Memoar I Padhang mBulan 26 Juli 2010
Sabrank Suparno
Topik utama pemikiran pengajian Padhang mBulan pada 26 Juli 2010, Cak Nun
mengurai jelas tentang sistem pemerintahan federal yang digagas Sunan Kalijaga.
Federal, sepadan dengan kata perdikan (yang dimerdekakan) atau istilah sekarang
otonomi daerah.
Gagasan ini penting dikaji ulang. Minimal sebagai wacana menyikapi,
merumuskan atau paling tidak sebagai rabahan untuk menyikapi bentuk
pemerintahan sekarang dan akan datang. Tentu saja ‘apa’ dan ‘bagaimana’nya,
ditentukan dalam kadar tertentu.
Sistem pemerintahan federal ini dinilai Cak Nun lebih potensial jika
diterapkan. Pengamatan ini direduksi berdasarkan hasil nilai kebudayaan yang
telah tercapai setiap peralihan kekuasaan sejak runtuhnya Majapahit dan awal
berdirinya Demak, hingga sekarang.
Salah satu sisi cerita saat detik-detik beralihnya Majapahit menjadi
kerajaan Islam Demak ialah terbunuhnya Sunan Ngudung selaku pimpinan pasukan
pengawal Brawijaya V. Sunan Ngudung dibunuh oleh Raden Jaka Banten. Sunan
Ngudung adalah ayah Sunan Kudus. Sedang Sunan Kudus adalah mertua Brawijaya V
(atau Raden Fatahilah raja I Demak). Demi kokohnya kerajaan Demak baru haruslah
dipimpin orang yang berilmu tinggi. Peta demimikian dibaca Sunan Kalijaga. Maka
Sunan Kalijaga menyarankan agar Raden Jaka Banten diangkat menjadi senopati
Demak. Sekilas memang keadaan semacam ini janggal. Keberadaan musuh yang
dijadikan senopati. Tetapi Sunan Kalijaga cerdik, Sunan Kalijaga mengutus Sunan
Kudus untuk mengangkat Raden Jaka Banten. Hal demikian dimaksudkan untuk
menetralisir dendam persengketaan yang berkepanjangan.
Melihat kegagalan sistem pemerintahan sentralistik kerajaan-kerajaan
sebelumnya, kenegarawanan Sunan Kalijaga tergugah. Setelah (sementara) kerajaan
Demak sudah berdiri, Sunan Kalijaga menyuruh para bawahannya untuk memimpin
tiap wilayah Demak dengan sistem perdikan/otonomi di wilayahnya masing-masing,
meskipun tetap di bawah kekuasaan Demak. Tanah perdikan ini dipimpin anak buah
Sunan Kalijaga yang dijuluki Ki Gede atau Ki Ageng, antara lain Ki Ageng
Pengging, Ki Ageng Mangiri, dan Ki Ageng Pemanahan.
Demokratisasi memang sistem terbaik dari segi kebebasan hak asasi manusia.
Meskipun belum tentu efektif pada keadaan tertentu. Namun uji daya
kenegarawanan Sunan Kalijaga ini mampu memperlaju kebesaran Demak sebagai
negara kuat dengan filosofi keagamaannya. Tiap daerah bawahan dapat bersaing
maju untuk memperkuat sendi-sendi pusat kerajaan Demak.
Mengamati cara Cak Nun meresensi kiprah kenegarawanan Sunan kalijaga ini,
dapat kita temukan 3 metode analisis. Pertama: Penipuan logis (ignoratio
elenchi). Metode ini menyingkap kebenaran dengan cara menghadirkan kenyataan
untuk dialegori balik dengan menghadirkan kenyataan itu sendiri. Contoh :
Apakah benar Sunan Kalijaga menerapkan sistem pemerintahan federal? Jawabnya :
periksalah surat wasiat yang ditunjukkan ke Sunan Kudus agar mengangkat Raden
Jaka Banten sebagai senopati. Kenyataannya ada wilayah bawahan Demak yang
dipimpin oleh lebih dari satu Ki Gede atau Ki Ageng. Kedua: Prinsip posisi :
yang dibuktikan diambil sebagai bukti. Contoh : apa buktinya jika Sunan
Kalijaga menerapkan sistem pemerintahan federal? Jawabnya : buktinya awal
kerajaan Demak tidak sistem sintralistik, dan ada para Ki Ageng /Ki Gede yang
menjadi pemimpin wilayah bawahan. Ketiga: identitas dihadapkan pada gejala yang
bukan identitas. Metode ke 3 ini melibatkan faseologi dari sebuah konklusi,
tese, anti tese, sintetis. Contoh : pengangkatan para Ki Ageng=tese, identitas
formal. Perdikan/otonomi melesap ketika dipandang dari skala kerajaan Demak,
perdikan bagian dari wilayah Demak=anti tese, sedangkan sintetisnya adalah
kemajuan Demak yang kuat dan pesat.
Lantas bagaimana sistem metode federal itu hendak ditarik ke kondisi
kekinian? Indonesia sebagai suatu Negara, dan disebut Negara, syaratnya adalah
terbangunnya berbagai perangkat: lembaga, konstitusi, rakyat, parpol dan lain
sebagainya, penyelenggara berlangsungnya tata kenegaraan. Federasi sebagai
individu adalah sikap tepat dan benar berdasarkan ideologi demokratisasi
berkadar. Artinya, boleh menjadi warga negara Indonesia, tetapi tidak berfikir
seperti pemikiran yang dianut orang-orang Indonesia umumnya. Selama ini cara
berfikir Indoneisa masihlah setaraf dengan peradaban sekarung pasir. Belum ke
peradaban sekarung intan. Meski sama bertakaran satu karung, namun nilainya
terpaut jauh. Sehubungan dengan ini Cak Nun memberikan contoh bahwa sistem yang
berlaku di Indonesia bukan sistem profesional dalam menduduki jabatan atau
pekerjaan, melainkan sistem profesionalis. Profesional/keahlian tidak
diperhitungkan secara materi semata. Tetapi yang berlaku di Indonesia sekarang
sedang marak-maraknya memprofesionalisasikan diri untuk meraup keuntungan.
Tifatul Sembiring misalnya, sangat tidak profesional di bidang perhubungan,
tetapi demi bagi-bagi jabatan, Ia didudukkan menjadi menteri perhubungan.
Sebagai mana Tifatul Sembiring, Purnomo Yusgiantoro dan Taufik Khemas bukanlah
orang yang layak menduduki dunia profesionalnya.
Sekolah jurusan apapun, fakultas apapun, nilainya nihil di Indonesia. Nilai
profesionalitas di hukum oleh profesionalisme itu sendiri. Inilah akses dari
sistem sentralitas dibanding seistem perdikan.
Kapan gagasan Sunan Kalijaga terwujud? Perlu adanya kekuatan seimbang
antara politik, ekonomi, dan agama. Demokratisasi melahirkan kekuatan politik
secara pesat. Tetapi kekuatan ekonomi yang tidak seimbang, membuat masyarakat
tertindas yang tidak menerima jatah haknya secara wajar, ibarat harimau lapar
yang berlarian dari ladang dan hendak merebut haknya, senyawang pintu demokrasi
terbuka lebar. Mereka merebut daging-daging kekuasaan yang tidak dibagi
berdasarkan kebersamaan.
***
Sabtu, 14 Agustus 2010
Sunan Kali Jaga dan Gagasan Negara Federal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar