Sabtu, 14 Agustus 2010

Sunan Kali Jaga dan Gagasan Negara Federal

Memoar I Padhang mBulan 26 Juli 2010
 
Sabrank Suparno
 
Topik utama pemikiran pengajian Padhang mBulan pada 26 Juli 2010, Cak Nun mengurai jelas tentang sistem pemerintahan federal yang digagas Sunan Kalijaga. Federal, sepadan dengan kata perdikan (yang dimerdekakan) atau istilah sekarang otonomi daerah.
 
Gagasan ini penting dikaji ulang. Minimal sebagai wacana menyikapi, merumuskan atau paling tidak sebagai rabahan untuk menyikapi bentuk pemerintahan sekarang dan akan datang. Tentu saja ‘apa’ dan ‘bagaimana’nya, ditentukan dalam kadar tertentu.
 
Sistem pemerintahan federal ini dinilai Cak Nun lebih potensial jika diterapkan. Pengamatan ini direduksi berdasarkan hasil nilai kebudayaan yang telah tercapai setiap peralihan kekuasaan sejak runtuhnya Majapahit dan awal berdirinya Demak, hingga sekarang.
 
Salah satu sisi cerita saat detik-detik beralihnya Majapahit menjadi kerajaan Islam Demak ialah terbunuhnya Sunan Ngudung selaku pimpinan pasukan pengawal Brawijaya V. Sunan Ngudung dibunuh oleh Raden Jaka Banten. Sunan Ngudung adalah ayah Sunan Kudus. Sedang Sunan Kudus adalah mertua Brawijaya V (atau Raden Fatahilah raja I Demak). Demi kokohnya kerajaan Demak baru haruslah dipimpin orang yang berilmu tinggi. Peta demimikian dibaca Sunan Kalijaga. Maka Sunan Kalijaga menyarankan agar Raden Jaka Banten diangkat menjadi senopati Demak. Sekilas memang keadaan semacam ini janggal. Keberadaan musuh yang dijadikan senopati. Tetapi Sunan Kalijaga cerdik, Sunan Kalijaga mengutus Sunan Kudus untuk mengangkat Raden Jaka Banten. Hal demikian dimaksudkan untuk menetralisir dendam persengketaan yang berkepanjangan.
 
Melihat kegagalan sistem pemerintahan sentralistik kerajaan-kerajaan sebelumnya, kenegarawanan Sunan Kalijaga tergugah. Setelah (sementara) kerajaan Demak sudah berdiri, Sunan Kalijaga menyuruh para bawahannya untuk memimpin tiap wilayah Demak dengan sistem perdikan/otonomi di wilayahnya masing-masing, meskipun tetap di bawah kekuasaan Demak. Tanah perdikan ini dipimpin anak buah Sunan Kalijaga yang dijuluki Ki Gede atau Ki Ageng, antara lain Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Mangiri, dan Ki Ageng Pemanahan.
 
Demokratisasi memang sistem terbaik dari segi kebebasan hak asasi manusia. Meskipun belum tentu efektif pada keadaan tertentu. Namun uji daya kenegarawanan Sunan Kalijaga ini mampu memperlaju kebesaran Demak sebagai negara kuat dengan filosofi keagamaannya. Tiap daerah bawahan dapat bersaing maju untuk memperkuat sendi-sendi pusat kerajaan Demak.
 
Mengamati cara Cak Nun meresensi kiprah kenegarawanan Sunan kalijaga ini, dapat kita temukan 3 metode analisis. Pertama: Penipuan logis (ignoratio elenchi). Metode ini menyingkap kebenaran dengan cara menghadirkan kenyataan untuk dialegori balik dengan menghadirkan kenyataan itu sendiri. Contoh : Apakah benar Sunan Kalijaga menerapkan sistem pemerintahan federal? Jawabnya : periksalah surat wasiat yang ditunjukkan ke Sunan Kudus agar mengangkat Raden Jaka Banten sebagai senopati. Kenyataannya ada wilayah bawahan Demak yang dipimpin oleh lebih dari satu Ki Gede atau Ki Ageng. Kedua: Prinsip posisi : yang dibuktikan diambil sebagai bukti. Contoh : apa buktinya jika Sunan Kalijaga menerapkan sistem pemerintahan federal? Jawabnya : buktinya awal kerajaan Demak tidak sistem sintralistik, dan ada para Ki Ageng /Ki Gede yang menjadi pemimpin wilayah bawahan. Ketiga: identitas dihadapkan pada gejala yang bukan identitas. Metode ke 3 ini melibatkan faseologi dari sebuah konklusi, tese, anti tese, sintetis. Contoh : pengangkatan para Ki Ageng=tese, identitas formal. Perdikan/otonomi melesap ketika dipandang dari skala kerajaan Demak, perdikan bagian dari wilayah Demak=anti tese, sedangkan sintetisnya adalah kemajuan Demak yang kuat dan pesat.
 
Lantas bagaimana sistem metode federal itu hendak ditarik ke kondisi kekinian? Indonesia sebagai suatu Negara, dan disebut Negara, syaratnya adalah terbangunnya berbagai perangkat: lembaga, konstitusi, rakyat, parpol dan lain sebagainya, penyelenggara berlangsungnya tata kenegaraan. Federasi sebagai individu adalah sikap tepat dan benar berdasarkan ideologi demokratisasi berkadar. Artinya, boleh menjadi warga negara Indonesia, tetapi tidak berfikir seperti pemikiran yang dianut orang-orang Indonesia umumnya. Selama ini cara berfikir Indoneisa masihlah setaraf dengan peradaban sekarung pasir. Belum ke peradaban sekarung intan. Meski sama bertakaran satu karung, namun nilainya terpaut jauh. Sehubungan dengan ini Cak Nun memberikan contoh bahwa sistem yang berlaku di Indonesia bukan sistem profesional dalam menduduki jabatan atau pekerjaan, melainkan sistem profesionalis. Profesional/keahlian tidak diperhitungkan secara materi semata. Tetapi yang berlaku di Indonesia sekarang sedang marak-maraknya memprofesionalisasikan diri untuk meraup keuntungan. Tifatul Sembiring misalnya, sangat tidak profesional di bidang perhubungan, tetapi demi bagi-bagi jabatan, Ia didudukkan menjadi menteri perhubungan. Sebagai mana Tifatul Sembiring, Purnomo Yusgiantoro dan Taufik Khemas bukanlah orang yang layak menduduki dunia profesionalnya.
 
Sekolah jurusan apapun, fakultas apapun, nilainya nihil di Indonesia. Nilai profesionalitas di hukum oleh profesionalisme itu sendiri. Inilah akses dari sistem sentralitas dibanding seistem perdikan.
 
Kapan gagasan Sunan Kalijaga terwujud? Perlu adanya kekuatan seimbang antara politik, ekonomi, dan agama. Demokratisasi melahirkan kekuatan politik secara pesat. Tetapi kekuatan ekonomi yang tidak seimbang, membuat masyarakat tertindas yang tidak menerima jatah haknya secara wajar, ibarat harimau lapar yang berlarian dari ladang dan hendak merebut haknya, senyawang pintu demokrasi terbuka lebar. Mereka merebut daging-daging kekuasaan yang tidak dibagi berdasarkan kebersamaan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar