Sabrank Suparno
Pakar neurologi menyebutnya diskonektif ners. Terputusnya jaringan syaraf dalam tempurung kepala yang jumlahnya berpuluh-puluh milyard. Akibatnya si Gila sering ber-ulah nyimpang dari rutinitas sebelumnya. Atau kadang memang tidak berkembang. Terjadi hanya berulang-ulang. Hal yang sama juga dikatakan sosiolog, si Gila, majal dengan lingkungan, baik konvensi, dogma, idiologi, filsafat, atau tanpa kategori apapun. Namanya juga gila. Sebuah jabatan yang hanya mampu diemban orang-orang tertentu.
Untuk menjadi si Gila tidaklah gampang. Sebagaimana profesor, ia harus melampau fase dan tahap tertentu dalam hidupnya. Tidak Gila begitu saja. Ceritanya berawal dari keputusan berat, saat ditawari alam semesta dalam perjanjian di bawah kabut. Perjanjian dengan keberanian resiko tingkat tinggi. “Wahai calon pengGila, demi mengajari ribuan manusia agar memoles peradapannya diperlukan tumbal, agar manusia tidak menciptakan jaman gila, sejarah gila, peradapan gila. Alam memilih kalian yang mempunyai talenta khusus di bidang gila ini. Apakah kalian sanggup?” Tanya Pak Alamsah yang memang sah menjadi alam. Calon si Gila menjawab” kalau tidak kami yang menjalankan, siapa sanggup. Ini memang pilihan berat. Tapi demi mengajari ribuan orang agar tidak menjadi Gila, seberat apapun kami siap melakukannya”. Perjanjian itu kemudian ditandatangani pada bukan hitam di atas putih, diel dan sah
Tentu saja si Gila mendapat fasilitas khusus dalam profesinya. Yaitu bebas dari jeratan hukum apapun, kecuali terpaksa. Si Gila ini kemudan menjalankan profesiya dengan berbagai mode yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Satu pagi, saat aku berangkat kerja ke kota. Sudah menjadi rutinitas pagiku, berangkat subuh, naik kereta. Aku dan ribuan sampah hendak dibuang menimbun kota dengan kereta zombe. Si Gila ini, mulanya duduk di sekitarku. Dengan pakaian khas dekil dan bau penguk, si Gila ini ngedumel sendiri sambil cekikikan. Mulanya kami menyangka. Mungkin ini salah satu komplotan si Gila.
Dalam kereta ada orang berjualan nasi keliling buat sarapan pagi. Kami langganan. Dari pada bontot dari rumah, lebih praktis sarapan di kereta saja. Kami semua membeli, ada juga yang berhutang, bayar setelah gajian. Si Gila ini diam saja. Setelah pedagang nasi berlalu ke gerbong berikutnya, barulah si Gila ini ber-ulah. Tiba-tiba dia tidur terlentang. Kakinya mancal-mancal persis anjing selesai ditungging lelakinya. Ia pun berteriak tanpa makna. Seketika penumpang semburat bubar, gaduh dan ricuh. Meski seorang diri, si Gila tetap saja ditakuti banyak orang. Tanpa jeratan hukum, si Gila aman memukul. Dari pada resiko, mending menjauh. Dipukul si Gila dengan didamprat calon mertua, tak ada beda, kalau kita marah tidak akan dikasih anaknya. Aku mendatanginya. Si Gila diam. Sebetulnya dia berpotensi marah kepura-puraan sebagai aksi lanjutan dari akting yang dimainkan. Tetapi segila apapun aksinya, dia sungkan juga ketika ditawari kepedulian. Sebatang rokok dan korek api ku siapkan. Ia mengambil dan lalu kusulut rokoknya persis kolega karja atau sahabat lama. Barulah ia terdiam. Apalagi aku sodorkan sebungkus nasi, seolah ia mendapat yang di inginkan.
***
Setelah isyak si Gila ini, sibuk meminggirkan batu berserakan di perempatan jalan. Serpihan galian tepi jalan untuk memendam kabel telephon. Karena kemalaman, para penggali kabel tidak sempat menyingkirkan bebatuan. Sementara jalanan kian ramai lalu lalang di pinggiran kota. Orang hanya berfikir,” dasar orang gila, ada saja yang dikerjakan. Toh tidak ada yang mengupah.” Si Gila ini kemudian menghampiriku yang duduk di seberang jalan bermain gitar. Ia duduk di sampingku dengan sapaan gilanya. Cekikiannya terpatah dan dilanjutkan dengan omelan lirih ”hihihi bisa nyanyi juga, ya, nyanyi, nyanyi”. Lihat rambutnya yang panjang, aku berfikir si Gila ini pandai bergitar. Sepontan aku sodori gitar. “ Boleh, kamu gak apa-apa gitarnya saya pakai?”. Aku jawab dengan anggukan kepala. Jari jemarinya segera jemerintil gerayangi petikan dawai-dawai. “Crise, Crise,” sepertinya dia menanyaiku apakah aku bisa menyanyikan lagunya Crise. Aku mengangguk. Gembrengan yang rancak dari tangan rusuhnya segera mengiringi lantunan memori Crise.”Maka maafkan jika ku mencintaimu// Atau bolehkah aku sekedar sayang padamu.” Lagu nostalgia itupun menyeretku berduet dengannya.
Setelah lagu usai, si Gila kemudian memandangku. Perkatannya sepotong sepotong.” Tokoh, tokoh”. Aku jawab yang ku kenal. “ Gus Dur, Emha, CG. Fara, Cafies, Moralies, Ahmaddinejet, Iqbal.” Si Gila itu mengangguk dan menyodorkan gitarnya kembali ke aku. “Menyanyi bukan sekedar show, show. Cukup sebagai obsesi tuk menghibur diri. Menghibur diri.” Si Gila kemudian beranjak pergi. Aku pikir”ini sih bukan gila”. Uang yang tinggal lima ribu disaku, aku belikan nasi jinggo. Setelah makan si Gila bekerja lagi meskipun tanpa gaji.
***
Si Gila yang satu ini seorang wanita. Dia sudah beken. Sejak aku lahir, ia sudah gila. Tiap awal bulan ada rombongan datang mengendarai mobil mewah yang mengajaknya pulang. Tetapi si Gila itu selalu menolak. “Kalian pulang saja sendiri. Rumah dan harta benda tempatilah bersama ayahmu dan begenggeknya(pelacur). Biar Ayahmu puas.” Diduga penyebab wanita ini, gila karena suaminya selingkuh.
Siang bolong si Gila ini masuk ke Gardu Pos di pojok desa. Sehabis mandi ia mengurai rambutnya. Beberapa saat kemudian, lewat si pria Gila. Entah kapan kenalnya, mereka sepertinya akrab. Si pria Gila itu sering mampir kerumahku. Sekedar minta segelas air minum. Suatu hari, sehabis minum, ia duduk di amben balai agak lama. Melihat buku bahasa inggrisku, ia langsung membacanya. Ternyata si Gila ini lebih fasih bahasa inggris ketimbang guruku. Menurut ibu, ia dulu kuliah di Surabaya. Setelah menghabiskan harta kekasihnya, barulah ia gila.
Kedua pengGila itu duduk berdampingan. Mereka tak punya bahasa, kecuali hanya berbalas tawa. Si pria kemudian mencium lalu tertawa. Begitu pula si wanita juga menirukannya. Kedua tangan si Gila itu kemudian melucuti pakaian masing-masing. Dan segeralah keduanya merayakan pengantin gila yang jarang dilakukannya. Apakah dalam keadaan demikian, gila masih perlu disertakan sebagai identitas?
Namun itu belum seberapa. Yang lebih gila di antara kegilaan adalah seusai bersetubuh, si wanita tertawa terbahak sembari berteriak” enaknya, enaknya, hahaha.” Kontan saja orang-orang waras yang sibuk di sawah pada tertawa. Ternyata orang gila merasa enak juga ketika bersetubuh.
***
Saat aku mondok di pesantren, tiap kamis si Gila datang. Kiai yang sudah hafal maksut kedatangannya langsung memberinya uang. Namun ketika kiaiku sedang diundang ceramah, si Gila ini datang. Dia mengira kiaiku dirumah. Lama menunggu kiai kok tidak keluar, si Gila segera beraksi. Ia berdiri di tengah latar, sorbannya dikibar-kibarkan, suaranya berkoar, ceramah seperti di depan podium yang dihadiri ribuan massa. Dalil hadist dan ayat alqur’an diterjemahkan sangat radikal. Santri yang menyaksikannya terkesima, terpukau. Seketika ceramahnya berhenti ketika Bu Nyai keluar dan memberinya uang. Demikian agaknya. Ngaji saja belum hatam jika belum diceramai kiai gila.
***
Wanita muda beranak tiga ini lain cerita. Sebelum ia gila, berunding dulu denganku. Sumpeknya yang hebat adalah ledakan besar dari galau berkepanjangan sejak ia menikah. Parasnya cantik, tubuh semampai, hidung mancung, membuat suamiya tercuri hatinya. Lulus sekolah dasar ia membantu ibunya berjualan di pasar. Suaminya penyuplai dagangan dari luar pulau. Orang bilang, wanita itu ibarat kedung/kubangan air. Sehingga dijeburi ikan berapa saja takkan menolak. Begitulah ibu wanita ini. Sekali menolak, pertanda sial perjodohan putrinya. Maka, orng tuanya menerima begitu saja ketika suaminya dulu meminang dirinya, meskipun berbeda agama. Sepadan suaminya, wanita ini juga menimpali rasa simpati. Awal tumbuh cintanya seusai menstrulasi.
Tradisi yang tak terlalu pelik soal agama, menyarankan wanita mengikuti ajaran suaminya. Namun karena ajaran tak tumbuh sejak kecil, agama baginya mengambang tak kunjung faham. Seiring pupusnya usia, ia semakin was-was. Tidak sebakti tetangga, sanak, kerabat, saudara dalam mengabdi pada tuhannya. Keserakahan baginya adalah saat suami merampas agama, anak yang diikutkan neneknya di Jawa. “Aku menggila saja, biar tak ada orang bertanya tentang rumah tanggaku yang timpang tindih.” Sambat wanita itu kepadaku. Tiga hari setelahnya, pagi di penghujung hari raya nyepi, suaminya berlari menemuiku. Lelaki itu berkata kalau hendak melaporkan istrinya ke polisi. Sejak pagi istrinya mandi di sungai dan anaknya yang kecil dicelup-celupkan hingga menggigil. Aku temui wanita itu. Wajahnya pucat membeku. Air masih mengucur deras dari rambutnya. Anak kecilnya tak kutemui lagi di tangannya. Rupanya tetangga sudah merebutnya. Ia diam saja ketika aku menghampiri. Sedang orang lain, termasuk suaminya ditodong pisau jika mendekat. Suaranya lirih” kamu tenang saja, aku sudah ukur dosisnya. Termasuk anakku. Tak kubiarkan ia terlalu dingin. Aku sudah berfikir bahwa tetangga pasti segera merebut dari tanganku.” Sejak itu, wanita ini bisa berlagak gila pada semua orang, tetapi tidak padaku.
***
Si Gila jenis ini tak sendirian. Mereka berkerumun dalam ruang dan waktu terjadwal. Gila kolektif. Yang virusnya sengaja disebar professor dalam laboraturiumnya. Gila kampus dan keorganisasian, mereka rela ngerumpi rapat dan pulang hingga parkiran sepi.
Gila jabatan, mereka rela gerjudi gelap, membagikan uang agar terpilih, dan sesudahnya berfikir cara uang kembali.
Gila suporter sepekbola, mereka berjingkrak kesana kemari, membikin keributan, padahal tak ada gunanya bagi kemajuan bangsa. Kalaupun olahraga menyehatkan, toh yang sehat pemainnya. Gila jenis ini sudah merebak menjangkiti anak sejak dini.
Kabarnya penyakit gila yang baru berkembang adalah gila seluruh penghuni bangsa. Yakni gila untuk berperang melawan Malaysia. Karuan saja mereka berani, sekian lama hidup di negerinya toh tak ada arti. Tetapi untuk apa Negara dibela, kemenangan toh hanya pesta para pemerintah. Gila kolektif ini disebabkan tumpulnya nalar dan cara berfikir. Tak melihat tragedi perang Irak-Kuwait, Israel- Palestina, dan jika Indoesia –Malaysia, gilalah seluruh dunia. Krisis finansial global, Amerika-Eropa terpuruk. Hanya Negara agraris Indonesia- Brazilia yang bisa menyuplai makanan seluruh dunia. Amerika- Eropa, makan apa?
( Memoar awal September, Jombang 2010)
Pakar neurologi menyebutnya diskonektif ners. Terputusnya jaringan syaraf dalam tempurung kepala yang jumlahnya berpuluh-puluh milyard. Akibatnya si Gila sering ber-ulah nyimpang dari rutinitas sebelumnya. Atau kadang memang tidak berkembang. Terjadi hanya berulang-ulang. Hal yang sama juga dikatakan sosiolog, si Gila, majal dengan lingkungan, baik konvensi, dogma, idiologi, filsafat, atau tanpa kategori apapun. Namanya juga gila. Sebuah jabatan yang hanya mampu diemban orang-orang tertentu.
Untuk menjadi si Gila tidaklah gampang. Sebagaimana profesor, ia harus melampau fase dan tahap tertentu dalam hidupnya. Tidak Gila begitu saja. Ceritanya berawal dari keputusan berat, saat ditawari alam semesta dalam perjanjian di bawah kabut. Perjanjian dengan keberanian resiko tingkat tinggi. “Wahai calon pengGila, demi mengajari ribuan manusia agar memoles peradapannya diperlukan tumbal, agar manusia tidak menciptakan jaman gila, sejarah gila, peradapan gila. Alam memilih kalian yang mempunyai talenta khusus di bidang gila ini. Apakah kalian sanggup?” Tanya Pak Alamsah yang memang sah menjadi alam. Calon si Gila menjawab” kalau tidak kami yang menjalankan, siapa sanggup. Ini memang pilihan berat. Tapi demi mengajari ribuan orang agar tidak menjadi Gila, seberat apapun kami siap melakukannya”. Perjanjian itu kemudian ditandatangani pada bukan hitam di atas putih, diel dan sah
Tentu saja si Gila mendapat fasilitas khusus dalam profesinya. Yaitu bebas dari jeratan hukum apapun, kecuali terpaksa. Si Gila ini kemudan menjalankan profesiya dengan berbagai mode yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Satu pagi, saat aku berangkat kerja ke kota. Sudah menjadi rutinitas pagiku, berangkat subuh, naik kereta. Aku dan ribuan sampah hendak dibuang menimbun kota dengan kereta zombe. Si Gila ini, mulanya duduk di sekitarku. Dengan pakaian khas dekil dan bau penguk, si Gila ini ngedumel sendiri sambil cekikikan. Mulanya kami menyangka. Mungkin ini salah satu komplotan si Gila.
Dalam kereta ada orang berjualan nasi keliling buat sarapan pagi. Kami langganan. Dari pada bontot dari rumah, lebih praktis sarapan di kereta saja. Kami semua membeli, ada juga yang berhutang, bayar setelah gajian. Si Gila ini diam saja. Setelah pedagang nasi berlalu ke gerbong berikutnya, barulah si Gila ini ber-ulah. Tiba-tiba dia tidur terlentang. Kakinya mancal-mancal persis anjing selesai ditungging lelakinya. Ia pun berteriak tanpa makna. Seketika penumpang semburat bubar, gaduh dan ricuh. Meski seorang diri, si Gila tetap saja ditakuti banyak orang. Tanpa jeratan hukum, si Gila aman memukul. Dari pada resiko, mending menjauh. Dipukul si Gila dengan didamprat calon mertua, tak ada beda, kalau kita marah tidak akan dikasih anaknya. Aku mendatanginya. Si Gila diam. Sebetulnya dia berpotensi marah kepura-puraan sebagai aksi lanjutan dari akting yang dimainkan. Tetapi segila apapun aksinya, dia sungkan juga ketika ditawari kepedulian. Sebatang rokok dan korek api ku siapkan. Ia mengambil dan lalu kusulut rokoknya persis kolega karja atau sahabat lama. Barulah ia terdiam. Apalagi aku sodorkan sebungkus nasi, seolah ia mendapat yang di inginkan.
***
Setelah isyak si Gila ini, sibuk meminggirkan batu berserakan di perempatan jalan. Serpihan galian tepi jalan untuk memendam kabel telephon. Karena kemalaman, para penggali kabel tidak sempat menyingkirkan bebatuan. Sementara jalanan kian ramai lalu lalang di pinggiran kota. Orang hanya berfikir,” dasar orang gila, ada saja yang dikerjakan. Toh tidak ada yang mengupah.” Si Gila ini kemudian menghampiriku yang duduk di seberang jalan bermain gitar. Ia duduk di sampingku dengan sapaan gilanya. Cekikiannya terpatah dan dilanjutkan dengan omelan lirih ”hihihi bisa nyanyi juga, ya, nyanyi, nyanyi”. Lihat rambutnya yang panjang, aku berfikir si Gila ini pandai bergitar. Sepontan aku sodori gitar. “ Boleh, kamu gak apa-apa gitarnya saya pakai?”. Aku jawab dengan anggukan kepala. Jari jemarinya segera jemerintil gerayangi petikan dawai-dawai. “Crise, Crise,” sepertinya dia menanyaiku apakah aku bisa menyanyikan lagunya Crise. Aku mengangguk. Gembrengan yang rancak dari tangan rusuhnya segera mengiringi lantunan memori Crise.”Maka maafkan jika ku mencintaimu// Atau bolehkah aku sekedar sayang padamu.” Lagu nostalgia itupun menyeretku berduet dengannya.
Setelah lagu usai, si Gila kemudian memandangku. Perkatannya sepotong sepotong.” Tokoh, tokoh”. Aku jawab yang ku kenal. “ Gus Dur, Emha, CG. Fara, Cafies, Moralies, Ahmaddinejet, Iqbal.” Si Gila itu mengangguk dan menyodorkan gitarnya kembali ke aku. “Menyanyi bukan sekedar show, show. Cukup sebagai obsesi tuk menghibur diri. Menghibur diri.” Si Gila kemudian beranjak pergi. Aku pikir”ini sih bukan gila”. Uang yang tinggal lima ribu disaku, aku belikan nasi jinggo. Setelah makan si Gila bekerja lagi meskipun tanpa gaji.
***
Si Gila yang satu ini seorang wanita. Dia sudah beken. Sejak aku lahir, ia sudah gila. Tiap awal bulan ada rombongan datang mengendarai mobil mewah yang mengajaknya pulang. Tetapi si Gila itu selalu menolak. “Kalian pulang saja sendiri. Rumah dan harta benda tempatilah bersama ayahmu dan begenggeknya(pelacur). Biar Ayahmu puas.” Diduga penyebab wanita ini, gila karena suaminya selingkuh.
Siang bolong si Gila ini masuk ke Gardu Pos di pojok desa. Sehabis mandi ia mengurai rambutnya. Beberapa saat kemudian, lewat si pria Gila. Entah kapan kenalnya, mereka sepertinya akrab. Si pria Gila itu sering mampir kerumahku. Sekedar minta segelas air minum. Suatu hari, sehabis minum, ia duduk di amben balai agak lama. Melihat buku bahasa inggrisku, ia langsung membacanya. Ternyata si Gila ini lebih fasih bahasa inggris ketimbang guruku. Menurut ibu, ia dulu kuliah di Surabaya. Setelah menghabiskan harta kekasihnya, barulah ia gila.
Kedua pengGila itu duduk berdampingan. Mereka tak punya bahasa, kecuali hanya berbalas tawa. Si pria kemudian mencium lalu tertawa. Begitu pula si wanita juga menirukannya. Kedua tangan si Gila itu kemudian melucuti pakaian masing-masing. Dan segeralah keduanya merayakan pengantin gila yang jarang dilakukannya. Apakah dalam keadaan demikian, gila masih perlu disertakan sebagai identitas?
Namun itu belum seberapa. Yang lebih gila di antara kegilaan adalah seusai bersetubuh, si wanita tertawa terbahak sembari berteriak” enaknya, enaknya, hahaha.” Kontan saja orang-orang waras yang sibuk di sawah pada tertawa. Ternyata orang gila merasa enak juga ketika bersetubuh.
***
Saat aku mondok di pesantren, tiap kamis si Gila datang. Kiai yang sudah hafal maksut kedatangannya langsung memberinya uang. Namun ketika kiaiku sedang diundang ceramah, si Gila ini datang. Dia mengira kiaiku dirumah. Lama menunggu kiai kok tidak keluar, si Gila segera beraksi. Ia berdiri di tengah latar, sorbannya dikibar-kibarkan, suaranya berkoar, ceramah seperti di depan podium yang dihadiri ribuan massa. Dalil hadist dan ayat alqur’an diterjemahkan sangat radikal. Santri yang menyaksikannya terkesima, terpukau. Seketika ceramahnya berhenti ketika Bu Nyai keluar dan memberinya uang. Demikian agaknya. Ngaji saja belum hatam jika belum diceramai kiai gila.
***
Wanita muda beranak tiga ini lain cerita. Sebelum ia gila, berunding dulu denganku. Sumpeknya yang hebat adalah ledakan besar dari galau berkepanjangan sejak ia menikah. Parasnya cantik, tubuh semampai, hidung mancung, membuat suamiya tercuri hatinya. Lulus sekolah dasar ia membantu ibunya berjualan di pasar. Suaminya penyuplai dagangan dari luar pulau. Orang bilang, wanita itu ibarat kedung/kubangan air. Sehingga dijeburi ikan berapa saja takkan menolak. Begitulah ibu wanita ini. Sekali menolak, pertanda sial perjodohan putrinya. Maka, orng tuanya menerima begitu saja ketika suaminya dulu meminang dirinya, meskipun berbeda agama. Sepadan suaminya, wanita ini juga menimpali rasa simpati. Awal tumbuh cintanya seusai menstrulasi.
Tradisi yang tak terlalu pelik soal agama, menyarankan wanita mengikuti ajaran suaminya. Namun karena ajaran tak tumbuh sejak kecil, agama baginya mengambang tak kunjung faham. Seiring pupusnya usia, ia semakin was-was. Tidak sebakti tetangga, sanak, kerabat, saudara dalam mengabdi pada tuhannya. Keserakahan baginya adalah saat suami merampas agama, anak yang diikutkan neneknya di Jawa. “Aku menggila saja, biar tak ada orang bertanya tentang rumah tanggaku yang timpang tindih.” Sambat wanita itu kepadaku. Tiga hari setelahnya, pagi di penghujung hari raya nyepi, suaminya berlari menemuiku. Lelaki itu berkata kalau hendak melaporkan istrinya ke polisi. Sejak pagi istrinya mandi di sungai dan anaknya yang kecil dicelup-celupkan hingga menggigil. Aku temui wanita itu. Wajahnya pucat membeku. Air masih mengucur deras dari rambutnya. Anak kecilnya tak kutemui lagi di tangannya. Rupanya tetangga sudah merebutnya. Ia diam saja ketika aku menghampiri. Sedang orang lain, termasuk suaminya ditodong pisau jika mendekat. Suaranya lirih” kamu tenang saja, aku sudah ukur dosisnya. Termasuk anakku. Tak kubiarkan ia terlalu dingin. Aku sudah berfikir bahwa tetangga pasti segera merebut dari tanganku.” Sejak itu, wanita ini bisa berlagak gila pada semua orang, tetapi tidak padaku.
***
Si Gila jenis ini tak sendirian. Mereka berkerumun dalam ruang dan waktu terjadwal. Gila kolektif. Yang virusnya sengaja disebar professor dalam laboraturiumnya. Gila kampus dan keorganisasian, mereka rela ngerumpi rapat dan pulang hingga parkiran sepi.
Gila jabatan, mereka rela gerjudi gelap, membagikan uang agar terpilih, dan sesudahnya berfikir cara uang kembali.
Gila suporter sepekbola, mereka berjingkrak kesana kemari, membikin keributan, padahal tak ada gunanya bagi kemajuan bangsa. Kalaupun olahraga menyehatkan, toh yang sehat pemainnya. Gila jenis ini sudah merebak menjangkiti anak sejak dini.
Kabarnya penyakit gila yang baru berkembang adalah gila seluruh penghuni bangsa. Yakni gila untuk berperang melawan Malaysia. Karuan saja mereka berani, sekian lama hidup di negerinya toh tak ada arti. Tetapi untuk apa Negara dibela, kemenangan toh hanya pesta para pemerintah. Gila kolektif ini disebabkan tumpulnya nalar dan cara berfikir. Tak melihat tragedi perang Irak-Kuwait, Israel- Palestina, dan jika Indoesia –Malaysia, gilalah seluruh dunia. Krisis finansial global, Amerika-Eropa terpuruk. Hanya Negara agraris Indonesia- Brazilia yang bisa menyuplai makanan seluruh dunia. Amerika- Eropa, makan apa?
( Memoar awal September, Jombang 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar