Dian Sukarno
Menyang Jombang mampira Sengon
a Lemah Geneng Akeh Wedhine
Najan Gak Sambang Kirima Ingon
Nek Gak Seneng Apa Mesthine
Parikan atau kidungan di atas sering digunakan pada pementasan teater rakyat ludruk yang memang berasal dari Jombang. Antara sampiran dan isi terkesan lugas, apa adanya mencerminkan karakteristik masyarakat Jombang yang egaliter atau terbuka menerima suatu perubahan baru. Pada sisi lain merupakan sindiran yang sarkastis terkait tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga.
Terlepas dari maksud diciptakannya kidungan itu, meskipun bersifat anonim sebagaimana ciri-ciri folklor/ produk budaya kolektif, ternyata desa Sengon, kecamatan kota Jombang memiliki peran penting terkait perkembangan ludruk dan jenis-jenis seni pertunjukan lainnya di kabupaten Jombang dan Jawa Timur pada umumnya. Lewat tangan dingin para seniman yang berkiprah sejak sebelum 1908 hingga awal tahun 1970-an menempatkan desa Sengon sebagai salah satu simpul penting perkembangan seni pertunjukan di Jawa Timur. Menurut catatan almarhumah Dwi Wahyu Widayati pimpinan sanggar tari Ludwiranata, desa Sengon, Jombang ada tiga jenis seni tari yang diiringi musik jidor dalam pementasannya konon berkembang di wilayah Sengon, yaitu tari Ngremo (Seniti? merupakan embrio tari remo sekarang), tari Golek, dan tari Gambir Sawit. Selain itu tercatat beberapa kelompok ludruk awal bermarkas di desa Sengon, seperti kelompok ludruk Sari Bancet, ludruk Pak Culike, ludruk Pak Munthel, ludruk Pak Bolet (Arumdalu?), ludruk Pak Mulani, dan ludruk Pak Durasim.
Tokoh-tokoh seperti Pak Durasim dan Pak Bolet atau lengkapnya pak Sastro Bolet Amenan adalah maestro dan pahlawan kesenian yang pernah bermukim di desa Sengon. Pak Durasim atau lebih dikenal dengan Cak Durasim adalah pejuang ludruk yang membawa kesenian ini ke Surabaya dan menciptakan kidungan fenomenal Pagupon Omahe Dara, melok Nipon tambah sengsara. Atas kidungan yang memojokkan rezim pendudukan Jepang itu menyebabkan Pak Durasim ditangkap oleh bala tentara Dai Nippon/ Jepang. Pak Durasim sendiri berasal dari desa Kaliwungu kecamatan kota Jombang. Sedangkan Pak Sastro Bolet Amenan adalah maestro pencipta tari remo Jombangan yang unik dan berbeda dibandingkan tari remo yang berkembang di daerah luar kabupaten Jombang.
Desa Sengon, kecamatan kota Jombang dalam pandangan penulis memiliki karakteristik yang lain dari desa-desa lainnya di kota santri ini, utamanya salah satu desa yang memiliki potensi pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya lumayan tinggi. Desa seluas 149 hektar dan terbagi atas 4 dusun ini memiliki sebaran lembaga pendidikan antara lain; 2 perguruan tinggi, 10 SLTA sederajat, 1 SLTP, 2 sekolah dasar, 2 Taman Kanak-kanak, 2 TPQ, dan 2 Yayasan Pendidikan. Selain lembaga pendidikan formal sejumlah sanggar kesenian dan kelompok seni jaranan juga berkembang pesat di daerah Sengon. Konon fakta bahwa desa Sengon sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya, karena sudah diramalkan oleh founthing fathers/ pendiri desa Sengon bernama Ki Syekh Kusumojoyo atau Mbah Jangat.
Melihat posisi desa Sengon sebagai salah satu simpul utama pengembangan seni budaya, sangat disayangkan tidak banyak pihak yang mengetahui. Hal ini barangkali disebabkan antara lain; pertama adanya pergeseran sudut pandang warga masyarakat terkait budaya dan sejarah desa Sengon yang tidak dituliskan, kedua kemajemukan warga desa Sengon yang sebagian besar pendatang menimbulkan dampak kurangnya ikatan batin dengan kearifan-kearifan lokal yang pernah berkembang di daerah Sengon, ketiga kurangnya kepedulian antar generasi terkait perkembangan desanya.
Jika melihat kilas balik sejarah perjuangan bangsa, khususnya di ranah kebudayaan, maka sudah saatnya warga Jombang untuk kembali merevitalisasi atau membangkitkan kembali kearifan-kearifan lokal sebagai modal utama pembangunan di segala lini kehidupan. Salah satunya adalah menapak tilas peran strategis desa Sengon sebagai salah satu daerah basis pengembangan seni ludruk yang harusnya menjadi sebuah ikon seni budaya kabupaten Jombang. Meskipun sudah berkembang wacana untuk menjadikan teater Besutan sebagai ikon.
Kesenian sebagai anak emas kebudayaan telah menyatu dengan Bumi Sengon. Alangkah eman potensi besar daerah Sengon yang dulu merupakan daerah penambangan pasir, sehingga memunculkan kidungan menyang Jombang mampira Sengon, lemah geneng akeh wedhine (kalau ke Jombang singgahlah ke Sengon, tanah gundukan banyak pasirnya ) harus tenggelam dan nyaris tak terdengar dalam peta kebudayaan Jawa Timur. Memang tidak cukup hanya berurai air mata, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sedulur-sedulur desa Sengon dan wong Njombang semakin cinta dengan daerahnya dan tetap nguri-uri (merawat) seni budaya adiluhung warisan nenek moyang.
Sedikit harapan yang masih tersisa semoga sedulur-sedulur Sengon semakin bersapa mesra dengan sejarah besar daerahnya dan bergegas membenahi diri dengan sumbangsih mahakarya peradaban. Sehingga almarhum Mbah Jangat pendiri daerah Sengon, Mbah Engsong Galih/ pendiri dusun Ngesong, Mbah Ki Ageng Tawang dan putrinya Sari Ucon pendiri Tawangsari, Ki Cok Kenanga saudara Mbah Jangat merasa tenang di alam kelanggengan melihat anak cucu beliau tidak melupakan jatidirinya.
Akhir kata semoga yang tertutup bisa ditampakkan, yang tercerai mampu disatukan, yang tersamar bisa dijelaskan, sehingga desa Sengon sebagai simpul penting dan kantung kesenian sejak sebelum tahun 1908 kembali berkiprah di era sekarang dan tidak sekedar meninggalkan jejak yang hanya menjadi catatan indah masa lalu.
Menyang Jombang mampira Sengon
a Lemah Geneng Akeh Wedhine
Najan Gak Sambang Kirima Ingon
Nek Gak Seneng Apa Mesthine
Parikan atau kidungan di atas sering digunakan pada pementasan teater rakyat ludruk yang memang berasal dari Jombang. Antara sampiran dan isi terkesan lugas, apa adanya mencerminkan karakteristik masyarakat Jombang yang egaliter atau terbuka menerima suatu perubahan baru. Pada sisi lain merupakan sindiran yang sarkastis terkait tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga.
Terlepas dari maksud diciptakannya kidungan itu, meskipun bersifat anonim sebagaimana ciri-ciri folklor/ produk budaya kolektif, ternyata desa Sengon, kecamatan kota Jombang memiliki peran penting terkait perkembangan ludruk dan jenis-jenis seni pertunjukan lainnya di kabupaten Jombang dan Jawa Timur pada umumnya. Lewat tangan dingin para seniman yang berkiprah sejak sebelum 1908 hingga awal tahun 1970-an menempatkan desa Sengon sebagai salah satu simpul penting perkembangan seni pertunjukan di Jawa Timur. Menurut catatan almarhumah Dwi Wahyu Widayati pimpinan sanggar tari Ludwiranata, desa Sengon, Jombang ada tiga jenis seni tari yang diiringi musik jidor dalam pementasannya konon berkembang di wilayah Sengon, yaitu tari Ngremo (Seniti? merupakan embrio tari remo sekarang), tari Golek, dan tari Gambir Sawit. Selain itu tercatat beberapa kelompok ludruk awal bermarkas di desa Sengon, seperti kelompok ludruk Sari Bancet, ludruk Pak Culike, ludruk Pak Munthel, ludruk Pak Bolet (Arumdalu?), ludruk Pak Mulani, dan ludruk Pak Durasim.
Tokoh-tokoh seperti Pak Durasim dan Pak Bolet atau lengkapnya pak Sastro Bolet Amenan adalah maestro dan pahlawan kesenian yang pernah bermukim di desa Sengon. Pak Durasim atau lebih dikenal dengan Cak Durasim adalah pejuang ludruk yang membawa kesenian ini ke Surabaya dan menciptakan kidungan fenomenal Pagupon Omahe Dara, melok Nipon tambah sengsara. Atas kidungan yang memojokkan rezim pendudukan Jepang itu menyebabkan Pak Durasim ditangkap oleh bala tentara Dai Nippon/ Jepang. Pak Durasim sendiri berasal dari desa Kaliwungu kecamatan kota Jombang. Sedangkan Pak Sastro Bolet Amenan adalah maestro pencipta tari remo Jombangan yang unik dan berbeda dibandingkan tari remo yang berkembang di daerah luar kabupaten Jombang.
Desa Sengon, kecamatan kota Jombang dalam pandangan penulis memiliki karakteristik yang lain dari desa-desa lainnya di kota santri ini, utamanya salah satu desa yang memiliki potensi pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya lumayan tinggi. Desa seluas 149 hektar dan terbagi atas 4 dusun ini memiliki sebaran lembaga pendidikan antara lain; 2 perguruan tinggi, 10 SLTA sederajat, 1 SLTP, 2 sekolah dasar, 2 Taman Kanak-kanak, 2 TPQ, dan 2 Yayasan Pendidikan. Selain lembaga pendidikan formal sejumlah sanggar kesenian dan kelompok seni jaranan juga berkembang pesat di daerah Sengon. Konon fakta bahwa desa Sengon sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya, karena sudah diramalkan oleh founthing fathers/ pendiri desa Sengon bernama Ki Syekh Kusumojoyo atau Mbah Jangat.
Melihat posisi desa Sengon sebagai salah satu simpul utama pengembangan seni budaya, sangat disayangkan tidak banyak pihak yang mengetahui. Hal ini barangkali disebabkan antara lain; pertama adanya pergeseran sudut pandang warga masyarakat terkait budaya dan sejarah desa Sengon yang tidak dituliskan, kedua kemajemukan warga desa Sengon yang sebagian besar pendatang menimbulkan dampak kurangnya ikatan batin dengan kearifan-kearifan lokal yang pernah berkembang di daerah Sengon, ketiga kurangnya kepedulian antar generasi terkait perkembangan desanya.
Jika melihat kilas balik sejarah perjuangan bangsa, khususnya di ranah kebudayaan, maka sudah saatnya warga Jombang untuk kembali merevitalisasi atau membangkitkan kembali kearifan-kearifan lokal sebagai modal utama pembangunan di segala lini kehidupan. Salah satunya adalah menapak tilas peran strategis desa Sengon sebagai salah satu daerah basis pengembangan seni ludruk yang harusnya menjadi sebuah ikon seni budaya kabupaten Jombang. Meskipun sudah berkembang wacana untuk menjadikan teater Besutan sebagai ikon.
Kesenian sebagai anak emas kebudayaan telah menyatu dengan Bumi Sengon. Alangkah eman potensi besar daerah Sengon yang dulu merupakan daerah penambangan pasir, sehingga memunculkan kidungan menyang Jombang mampira Sengon, lemah geneng akeh wedhine (kalau ke Jombang singgahlah ke Sengon, tanah gundukan banyak pasirnya ) harus tenggelam dan nyaris tak terdengar dalam peta kebudayaan Jawa Timur. Memang tidak cukup hanya berurai air mata, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sedulur-sedulur desa Sengon dan wong Njombang semakin cinta dengan daerahnya dan tetap nguri-uri (merawat) seni budaya adiluhung warisan nenek moyang.
Sedikit harapan yang masih tersisa semoga sedulur-sedulur Sengon semakin bersapa mesra dengan sejarah besar daerahnya dan bergegas membenahi diri dengan sumbangsih mahakarya peradaban. Sehingga almarhum Mbah Jangat pendiri daerah Sengon, Mbah Engsong Galih/ pendiri dusun Ngesong, Mbah Ki Ageng Tawang dan putrinya Sari Ucon pendiri Tawangsari, Ki Cok Kenanga saudara Mbah Jangat merasa tenang di alam kelanggengan melihat anak cucu beliau tidak melupakan jatidirinya.
Akhir kata semoga yang tertutup bisa ditampakkan, yang tercerai mampu disatukan, yang tersamar bisa dijelaskan, sehingga desa Sengon sebagai simpul penting dan kantung kesenian sejak sebelum tahun 1908 kembali berkiprah di era sekarang dan tidak sekedar meninggalkan jejak yang hanya menjadi catatan indah masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar