Selasa, 07 September 2010

FILOSOFI SEMAR DAN MAKROKOSMOS GUS DUR

Dian Sukarno *)

Semar dalam dunia pewayangan adalah manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir. Terang trawaca cetha tur wela-wela sangat jelas tanpa terselubungi sesuatu. Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata. Ada dalam tiada, tiada tetapi ada. Keberadaannya memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar sesama umat manusia (memayu hayuning sasama).
Sebagai titah atau makhluk Semar mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada bendara alias juragan bin majikan, juga kepada bangsa dan negara. Ini dibuktikan ketika Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Begitu muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.

Yang menarik pada sebagian masyarakat Jawa masih menganggap Semar merupakan sosok filosofis yang diyakini menjadi pamong para kesatria agung. Siapapun tokoh yang berdekatan dengan Semar dan dari mana ia berasal akan merasa tentram dan ujung-ujungnya mengalami pencerahan. Bapak dari tokoh punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong ini seolah tidak pernah mengenal kata sedih. Bicaranya spontan tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur. Sehingga orang yang sedih menjadi gembira, mereka yang susah bisa tertawa. Itulah Semar yang tumakninah mengawal kebenaran dan hati nurani pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.

Bagaimana dengan Gus Dur? Entahlah. Penulis merasa kentekan candra luwih rupa, kehabisan kata-kata untuk berkisah tentang beliau. Sama halnya para elemen bangsa yang tidak bisa membicarakan Gus Dur kecuali rasan-rasan terkait amal baik almarhum. Karena Gus Dur adalah sosok guru bangsa yang harus disyukuri keberadaannya oleh keluarga besar bangsa Indonesia, menurut ungkapan Cak Nun.

Pembaca, Gus Dur memang bukan Semar yang dianggab setengah dewa atau wali bagi sebagian pengikutnya. Tetapi jika mau merunut dan mengilas balik tindakan, ucapan, dan sepak terjang beliau semasa sugeng, potret filosofis Semar seolah mengejawantah pada pribadi cucu Hadratussyeh KH Hasyim Asy'ari pendiri pondok pesantren Tebuireng, Jombang ini. Jika ada Semar Mbangun Kayangan, maka di alam nyata Gus Dur pernah duduk menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia. Pun kalau ada Semar Gugat Gus Dur sering melakukan lewat banyak forum, termasuk menggagas Forum Demokrasi atau Fordem dan banyak hal yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Dan antara Gus Dur dan Semar terdapat kemiripan, bahwa di antara keduanya kaya anekdot. Dalam pewayangan Semar pernah mengingatkan Arjuna lebih baik makan berlebih daripada kelebihan omongan, karena kelebihan makan bisa buang air, sebaliknya kelebihan bicara bisa berakibat maut, "Langkung prayogi keladuk mbadog tinimbang keladuk cocot. Keladuk mbadog saged diisingaken, nanging menawi keladuk cocot saged dibacok tiyang." Sedangkan Gus Dur ketika ditanya wartawan soal peluang menjadi presiden kembali sangat tipis, beliau dengan enteng menjawab, "pendukung saya kan orang kampung yang ndak punya HP." Atas keunikan-keunikan Gus Dur inilah sejumlah pelukis Jombang yang tergabung dalam Komunitas Pelukis (Kopi) Jombang merefleksikan pada lukisan bertema Gus Dur dan Semar.

Sosok almarhum Gus Dur dalam beberapa hari terakhir telah menyedot perhatian ribuan, bahkan jutaan umat manusia di muka bumi. Mereka seolah enggan mengatakan bahwa Gus Dur telah wafat. Terbukti pada malam peringatan 7 hari berpulangnya kakak kandung KH Solahudin Wahid (Gus Solah) itu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, ketika sesi ceramah yang diisi Cak Nun (budayawan Emha Ainun Najib), salah seorang jamaah berteriak, "Hidup Gus Dur!" Alhasil Cak Nun sempat terhenyak dan berkomentar, "Awakmu iku ngawur ae, Rek!" Ya, Gus Dur memang hidup abadi di hati siapapun yang menghargai harkat kemanusiaan dan religiusitas tinggi. Tidak mengherankan apabila KH Abunyamin Ruhiat, pengasuh pondok pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat mencatat ada tiga hal yang bisa diteladani dari KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur; pertama kebangsaan yang majemuk, artinya mengutamakan pluralisme, kedua Islam yang moderat menunjukkan Islam sebagai rahmat seluruh alam, dan yang ketiga peran Gus Dur mengembalikan NU ke khittah 1926.

Gus Dur sebagai bapak bangsa dan tokoh pro kemajemukan, penulis mencatat sejumlah komentar dari tokoh lintas agama dan keyakinan atas pribadi almarhum sebagai berikut;...Gus Dur jadi Presiden itu agama Kong Hu Cu diadakan.Jadi yang memperjuangkan agama orang Tionghoa, ini Gus Dur... (Ny Hoolan umat kong hu cu kelenteng Boenbio Jl Kapasan 131,Surabaya),...Saya rasa beliau (Gus Dur) memberikan banyak contoh untuk bagaimana seorang manusia itu harus hidup di dunia ini dan saya rasa memberikan keteladanan yang bukan hanya untuk Indonesia tapi saya rasa untuk seluruh dunia, bagaimana seorang pemimpin harus bersikap...(George Soraya pimpinan Masyarakat Agama Bahai Indonesia),...Gus Dur adalah sosok orang yang bisa kita jadikan teladan bagi bangsa ini khususnya, karena bagaimanapun karya beliau terlepas dari orang suka atau tidak suka, beliau telah berkarya nyata untuk mengembangkan, membangun nilai-nilai universalisme, nilai-nilai multikultural yang diusung untuk menghargai berbagai macam perbedaan...(Bante Yana Suryanadi pimpinan Sangha Agung Indonesia)...Mungkin belum saya temukan orang segusdur (sebaik) Gus Dur di negeri ini...(Romo Franz Magnis Suseno, pastor dan budayawan). Ternyata dengan pemahaman keagamaan yang paripurna sosok Gus Dur telah melampaui sekat-sekat dimensi ruang dan waktu. Gus Dur telah menjadi makrokosmos (jagad besar) atas nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, sosial budaya dan lain-lain. Gus Dur telah menggabungkan tiga fitrah kemanusiaan menurut Muhammad Iqbal sastrawan Mesir, yaitu agama, filsafat, dan seni budaya. Seorang ulama yang tinggi derajat keilmuannya, seorang yang paham akan filsafat kehidupan, dan pribadi yang menyukai keindahan lewat produk-produk kebudayaan, seperti musik klasik hingga tarling Banyumasan.

Gus Dur... Kami akan selalu rindu dengan kebijaksanaan dan anekdotmu yang menghibur. Selamat jalan Bapak bangsaku. Semoga njenengan terus tersenyum di alam langgeng dan Kami tetap tegar menghadapi segala sesuatu sebagaimana sering njenengan katakan, "gitu aja kok repot..."

*) Penulis adalah adalah penggiat budaya dan pimpinan sanggar tari Lung Ayu, Sengon, Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar