Dian Sukarno *)
Sering kita mendengar istilah gapura, pintu gerbang atau gate yang artinya kurang lebih sama, yaitu sebuah bagian dari sebuah struktur bangunan yang letaknya paling depan atau batas antara sebuah wilayah dengan wilayah lain. Gapura ini memegang peran sangat penting ketika dihubungkan dengan identitas arsitektural sebuah daerah atau Negara. Sebagai contoh ketika mendengar tentang Negara Jepang, maka hanya melihat gambar gapura kuil – kuil kuno Shinto di Negeri Matahari Terbit itu orang sudah bisa mengatakan itu adalah Jepang.
Kemudian imperium/kerajaan besar Majapahit terkenal dengan bentuk gapura-gapura paduraksa atau gapura beratap seperti gapura Bajangratu. Begitu berartinya nilai sebuah bangunan gapura sampai-sampai di zaman Laksamana Cheng Ho, gapura diidentikkan dengan tegaknya sebuah pemerintahan. Sehingga barangsiapa bisa merobohkan gapura sebuah kerajaan/Negara maka runtuhlah kerajaan itu.
Diakui atau tidak sebagai kota yang kental dengan nuansa agamis dan nasionalisnya, kabupaten Jombang belum memiliki gapura yang mewakili identitas lokal maupun kebanggaan personal wong Njombang. Hal ini perlu segera dipikirkan dan ditindaklanjuti dengan pendirian gapura sebagai bagian dari ikon kota Jombang. Apalagi semakin maraknya klaim pihak-pihak yang miskin identitas terhadap budaya adiluhung/luhur bangsa Indonesia. Pemikiran ini hendaknya melibatkan seluruh stakeholder masyarakat sehingga kelak jika sudah dibangun gapura yang diyakini mewakili kemajemukan kota Jombang, sudah tidak ada lagi kegamangan untuk membangun gapura kebanggaan di seantero wilayah kabupaten berjuluk kota santri ini.
Fakta-fakta kegamangan budaya ini terlihat jelas pada sejumlah bangunan publik, baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun kompleks perumahan. Di sana terlihat jelas model gapura gaya seenak sendiri. Sebagian besar bangunan itu menggunakan lengkung besar dengan pilar-pilar yang kokoh ala Romawi. Alangkah masygulnya rasa hati masyarakat Jombang jika menyadari betul fungsi gapura sebagai kebanggaan ikon lokal ketika melihat bentuk gapura suka-suka itu.
Sebuah bangunan termasuk gapura memiliki multifungsi sebagai bagian dari seni kriya maupun arsitektur.Sebagai salah satu bagian ikon sebuah daerah gapura hendaknya mewakili karakteristik yang sudah teruji selama ratusan bahkan ribuan tahun. Sehingga kita tidak semakin mendorong posisi interregnum bagi kondisi sosial budaya masyarakat Jombang. Artinya sebuah kondisi dimana nilai-nilai lama sudah hilang tetapi nilai baru belum ditemukan wujudnya.
Konon konsep gapura ini pada waktu penyebaran Islam oleh Walisongo bahkan dijadikan filosofi tentang kedamaian ajaran agama samawi ini. Karena gapura dimaknai sebagai ghofurun dalam bahasa Arab atau sarana saling memaafkan terhadap sesama atau pintu maaf antara yang satu dengan lainnya. Maka tidak mengherankan jika kita melihat sebagian besar bangunan kuno justru kesan kemegahan itu sangat jelas tergambar pada bentuk-bentuk gapuranya.
Untuk lebih menguatkan jatidiri/identitas yang merupakan kebanggaan lokal Jombang lebih tepatlah kiranya diawali berbagai langkah penyamaan persepsi tentang gapura yang disertai dengan study literature yang padu antar seluruh stakeholder masyarakat. Sehingga kebanggaan sebagai asset penting identitas bisa diperoleh.
Sebagai langkah awal bisa digunakan metode terbalik, artinya kita mulai dari akhir dari kondisi sekarang menuju masa yang diyakini bisa mewakili pluralitas kota Jombang. Karena wilayah Jombang sudah memegang peran penting sejak zaman Mataram Kuno Jawa Timur lewat dynasti besar Wangsa Isyana. Secara urutan bisa kita awali dari sekarang,masa revolusi fisik,zaman penjajahan belanda,zaman penyebaran Islam,masa sebelum Islam sejak Majapahit,Airlangga hingga Mataram Kuno Mpu Sindok.
Sering kita mendengar istilah gapura, pintu gerbang atau gate yang artinya kurang lebih sama, yaitu sebuah bagian dari sebuah struktur bangunan yang letaknya paling depan atau batas antara sebuah wilayah dengan wilayah lain. Gapura ini memegang peran sangat penting ketika dihubungkan dengan identitas arsitektural sebuah daerah atau Negara. Sebagai contoh ketika mendengar tentang Negara Jepang, maka hanya melihat gambar gapura kuil – kuil kuno Shinto di Negeri Matahari Terbit itu orang sudah bisa mengatakan itu adalah Jepang.
Kemudian imperium/kerajaan besar Majapahit terkenal dengan bentuk gapura-gapura paduraksa atau gapura beratap seperti gapura Bajangratu. Begitu berartinya nilai sebuah bangunan gapura sampai-sampai di zaman Laksamana Cheng Ho, gapura diidentikkan dengan tegaknya sebuah pemerintahan. Sehingga barangsiapa bisa merobohkan gapura sebuah kerajaan/Negara maka runtuhlah kerajaan itu.
Diakui atau tidak sebagai kota yang kental dengan nuansa agamis dan nasionalisnya, kabupaten Jombang belum memiliki gapura yang mewakili identitas lokal maupun kebanggaan personal wong Njombang. Hal ini perlu segera dipikirkan dan ditindaklanjuti dengan pendirian gapura sebagai bagian dari ikon kota Jombang. Apalagi semakin maraknya klaim pihak-pihak yang miskin identitas terhadap budaya adiluhung/luhur bangsa Indonesia. Pemikiran ini hendaknya melibatkan seluruh stakeholder masyarakat sehingga kelak jika sudah dibangun gapura yang diyakini mewakili kemajemukan kota Jombang, sudah tidak ada lagi kegamangan untuk membangun gapura kebanggaan di seantero wilayah kabupaten berjuluk kota santri ini.
Fakta-fakta kegamangan budaya ini terlihat jelas pada sejumlah bangunan publik, baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun kompleks perumahan. Di sana terlihat jelas model gapura gaya seenak sendiri. Sebagian besar bangunan itu menggunakan lengkung besar dengan pilar-pilar yang kokoh ala Romawi. Alangkah masygulnya rasa hati masyarakat Jombang jika menyadari betul fungsi gapura sebagai kebanggaan ikon lokal ketika melihat bentuk gapura suka-suka itu.
Sebuah bangunan termasuk gapura memiliki multifungsi sebagai bagian dari seni kriya maupun arsitektur.Sebagai salah satu bagian ikon sebuah daerah gapura hendaknya mewakili karakteristik yang sudah teruji selama ratusan bahkan ribuan tahun. Sehingga kita tidak semakin mendorong posisi interregnum bagi kondisi sosial budaya masyarakat Jombang. Artinya sebuah kondisi dimana nilai-nilai lama sudah hilang tetapi nilai baru belum ditemukan wujudnya.
Konon konsep gapura ini pada waktu penyebaran Islam oleh Walisongo bahkan dijadikan filosofi tentang kedamaian ajaran agama samawi ini. Karena gapura dimaknai sebagai ghofurun dalam bahasa Arab atau sarana saling memaafkan terhadap sesama atau pintu maaf antara yang satu dengan lainnya. Maka tidak mengherankan jika kita melihat sebagian besar bangunan kuno justru kesan kemegahan itu sangat jelas tergambar pada bentuk-bentuk gapuranya.
Untuk lebih menguatkan jatidiri/identitas yang merupakan kebanggaan lokal Jombang lebih tepatlah kiranya diawali berbagai langkah penyamaan persepsi tentang gapura yang disertai dengan study literature yang padu antar seluruh stakeholder masyarakat. Sehingga kebanggaan sebagai asset penting identitas bisa diperoleh.
Sebagai langkah awal bisa digunakan metode terbalik, artinya kita mulai dari akhir dari kondisi sekarang menuju masa yang diyakini bisa mewakili pluralitas kota Jombang. Karena wilayah Jombang sudah memegang peran penting sejak zaman Mataram Kuno Jawa Timur lewat dynasti besar Wangsa Isyana. Secara urutan bisa kita awali dari sekarang,masa revolusi fisik,zaman penjajahan belanda,zaman penyebaran Islam,masa sebelum Islam sejak Majapahit,Airlangga hingga Mataram Kuno Mpu Sindok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar