Selasa, 07 September 2010

HARI JADI JOMBANG, RIWAYATMU KINI

Dian Sukarno *)

Belum satu bulan saya melakukan penelitian lanjutan atas karya tulis Melacak Jejak Mataram Kuna di Bumi Jombang, naskah ini sempat menduduki peringkat keempat dari enam besar pada ajang lomba penulisan tokoh dan peristiwa sejarah di Jawa Timur tahun 2008. Untuk tujuan itu saya menyempatkan sowan kepada pejabat kecamatan Tembelang, karena obyek penelitian saya di antaranya berada di kecamatan Tembelang. Karena Pak Camat sedang repot akhirnya diarahkan ke Pak Sekcam (Sekretaris Kecamatan) Siswanto.
Dalam pertemuan di salah satu ruangan sebelah selatan pendapa kecamatan Tembelang tiba-tiba saya seperti mendapat durian runtuh alias berkah, karena Pak sekcam memberondong tausiyah kebudayaan tanpa saya minta. Beliau mengingatkan bahayanya jika hari jadi Jombang direalisasikan. Waktu itu saya hanya mampu manggut-manggut karena tujuan utama kedatangan saya bukan untuk membahas hari jadi Jombang. Namun jika dalam perkembangan penelitian mengarah pada penentuan tanggal lahir sebuah wilayah, maka biarlah masyarakat Jombang yang menilai dan menentukan.

Setiba di rumah dalam benak saya masih lekat ekspresi Pak sekcam Tembelang waktu memberi tausiyah, bahkan kata demi kata masih memenuhi gendang telinga. Kemudian terbetik angan yang menyeruak dalam tanya tak berbalas apakah kerja serius birokrasi terkait penelusuran hari jadi Jombang bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2005 silam hanya sebatas seremonial kosong tanpa arti? Semoga dugaan ini banyak salahnya, sehingga ada langkah-langkah untuk menunjukkan kebenaran hakiki akan nasib Jombang sebagai daerah hystoric lanscape atau bentang wilayah yang mengandung nilai-nilai kesejarahan cukup tinggi.

Alasan utama ketidaksetujuan Pak Sekcam Siswanto jika hari jadi Jombang benar-benar terwujud, maka akan menyerap/ menyedot dana APBD untuk perayaan, sehingga dikhawatirkan bisa menghambat efisiensi anggaran. Lho…?! Saya ndomblong bin heran, mengapa kita harus ketakutan untuk mengungkap hari jadi sebagai bagian jatidiri bangsa? Analoginya/ pembanding bisa kita asumsikan dengan hari lahir seseorang. Sederhana saja hanya karena takut menggelar acara ulang tahun, maka tidak perlu mengetahui hari kelahiran. Sehingga tidak ada kewajiban mengurus akte, administrasi dan sebagainya.

Tanpa mengurangi rasa hormat atas perbedaan pendapat yang mengemuka, saya lantas terdorong untuk menuliskan sejumlah kemungkinan menyangkut hari jadi Jombang. Kalau tim penelusuran hari jadi Jombang pada 2005 lalu merekomendasikan empat tanggal atas peristiwa yang bisa dijadikan penentuan hari lahir Jombang, maka saya menyumbang dua kejadian yang bisa diasumsikan sebagai hari jadi Jombang. Sehingga kita mendapatkan enam hypotesis sebagai rekomendasi penentuan tonggak pertama kiprah daerah Jombang.

Keenam rekomendasi itu meliputi; pertama peristiwa berpindahnya ibukota Mataram Kuna dari I Poh Pitu (Jawa Tengah) ke Tamwlang (Jawa Timur). Letak Tamwlang oleh para ahli diduga daerah Tembelang, kabupaten Jombang. Hal ini berdasarkan berita prasasti Turyyan 851 Saka yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Dyah Sindok Sri Isawikrama Dharmmotunggawijaya berbunyi…maka tewek Sri Maharaja makadatwan I Tamwlang, maka Sri Maharaja berkedaton di Tamwlang. Peristiwa ini oleh Damais dikonversikan tanggal 24 Juli 929 Masehi.

Kedua berpindahnya ibukota Mataram Kuna dari Tamwlang ke Watugaluh (kecamatan Diwek). Hal ini diperkuat dalam prasasti Anjukladang 859 Saka (937 Masehi) yang berbunyi …kita prasidha manraksang ranghyangta Medang I Bumi Mataram I Watugaluh. Peristiwa ini diduga terjadi pada 10 April 937 M.

Ketiga legenda Kebokicak Karangkejambon versi budaya (ludruk) menerangkan bahwa Tumenggung Surana ayah Surantanu penguasa Katumenggungan Bantengan mendapat tugas mengamankan Brantas Kulon yang bergejolak. Meskipun legenda adalah bukti sejarah yang lemah, tetapi kita bisa berkaca pada Surabaya yang mengetahui hari jadinya setelah ada penelitian terkait legenda besar ikan Sura dan Baya. Menurut dugaan saya peristiwa Kebokicak terjadi pada waktu Prabu Girindrawardhana dari Daha/ Kediri menyerang Majapahit pada era Brawijaya V (Kertabhumi). Sayangnya saya belum menemukan analisis pertanggalan atas peristiwa yang memunculkan legenda asal-usul nama Jombang itu.

Keempat ditetapkannya afdeeling Jombang oleh pemerintah Hindia Belanda lepas dari afdeeling Mojokerto pada 20 Maret 1881. Dalam surat keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda mengenai afdeeling Jombang/ Asisten Karesidenan Jombang yang beribukota di Jombang terdiri atas distrik-distrik; Mojoagung, Mojorejo, dan Mojodadi.

Kelima penetapan Patih untuk afdeeling Jombang pada 30 April 1881, dikarenakan Jombang belum memiliki seorang bupati.

Keenam penetapan batas-batas kota Jombang sebagai ibukota afdeeling Jombang oleh Staatblad van Nederlandsch-Indie Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie pada 20 September 1887.

Penentuan hari jadi sebuah kota atau wilayah bukan persoalan mudah, apalagi jika melihat daerah Jombang sudah berkiprah jauh pada masa klasik (Hindu Jawa). Tetapi dengan upaya yang sudah berkeringat-keringat alangkah bijaksana jika segera ditentukan tanggal lahir kota Jombang. Sehingga kita memiliki kebanggaan sebagai aset jatidiri bangsa.

Sebagai penulis yang juga penelusur sejarah saya hanya bisa berharap agar seluruh stakeholder di kabupaten Jombang bisa saiyek saeka kapti, satu tekad bersama menjadikan hari jadi sebagai pijakan identitas berbangsa dan bernegara. Sehingga penelitian terkait hari jadi Jombang tidak berubah menjadi penelitian kosong yang hanya berorientasi pada nilai nominal proyek. Saya yakin pada niat baik semuanya. Apakah Jombang tetap dibiarkan tanpa sebuah kejelasan hari jadi dan memunculkan pemeo riwayatmu kini atau sebaliknya? Sumangga...

*) Penulis adalah penelusur sejarah, penggiat budaya, dan pimpinan sanggar tari Lung Ayu, Sengon, Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar