Rabu, 01 September 2010

Nyanyian yang Sumbang

AFI Wahid (Aang Fatihul Islam)

Pagi itu mentari mengintip dari ufuk timur bersama desiran angin yang berenang dalam hawa yang menguapkan percikan kecil api neraka. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu kereta tua peninggalan zaman Belandah. Di atas kursih yang tidak empuk itu aku melihat segerombolan orang bergaya lux, umur setengah baya lagi bersenda gurau tentang karirnya yang lagi melambung dan ngerumpi tentang penghasilannya yang melejit sukses karena jadi juragan dengan karyawan yang banyak.
Gaya segerombolan orang itu begitu angkuh dengan tatapan mata yang penuh dengan kekosongan dan ketidakjujuran. Di balik gerbong kereta tua, mereka menyatu dalam tawa yang tak beraturan dan begitu menyakitkan hati bagi orang-orang yang susah. Orang- orang itu begitu riang merayakan kebahagiaan mereka tanpa mempedulikan orang disekitarnya. Aku terbawa dalam lamunan yang begitu mengaburkan pandanganku dalam cerobong ketidakjelasan.

Tiba-tiba lamunanku terkaburkan ketika ada seorang pengemis tua dengan pakaian compang-camping yang memanggil namaku dalam kebisingan. “hei nak apa kabar?” dan aku membalasnya “baik kek”, kemudian aku bertanya lagi “kakek kok kenal aku?” sembari pengemis itu menjawab tanyaku “ya kan dulu kita pernah berkenalan waktu di kereta”. “Oh ya…ya…kakek Karmin ya?” (tanyaku pada pengemis tua) “ya benar nak” (jawab pengemis itu, sambil mengusapkan keringatnya yang terus keluar dari pori-pori di sekujur tubuhnya). Hatiku bergetar seakan ada sebuah kenangan dalam relung hatiku tentang kakek itu.

Tiba-tiba aku teringat tentang sesuatu hal, ternyata pengemis tua itu pernah bersenda gurau denganku tiga bulan yang silam, aku begitu tertegun ternyata daya ingatnya begitu kuat sampai-sampai aku saja lupa. Yang masih membuat aku bertanya-tanya kenapa kakek itu sekarang menjadi seorang pengemis? Padahal dulu waktu aku bertemu dengannya kurang lebih sebulan yang lalu dia masih begitu bersih pakaiannya. Sebenarnya siapa kakek karmin itu? (hatiku terus mengusik beberapa pertanyaan ).

Pengemis tua itu mengeluarkan keringat begitu banyak, raut mukanya pucat memutih dan tubuhnya begitu kecil lunglai bagaikan rumput ilalang yang goyang ketika terkena angin, dia berjalanan sempoyongan dan di balik wajahnya yang kusam seakan begitu banyak beban yang begitu berat melilit tubuhnya. Ia bejalan diantara orang-orang yang bergaya lux itu sembari membungkukkan tubuhnya yang layuh dengan jalan yang terseyok-seyok menuju pintu kereta yang sedang dinaikinya. Ia berjalan lalu turun dari pintu kereta dan melanjutkan perjalananya menuju sebuah tempat yang aneh dan terpencil. Aku penasaran dengan sesosok pengemis tua itu lalu tanpa berfikir panjang aku mengikutinya secara sembunyi-sembunyi. Pengemis tua itu menuju di suatu rumah yang sangat tertutup kayaknya tidak gampang diketahui orang dan terkesan rahasia. Mataku melotot menjurus pada rumah tua itu bagaikan lampu senter yang berisi anak panah yang siap menembus dada rumah tua itu, rumah yang begitu misterius dengan sejuta rahasia yang tertutup rapi dalam rajutan fatmurgana yang begitu menyilaukan mata sehinggah membuat kabur orang yang melihatnya.

Pohon yang begitu rindang dan hijau di balik rumah itu seakan memanas dan berubah menjadi merah kusam dan mengedip-ngedipkan pelapis matanya pada bola mataku, hatiku melayang dalam puing-puing langit yang kusam dan memerah, seakan murka pada dunia yang begitu semerawut dengan maraknya orang kaya yang menindas kaum yang lemah dengan sejuta dalih yang mengerutkan dahi pada siapa saja yang mendengar, apalagi melihatnya. Tiba-tiba telingaku mendengar getaran yang begitu kuat yang berubah menjadi nyanyian, nyanyian itu begitu sumbang dan nampak kehilangan nilai estetisnya. Telingaku serasa begitu sakit ketika nyanyian yang tidak ada nilai estetisnya itu berdengung dari bilik langit dan berputar-putar di antara rumah tua yang begitu misterius itu. Nyanyian itu seakan menggiringku untuk masuk ke dalam rumah itu dalam tirai yang begitu eksotis dalam dekapan angin sumbang yang menggaung dalam kepulan asap yang hitam pekat dan beraroma busuk dalam cerobong yang kelam.

Di balik kepulan asap yang hitam pekat itu, tiba-tiba aku mendengar jeritan orang tua yang merintih kesakitan, “maafkan saya tuan……, maafkan saya tuan….” Suara itu begitu kencang menyengir kendang telingaku. Hatiku bergetar dan keringat panas dingin mengalir dalam tubuhku laksana derasnya aliran sungai yang begitu tenang mengalir dalam sela-sela tubuhku. Aku terperangkap dalam suasana hati yang tidak karuan ketika mendengar jeritan yang begitu beringas itu. ”Tuan saya akan berusaha untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi” suara itu terdengar lagi. “brengsek……saya tidak perduli, karena hari ini kamu dapat uang sedikit maka kamu harus dihukum” jawab suara yang kayaknya majikannya.

Hatiku bergumam “apakah suara rintihan itu adalah pengemis tua tadi yang aku jumpai di kereta tua yang kusam?” tiba-tiba sekelumit suara yang meyakinkan aku kalau suara rintihan tadi adah pengemis tua tadi. “Kamu harus mengemis lagi pak tua atau hari ini kamu tidak akan saya beri makan?” suara itu kembali dilemparkan dalam rumah itu. “Tapi tuan saya sudah dua hari tidak dapat jatah makan?” (jawab suara yang tersendat-sendat), majikan membantring piring “pyar…pyar”, sambil berkata dengan nada kasar dan tinggi “aku tidak peduli pokoknya kalau kamu tidak menghasilkan apa-apa hari ini, aku tetap tidak kasih jatah makan, faham?”, “Baik tuan saya akan segera mengemis lagi” (jawab suara kakek tua itu). Sekarang aku semakin lebih yakin bahwa ternyata suara kakek tua yang kudengar tadi adalah kakek Karmin setelah aku melihat dia keluar dari bilik pintu dengan sempoyongan dan wajah yang memerah dan memucat bagaikan buah semangka yang masih pelonco.

Hatiku terasa tercabik-cabik kala melihat kakek setua itu harus menanggung beban dalam tirani sang juragan yang bergaya lux. Juragan yang memeras keringat seorang kakek tua yang dijadikan seorang pengemis. “Juragan itu nampaknya pernah kujumpai sebelumnya tapi dimana ya?” (hatiku terus membimbingku dengan jejeran pertanyaan). Ternyata dugaanku benar bahwa Juragan itu adalah orang bergaya lux yang telah kujumpai di gerbong kereta peninggalan zaman Belandah itu. Mungkin kakek ini adalah korban dari kaum oportunis yang memanfaatkan kelemahan seorang kakek tua rentah agar banyak orang yang iba dan mengasihkan uangnya karena tidak tega dengan kondisinya. Ternyata benar dugaanku, orang itu memang orang bergaya lux yang telah memamerkan karirnya ketika aku ketemu di gerbong kereta peningglan zaman Belandah. Yang menjadi pertanyaan relung hatiku apakah yang ia maksud dengan profesi menjadi juragan adalah menjadi juragan para manusia lemah yang ia jadikan pengemis yang dengan itu dia menikmati hartanya dari keringat para kaum lemah itu? Kalau benar sungguh perbuatan yang biadap.

Hatiku berontak, berteriak, dan bertanya, “kenapa semua ini bisa terjadi? apakah ini semua sudah takdir dari Tuhan ataukah ini semua adalah takdir yang sengaja diciptakan oleh manusia?” hatiku mulai gelisah gak karuan. Sejuta pertanyaan-pertanyaan keluar dari lubuk hatiku menggumpal menjadi partikel-partikel yang menyatu dalam darah dan urat nadiku, mencair jadi embun yang begitu panas dan keruh. Hatiku perputar dan menyatu dalam deburan ombak yang menggulung dan menggema dalam nyanyian yang begitu sumbang. Aku tak tak tahu seandainya kutitipkan dukaku pada laut pasti laut akan menggiring gelombang, jika kutitipkan dukaku pada gunung pasti gunung meluapkan api, jika kutitipkan dukaku pada angin pastilah angin menggiring kabut hitam pekat, bila kutitipkan dukaku pada awan pastilah awan menggiring mendung. Aku tak tahu lagi waktu itu apa saja kekalutan dan duka yang begitu dalam yang menggumpal dalam hati dan otakku yang mengantri dalam rajutan suara yang ingin aku keluarkan dan berteriak sekeras-kerasnya.

Dalam lamunanku yang membising tiba-tiba nyanyian itu kembali mengusik hatiku yang semakin kacau. Aku berfikir bahwa sumbangnya nyanyian itu adalah bentuk bela sungkawa yang di interprestasikan dalam alunan lagu dari langit.Aku berharap semua yang kulihat tadi hanyalah mimpi. Ketika pikiranku melayang tiba-tiba pengemis tua itu datang kepadaku dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Seakan-akan dia ingin ngomong sesuatu kepadaku, aku memberanikan diri untuk menatapnya dengan senyuman hangat “ada apa kek?” tanyaku dengan halus “aku bingung harus ngomong apa nak?”(bajunya yang compang-camping penuh dengan debu dan tetesan darah). Aku kembali memberanikan diriku untuk melemparkan pertanyaan “emangnya apa yang terjadi pada diri kakek?” dengan gemetaran kakek itu menjawab “aku ingin ketemu keluargaku nak tapi aku tidak tahu kemana aku harus mencarinya” tiba-tiba badan kakek itu lemas dan jatuh tersungkur dalam tanah “brookkk,,,” ,tanpa berfikir panjang aku segera membopong badan kakek itu ke sebuah gubuk tua yang ada di tengah sawah.

Tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya, tapi kakek itu masih tidur terlelap dalam dekapan gubuk tua yang penuh dengan jerami. Malam pun tiba membawa angin yang membuai kita dalam kegelapan yang sunyi. Aku begitu panik dan hatiku berbisik “jangan-jangan kakek tua itu meninggal?”, tiba-tiba badanku begitu capek dan lemas karena seharian badanku belum sama sekali kemasukan makanan dan minuman. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang dan tanpa sadar “brookk,,,,” aku pun tersungkur ke tanah dalam gubuk itu berjam-jam. Sampai pada akhirnya dalam tidurku yang begitu lelap, tiba-tiba kakek tua itu membangunkan aku dan akupun begitu kaget “nak bangunlah” akupun tersentak dalam tidurku yang lelap, dengan senyum yang hangat kakek itu telah membawakanku segelas air putih dan sebungkus nasi “nak minumlah air putih ini dan makanlah nasi ini agar badanmu jadi enakan dan tenagamu pulih kembali”, aku pun tercengang dengan kelembutan sikap kakek tua itu, dia memperlakukanku seperti anaknya seakan dia begitu rindu dengan keluarga dan anaknya yang telah lama menghilang entah kemana.

Dengan sikap yang begitu tenang kakek tua itu tiba-tiba berdiri tegak dan kokoh seakan dia telah menemukan siapa dirinya sebenarnya. Lalu kakek itu bercerita tentang keluarganya yang hilang dan dia juga sudah ingat dimana dia dulu terdampar ketika naik pesawat terbang “Asal jadi”. Pesawat itu jatuh entah ada kerusakan pada mesin ataukah karena kesalahan teknis dari sang pilot. Dia lupa pada masa lalunya karena walaupun dia selamat tapi kepalanya terbentur keras ke benda tumpul di pesawat. Ketika dia ditemukan sudah tidak ingat apa-apa akan keluarganya bahkan siapa dirinya. Tapi karena ada orang yang memanfaatkan kondisi yang tidak baik itu, maka dia pun di bawah pulang, diberi makan dan lambat waktu dipaksa untuk jadi pengemis dan mencari uang buat mereka. Rupanya ketika aku bertemu dengan kakek itu, dia masih diperlakukan baik oleh orang yang menolong dan ingin memanfaatkannya. Karena dia tidak ingat siapa dirinya maka dia diberi nama Karmin. Tapi saat ini dia sudah tersadarkan akan siapa dirinya.

Ternyata dia adalah seorang saudagar kaya yang tinggal di sebuah perumahan mewah di Jakarta nama aslinya adalah Subroto Djoyodiningrat. Setelah ingat akan semuanya akupun mengantar kakek tua itu ke keluarganya dan mereka pun kembali berkumpul dalam suasana yang begitu haru. Keluarga kakek tua itu begitu bahagia dan memeluknya dengan begitu hangatnya. Aku begitu bahagia karena kakek itu sudah menemukan siapa dirinya dan keluarganya. Akupun segera kembali ke kampung halamanku dengan hati yang lega karena kakek yang malang itu telah kembali menemukan kebahagiaannya. Nyanyaian yang semula terdengar sumbang seakan kembali menjadi riang gembira dengan eksotis keindahan alam yang bernyanyi riang mengiringi kebahagiaanku dan kebahagiaan mereka. Burung- burungpun kembali berkicau riang bersama ranting-ranting pohon yang bergoyang dalam lembutnya hembusan angin. Sebuah perpaduan bunyi yang begitu indah dan merdu. Kesumbangan nyanyian itu kini telah pergi dan kebahagiaanpun datang menyambut.

*) Penulis adalah penggiat sastra dan budaya, pimpinanan komunitas lembah “endhut ireng” Jombang*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar