Aang Fatihul Islam
Awan sore itu berwarna hitam pekat dengan sedikit warna putih menghiasinya, sebagai pertanda akan datangnya hujan. Aku berjalan sempoyongan mencari tempat untuk berteduh. Aku melangkahkan kakiku berjalan menuju sebuah gudang tua di dekat rel kereta api. Kilat dan petir menyambar bagaikan cemeti raksasa yang mengaung di atas awan-awan. Ribuan anak panah akan segera diluncurkan ke bumai yang menjelma menjadi luncuran air hujan.
Manusia berbondong-bondong untuk segera masuk ke rumah masing-masing dan mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka masing-masing. Orang-orang penghuni stasiun Wonokromo pun saat itu pun jarang yang berkeliaran, entah apa yang mereka kawatirkan. Seakan aktifitas menjadi mati suri seperti keramaian yang disulap menjadi kuburan yang begitu sunyi. Aku pun segera merapatkan diriku di depan gudang tua itu karena angin bertiup begitu kencang berkolaborasi dengan hujan yang begitu lebat.
Dalam kekalutanku yang terjadi dalam kesunyian itu tiba-tiba ada suara langkah kaki yang berjalan menuju arahku. Tiba-tiba sesosok orang tua dengan rambut serba keputian, pakaian serba hitam dan lusuh memegang gitar tua yang sudah kusut ikut mendekat disampingku sambil bernyanyi lagunya D’Massive yang berjudul “Jangan menyerah”. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan. Apalagi badannya yang sudah tua, tentunya lebih lemah bila dianding denganku. “Nak kenapa kamu berada di sini?” (pertanyaannya menggetarkan jantungku) “ak…aku…. sedang mengembara kek” (jawabku lirih, seakan agak sedikit ragu). “Kamu mau mengembara kemana nak?” (kakek itu bertanya lagi) “entahlah kek aku hanya mengikuti kata hatiku” (jawabku spontan). Kakek itu ritme bicaranya sangat tertata, walaupun agak terbata-bata ketika berbicara tetapi kata-katanya begitu dalam dan menusuk sanubariku yang paling dalam. Tiba-tiba kakek itu pamit kepadaku dan tiba-tiba menghilang begitu saja entah kemana.
Bel dari stasiun berbunyi teng….teng…teng….teng….teng…teng….teng…teng….. sebagai pertanda kereta api KRD akan segera diberangkatkan. Suara petugas stasiun menggema “kepada penumpang kereta api KRD dimohon untuk segera naik di atas kereta, karena kereta api KRD jurusan Jombang akan segera diberangkatkan”. Aku pun segera lari menuju arah kereta dan melompat ke atas kereta dengan tas rangsel bertengger di punggungku. Tepat pukul 17.30 kereta api KRD berangkat dari stasiun Wonokromo menuju Jombang. Aku sampai di stasiun Jombang pada pukul 20.00. setiba di Jombang aku melangkahkan kakiku menuju sebuah kota yang begitu sepi, beda sekali dengan kota Surabaya yang serba gemerlap dengan keramaian. Akupun melangkahkan kakiku menuju alun-alun Jombang sambil menyedot sebatang rokok dan minum segelas kopi. Rasanya malam itu begitu damai, entah apa yang terjadi kepadaku tetapi hartiku merasakan kadamaian yang belum kudapatkan sebelumnya. Yang jelas di Jombang serasa begitu tenang dari huru-hara sebagaimana yang ada di Surabaya.
Di alun-alun itu aku bertemu dengan pemuda yang penampilannya sangat tidak meyakinkan. Sepertinya dia anak jalanan yang suka nongkrong di jalan-jalan. Ya biasalah anak jalanan mungkin sama juga seperti aku yang bahkan tidak jelas tujuannya mau kemana. Hanya kata hatilah yang menggerakkan aku untuk terus menelusuri lekuk-lekuk bumi yang ada di wilayah Indonesia. Entah kegelisahan apa yang menggerakan aku untuk tahu dengan mata kepalaku sendiri fenomena yang ada di gemah ripa loh jinawihnya Indonesia ini. Saya masih teringat ledakan penggalan kata-kata kanjeng Sunan Ampel yang dikutip oleh Emha Ainun Nadjib budayawan asal Jombang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah penggalan surga, surga seakan-akan pernah bocor dan menciptakan kekayaan dan keindahannya , dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia raya. Indonesia adalah sebuah Negara yang subur, seakan tidak akan habis terkikis anugerah yang ada di dalamnya. Akan tetapi hatiku tersentak ketika aku banyak mendengar bahwa pengelolah kekayaan yang ada di Indonesia adalah tenaga yang di impor dari luar negeri dan rakyat Indonesia hanya sebagai tenaga kasar atau lebih tepatnya dikatakan buruh. Sungguh memprihatinkan kenapa tuan rumah malah berbalik menjadi buruh? Apakah memang pendidikan kita mencetak lulusan buruh?
Hatiku rasanya seperti di iris-iris ketika mengetahui bahwa anugerah yang telah diberikan Tuhan yang Maha Esa harus disia-siakan begitu saja. “Kenapa kita tertidur begitu pulas dan panjang? Apakah karena kenikmatan ini yang menjadikan kita menjadi malas? Kenapa kita tidak pernah bersyukur dengan kenikmatan yang diberikan kepada kita? Kenapa? Kenapa? Kenapa?” Berjubel-jubel pertanyaan terus berkejar-kejaran dan saling susul-menyusul bagaikan ritme ombak di samudra yang menggulung-gulung saling berkejar-kejaran. Eksotik keindahan laut adalah sebuah anugerah. Panorama alam di pegunungan yang hijau memukau adalah sebuah anugerah. Kekayaan alam adalah sebuah anugerah, tanah yang begitu subur adalah sebuah anugerah dan otak yang diberikan kepada kita untuk berfikir adalah juga anugerah besar yang diberikan Tuhan untuk terus berfikir. “fadzakir Innama Anta Mudzakir” begitulah kata-kata Agung Tuhan dalam firman-Nya yang terlukis indah di hati kita, tapi kenapa kita sering terlena dengan kenikmatan ini?.
Pemuda itu sontak berkata kepadaku “hai kawan kenapa kamu tampak begitu gelisah? adakah masalah yang sedang menimpahmu?, lidahku secara spontan tergerak untuk menjawab “ ya kawan aku sedang gelisah dengan keadaan yang menimpah kita selama ini, aku malu pada diriku sendiri kenapa otakku tumpul untuk berfikir tentang hidup ini, hidup yang penuh dengan kedzaliman”. Dengan begitu tenang pemuda itu menangkis kata-kataku “begini kawan, hidup ini memang tidak seindah di layar sinetron, hidup ini butuh perjuangan maka perjuangan hidup kita”. “Tetapi selama ini tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya gelisah dan berkata kawan?”. Pemuda itu menimpali pertanyaanku “hai kawan jika kamu mau ke puncak gunung untuk melihat sinar matahari di pagi hari maka kamu akan memulai dari satu langkah kaki bukan?” nah untuk itu kamu juga harus memulai perjuangan itu untuk meraih perubahan dimulai dari sesuatu yang kecil.”
Aku termenung sejenak dan menimbang-nimbang kalau perkataan pemuda itu ada benarnya juga. Kata-katanya begitu sederhana tapi penuh makna. Akupun segera pamit pada pemuda itu dan bergegas ke makam-makam Pahlawan Nasional yang ada di Jombang seperti K.H. Hasyim Asya’ari, K.H. Wahid hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdurrahman Wahid dsb. Karena bagiku mereka adalah sosok yang penuh inspiratif dan perjuangan, dengan harapan semoga doa yang kupanjatkan pada mereka dapat tercipratkan ruh perjuangan mereka dalam diriku. Sampai pada salah satu makam tiba-tiba aku tertidur pulas dan bermimpi, dalam mimpiku itu aku bertemu pada beliau dan para tokoh yang lain. Beliau-beliau berpesan padaku untuk melanjutkan perjuangan mereka untuk tetap mempertahankan Bineka Tunggal Ika, Pluralism dan Demokrasi. Indonesia adalah Negara Pancasila maka petahankan itu. Raih kemerdekaan yang sampai sekarang belum terwujud secara total, bebaskan burung-burung itu dari sangkar-sangkarnya dan tegakkan keadilan di muka bumi ini.
Aku pun terbangun dan mengucek-ucek mataku, mencubiti kulitku. Aku baru tersadar bahwa tadi aku berada di alam mimpi tapi mimpi itu bukanlah sembarang mimpi. Itu adalah pesan yang agung dan harus segera dilaksanakan, karena bagiku itu adalah amanat. Walaupun jasad beliau sudah terpendam tanah akan tetapi ruh perjuangan belia akan hidup selamanya dan semoga itu bisa bertengger di dalam jiwaku. Sehinggah aku mampu untuk meneruskannya. Semoga serpihan-serpihan pemikiran itu mampu bertengger di dalam otakku, sehingga aku mampu untuk menggantikan perjuangan itu. Sungguh berat perjuangan ini bagaikan berada di padanmg pasir yang tandus dan tidak ada air setetespun di sana. Hatiku , jiwaku, otakku, terasa kering kerontang bagaikan orang yang kehausan di terik panasnya sang mentari. Oh Tuhan berikan setetes air-Mu agar kehausan yang tak berujung ini segera berakhir.
Pagi itu setelah sholat Shubuh aku melanjutkan perjalananku ke Mojokerto. Sebuah kota yang merupakan Jejak dari kerajaan Majapahit yang pernah jaya dan menyatukan Nusantara lewat patihnya yang hebat yaitu Gajah Mada. Akankah akan lahir Gajah Mada baru yang menjadi lakon baru dalam dunia kekuasaan. Kekuasaan yang ada sejak zaman Majapahit itu sampai sekarang. Ada yang berkuasa dan ada yang dikuasahi, ada yang menindas damn ada yang ditindas. Ini merupakan sebuah roda perjalanan yang terus berputar dan sepertinya akan selalu ada. Ketika tidak ada bagian yang mengkontrolnya maka penindasan itu akan kebablasan. Aku melanjutkan perjalananku ke Makam Syeh Jumadil Qubra yang konon adalah ulama’ yang pertama kali babat tanah jawa dan berkolaborasi dengn Syeh Subakir. Aku mencoba untuk mempergunakan detak jantungku yang begerak begitu cepat untuk berdialog dengan mereka dan menanyakan solusi yang terbaik untuk mengentaskan masalah di negeri tercinta yang kian berlarut dan belum ada ujungnya. Sampai subuh tiba akupun merasakan ada kekuatan ghaib yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku tidak dapat mengatakannya apa itu tapi yang jelas sebuah kekuatan yang datangnya dari Sang Khalik, dan aku meyakininya.
Pagi itu aku meluncur ke Kota Jogja naik kereta api ekonomi Logawa. Walaupun kereta ini sudah begitu tua tapi aku berusaha untuk menikmati perjalanannya. Selang waktu tiga puluh menit aku melihat ada keramaian di stasiun Madiun bahwa kereta api Logawa jurusan Surabaya dari Jogja sedang mengalami kecelakaan. Kecelakaan ini diprediksi akibat dari beberapa kemungkinan; ada yang mengatakan bahwa rel kereta apinya memang ada yang rusak, ada juga yang mengatakan bahwa kereta api yang digunakan memang sudah cukup tua sehingga sulit untuk dikendalikan oleh sang masinis. Aku begitu gelisah yang Ibercampur dengan rasa penasaran sebenarnya sudah berapa banyak korban kecelakaan yang meninggal dalam kecelakaan kereta. Disisi lain aku juga bersyukur, karena meskipun aku kerap naik kereta tapi Tuhan masih memberikanku keselamatan. Sungguh engakau penguasa segala yang ada di langit dan di bumi.
Perjalanan dari stasiun Mojokerto menuju Jogja kurang lebih memakan waktu lima jam. Tepat pukul 10.00 aku telah sampai di stasiun kereta api Jogjakarta. Akupun segera turun dari kereta dan melanjutkan perjalananku menuju keraton Jogjakarta , tapi tiba-tiba di jalan aku mendengar teriakan yang begitu lantang, sepertinya suara para pendemonstran. Ternyata benar ada demonstran yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa peduli keadilan di sana terpampang tulisan “TOLAK PEMBANGUNAN PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) DI INDONESIA”. Aku tertarik dengan isu yang mereka usung, mereka adalah aktor-aktor yang menjadi agen of change dan juga agen of control pada para penguasa dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Semoga oaang-orang seperti mereka akan tetap ada di dunia ini dan bertebaran dimana-mana untuk menebarkan benih-benih keadilan.
Di jogja aku bertemu dengan teman-temanku dulu yang gaya bicaranya sudah berbeda dengan waktu SMA dulu, mereka terlihat seperti kaum intelektual yang idealismenya sangat tinggi “ Hai aktifis bagaimana kabar Surabaya hari ini masihkah ada keadilan di sana?” tiba-tiba pertanyaan mengagetkan tertuju padaku “ ya kawan aku kesini karena ingin belajar banyak hal padamu, supaya benih-benih keadilan masih bisa direbut dari Negara kita yang belum merdeka sepenuhnya” (jawabku tenang) “ benar kawan marilah kita tebarkan benih-benih keadilan di bumi pertiwi. Aksi demonstrasi adalah sebagian kecil dari bentuk perubahan yang kita inginkan, masih banyak perubahan lain yang bisa kita perjuangkan kawan. HIDUP MAHASISWA!!! HIDUP RAKYAT!!!, dan aku pun mengikutinya HIDUP MAHASISWA!!! HIDUP RAKYAT!!!.
Setelah aku keluyuran seharian di kota yang menjadi miniature kecil dari kantung budaya itu aku menyegarkan otakku sejenak ke pesisir pantai. Tepatnya di pantai parang tritis. Aku begitu takjub saat menyaksikan keindahan alam yang membentang. Subhanalloh begitu indah ciptaan-Mu Tuhan. Aku tidak bisa berkata-kata, kecuali rasa syukur yang tak terkira. Semoga penggalan surga ini tetap terjaga kelestariannya. Semoga kerakusan-kerakusan yang terjadi selama ini akan segera terbendung dengan taburan-taburan penyadaran yang dilakukan dimana-mana. Semoga hamba-hamba-Mu segera menyadari akan kesalahannya dengan telah tidak menyukuri nikmat dan anugerah-Mu ini. Semoga pengembaraanku ini adalah merupakan batu pijakan dalam menaiki tangga-tangga keadilan dan kebenaran yang harus di tempuh setapak demi setapak.
*) Penulis adalah Aang Fatihul Islam, penggiat sastra dan budaya, pimpinanan komunitas lembah Pena “endhut ireng” Jombang, sekarang sedang menempuh S2 di UNESA Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, konsentrasi Bahasa Inggris*
Awan sore itu berwarna hitam pekat dengan sedikit warna putih menghiasinya, sebagai pertanda akan datangnya hujan. Aku berjalan sempoyongan mencari tempat untuk berteduh. Aku melangkahkan kakiku berjalan menuju sebuah gudang tua di dekat rel kereta api. Kilat dan petir menyambar bagaikan cemeti raksasa yang mengaung di atas awan-awan. Ribuan anak panah akan segera diluncurkan ke bumai yang menjelma menjadi luncuran air hujan.
Manusia berbondong-bondong untuk segera masuk ke rumah masing-masing dan mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka masing-masing. Orang-orang penghuni stasiun Wonokromo pun saat itu pun jarang yang berkeliaran, entah apa yang mereka kawatirkan. Seakan aktifitas menjadi mati suri seperti keramaian yang disulap menjadi kuburan yang begitu sunyi. Aku pun segera merapatkan diriku di depan gudang tua itu karena angin bertiup begitu kencang berkolaborasi dengan hujan yang begitu lebat.
Dalam kekalutanku yang terjadi dalam kesunyian itu tiba-tiba ada suara langkah kaki yang berjalan menuju arahku. Tiba-tiba sesosok orang tua dengan rambut serba keputian, pakaian serba hitam dan lusuh memegang gitar tua yang sudah kusut ikut mendekat disampingku sambil bernyanyi lagunya D’Massive yang berjudul “Jangan menyerah”. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan. Apalagi badannya yang sudah tua, tentunya lebih lemah bila dianding denganku. “Nak kenapa kamu berada di sini?” (pertanyaannya menggetarkan jantungku) “ak…aku…. sedang mengembara kek” (jawabku lirih, seakan agak sedikit ragu). “Kamu mau mengembara kemana nak?” (kakek itu bertanya lagi) “entahlah kek aku hanya mengikuti kata hatiku” (jawabku spontan). Kakek itu ritme bicaranya sangat tertata, walaupun agak terbata-bata ketika berbicara tetapi kata-katanya begitu dalam dan menusuk sanubariku yang paling dalam. Tiba-tiba kakek itu pamit kepadaku dan tiba-tiba menghilang begitu saja entah kemana.
Bel dari stasiun berbunyi teng….teng…teng….teng….teng…teng….teng…teng….. sebagai pertanda kereta api KRD akan segera diberangkatkan. Suara petugas stasiun menggema “kepada penumpang kereta api KRD dimohon untuk segera naik di atas kereta, karena kereta api KRD jurusan Jombang akan segera diberangkatkan”. Aku pun segera lari menuju arah kereta dan melompat ke atas kereta dengan tas rangsel bertengger di punggungku. Tepat pukul 17.30 kereta api KRD berangkat dari stasiun Wonokromo menuju Jombang. Aku sampai di stasiun Jombang pada pukul 20.00. setiba di Jombang aku melangkahkan kakiku menuju sebuah kota yang begitu sepi, beda sekali dengan kota Surabaya yang serba gemerlap dengan keramaian. Akupun melangkahkan kakiku menuju alun-alun Jombang sambil menyedot sebatang rokok dan minum segelas kopi. Rasanya malam itu begitu damai, entah apa yang terjadi kepadaku tetapi hartiku merasakan kadamaian yang belum kudapatkan sebelumnya. Yang jelas di Jombang serasa begitu tenang dari huru-hara sebagaimana yang ada di Surabaya.
Di alun-alun itu aku bertemu dengan pemuda yang penampilannya sangat tidak meyakinkan. Sepertinya dia anak jalanan yang suka nongkrong di jalan-jalan. Ya biasalah anak jalanan mungkin sama juga seperti aku yang bahkan tidak jelas tujuannya mau kemana. Hanya kata hatilah yang menggerakkan aku untuk terus menelusuri lekuk-lekuk bumi yang ada di wilayah Indonesia. Entah kegelisahan apa yang menggerakan aku untuk tahu dengan mata kepalaku sendiri fenomena yang ada di gemah ripa loh jinawihnya Indonesia ini. Saya masih teringat ledakan penggalan kata-kata kanjeng Sunan Ampel yang dikutip oleh Emha Ainun Nadjib budayawan asal Jombang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah penggalan surga, surga seakan-akan pernah bocor dan menciptakan kekayaan dan keindahannya , dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia raya. Indonesia adalah sebuah Negara yang subur, seakan tidak akan habis terkikis anugerah yang ada di dalamnya. Akan tetapi hatiku tersentak ketika aku banyak mendengar bahwa pengelolah kekayaan yang ada di Indonesia adalah tenaga yang di impor dari luar negeri dan rakyat Indonesia hanya sebagai tenaga kasar atau lebih tepatnya dikatakan buruh. Sungguh memprihatinkan kenapa tuan rumah malah berbalik menjadi buruh? Apakah memang pendidikan kita mencetak lulusan buruh?
Hatiku rasanya seperti di iris-iris ketika mengetahui bahwa anugerah yang telah diberikan Tuhan yang Maha Esa harus disia-siakan begitu saja. “Kenapa kita tertidur begitu pulas dan panjang? Apakah karena kenikmatan ini yang menjadikan kita menjadi malas? Kenapa kita tidak pernah bersyukur dengan kenikmatan yang diberikan kepada kita? Kenapa? Kenapa? Kenapa?” Berjubel-jubel pertanyaan terus berkejar-kejaran dan saling susul-menyusul bagaikan ritme ombak di samudra yang menggulung-gulung saling berkejar-kejaran. Eksotik keindahan laut adalah sebuah anugerah. Panorama alam di pegunungan yang hijau memukau adalah sebuah anugerah. Kekayaan alam adalah sebuah anugerah, tanah yang begitu subur adalah sebuah anugerah dan otak yang diberikan kepada kita untuk berfikir adalah juga anugerah besar yang diberikan Tuhan untuk terus berfikir. “fadzakir Innama Anta Mudzakir” begitulah kata-kata Agung Tuhan dalam firman-Nya yang terlukis indah di hati kita, tapi kenapa kita sering terlena dengan kenikmatan ini?.
Pemuda itu sontak berkata kepadaku “hai kawan kenapa kamu tampak begitu gelisah? adakah masalah yang sedang menimpahmu?, lidahku secara spontan tergerak untuk menjawab “ ya kawan aku sedang gelisah dengan keadaan yang menimpah kita selama ini, aku malu pada diriku sendiri kenapa otakku tumpul untuk berfikir tentang hidup ini, hidup yang penuh dengan kedzaliman”. Dengan begitu tenang pemuda itu menangkis kata-kataku “begini kawan, hidup ini memang tidak seindah di layar sinetron, hidup ini butuh perjuangan maka perjuangan hidup kita”. “Tetapi selama ini tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya gelisah dan berkata kawan?”. Pemuda itu menimpali pertanyaanku “hai kawan jika kamu mau ke puncak gunung untuk melihat sinar matahari di pagi hari maka kamu akan memulai dari satu langkah kaki bukan?” nah untuk itu kamu juga harus memulai perjuangan itu untuk meraih perubahan dimulai dari sesuatu yang kecil.”
Aku termenung sejenak dan menimbang-nimbang kalau perkataan pemuda itu ada benarnya juga. Kata-katanya begitu sederhana tapi penuh makna. Akupun segera pamit pada pemuda itu dan bergegas ke makam-makam Pahlawan Nasional yang ada di Jombang seperti K.H. Hasyim Asya’ari, K.H. Wahid hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdurrahman Wahid dsb. Karena bagiku mereka adalah sosok yang penuh inspiratif dan perjuangan, dengan harapan semoga doa yang kupanjatkan pada mereka dapat tercipratkan ruh perjuangan mereka dalam diriku. Sampai pada salah satu makam tiba-tiba aku tertidur pulas dan bermimpi, dalam mimpiku itu aku bertemu pada beliau dan para tokoh yang lain. Beliau-beliau berpesan padaku untuk melanjutkan perjuangan mereka untuk tetap mempertahankan Bineka Tunggal Ika, Pluralism dan Demokrasi. Indonesia adalah Negara Pancasila maka petahankan itu. Raih kemerdekaan yang sampai sekarang belum terwujud secara total, bebaskan burung-burung itu dari sangkar-sangkarnya dan tegakkan keadilan di muka bumi ini.
Aku pun terbangun dan mengucek-ucek mataku, mencubiti kulitku. Aku baru tersadar bahwa tadi aku berada di alam mimpi tapi mimpi itu bukanlah sembarang mimpi. Itu adalah pesan yang agung dan harus segera dilaksanakan, karena bagiku itu adalah amanat. Walaupun jasad beliau sudah terpendam tanah akan tetapi ruh perjuangan belia akan hidup selamanya dan semoga itu bisa bertengger di dalam jiwaku. Sehinggah aku mampu untuk meneruskannya. Semoga serpihan-serpihan pemikiran itu mampu bertengger di dalam otakku, sehingga aku mampu untuk menggantikan perjuangan itu. Sungguh berat perjuangan ini bagaikan berada di padanmg pasir yang tandus dan tidak ada air setetespun di sana. Hatiku , jiwaku, otakku, terasa kering kerontang bagaikan orang yang kehausan di terik panasnya sang mentari. Oh Tuhan berikan setetes air-Mu agar kehausan yang tak berujung ini segera berakhir.
Pagi itu setelah sholat Shubuh aku melanjutkan perjalananku ke Mojokerto. Sebuah kota yang merupakan Jejak dari kerajaan Majapahit yang pernah jaya dan menyatukan Nusantara lewat patihnya yang hebat yaitu Gajah Mada. Akankah akan lahir Gajah Mada baru yang menjadi lakon baru dalam dunia kekuasaan. Kekuasaan yang ada sejak zaman Majapahit itu sampai sekarang. Ada yang berkuasa dan ada yang dikuasahi, ada yang menindas damn ada yang ditindas. Ini merupakan sebuah roda perjalanan yang terus berputar dan sepertinya akan selalu ada. Ketika tidak ada bagian yang mengkontrolnya maka penindasan itu akan kebablasan. Aku melanjutkan perjalananku ke Makam Syeh Jumadil Qubra yang konon adalah ulama’ yang pertama kali babat tanah jawa dan berkolaborasi dengn Syeh Subakir. Aku mencoba untuk mempergunakan detak jantungku yang begerak begitu cepat untuk berdialog dengan mereka dan menanyakan solusi yang terbaik untuk mengentaskan masalah di negeri tercinta yang kian berlarut dan belum ada ujungnya. Sampai subuh tiba akupun merasakan ada kekuatan ghaib yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku tidak dapat mengatakannya apa itu tapi yang jelas sebuah kekuatan yang datangnya dari Sang Khalik, dan aku meyakininya.
Pagi itu aku meluncur ke Kota Jogja naik kereta api ekonomi Logawa. Walaupun kereta ini sudah begitu tua tapi aku berusaha untuk menikmati perjalanannya. Selang waktu tiga puluh menit aku melihat ada keramaian di stasiun Madiun bahwa kereta api Logawa jurusan Surabaya dari Jogja sedang mengalami kecelakaan. Kecelakaan ini diprediksi akibat dari beberapa kemungkinan; ada yang mengatakan bahwa rel kereta apinya memang ada yang rusak, ada juga yang mengatakan bahwa kereta api yang digunakan memang sudah cukup tua sehingga sulit untuk dikendalikan oleh sang masinis. Aku begitu gelisah yang Ibercampur dengan rasa penasaran sebenarnya sudah berapa banyak korban kecelakaan yang meninggal dalam kecelakaan kereta. Disisi lain aku juga bersyukur, karena meskipun aku kerap naik kereta tapi Tuhan masih memberikanku keselamatan. Sungguh engakau penguasa segala yang ada di langit dan di bumi.
Perjalanan dari stasiun Mojokerto menuju Jogja kurang lebih memakan waktu lima jam. Tepat pukul 10.00 aku telah sampai di stasiun kereta api Jogjakarta. Akupun segera turun dari kereta dan melanjutkan perjalananku menuju keraton Jogjakarta , tapi tiba-tiba di jalan aku mendengar teriakan yang begitu lantang, sepertinya suara para pendemonstran. Ternyata benar ada demonstran yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa peduli keadilan di sana terpampang tulisan “TOLAK PEMBANGUNAN PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) DI INDONESIA”. Aku tertarik dengan isu yang mereka usung, mereka adalah aktor-aktor yang menjadi agen of change dan juga agen of control pada para penguasa dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Semoga oaang-orang seperti mereka akan tetap ada di dunia ini dan bertebaran dimana-mana untuk menebarkan benih-benih keadilan.
Di jogja aku bertemu dengan teman-temanku dulu yang gaya bicaranya sudah berbeda dengan waktu SMA dulu, mereka terlihat seperti kaum intelektual yang idealismenya sangat tinggi “ Hai aktifis bagaimana kabar Surabaya hari ini masihkah ada keadilan di sana?” tiba-tiba pertanyaan mengagetkan tertuju padaku “ ya kawan aku kesini karena ingin belajar banyak hal padamu, supaya benih-benih keadilan masih bisa direbut dari Negara kita yang belum merdeka sepenuhnya” (jawabku tenang) “ benar kawan marilah kita tebarkan benih-benih keadilan di bumi pertiwi. Aksi demonstrasi adalah sebagian kecil dari bentuk perubahan yang kita inginkan, masih banyak perubahan lain yang bisa kita perjuangkan kawan. HIDUP MAHASISWA!!! HIDUP RAKYAT!!!, dan aku pun mengikutinya HIDUP MAHASISWA!!! HIDUP RAKYAT!!!.
Setelah aku keluyuran seharian di kota yang menjadi miniature kecil dari kantung budaya itu aku menyegarkan otakku sejenak ke pesisir pantai. Tepatnya di pantai parang tritis. Aku begitu takjub saat menyaksikan keindahan alam yang membentang. Subhanalloh begitu indah ciptaan-Mu Tuhan. Aku tidak bisa berkata-kata, kecuali rasa syukur yang tak terkira. Semoga penggalan surga ini tetap terjaga kelestariannya. Semoga kerakusan-kerakusan yang terjadi selama ini akan segera terbendung dengan taburan-taburan penyadaran yang dilakukan dimana-mana. Semoga hamba-hamba-Mu segera menyadari akan kesalahannya dengan telah tidak menyukuri nikmat dan anugerah-Mu ini. Semoga pengembaraanku ini adalah merupakan batu pijakan dalam menaiki tangga-tangga keadilan dan kebenaran yang harus di tempuh setapak demi setapak.
*) Penulis adalah Aang Fatihul Islam, penggiat sastra dan budaya, pimpinanan komunitas lembah Pena “endhut ireng” Jombang, sekarang sedang menempuh S2 di UNESA Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, konsentrasi Bahasa Inggris*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar