Selasa, 07 September 2010

ESTETIKA KEPEMIMPINAN NUSANTARA DARI PRABU HAYAMWURUK HINGGA PRESIDEN SOEKARNO

Dian Sukarno *)

Pembayangan kita ketika melihat pola-pola kepemimpinan Nusantara sejak imperium/kerajaan besar Majapahit hingga era Republik Indonesia sekarang, lebih mengarah pada gaya atau style dari para pemimpin bersangkutan yang mencerminkan pribadi-pribadi pemimpin besar yang pernah ada di Bumi Nusantara. Ciri-cirinya antara lain sanggub menggerakkan potensi rakyat yang dipimpinnya untuk semaksimal mungkin berperan dalam kancah penguatan kebesaran diri dan kebanggaan yang bermuara pada patriotisme atau kecintaan terhadap tanah airnya.
Hal ini masih bisa ditemukan pada rekaman suara maupun dokumentasi foto ataupun naskah dari seorang pemimpin besar revolusi Presiden Soekarno. Dengan kata lain proses teropong gaya kepemimpinan itu lebih mengarah pada etika atau norma yang berlaku di masyarakat. Singkatnya bahwa kepemimpinan itu sendiri sering ditinjau dari sudut pandang etika. Sebaliknya belum penulis temukan yang menyoroti dari sisi estetika atau dari sudut pandang keindahan.

Tanpa bermaksud chauvinistis atau pembanggaan diri pada ranah kesukuan yang sempit, sebenarnya ada dua kesamaan mendasar dari dua pemimpin yang telah dipisahkan ratusan warsa/tahun itu. Yaitu bahwa keduanya adalah pemimpin besar dan juga seniman besar. Maka melalui tulisan ini penulis berharap bisa mengingatkan diri dan pembaca agar menyadari kembali bahwa para pemimpin besar itu juga seniman-seniman unggulan atau maestro dari sebuah mahakarya kebangsaan yang konon saat ini terus dipergunjingkan.

Fakta nyata kalau pembaca berkenan mencermati naskah lama Negarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca, di salah satu pupuhnya jelas-jelas mencantumkan tentang kepiawaian Sang Prabu Hayamwuruk sebagai penari maupun dalang. Pada naskah tersebut Prabu Hayamwuruk menggunakan nama samaran Raden Tetep saat menari topeng dan ketika mendalang berjuluk Tirta Rayu. Sedangkan pendapa yang digunakan untuk berolah seni diberi nama pendapa Witana. Meskipun karya agung Mpu Prapanca itu tergolong puja sastra atau karya sastra untuk mengagungkan Raja atau pemimpinnya, paling tidak kita diberi berita masa lalu tentang kesenimanan seorang Raja/Pemimpin Besar. Bukti kedua pada sosok seorang Presiden Soekarno.

Tak bisa dipungkiri dalam catatan sejarah, Presiden Soekarno adalah seniman besar yang piawai menjadi trendsetter atau penentu arah kecenderungan. Terutama dalam dunia pengoleksian seni rupa di Indonesia. Sampai-sampai Cindy Adams salah seorang Amerika yang juga penulis Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, mencantumkan dalam bukunya bahwa Soekarno adalah pelukis cat air yang berpengharapan.

Karena itu Bung Karno layak menyesal ketika mengetahui dirinya tidak menjadi seorang pelukis. Namun penyesalan itu tertebus ketika ia jadi kolektor,stimulator,bahkan patron seni rupa Indonesia, terutama seni lukis dan seni patung yang memperoleh dorongan untuk tampil sebagai aktivitas terdepan dalam pembangunan karakter bangsa. Hal ini mengacu kepada keyakinan diri sang presiden, bahwa pembangunan bangsa atau nation building bertumpu kepada pembangunan karakter atau character building. Melalui seni budaya Bung Karno ingin menunjukkan sebuah karakter/jiwa bangsa dibangun sebagai landasan pembangunan bangsa.

Jika Prabu Hayam Wuruk di samping menjadi seniman tari topeng dan dalang yang piawai memainkan wayang kulit dan Presiden Soekarno juga seorang pelukis sekaligus pematung, maka tidak mengherankan jika kepedulian keduanya terhadap penggunaan media kesenian sebagai bagian pembangunan karakter bangsa cukup jelas. Misalnya Prabu hayam Wuruk sampai menjadikan pendapa pentas dengan sebutan pendapa Witana. Sedangkan Presiden Soekarno secara khusus mengangkat pelukis Dullah sebagai pelukis Istana pada sekitar tahun 1950.

Dipilihnya kesenian untuk sarana pembentukan karakter bangsa dari dua pemimpin besar Nusantara ini menunjukkan bahwa karya seni sebagai anak emas kebudayaan memegang peran penting dalam mengawal peradaban sebuah bangsa. Karena melalui kesenian bisa dilihat kemajuan sebuah peradaban. Sebaliknya sangat disayangkan ketika kesenian di sisi lain sebagai buah karya adiluhung tersebut harus merana di tengah transisi masyarakat kita yang terus mencari bentuk peradaban baru. Kemudian secara mengejutkan baik dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi produk seni budaya itu diakui secara sewenang-wenang oleh bangsa lain yang miskin akan identitas.

Estetika atau potensi keindahan yang ada pada diri manusia itu akan sangat bermanfaat manakala berada pada suasana dan tempat yang tepat. Artinya jika dikaitkan dengan posisi strategis seorang pemimpin bangsa, potensi itu diharapkan bisa mendorong pencapaian masyarakat yang tata tentrem kerta raharja, sejahtera lahir dan batin yang menjadi utopia atau sorga dunia bagi kehidupan yang penuh keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada tindakan hebat yang telah diambil dua pemimpin besar Nusantara itu terus mengilhami para pemimpin baru Indonesia agar memiliki kepedulian terhadap seni budaya. Sehingga karakter/ jiwa bangsa yang mati suri ini kembali bisa dibangkitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar