Selasa, 07 September 2010

Idul Fitri dalam Empat Teori

Sabrank Suparno

A. Konsep Astronomi

Bagi umat muslim, sebelum memasuki Idul Fitri dihantarkan dulu detik-detik sepuluh hari terahir ramadhan yang mengandung nuansa Lailatul Qodar di dalamnya. Yakni menginjak malem ke 21(malem 1), malem ke 23(malem 3), malem ke 25(malem 5), malem ke 27(malem 7), dan terahir malem ke 29(malem 9). Perhitungan ini didasarkan pada bulan Komariyah/bulan jawa.

Dalam surat Al-Qodar ayat 1-5, Alloh menginstruksikan khusus bahwa pada malam yang ditentukan itu, Alloh memberikan kompensasi besar-besaran atas kemurahannya yang disimbolkan dengan ungkapan seribu bulan. Dalam kajian sastra istilah ini disebut aksegreeting atau membesar-besarkan masalah. Ungkapan seribu bulan dihadirkan sebagai alegori setara satu indikasi kebaikan.

Alloh memamg berhak ngudoroso atau meluapkan kelomanannya pada syarat yang Ia tentukan. Kata tanazzal yang artinya turun serempak/ bersama sama dalam jumlah besar/gemberuduk merupakan reaksi peyoratif dari kata dasar nazala; turun. Satu kebaikan pada malam Lailatul Qodar dihargai Alloh berbanding seribu bulan. Tentu hal ini memakai teori percepatan atau sejenis pemuaian yang digambarkan turun berbondong-bondong dan tidak turun satu per satu.

Dalam satu ruang persegi empat misalnya, dapat dimasuki padatan atom yang dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan seberapa besar bulatan atom benda yang hendak dimasukkan ke ruang tersebut. Tetapi ruang itu akan dapat diisi lebih berlipat jika dimasukkan padatan atom cahaya. Sebab cahaya bukanlah sejenis partikel atom bozon yang padat, melainkan jenis atom firmon. Tanazzal/percepatan/pemuaian malaikat yang susunan zatnya berupa cahaya, memungkinkan terjadinya pelipatgandaan sampai batas tak terhingga.

Lailatul Qodar, juga dipahami sebagai malam ketentuan. Dimana tahap penciptaan kehidupan melampaui proses metamorfosis terlebih dahulu. Takdir pertama kehidupan diawali dari malam ke satu. Simbol tetkala Alloh dalam kesendiriannya jauh sebelum Ia menciptakan alam semesta. Kesendirian Alloh bersifat utuh, kontinu, dan memuai. Dan bukan diskursif. Dari kesendirian dan kemudian memunculkan ‘ide’menciptakan alam semesta. Ide inilah yang disebut takdir/kejadian pertama dalam kehidupan. Ide, yang dilahirkan Alloh berarti bukan Alloh. Ide termasuk mahluk.

Malam kedua Lailatul Qodar, merupakan metamorfosis dari ‘ide’ yang dicetuskan. Ide bukanlah bentuk. Sedangkan untuk menuangkan ide menjadi sebuah bentuk diperlukan wadah atau tempat. Tempat yang akan dituangi ide alam semesta adalah ‘ruang hampa’. Maka menyediakan ruang bagi jagat raya adalah tahap penakdiran kedua setelah menciptakan ide, atau yang disebut malam ke tiga atau malam 23 ramadhan. Malam ketiga terjadi dari proses penjumlahan1+2=3: 1=Alloh dalam mencetuskan ide, 2=Alloh menyiapkan ruang.

Setelah ruang tersedia barulah ide diwujutkan, yaitu menyebarkan planet perbintangan yang disebut Bima Sakti. Tahap penciptaan planet ini terjadi pada malam ke 25 atau malam ke 5 hasil jumlah dari 2+3=5. 2=Alloh sendiri yang mencetuskan ide+Alloh menciptakan ruang, 3=Alloh sedang menyebarkan planet perbintangan. Tahap peciptaan bintang ini disebut takdir/ketentuan ke tiga.

Tahap berikutnya adalah takdir ke empat. Yaitu memilih bumi sebagai salah satu planet yang akan dimulainya proses kehidupan. Sebab di bumi akan ditempatkan hakikat ide Alloh yakni menciptakan manusia. Bumi adalah salah satu planet yang tercipta pada tahap sebelumnya. Penciptaan bumi memang sudah tercipta bersamaan terciptanya planet. Tetapi bumi tidak akan terpilih sebelum menciptakan planet terlebih dulu.

Disini bumi secara hakikat lebih tua tercipta. Yaitu pada tahap ke tiga. Sebab penciptaan planet berfungsi mengidentifikasi keberadaan bumi. Posisi bumi dengan bintang adalah saudara tua yang lahir dalam keadaan bungkus/tunda. Sehingga belum disebut kehidupan riel. Sedangkan bintang saudara muda yang lahir normal. Maka disebut lebih tua bintang dari pada bumi, sebab bintang lahir dan nyata. Walaupun kelahirannya sekedar untuk menghantarkan kelahiran bumi.Takdir memilih bumi (takdir ke empat) ini terjadi pada malam 27 ramadhan atau malam ke 7 hasil jumlah 3+4=7: 3=Alloh menciptakan ide, ruang, bintang, 4=proses memilih bumi sebagai tempat bersemayam manusia.

Fase metamorfosis yang terahir yaitu takdir ke lima yang ditentukan pada malam 29 ramadhan atau malam 9 hasil jumlah 4+5=9. 4=ide, ruang, bintang, bumi, sedang 5= takdir ke lima yang sedang berlangsung. Tahap ini adalah tahap kelayakan jagat ditempati manusia. Yakni terciptanya hawa/suhu/temperatur ruangan. Hawa/suhu terjad akibat persilangan dua hal; panas matahari(planet terdekat bumi) dengan keadaan bumi yang andai tak ada matahari/planet bumi akan membeku/dingin. Persilangan planet matahari dan bumi ini menghasilkan dua hawa yang sederajat sekaligus berpasangan. Yaitu panas-dingin, tinggi-rendah, laki-perempuan, besar-kecil, ciut-lebar dll. Persilangan dua hal inilah yang disebut lehidupan layak. Dan mustahil kehidupan terjadi hanya dengan satu suhu.

Malam 29 menghasilkan jumlah 2+9=11. Sebelas artinya ‘Las’=gabah=benih padi yang masih tumbuh tunas jika ditanam ulang. Berbeda dengan beras yang sudah tidak bisa ditanam lagi. Setelah siap ditanam inilah alam benar-benar akan dilahirkan secara utuh. Siap dihidupkan. Siap lahir dalam keadaan suci.

Dua temperatur yang serasi berpasangan ini memang termasuk takdir Alloh. Tetapi proses yang melahirkan temperatur/suhu justru karena gen dasar planet matahari dan bumi.

B. Konsep Filsafat Pewayangan.

Lima tahap penciptaan jagat raya dalam astronomi adalah alur pokok dalam cerita pewayangan. Lima tahap itu digambarkan sosok ‘pandawa lima’ yang keberadaannya berperan menata dan menyelamatkan kehidupan. Saudara tertua pandawa dimulai Yudistiro, Bimo, Arjuno, Nakulo, Sadewo. Masing masing tokoh pandawa berperilaku ciri ciri persis karakter tata surya.

Pandawa adalah anak dari Pandu Dewa Nata dan Kunti. Jauh sebelumnya kakek pandawa pemilik sah tahta kerajaan Astina mempunyai keturunan dua anak laki-laki yaitu Distoroto dan Pandu. Kakaknya( Distoroto) sebagai pewaris sah berkadikdayaan tinggi, namun buta. Tahta ahirnya diberikan adiknya(Pandu) berkadikdayaan tinggi juga namun tidak bisa berjalan. Dari kedua tokoh ini kemudian tahta diberikan kepada Pandu yang dapat melihat meskipun tidak bisa berjalan. Tidak mungkin memimpin tahta kerajaan dalam kondisi buta. Sebab keberlangsungan pemerintahan adalah faktor permasalahan riel suatu masyarakat.

Peran ini manggambarkan saat Alloh hendak mencetuskan ide membangun jagat raya. Antara ‘iya’ dan ‘tidak’ dibangunnya jagat raya. Tidak, digambarkan sebagai kakak tua yang buta. Tidak melihat artinya tidak menampilkan warna, situasi, kemaujutan apapun. Tetapi kerena Alloh menghendaki adanya kehidupan, maka dicetuskanlah ide yang digambarkan dengan adik yang sakti, tidak buta, namun lumpuh. Artinya kehidupan dunia akan tetap bergulir meskipun tidak sempurna.

Yudistiro lahir sebagai simbol lahirnya ruang. Sifatnya luas, mewadai, putih lanskap, kesabaran tingkat tinggi dll. Sedang anak yang lahir berikutnya Bima( ganesa bima sakti). Bima bersifat konstan, kaku, besar, kekar, dengan jangkauan luas. Dalam sekali jalan, jangkahan kaki Bima bisa jauh. Kebesaran Bima adalah simbol hubungan antar planet yang letaknya berjauhan.

Arjuna adalah anak ke tiga simbol bumi. Planet yang diistimewakan dari planet lainnya. Dalam cerita wayang Arjuna lahir dari bayang-bayang Bima. Karena bumi sebetulnya planet Bima Sakti juga. Namun dalam kapasitas berbeda dengan planet lainnya.

Dua saudara pandawa berikutnya adalah Nakula dan Sadewa. Dua anak berperingai kembar tetapi berperilaku wanita. Simbol lemah-lembut. Nakula- Sadewa berbeda dengan tiga kakaknya. Nakula-Sadewa saudara seayah yaitu Pandu yang menikah dengan Dewi Madrim. Nakula- Sadewa adalah simbol hawa/suhu/ temperatur. Kembar artinya panas-dingin, tinggi-rendah, besar-kecil, laki-wanita, dll. Karena hawa/suhu menyangkut rasa, maka kedua sifat ini digambarkan sebagai sosok peringai lemah lembut.

Lengkaplah sosok pandawa. Lima tokoh yang digadang menjalankan kerajaan Astina. Pandawa lima sama artinya dengan lima fase dalam Lailatul Qodar.

C. Konsep Hijrah Rosul.

Malam-malam Lailatul Qodar adalah simbol perjalanan hijrah Nabi Muhammad. Dalam sepuluh hari terahir, Lailatul Qodar berada diantara waktu luang berselang. Yakni malam 1, esoknya malam kosong, kemudian malam 3, esoknya kosong, kemudian malam 5, esoknya kosong, malem 7, kosong, malem 9, kosong atau langsung menjelang lebaran. Saat malam 1,3,5,7,9 adalah saat Rosul keluar dari goa persembunyian dan bertemu dengan para sahabat serta berdakwah seperti biasanya. Namun ketika waktu kosong adalah ketika Rosul bersembunyi dalam goa karena intimidasi kaum kafir. Keadaan demikian menimbulkan harapan bagi para sahabat. Tentu sahabat menginginkan kapan Rosul segera terbebas dari intimidasi kaum kafir dan bebas berdakwah seperti semula. Setelah malam 29(malam 9) itulah Rosul benar-benar bebas keluar dan leluasa. Kedatangan Rosul ini amat didamba para sahabat. Maka selayaknyalah para sahabat senang, gembira, mengadakan pesta tasyakuran. Malah dilarang bersedih dan berpuasa.

D. Konsep Kehamilan.

Proses kehidupan manusia yang bermakna mengetahui betul arti rasa hidup diawali sejak seseorang beranjak dewasa( aqil balig). Masa ini bermula dari mimpi sex dengan lawan jenis yang mengeluarkan spermatozoon bagi laki laki dan ovarium(tanda mens) bagi wanita. Bio-psikologi mengalami perubahan sebagai efek dari rangsangan simpati pada lawan jenis. Pada masa inilah seseorang mulai mengawali takdir pertamanya yaitu mengeluarlan ‘ide/rencana’ untuk menikah.

Perubahan nyata pada takdir ke dua adalah benar-benar melangsungkan pernikahan. Dalam pernikahan seseorang disebut mengalami kehidupan baru yang memang berbeda kenyataan dengan waktu membujang.

Takdir ketiga adalah ketika terjadi pembuaian ovum dengan sperma dalam tubuh wanita yang melahirkan embrio. Sejak adanya embrio, suami-istri mengalami perkembangan hasil dari peleburan cinta keduanya. Dari dua orang yang berpadu berkembang sel sel keduanya menjadi tiga: sumi+istri+anak.

Takdir ke empat adalah ketika embrio/daging yang menggumpal dalam rahim wanita ditiupkan ruh tanda kehidupan sang jabang bayi. Penandaan masuknya ruh ke jabang bayi ini oleh orang jawa ditandai dengan upacara adat tingkepan.

Barulah saat takdir ke lima. Yaitu saat menunggu jabang bayi keluar. Kecemasan dan harapan menunggu jabang bayi keluar ini sama dengan saat menunggu Rosul terbebas dari goa. Setelah 9 bulan 10 hari, barulah jabang bayi siap dilahirkan dalam keadaan cuci, bersih, putih, belum ternoda. Pas hari kelahiran jabang bayi, semua harus senang, Baik suami, istri, sanak, famili. Kelahiran jabang bayi dirayakan dengan berpesta, dan malah haram hukumnya berpuasa.

Bayi yang siap lahir=las=gabah=benih yang bakal tumbuh jika ditanam dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar