Selasa, 07 September 2010

GAPURA

Dian Sukarno *)

Sering kita mendengar istilah gapura, pintu gerbang atau gate yang artinya kurang lebih sama, yaitu sebuah bagian dari sebuah struktur bangunan yang letaknya paling depan atau batas antara sebuah wilayah dengan wilayah lain. Gapura ini memegang peran sangat penting ketika dihubungkan dengan identitas arsitektural sebuah daerah atau Negara. Sebagai contoh ketika mendengar tentang Negara Jepang, maka hanya melihat gambar gapura kuil – kuil kuno Shinto di Negeri Matahari Terbit itu orang sudah bisa mengatakan itu adalah Jepang.
Kemudian imperium/kerajaan besar Majapahit terkenal dengan bentuk gapura-gapura paduraksa atau gapura beratap seperti gapura Bajangratu. Begitu berartinya nilai sebuah bangunan gapura sampai-sampai di zaman Laksamana Cheng Ho, gapura diidentikkan dengan tegaknya sebuah pemerintahan. Sehingga barangsiapa bisa merobohkan gapura sebuah kerajaan/Negara maka runtuhlah kerajaan itu.

Diakui atau tidak sebagai kota yang kental dengan nuansa agamis dan nasionalisnya, kabupaten Jombang belum memiliki gapura yang mewakili identitas lokal maupun kebanggaan personal wong Njombang. Hal ini perlu segera dipikirkan dan ditindaklanjuti dengan pendirian gapura sebagai bagian dari ikon kota Jombang. Apalagi semakin maraknya klaim pihak-pihak yang miskin identitas terhadap budaya adiluhung/luhur bangsa Indonesia. Pemikiran ini hendaknya melibatkan seluruh stakeholder masyarakat sehingga kelak jika sudah dibangun gapura yang diyakini mewakili kemajemukan kota Jombang, sudah tidak ada lagi kegamangan untuk membangun gapura kebanggaan di seantero wilayah kabupaten berjuluk kota santri ini.

Fakta-fakta kegamangan budaya ini terlihat jelas pada sejumlah bangunan publik, baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun kompleks perumahan. Di sana terlihat jelas model gapura gaya seenak sendiri. Sebagian besar bangunan itu menggunakan lengkung besar dengan pilar-pilar yang kokoh ala Romawi. Alangkah masygulnya rasa hati masyarakat Jombang jika menyadari betul fungsi gapura sebagai kebanggaan ikon lokal ketika melihat bentuk gapura suka-suka itu.

Sebuah bangunan termasuk gapura memiliki multifungsi sebagai bagian dari seni kriya maupun arsitektur.Sebagai salah satu bagian ikon sebuah daerah gapura hendaknya mewakili karakteristik yang sudah teruji selama ratusan bahkan ribuan tahun. Sehingga kita tidak semakin mendorong posisi interregnum bagi kondisi sosial budaya masyarakat Jombang. Artinya sebuah kondisi dimana nilai-nilai lama sudah hilang tetapi nilai baru belum ditemukan wujudnya.

Konon konsep gapura ini pada waktu penyebaran Islam oleh Walisongo bahkan dijadikan filosofi tentang kedamaian ajaran agama samawi ini. Karena gapura dimaknai sebagai ghofurun dalam bahasa Arab atau sarana saling memaafkan terhadap sesama atau pintu maaf antara yang satu dengan lainnya. Maka tidak mengherankan jika kita melihat sebagian besar bangunan kuno justru kesan kemegahan itu sangat jelas tergambar pada bentuk-bentuk gapuranya.

Untuk lebih menguatkan jatidiri/identitas yang merupakan kebanggaan lokal Jombang lebih tepatlah kiranya diawali berbagai langkah penyamaan persepsi tentang gapura yang disertai dengan study literature yang padu antar seluruh stakeholder masyarakat. Sehingga kebanggaan sebagai asset penting identitas bisa diperoleh.
Sebagai langkah awal bisa digunakan metode terbalik, artinya kita mulai dari akhir dari kondisi sekarang menuju masa yang diyakini bisa mewakili pluralitas kota Jombang. Karena wilayah Jombang sudah memegang peran penting sejak zaman Mataram Kuno Jawa Timur lewat dynasti besar Wangsa Isyana. Secara urutan bisa kita awali dari sekarang,masa revolusi fisik,zaman penjajahan belanda,zaman penyebaran Islam,masa sebelum Islam sejak Majapahit,Airlangga hingga Mataram Kuno Mpu Sindok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar