Memoar I Padhang mBulan 26 Juli 2010
Sabrank Suparno
Developer memerlukan kejelian dalam memahami jenis tanah di suatu tempat sebelum jauh mendirikan sebuah bangunan. Terutama kwalitas jenis tanah yang menyangkut keadaan dasar dan kekuatan tebal lapisan. Struktur rancangan pondasi harus tepat, agar eksisting pondasi kuat dan mampu bertahan dari gerak naik turunnya tanah. Dan hal itulah yang menentukan roboh dan kokohnya bangunan.
Sekedar berfikir rilex, agaknya perlu kita usut bentuk dan bahan pondasi dasar negara kita, sebagai tambahan wacana untuk menyimpulkan mengapa negara Indonesia ini dari zaman ke zaman selalu kropos.
Secara filologis, sila-sila dari pancasila tentu dahulu ditentukan oleh minimal pakar bahasa yang mewakili kesusastraan waktu itu. Jika seni dan sastra adalah simbol kadar keadaan zaman, maka seberapa kadar intelektualitas para penggagas dapat dibaca, dan pada perkembangannya dapat diuji kelayakannya dalam suatu relevansi. Seni dan sastra, tumbuh pada suatu wilayah tergantung dari kesuburan zamannya. Pertarungan dalam medan semantik, sangat menentukan kadar kemenangan bobot suatu karya yang mencakup seberapa kadar asosiasi yang dituangkan. Dari sinilah patut dipertanyakan, kemana peran pendekar bahasa saat pertarungan menggodok lahirnya pancasila? Dilibatkan, ataukah didepak minggir keluar arena, ataukah memang tidak terlalu mumpuni kesaktian pilosofi bahasannya.
Setengah abad lebih Indonesia sudah merangkak menapaki kemerdekaan. Tetapi cangkang Nasional masih terlihat kosong. Etnonasionalisme yang merupakan metamorfosis dari keberagaman ekspresi beberapa etnik, terlihat berbalik arah. Sedikit banyak keadaan ini adalah akses dari penghadapan wacana sila-sila pancasila sebagai dasar negara.
Emha menghadirkan selintas fikiran ringan tentang isi muatan sila pancasila. Pemikiran Emha tersebut, disampaikan dalam suatu paket rentetan menanggapi kebobrokan negeri ini yang terus simultan (padhang mbulan 26 Juli 2010). Sila pertama misalnya “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sila ini artinya Indonesia tidak menghadirkan “Tuhan” secara verbal, utuh, menyeluruh. Yang tertulis hanya “Ketuhanan”. Ketuhanan berbeda dengan Tuhan. Kalimat ‘ketuhanan’ hanya menampilkan cita rasa ber-Tuhan. Dalam cita rasa tentu bersifat fluktuatif. Tuhan diserap sekedar berdasarkan penangkapan sensibility. Ketika Tuhan tidak dihadirkan secara verbal, maka sah pengambilan keputusan apapun yang menyangkut perundang-undangan tidak melibatkan Tuhan sebagai perhitungan. Ketika Tuhan dilenyapkan inilah, terjadi kebrutalan para pejabat dan relasinya untuk mengeksplorasi besar-besaran kekayaan negara. Kalimat Ketuhanan yang Maha Esa berbeda makna dengan “Tuhan yang Maha Esa”. Dengan kata lain : negara yang ber-Tuhan, meletakkan aspirasi Tuhan sebagai dasar praktek apapun.
Kata sifat dihadirkan lagi dalam sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan, dan bukannya ‘manusia’. Imperioritas terjadi lagi, dimana nilai diukur berdasarkan ‘sifat’ prilaku manusia, sedangkan perilaku manusia dipengaruhi sifat kondisial. Dalam ‘kemanusiaan’ ada celah ruang yang memungkinkan dihuni oleh ‘kebinatangan’ sebab belum utuh menjadi manusia. Sedang manusia adalah manusia.
Lanjutan sila ke dua, pada kata “adil dan beradab” juga terjadi kerancuhan sublimitas. Adil, dan beradab, berada pada kalimat setara kadarnya dengan kata hubung ‘dan’. Adil dalam kalimat ini sudah cukup sempurna simplifikasinya mencakup peradaban. Dan pembahasannya akan melebar pada wacana psiko-sosial. Dimana jika dalam praktik kehidupan ‘adil’ ditegakkan, ia akan menghasilkan target kebaikan yang lebih luas. sedangkan peradaban hanyalah anak sungai dari terciptanya keadilan yang tidak patut disejajarkan.
Sila ke tiga: Persatuan Indonesia”. Kalimat ‘Persatuan’, induk kata-nya adalah ‘satu’. Proses neolitika terjadi pada kalimat per-satu-an yang artinya mengikat dari beberapa hal yang satu. Kata ‘persatuan’ lebih rendah nilainya dibanding kata ‘penyatuan’. Persatuan berindikasi memaksa, sedangkan penyatuan artinya usaha untuk menemukan titik temu ke satu arah dari keberagaman etnik di Indonesia. Seharusnya adalah kata ‘Kesatuan Indonesia’. Kata kesatuan dalam kalimat tersebut adalah cita-cita yang bermakna tujuan dengan kesadaran masing-masing. Dan bukannya pemaksan untuk bersatu tanpa syarat.
Sila ke empat ‘kerakyatan’ dan bukan ‘Rakyat’. Kata ‘kerakyatan’ berarti mengakui secara verbal ecritur tubuh untuk sungguh-sungguh sebagai rakyat, yang berbeda posisi dengan raja atau pemerintah. Rakyat=diperintah, sedang, alam demokrasi, rakyat mempunyai wakil, utusan, orang yang dipercaya, buruh, yang bernama pemerintah. Ironis sekali jika kemudian pemerintah berbalik makna menjadi juragan dan rakyat sebagai buruh.
Sampai pada sila ke lima. Keadilan Sosial. Keadailan adalah proses metamorfosis menuju ‘adil’. Dalam proses ini tersedia ruang untuk khilaf yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri.
Yang lebih mubazir adalah sampai setengah abad lebih, dimana sistem pendidikan menjamur dengan berbagai fakultas bahasa dan sastra, namun tidak ada ketegasan para ahli bahasa. Patut dipertanyakan. Apa fungsi ahli bahasa bagi perbaikan Indonesia? kalau sekedar fakultas dibuka sebagai proyek pendidikan semata.
Sabrank Suparno
Developer memerlukan kejelian dalam memahami jenis tanah di suatu tempat sebelum jauh mendirikan sebuah bangunan. Terutama kwalitas jenis tanah yang menyangkut keadaan dasar dan kekuatan tebal lapisan. Struktur rancangan pondasi harus tepat, agar eksisting pondasi kuat dan mampu bertahan dari gerak naik turunnya tanah. Dan hal itulah yang menentukan roboh dan kokohnya bangunan.
Sekedar berfikir rilex, agaknya perlu kita usut bentuk dan bahan pondasi dasar negara kita, sebagai tambahan wacana untuk menyimpulkan mengapa negara Indonesia ini dari zaman ke zaman selalu kropos.
Secara filologis, sila-sila dari pancasila tentu dahulu ditentukan oleh minimal pakar bahasa yang mewakili kesusastraan waktu itu. Jika seni dan sastra adalah simbol kadar keadaan zaman, maka seberapa kadar intelektualitas para penggagas dapat dibaca, dan pada perkembangannya dapat diuji kelayakannya dalam suatu relevansi. Seni dan sastra, tumbuh pada suatu wilayah tergantung dari kesuburan zamannya. Pertarungan dalam medan semantik, sangat menentukan kadar kemenangan bobot suatu karya yang mencakup seberapa kadar asosiasi yang dituangkan. Dari sinilah patut dipertanyakan, kemana peran pendekar bahasa saat pertarungan menggodok lahirnya pancasila? Dilibatkan, ataukah didepak minggir keluar arena, ataukah memang tidak terlalu mumpuni kesaktian pilosofi bahasannya.
Setengah abad lebih Indonesia sudah merangkak menapaki kemerdekaan. Tetapi cangkang Nasional masih terlihat kosong. Etnonasionalisme yang merupakan metamorfosis dari keberagaman ekspresi beberapa etnik, terlihat berbalik arah. Sedikit banyak keadaan ini adalah akses dari penghadapan wacana sila-sila pancasila sebagai dasar negara.
Emha menghadirkan selintas fikiran ringan tentang isi muatan sila pancasila. Pemikiran Emha tersebut, disampaikan dalam suatu paket rentetan menanggapi kebobrokan negeri ini yang terus simultan (padhang mbulan 26 Juli 2010). Sila pertama misalnya “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sila ini artinya Indonesia tidak menghadirkan “Tuhan” secara verbal, utuh, menyeluruh. Yang tertulis hanya “Ketuhanan”. Ketuhanan berbeda dengan Tuhan. Kalimat ‘ketuhanan’ hanya menampilkan cita rasa ber-Tuhan. Dalam cita rasa tentu bersifat fluktuatif. Tuhan diserap sekedar berdasarkan penangkapan sensibility. Ketika Tuhan tidak dihadirkan secara verbal, maka sah pengambilan keputusan apapun yang menyangkut perundang-undangan tidak melibatkan Tuhan sebagai perhitungan. Ketika Tuhan dilenyapkan inilah, terjadi kebrutalan para pejabat dan relasinya untuk mengeksplorasi besar-besaran kekayaan negara. Kalimat Ketuhanan yang Maha Esa berbeda makna dengan “Tuhan yang Maha Esa”. Dengan kata lain : negara yang ber-Tuhan, meletakkan aspirasi Tuhan sebagai dasar praktek apapun.
Kata sifat dihadirkan lagi dalam sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan, dan bukannya ‘manusia’. Imperioritas terjadi lagi, dimana nilai diukur berdasarkan ‘sifat’ prilaku manusia, sedangkan perilaku manusia dipengaruhi sifat kondisial. Dalam ‘kemanusiaan’ ada celah ruang yang memungkinkan dihuni oleh ‘kebinatangan’ sebab belum utuh menjadi manusia. Sedang manusia adalah manusia.
Lanjutan sila ke dua, pada kata “adil dan beradab” juga terjadi kerancuhan sublimitas. Adil, dan beradab, berada pada kalimat setara kadarnya dengan kata hubung ‘dan’. Adil dalam kalimat ini sudah cukup sempurna simplifikasinya mencakup peradaban. Dan pembahasannya akan melebar pada wacana psiko-sosial. Dimana jika dalam praktik kehidupan ‘adil’ ditegakkan, ia akan menghasilkan target kebaikan yang lebih luas. sedangkan peradaban hanyalah anak sungai dari terciptanya keadilan yang tidak patut disejajarkan.
Sila ke tiga: Persatuan Indonesia”. Kalimat ‘Persatuan’, induk kata-nya adalah ‘satu’. Proses neolitika terjadi pada kalimat per-satu-an yang artinya mengikat dari beberapa hal yang satu. Kata ‘persatuan’ lebih rendah nilainya dibanding kata ‘penyatuan’. Persatuan berindikasi memaksa, sedangkan penyatuan artinya usaha untuk menemukan titik temu ke satu arah dari keberagaman etnik di Indonesia. Seharusnya adalah kata ‘Kesatuan Indonesia’. Kata kesatuan dalam kalimat tersebut adalah cita-cita yang bermakna tujuan dengan kesadaran masing-masing. Dan bukannya pemaksan untuk bersatu tanpa syarat.
Sila ke empat ‘kerakyatan’ dan bukan ‘Rakyat’. Kata ‘kerakyatan’ berarti mengakui secara verbal ecritur tubuh untuk sungguh-sungguh sebagai rakyat, yang berbeda posisi dengan raja atau pemerintah. Rakyat=diperintah, sedang, alam demokrasi, rakyat mempunyai wakil, utusan, orang yang dipercaya, buruh, yang bernama pemerintah. Ironis sekali jika kemudian pemerintah berbalik makna menjadi juragan dan rakyat sebagai buruh.
Sampai pada sila ke lima. Keadilan Sosial. Keadailan adalah proses metamorfosis menuju ‘adil’. Dalam proses ini tersedia ruang untuk khilaf yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri.
Yang lebih mubazir adalah sampai setengah abad lebih, dimana sistem pendidikan menjamur dengan berbagai fakultas bahasa dan sastra, namun tidak ada ketegasan para ahli bahasa. Patut dipertanyakan. Apa fungsi ahli bahasa bagi perbaikan Indonesia? kalau sekedar fakultas dibuka sebagai proyek pendidikan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar