Dian Sukarno *)
Pembayangan kita ketika melihat pola-pola kepemimpinan Nusantara sejak imperium/kerajaan besar Majapahit hingga era Republik Indonesia sekarang, lebih mengarah pada gaya atau style dari para pemimpin bersangkutan yang mencerminkan pribadi-pribadi pemimpin besar yang pernah ada di Bumi Nusantara. Ciri-cirinya antara lain sanggub menggerakkan potensi rakyat yang dipimpinnya untuk semaksimal mungkin berperan dalam kancah penguatan kebesaran diri dan kebanggaan yang bermuara pada patriotisme atau kecintaan terhadap tanah airnya.
Hal ini masih bisa ditemukan pada rekaman suara maupun dokumentasi foto ataupun naskah dari seorang pemimpin besar revolusi Presiden Soekarno. Dengan kata lain proses teropong gaya kepemimpinan itu lebih mengarah pada etika atau norma yang berlaku di masyarakat. Singkatnya bahwa kepemimpinan itu sendiri sering ditinjau dari sudut pandang etika. Sebaliknya belum penulis temukan yang menyoroti dari sisi estetika atau dari sudut pandang keindahan.
Tanpa bermaksud chauvinistis atau pembanggaan diri pada ranah kesukuan yang sempit, sebenarnya ada dua kesamaan mendasar dari dua pemimpin yang telah dipisahkan ratusan warsa/tahun itu. Yaitu bahwa keduanya adalah pemimpin besar dan juga seniman besar. Maka melalui tulisan ini penulis berharap bisa mengingatkan diri dan pembaca agar menyadari kembali bahwa para pemimpin besar itu juga seniman-seniman unggulan atau maestro dari sebuah mahakarya kebangsaan yang konon saat ini terus dipergunjingkan.
Fakta nyata kalau pembaca berkenan mencermati naskah lama Negarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca, di salah satu pupuhnya jelas-jelas mencantumkan tentang kepiawaian Sang Prabu Hayamwuruk sebagai penari maupun dalang. Pada naskah tersebut Prabu Hayamwuruk menggunakan nama samaran Raden Tetep saat menari topeng dan ketika mendalang berjuluk Tirta Rayu. Sedangkan pendapa yang digunakan untuk berolah seni diberi nama pendapa Witana. Meskipun karya agung Mpu Prapanca itu tergolong puja sastra atau karya sastra untuk mengagungkan Raja atau pemimpinnya, paling tidak kita diberi berita masa lalu tentang kesenimanan seorang Raja/Pemimpin Besar. Bukti kedua pada sosok seorang Presiden Soekarno.
Tak bisa dipungkiri dalam catatan sejarah, Presiden Soekarno adalah seniman besar yang piawai menjadi trendsetter atau penentu arah kecenderungan. Terutama dalam dunia pengoleksian seni rupa di Indonesia. Sampai-sampai Cindy Adams salah seorang Amerika yang juga penulis Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, mencantumkan dalam bukunya bahwa Soekarno adalah pelukis cat air yang berpengharapan.
Karena itu Bung Karno layak menyesal ketika mengetahui dirinya tidak menjadi seorang pelukis. Namun penyesalan itu tertebus ketika ia jadi kolektor,stimulator,bahkan patron seni rupa Indonesia, terutama seni lukis dan seni patung yang memperoleh dorongan untuk tampil sebagai aktivitas terdepan dalam pembangunan karakter bangsa. Hal ini mengacu kepada keyakinan diri sang presiden, bahwa pembangunan bangsa atau nation building bertumpu kepada pembangunan karakter atau character building. Melalui seni budaya Bung Karno ingin menunjukkan sebuah karakter/jiwa bangsa dibangun sebagai landasan pembangunan bangsa.
Jika Prabu Hayam Wuruk di samping menjadi seniman tari topeng dan dalang yang piawai memainkan wayang kulit dan Presiden Soekarno juga seorang pelukis sekaligus pematung, maka tidak mengherankan jika kepedulian keduanya terhadap penggunaan media kesenian sebagai bagian pembangunan karakter bangsa cukup jelas. Misalnya Prabu hayam Wuruk sampai menjadikan pendapa pentas dengan sebutan pendapa Witana. Sedangkan Presiden Soekarno secara khusus mengangkat pelukis Dullah sebagai pelukis Istana pada sekitar tahun 1950.
Dipilihnya kesenian untuk sarana pembentukan karakter bangsa dari dua pemimpin besar Nusantara ini menunjukkan bahwa karya seni sebagai anak emas kebudayaan memegang peran penting dalam mengawal peradaban sebuah bangsa. Karena melalui kesenian bisa dilihat kemajuan sebuah peradaban. Sebaliknya sangat disayangkan ketika kesenian di sisi lain sebagai buah karya adiluhung tersebut harus merana di tengah transisi masyarakat kita yang terus mencari bentuk peradaban baru. Kemudian secara mengejutkan baik dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi produk seni budaya itu diakui secara sewenang-wenang oleh bangsa lain yang miskin akan identitas.
Estetika atau potensi keindahan yang ada pada diri manusia itu akan sangat bermanfaat manakala berada pada suasana dan tempat yang tepat. Artinya jika dikaitkan dengan posisi strategis seorang pemimpin bangsa, potensi itu diharapkan bisa mendorong pencapaian masyarakat yang tata tentrem kerta raharja, sejahtera lahir dan batin yang menjadi utopia atau sorga dunia bagi kehidupan yang penuh keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada tindakan hebat yang telah diambil dua pemimpin besar Nusantara itu terus mengilhami para pemimpin baru Indonesia agar memiliki kepedulian terhadap seni budaya. Sehingga karakter/ jiwa bangsa yang mati suri ini kembali bisa dibangkitkan.
Pembayangan kita ketika melihat pola-pola kepemimpinan Nusantara sejak imperium/kerajaan besar Majapahit hingga era Republik Indonesia sekarang, lebih mengarah pada gaya atau style dari para pemimpin bersangkutan yang mencerminkan pribadi-pribadi pemimpin besar yang pernah ada di Bumi Nusantara. Ciri-cirinya antara lain sanggub menggerakkan potensi rakyat yang dipimpinnya untuk semaksimal mungkin berperan dalam kancah penguatan kebesaran diri dan kebanggaan yang bermuara pada patriotisme atau kecintaan terhadap tanah airnya.
Hal ini masih bisa ditemukan pada rekaman suara maupun dokumentasi foto ataupun naskah dari seorang pemimpin besar revolusi Presiden Soekarno. Dengan kata lain proses teropong gaya kepemimpinan itu lebih mengarah pada etika atau norma yang berlaku di masyarakat. Singkatnya bahwa kepemimpinan itu sendiri sering ditinjau dari sudut pandang etika. Sebaliknya belum penulis temukan yang menyoroti dari sisi estetika atau dari sudut pandang keindahan.
Tanpa bermaksud chauvinistis atau pembanggaan diri pada ranah kesukuan yang sempit, sebenarnya ada dua kesamaan mendasar dari dua pemimpin yang telah dipisahkan ratusan warsa/tahun itu. Yaitu bahwa keduanya adalah pemimpin besar dan juga seniman besar. Maka melalui tulisan ini penulis berharap bisa mengingatkan diri dan pembaca agar menyadari kembali bahwa para pemimpin besar itu juga seniman-seniman unggulan atau maestro dari sebuah mahakarya kebangsaan yang konon saat ini terus dipergunjingkan.
Fakta nyata kalau pembaca berkenan mencermati naskah lama Negarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca, di salah satu pupuhnya jelas-jelas mencantumkan tentang kepiawaian Sang Prabu Hayamwuruk sebagai penari maupun dalang. Pada naskah tersebut Prabu Hayamwuruk menggunakan nama samaran Raden Tetep saat menari topeng dan ketika mendalang berjuluk Tirta Rayu. Sedangkan pendapa yang digunakan untuk berolah seni diberi nama pendapa Witana. Meskipun karya agung Mpu Prapanca itu tergolong puja sastra atau karya sastra untuk mengagungkan Raja atau pemimpinnya, paling tidak kita diberi berita masa lalu tentang kesenimanan seorang Raja/Pemimpin Besar. Bukti kedua pada sosok seorang Presiden Soekarno.
Tak bisa dipungkiri dalam catatan sejarah, Presiden Soekarno adalah seniman besar yang piawai menjadi trendsetter atau penentu arah kecenderungan. Terutama dalam dunia pengoleksian seni rupa di Indonesia. Sampai-sampai Cindy Adams salah seorang Amerika yang juga penulis Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, mencantumkan dalam bukunya bahwa Soekarno adalah pelukis cat air yang berpengharapan.
Karena itu Bung Karno layak menyesal ketika mengetahui dirinya tidak menjadi seorang pelukis. Namun penyesalan itu tertebus ketika ia jadi kolektor,stimulator,bahkan patron seni rupa Indonesia, terutama seni lukis dan seni patung yang memperoleh dorongan untuk tampil sebagai aktivitas terdepan dalam pembangunan karakter bangsa. Hal ini mengacu kepada keyakinan diri sang presiden, bahwa pembangunan bangsa atau nation building bertumpu kepada pembangunan karakter atau character building. Melalui seni budaya Bung Karno ingin menunjukkan sebuah karakter/jiwa bangsa dibangun sebagai landasan pembangunan bangsa.
Jika Prabu Hayam Wuruk di samping menjadi seniman tari topeng dan dalang yang piawai memainkan wayang kulit dan Presiden Soekarno juga seorang pelukis sekaligus pematung, maka tidak mengherankan jika kepedulian keduanya terhadap penggunaan media kesenian sebagai bagian pembangunan karakter bangsa cukup jelas. Misalnya Prabu hayam Wuruk sampai menjadikan pendapa pentas dengan sebutan pendapa Witana. Sedangkan Presiden Soekarno secara khusus mengangkat pelukis Dullah sebagai pelukis Istana pada sekitar tahun 1950.
Dipilihnya kesenian untuk sarana pembentukan karakter bangsa dari dua pemimpin besar Nusantara ini menunjukkan bahwa karya seni sebagai anak emas kebudayaan memegang peran penting dalam mengawal peradaban sebuah bangsa. Karena melalui kesenian bisa dilihat kemajuan sebuah peradaban. Sebaliknya sangat disayangkan ketika kesenian di sisi lain sebagai buah karya adiluhung tersebut harus merana di tengah transisi masyarakat kita yang terus mencari bentuk peradaban baru. Kemudian secara mengejutkan baik dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi produk seni budaya itu diakui secara sewenang-wenang oleh bangsa lain yang miskin akan identitas.
Estetika atau potensi keindahan yang ada pada diri manusia itu akan sangat bermanfaat manakala berada pada suasana dan tempat yang tepat. Artinya jika dikaitkan dengan posisi strategis seorang pemimpin bangsa, potensi itu diharapkan bisa mendorong pencapaian masyarakat yang tata tentrem kerta raharja, sejahtera lahir dan batin yang menjadi utopia atau sorga dunia bagi kehidupan yang penuh keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada tindakan hebat yang telah diambil dua pemimpin besar Nusantara itu terus mengilhami para pemimpin baru Indonesia agar memiliki kepedulian terhadap seni budaya. Sehingga karakter/ jiwa bangsa yang mati suri ini kembali bisa dibangkitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar