Dian Sukarno *)
Dalam mitologi negeri 1001 malam Iraq tersebutlah seorang remaja miskin bernama Aladin. Karena kemiskinan yang dialaminya, Aladin dan kedua orang tuanya tidak bisa merasakan makan enak dan berpakaian layak. Bisa menyambung hidup saja sudah untung. Syahdan pada suatu ketika Aladin menemukan rongsokan lampu di sebuah tempat pembuangan sampah. Karena tidak tahan akan lapar yang dialaminya, untuk perintang waktu Aladin menggosok-gosok lampu itu. Ajaib seketika ia dikejutkan dengan kedatangan makhluk raksasa tak diundang, dan ternyata adalah sesosok jin berhati baik. Singkat cerita Aladin dibolehkan mengajukan tiga permintaan. Akhirnya Aladin meminta dirinya menjadi Pangeran. Dan bisa ditebak seketika Aladin mendapatkan keinginannya.
Lepas dari kisah mitologi negeri 1001 Malam, pada bagian strategi pengembangan kebudayaan di Jombang, pada 25 Pebruari 2010 lalu, bertempat di aloon-aloon Jombang telah dilantik pengurus Dewan Kesenian Jombang disingkat DKJ masa bakti 2010 – 2014. DKJ yang terdiri atas 7 komite ini diharapkan sebagai alat untuk mengawal keberadaan seni budaya Jombang, yang konon mencapai 21 seni tradisi. Satu jumlah yang sangat fantastis, meskipun banyak di antaranya yang sudah punah. Duapuluh satu seni tradisi yang diduga lahir dan berkembang di Jombang itu antara lain; seni lerok, seniti, besutan, remo boletan, wayang topeng Jatiduwur, topeng sandur Manduro, jidor Sentulan, bedayan angleng, tandakan Grobogan, gambus misri, ludruk, jaran dor, remo Ali Markasa, wayang kulit Jombangan, gambir sawit Sengon, golek Sengon, cimplung brodinan, gemblak jur, wayang krucil Jatiwates, macapat bayen, dan cimplingan.
Mengapa kemudian saya analogikan bahwa lampu aladin itu adalah Dewan Kesenian Jombang? Hal itu tidak lain karena DKJ saya ibaratkan tempat, kurungan, atau lampu tempat bersemayam jin sakti bernama pengurus Dewan Kesenian Jombang yang dipimpin oleh birokrasi berjiwa seni bernama Agus Riadi. Bahkan konon kesaktian DKJ ini telah didukung plafon anggaran sebesar Rp.500 juta. Lagi-lagi fantastis dibandingkan dewan-dewan kesenian kota/kabupaten lain di Jawa Timur. Tetapi benarkah DKJ cukup sakti? Wallahualam bi shawab hanya waktu yang bisa menjawab.
Memang dengan melihat angka setengah M setiap orang akan berdecak kagum, tetapi itu semua belum cukup jika tidak disertai komitmen yang benar-benar teruji untuk mewujudkan sebuah mahakarya kebudayaan sebagai pembangun peradaban. Mengingat DKJ telah vakum atau malah sengaja divakumkan selama tidak kurang dari satu dasawarsa. Semoga dugaan ini salah belaka agar kekuatan Jombang sebagai hibriditas (difusi kebudayaan) Mataraman dan Arek mampu berbicara ke ranah yang lebih luas. Apalagi dengan konsep memasukkan sejumlah nama pejabat yang berpengaruh dalam struktur dewan pembinanya, meskipun mungkin dengan akal-akalan pitu setengah alias pitulungan setengah meksa!
Garin Nugroho, seorang sineas muda dan penggiat kebudayaan dalam bukunya berjudul Seni Merayu Massa, menyebutkan ada tiga hal yang menyebabkan sebuah daya hidup kebudayaan akan lestari dan menjadi pembangun ekonomi dan peradaban. Ini sekaligus sebagai jawaban atas “permintaan” terhadap tanggungjawab penghuni lampu “DKJ” aladin. Tiga hal itu; pertama daya merawat dan memberi hidup produk kebudayaan yang mengandung aspek kesejarahan di berbagai bidang. Contoh konkretnya adalah bangunan kuno, musik klasik, musik etnik, sastra kuno, hingga penemuan sains dan teknologi. Bangsa yang sudah melakukan langkah strategis pertama ini adalah Eropa, Jepang, dan Cina. Kedua kemampuan mengelola produk kebudayaan yang bersifat umum, industrial, dan ekonomis. Contoh; fashion hingga musik pop. Pada strategi kedua ini Amerika adalah satu negara pengekspor budaya pop dan musik popnya menduduki peringkat kedua setelah ekspor produk militernya. Ketiga kemampuan bangsa-bangsa mengelola produk kebudayaan yang bersifat alternative, garda depan, dan kontemporer. Pada wilayah ketiga ini barangkali Indonesia sudah berbicara lewat seniman-senimanya, seperti; Rahayu Supanggah dengan musiknya Megalitikum Kuantum, I Wayan Sadra, Sardono W. Kusuma (penari) dan lain-lain.
Menyikapi tiga strategi kebudayaan yang diutarakan oleh Garin Nugroho, apakah kita mampu mengaplikasikan di skup local Jombang? Lagi-lagi semoga itu dapat kita wujudkan bersama. Karena daya hidup sebuah kebudayaan sangat bergantung pada masyarakat dan pemerintahan yang melingkupinya. Apatah kita mampu merealisasikan masa-masa keemasan Sriwijaya, Mataram Kuna, Kediri, bahkan Majapahit, sebuah Negara maritim dan agraris yang cukup disegani pada masanya? Ini adalah pekerjaan rumah tidak hanya merupakan tanggung jawab seniman, melainkan seluruh stakeholder yang ada di kabupaten Jombang.
Bahan bakar lampu “DKJ” aladin berupa suntikan dana APBD II kabupaten Jombang sebesar Rp.500 juta per tahun selama empat tahun masa kepengurusan adalah janji manis untuk direalisasikan. Akankah mimpi membangun industri kreatif sebagai dampak pengembangan produk-produk seni budaya di Jombang bisa goal sampai batas visioner para punggawa seni budaya di kabupaten Jombang 2014 mendatang? Kita tunggu bersama. Sehingga pluralisme di Jombang yang memiliki nama besar KH Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Bangsa negeri ini, tidak sebatas lipstick semata.
Dalam mitologi negeri 1001 malam Iraq tersebutlah seorang remaja miskin bernama Aladin. Karena kemiskinan yang dialaminya, Aladin dan kedua orang tuanya tidak bisa merasakan makan enak dan berpakaian layak. Bisa menyambung hidup saja sudah untung. Syahdan pada suatu ketika Aladin menemukan rongsokan lampu di sebuah tempat pembuangan sampah. Karena tidak tahan akan lapar yang dialaminya, untuk perintang waktu Aladin menggosok-gosok lampu itu. Ajaib seketika ia dikejutkan dengan kedatangan makhluk raksasa tak diundang, dan ternyata adalah sesosok jin berhati baik. Singkat cerita Aladin dibolehkan mengajukan tiga permintaan. Akhirnya Aladin meminta dirinya menjadi Pangeran. Dan bisa ditebak seketika Aladin mendapatkan keinginannya.
Lepas dari kisah mitologi negeri 1001 Malam, pada bagian strategi pengembangan kebudayaan di Jombang, pada 25 Pebruari 2010 lalu, bertempat di aloon-aloon Jombang telah dilantik pengurus Dewan Kesenian Jombang disingkat DKJ masa bakti 2010 – 2014. DKJ yang terdiri atas 7 komite ini diharapkan sebagai alat untuk mengawal keberadaan seni budaya Jombang, yang konon mencapai 21 seni tradisi. Satu jumlah yang sangat fantastis, meskipun banyak di antaranya yang sudah punah. Duapuluh satu seni tradisi yang diduga lahir dan berkembang di Jombang itu antara lain; seni lerok, seniti, besutan, remo boletan, wayang topeng Jatiduwur, topeng sandur Manduro, jidor Sentulan, bedayan angleng, tandakan Grobogan, gambus misri, ludruk, jaran dor, remo Ali Markasa, wayang kulit Jombangan, gambir sawit Sengon, golek Sengon, cimplung brodinan, gemblak jur, wayang krucil Jatiwates, macapat bayen, dan cimplingan.
Mengapa kemudian saya analogikan bahwa lampu aladin itu adalah Dewan Kesenian Jombang? Hal itu tidak lain karena DKJ saya ibaratkan tempat, kurungan, atau lampu tempat bersemayam jin sakti bernama pengurus Dewan Kesenian Jombang yang dipimpin oleh birokrasi berjiwa seni bernama Agus Riadi. Bahkan konon kesaktian DKJ ini telah didukung plafon anggaran sebesar Rp.500 juta. Lagi-lagi fantastis dibandingkan dewan-dewan kesenian kota/kabupaten lain di Jawa Timur. Tetapi benarkah DKJ cukup sakti? Wallahualam bi shawab hanya waktu yang bisa menjawab.
Memang dengan melihat angka setengah M setiap orang akan berdecak kagum, tetapi itu semua belum cukup jika tidak disertai komitmen yang benar-benar teruji untuk mewujudkan sebuah mahakarya kebudayaan sebagai pembangun peradaban. Mengingat DKJ telah vakum atau malah sengaja divakumkan selama tidak kurang dari satu dasawarsa. Semoga dugaan ini salah belaka agar kekuatan Jombang sebagai hibriditas (difusi kebudayaan) Mataraman dan Arek mampu berbicara ke ranah yang lebih luas. Apalagi dengan konsep memasukkan sejumlah nama pejabat yang berpengaruh dalam struktur dewan pembinanya, meskipun mungkin dengan akal-akalan pitu setengah alias pitulungan setengah meksa!
Garin Nugroho, seorang sineas muda dan penggiat kebudayaan dalam bukunya berjudul Seni Merayu Massa, menyebutkan ada tiga hal yang menyebabkan sebuah daya hidup kebudayaan akan lestari dan menjadi pembangun ekonomi dan peradaban. Ini sekaligus sebagai jawaban atas “permintaan” terhadap tanggungjawab penghuni lampu “DKJ” aladin. Tiga hal itu; pertama daya merawat dan memberi hidup produk kebudayaan yang mengandung aspek kesejarahan di berbagai bidang. Contoh konkretnya adalah bangunan kuno, musik klasik, musik etnik, sastra kuno, hingga penemuan sains dan teknologi. Bangsa yang sudah melakukan langkah strategis pertama ini adalah Eropa, Jepang, dan Cina. Kedua kemampuan mengelola produk kebudayaan yang bersifat umum, industrial, dan ekonomis. Contoh; fashion hingga musik pop. Pada strategi kedua ini Amerika adalah satu negara pengekspor budaya pop dan musik popnya menduduki peringkat kedua setelah ekspor produk militernya. Ketiga kemampuan bangsa-bangsa mengelola produk kebudayaan yang bersifat alternative, garda depan, dan kontemporer. Pada wilayah ketiga ini barangkali Indonesia sudah berbicara lewat seniman-senimanya, seperti; Rahayu Supanggah dengan musiknya Megalitikum Kuantum, I Wayan Sadra, Sardono W. Kusuma (penari) dan lain-lain.
Menyikapi tiga strategi kebudayaan yang diutarakan oleh Garin Nugroho, apakah kita mampu mengaplikasikan di skup local Jombang? Lagi-lagi semoga itu dapat kita wujudkan bersama. Karena daya hidup sebuah kebudayaan sangat bergantung pada masyarakat dan pemerintahan yang melingkupinya. Apatah kita mampu merealisasikan masa-masa keemasan Sriwijaya, Mataram Kuna, Kediri, bahkan Majapahit, sebuah Negara maritim dan agraris yang cukup disegani pada masanya? Ini adalah pekerjaan rumah tidak hanya merupakan tanggung jawab seniman, melainkan seluruh stakeholder yang ada di kabupaten Jombang.
Bahan bakar lampu “DKJ” aladin berupa suntikan dana APBD II kabupaten Jombang sebesar Rp.500 juta per tahun selama empat tahun masa kepengurusan adalah janji manis untuk direalisasikan. Akankah mimpi membangun industri kreatif sebagai dampak pengembangan produk-produk seni budaya di Jombang bisa goal sampai batas visioner para punggawa seni budaya di kabupaten Jombang 2014 mendatang? Kita tunggu bersama. Sehingga pluralisme di Jombang yang memiliki nama besar KH Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Bangsa negeri ini, tidak sebatas lipstick semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar