatidiri yang dibimbing lewat saudara saya”, “ Saudara yang mana?” (sahut Jatmiko) “saudara yang mungkin mas pernah bertemu dengannya.”

Percakapan dari keduanyapun terhenti ketika moderator sekonyong-konyong membuka acara bedah buku “Menembus Kabut Hitam” karya Jatmiko. Acara bedah buku pun dimulai, keduanya begitu interaktif dan luas penjelasannya bagaikan matahari yang memberikan cahaya di siang hari dan rembulan yang memberikan keindahan cahaya di malam hari. Percikan kata-kata Jatmiko begitu penuh daya tarik dan membus siapa saja yang mendengarnya. Begitupulah Angelia penjelasannya sebagai pembanding begitu runtut dan luas. Suasana bedah buku saat itu begitu menyenangkan dan penuh dengan manfaat apalagi dihadiri oleh penulis terkenal seperti Jatmiko dan Angelia. Setelah selesai acara lalu keduanya bertemu di sebuah lesehan dekat acara dilaksanakan, Jatmiko dan Angelia merasa bersyukur dan berterimakasih atas augerah Tuhan dan juga dengan dipertemukannya keduanya di tempat yang penuh dengan makna. Akhirnya Jatmiko mengeluarkan benda berharga yang selama ini menjadi inspirasinya untuk terus belajar dan berkarya. Hal ini juga dilakukan oleh Angelia dia juga mau memberikan benda yang selama ini memberika inspirasi untuk terus belajar dan berkarya.

Senja itu langit begitu indah, seakaan berkompromi untuk menyambut mereka dalam kebahagiaan yang tak terukur. Akhirnya Jatmiko dan Angelia sama-sama memberikan satu sama lain. Keduanya kaget ternyata benda yang mereka berikan satu sama lain adalah sama yaitu bulpoin yang berisi tinta emas. Ternyata bulpoin yang mereka miliki saat ini adalah titipan dari sosok saudara mereka yang telah menemui mereka di lembah pandalawangi. Mereka adalah jelmaan dari salah satu saudara Jatmiko dan Angelia yang dalam jawa sering disebut “dulur papat limo pancer”. Manusia akan mampu bertemu dengan saudara-saudara mereka pada saat yang tidak bisa diduga dan itu merupakan kuasa dari Tuhan sang pencipta yang menciptakan makhluknya penuh dengan keserasian. Tuhan tidak memberi apa yang kita inginkan tetapi memberi apa yang kita butuhkan. Sebuah kebesaran Tuhan lewat perantara saudara dari Jatmiko dan Angelia yang memberikan sepasang tinta emas itu telah membawa mereka untuk menemukan dunia mereka. Sepasang tinta emas dalam bingkai bulpoin yang telah mengasilkan beratus-ratus karya. Sepasang tinta emas yang menggiring dan mengantarkan keduanya untuk jadi seperti yang sekarang ini. Sepasang tinta emas yang telah membawa mereka menemukan jati diri mereka untuk jadi seorang penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar