Sabrank Suparno
Seekor kecoak lahir di desa Dowong, desa Plosokerep, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
Sekterianisme berasal dari kata SECK. Secara etimologi artinya bagian tajam, menyudut ke suatu tempat. Kata ini kemudian berkembang (peyoratif) menjadi sektor: bagian ujung. Sekterianisme adalah gerakan pemaham yang memandang suatu tempat dari wilayah sempit. Kebudayaan cara berfikir sekterianis ini tinggalan sistem politik Belanda. Dimana teori politik ini efektif digunakan untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia masa kolonial. Saking kuatnya doktrin penjajah Belanda, sampai saat ini masih mengental di kalangan masyarakat, khususnya orang-orang berpendidikan rendah.
Contoh cara berfikir sekkterian: kita melihat, Dowong, Mojokuripan, Badas, Nglele, Wonokerto, hanya dari pinggir desa Plosokerep atau Dowong. Sehingga dalam pandangan itu kita temukan batas. Disini tempat aku tinggal Plosokerep, dan yang kelihatan agak jauh di sana Mojokuripan, Badas, Nglele, dll yang otomatis beda wilayah. Warga Dowong beda dengan Plosokerep, Badas, Ploso Santren, kepentingannya beda, aktivitas apapun beda. Kalaupun ada kesamaan, tetap dicarikan alasan untuk berbeda. Nah, seharusnya memandang Plosokerep, Dowong, Badas, Mojo dan Nglele itu dari sekala yang lebih luas. Yakni dilihat dari “pojok ane” Sumobito. Maka kita temukan Plosokerep dan Mojokuripan, Dowong dang Nglele, Janti Rejosari itu satu rumpun desa yang berada di Sumobito bagian barat. Tentu lain dengan desa-desa di Sumobito bagian timur. Maka rumpun desa Sumobito bagian barat harus bersatu, rukun, guyup, soalnya tidak ada bedanya, sama-sama Sumobito barat. Tidak pantas, terlalu kerdil dan tolol jika sesama pemuda Sumobito barat tawuran terus-menerus. Melihat Sumobito juga harus dilihat dari Jombang. Maka kita temukan bahwa semua warga Sumobito itu satu rumpun kebudayaan, sama-sama Jombang bagian timur, begitu seterusnya. Memandang Jombang harus dari Surabaya, memandang Surabaya harus dari Jakarta, memandang Indonesia dari luar negeri. Maka kita temukan bahwa kita ini satu nusa, satu bangsa, berkepentingan hidup yang sama
Semua manusia tentu berkeinginan sama, ingin hidup damai, aman, tentram, terpenuhi cita-cita, citra dan cintanya.
Pola pikir yang kita pakai selama ini masih dalam taraf sekkterianistik, belum bisa ke yang lebih luas, yaitu Universal Kosmopolit. Ini terbukti dari prilaku antar warga desa, antar suku, antar golongan, antar agama, antar parpol dan lain sebagainya. Bahkan di desa-desa kalau ada hiburan orkes melayu masih sering “tawuran”. Untuk melunturkan perilaku sekkterianisasi tingalan Belanda ini, bisa kita lakukan 2 hal. Pertama. merantau ke negeri jauh. Kedua , kita terapkan wawasan yang luas, jiwa yang matang, dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Dengan demikian kita bisa ambil sikap “berfikir dulu sepuluh kali sebelum melakukan satu hal”, yang hanya sepele dan tidak bermartabat. Lantas apa yang bisa kita banggakan sebagai warga nedara jika tidak mampu merubah budaya sekkterianisme ini menjadi Universal Kosmopolit. Tentu tidak ada, kecuali keterpurukan dan kebobrokan anak manusia.
Pola pikir sekkterianis ini tidak hanya menyangkut wilayah teritorial saja, yakni wilayah yang dibatasi dengan peta, dena suatu wilayah. Tetapi juga merambah kewilayah-wilayah psiko-sosio kultur, yang meliputi aliran, sekte, golongan, sempalan-sempalan, bahkan agama, NU dengan Muhammadiyah, Toriqoh Nahsabandriya dengan Qodiriyah, kaum abangan dengan agamis, islam dengan Kristen, dll. Sekkterianisme hanya akan melahirkan orang-orang kolot, ortodok, kaku, mekongkong. Dimana mereka meletakkan kebenaran hanya bagi dirinya sendiri, sedang yang lainnya salah dan harus dimusuhi. Pada akhirnya mereka beranggapan bahwa sorga adalah miliknya sendiri. Orang lain tidak bisa masuk kalau tidak mengikuti ajakannya. Sekkterianisme juga hanya membikin orang tidak ber-empati dengan sesama. Dimana hanya dirinya yang paling dipandang gagah, sedang orang lain harus tunduk kepadanya.
Bertahun-tahun sikap sekterianistik ini mendarah daging di lingkungan kita khususnya, di Indonesia pada umumnya. Kita harus muak dengan kebodohan semacam ini. Bola harus bergulir. Gumpalan ketololan ini harus pecah. Kalau kita mau dan sungguh……………pasti!!, Kita harus mengawali dan sekaligus memimpin terdepan bangsa ini untuk mewarnai corak hidup tanpa kebencian,tanpa sekkterian
☺ Setetes darah mengalir karena luka
☺ Setes air mata mengalir karena cinta
☺ Merubah dunia dengan kekerasan hanya memupuk dendam
☺ Merubah dunia dengan kasih sayang meninggalkan kesan bersahaja
Seekor kecoak lahir di desa Dowong, desa Plosokerep, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
Sekterianisme berasal dari kata SECK. Secara etimologi artinya bagian tajam, menyudut ke suatu tempat. Kata ini kemudian berkembang (peyoratif) menjadi sektor: bagian ujung. Sekterianisme adalah gerakan pemaham yang memandang suatu tempat dari wilayah sempit. Kebudayaan cara berfikir sekterianis ini tinggalan sistem politik Belanda. Dimana teori politik ini efektif digunakan untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia masa kolonial. Saking kuatnya doktrin penjajah Belanda, sampai saat ini masih mengental di kalangan masyarakat, khususnya orang-orang berpendidikan rendah.
Contoh cara berfikir sekkterian: kita melihat, Dowong, Mojokuripan, Badas, Nglele, Wonokerto, hanya dari pinggir desa Plosokerep atau Dowong. Sehingga dalam pandangan itu kita temukan batas. Disini tempat aku tinggal Plosokerep, dan yang kelihatan agak jauh di sana Mojokuripan, Badas, Nglele, dll yang otomatis beda wilayah. Warga Dowong beda dengan Plosokerep, Badas, Ploso Santren, kepentingannya beda, aktivitas apapun beda. Kalaupun ada kesamaan, tetap dicarikan alasan untuk berbeda. Nah, seharusnya memandang Plosokerep, Dowong, Badas, Mojo dan Nglele itu dari sekala yang lebih luas. Yakni dilihat dari “pojok ane” Sumobito. Maka kita temukan Plosokerep dan Mojokuripan, Dowong dang Nglele, Janti Rejosari itu satu rumpun desa yang berada di Sumobito bagian barat. Tentu lain dengan desa-desa di Sumobito bagian timur. Maka rumpun desa Sumobito bagian barat harus bersatu, rukun, guyup, soalnya tidak ada bedanya, sama-sama Sumobito barat. Tidak pantas, terlalu kerdil dan tolol jika sesama pemuda Sumobito barat tawuran terus-menerus. Melihat Sumobito juga harus dilihat dari Jombang. Maka kita temukan bahwa semua warga Sumobito itu satu rumpun kebudayaan, sama-sama Jombang bagian timur, begitu seterusnya. Memandang Jombang harus dari Surabaya, memandang Surabaya harus dari Jakarta, memandang Indonesia dari luar negeri. Maka kita temukan bahwa kita ini satu nusa, satu bangsa, berkepentingan hidup yang sama
Semua manusia tentu berkeinginan sama, ingin hidup damai, aman, tentram, terpenuhi cita-cita, citra dan cintanya.
Pola pikir yang kita pakai selama ini masih dalam taraf sekkterianistik, belum bisa ke yang lebih luas, yaitu Universal Kosmopolit. Ini terbukti dari prilaku antar warga desa, antar suku, antar golongan, antar agama, antar parpol dan lain sebagainya. Bahkan di desa-desa kalau ada hiburan orkes melayu masih sering “tawuran”. Untuk melunturkan perilaku sekkterianisasi tingalan Belanda ini, bisa kita lakukan 2 hal. Pertama. merantau ke negeri jauh. Kedua , kita terapkan wawasan yang luas, jiwa yang matang, dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Dengan demikian kita bisa ambil sikap “berfikir dulu sepuluh kali sebelum melakukan satu hal”, yang hanya sepele dan tidak bermartabat. Lantas apa yang bisa kita banggakan sebagai warga nedara jika tidak mampu merubah budaya sekkterianisme ini menjadi Universal Kosmopolit. Tentu tidak ada, kecuali keterpurukan dan kebobrokan anak manusia.
Pola pikir sekkterianis ini tidak hanya menyangkut wilayah teritorial saja, yakni wilayah yang dibatasi dengan peta, dena suatu wilayah. Tetapi juga merambah kewilayah-wilayah psiko-sosio kultur, yang meliputi aliran, sekte, golongan, sempalan-sempalan, bahkan agama, NU dengan Muhammadiyah, Toriqoh Nahsabandriya dengan Qodiriyah, kaum abangan dengan agamis, islam dengan Kristen, dll. Sekkterianisme hanya akan melahirkan orang-orang kolot, ortodok, kaku, mekongkong. Dimana mereka meletakkan kebenaran hanya bagi dirinya sendiri, sedang yang lainnya salah dan harus dimusuhi. Pada akhirnya mereka beranggapan bahwa sorga adalah miliknya sendiri. Orang lain tidak bisa masuk kalau tidak mengikuti ajakannya. Sekkterianisme juga hanya membikin orang tidak ber-empati dengan sesama. Dimana hanya dirinya yang paling dipandang gagah, sedang orang lain harus tunduk kepadanya.
Bertahun-tahun sikap sekterianistik ini mendarah daging di lingkungan kita khususnya, di Indonesia pada umumnya. Kita harus muak dengan kebodohan semacam ini. Bola harus bergulir. Gumpalan ketololan ini harus pecah. Kalau kita mau dan sungguh……………pasti!!, Kita harus mengawali dan sekaligus memimpin terdepan bangsa ini untuk mewarnai corak hidup tanpa kebencian,tanpa sekkterian
☺ Setetes darah mengalir karena luka
☺ Setes air mata mengalir karena cinta
☺ Merubah dunia dengan kekerasan hanya memupuk dendam
☺ Merubah dunia dengan kasih sayang meninggalkan kesan bersahaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar