Minggu, 01 Agustus 2010

Terbanglah……..Garudaku , Ke Benua Seribu

Sabrank Suparno

Dulu bangsa kita ini bangsa besar. Kita tentu ingat, bagaimanaMajapahit bertahta. Mataram, Sriwijaya berkuasa, Kutai, Yogya, Surakarta, Dhoho, Kediri, Panjalu, Singosari dan lain-lain menemui puncak kejayaan di masanya. Lebih-lebih di era Mojopahit, seluruh wilayah nusantara di sebut komunitas negara yang disebut “Jawa”. Jawa mana yang kita maksud ? tentu bukan Jawa yang sekarang. Jawa yang kita maksud adalah kerajaan Jawa pada masa jauh sebelum semua kerajaan diatas yang saya maksud tumbuh dan berkembang.

Dulu masyarakat kita dikenal dengan nama masyarakat “Lemorian” masyarakat lemorian adalah masa peradaban tertinggi di dunia, bahkan masyarakat lemorian ini diperkirakan keturunan ke lima anak cucu nabi Adam. Keberadaan masyarakat lemorian ini dapat kita kenal Secara illustratif kita bisa gambarkan demikian : zaman Majapahit negeri ini ibarat burung garuda, rajawali raksasa, elang besaarr, sayapnya lebaar, kepakan sayapnya kuat mengibas-ngibas. Jarak terbangnya jauh dan luas, melintasi pulau-pulau dan benua. Daya akomodasi sorot matanya tajam, bidik dan incarannya terhadap mangsa tepat, serak suaranya lantang gemuruhkan angkasa. Ketangkasan sergap mangsa handal, menukik bawah. Cengkraman kakinya kekar cengkram mangsa, bankai, tikus, ular dan ikan. Hasil buruan digenggamnya erat-erat ke sarang untuk membesarkan anak-anak agar tumbuh besar seperti dirinya. Bulu-bulu badannya sangar, sesuai perawakannya, mengesankan dan berwibawa. Kehebatan sang garuda raksasa ini oleh mbah-mbah kita dulu di ibaratkan kalau ada awan mendung-menggumpal terbang berarak tertiup angin, dan dalam waktu sekejap bumi redup sinar mentari, dan lantas panas kembali acap kali disebut “mendunge zap-zap garudo”.

Lantas apa yang terjadi dengan garuda bangsa ini?? Mula-mula datanglah bule berambut pirang, berwajah merah, Belanda namanya. Rumah tangga negerinya kelaparan, sedang hidup di Eropa harus bersaing dengan tetangganya. Untuk melangsungkan hidup di Eropa kemudian mereka “ngasak” mencari rempah-rempah di negeri ini. Melihat Indonesia yang besar dan kaya raya dan loman, bule-bule itu tidak hanya ngasak dan ngemis di negeri ini. Mereka kemudian membentuk siasat yang disebut VOC (serikat dagang kompeni), keasyikan berdagang kompeni Belanda dapat meraup hasil bumi dan i dengan 1. Cerita yang turun temurun ke anak cucu, 2. Adanya pementasan seni sebagai wujud karya kontemporer di masanya. Namun saking jauhnya peradaban tersebut sampai para ahli sejara (antropolog) terbatas ke ilmuannya untuk menyikap.

Mungkin membahas lemorian terlalu jauh di lelap sejarah. Kita ulas yang masih segar di sejarah kita, yakni Majapahit. Sebuah kerajaan besar yang diturunkan bangsa lemoria rempah melimpah ruah. Pengerukan dan pengembatan harta ibu pertiwi dilakukan secara besar-besaran bahkan keserakahannya memuncak sampai-sampai mereka membius dan memnbantai juragan pribumi demi mercusuar negaranya. Saat inilah Belanda seolah menagkap, menembak, menjaring sang garuda elang besarr. Dimasukkanlah garuda itu ke dalam sangkar, burung perkasa rajawali ini dikurung 3,5 abad.

Selama dalam sangkar jeruji besi 350 tahun garuda tak bisa lagi terbang, kepakan sayapnya terkelungkup, badannya kaku-kaku, energinya lumpuh, dan tak lagi bisa mencari makanan, kecuali makanan yang sudah dituangkan kewadahnya oleh pemilik sangkar. Hal demikian tersebut berlangsung selama berabad-abad. Lepas dari sangkar Belanda 3,5 abad, dimasukkan lagi kesangkar Soeharto 32 tahun dan entah sampai kapan lagi. Di dalam sangkar waktu ini garuda kemudian beranak pinak sampai cucu dan cicit. Dan kita sekarang entah generasi anak turun temurun garuda yang ke berapa. Coba jawab….! apakah anak-anak garuda itu mampu sehebat nenek moyangnya? Tentu tidak! anak-anak garuda di dalam sangkar tidak pernah di ajari ilmu tentang terbang, enerjinyapun tidak terlatih intensif. Cucu dan cicit garuda ini juga tidak mengerti bahwa alam ini sangatlah luas. Koar suaranya tak lantang, kibasan sayapnya hanya naluri bahwa ia adalah seekor burung. Diam diam otomatis karakter prilakunyapun tidak sesunnatulloh jati dirinya lebih banyak disetir oleh pemilik sangkar.

cucu garuda dalam sangkar. Bahkan lebih pantas generasi kita sekarang adalah generasi emprit dan cipret, yang kelihaiannya dalam sangkar hanyalah nothol, nothol dan nothol. Nyucuk, nyucuk, dan nyucuk. Rakus makan apa saja yang didepannya. Tender proyek dan dana apa saja di cucuk, di thothol. Bahkan semua anak-anak Indonesia bercita-cita sama, jadi pejabat apapun, sekolah lulusan fakultas apapun cita-citanya cuma satu, yakni mathok, nothol dan nyucuk. Mereka raup uang, harta sebanyak-banyaknya agar kemewahannya melebihi orang lain, teman dan tetangganya.

Kita benar-benar jadi generasi yang cemen, ngalem, sok, kemenyek, picisan, alergian, bobrok, lemot. Katroknya melebihi orang kota. Taraf berpikirnya gak pernah dewasa. Guru hidupnya adalah koran dan televisi, dan justru mudah nyengsep di bawah peradaban umat manusia.

Kepada seluruh anak-anak bangsa Indonesia…..! aku pernah bermimpi dan bercita-cita. Tentang negara yang tak terkirakan indahnya. Anak-anak garuda itu akan melepaskan diri dari sangkarnya. Mereka terbang kembali ke alam bebas mengarungi cakrawala alam semesta. Mereka tidak mau lagi menjadi emprit dan cipret yang hanya sibuk mencari makanan untuk dirinya sendiri. Wahaii garudaku…..mulai sekarang belajarlah tentang :

 Ilmu nenek moyangmu yang melahirkanmu
 Ilmu musuh menghancurkan menangkapmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar