Sabtu, 14 Agustus 2010

Napak Tilas Jejak Semiotika Dasar Negara

Memoar I Padhang mBulan 26 Juli 2010
Sabrank Suparno

Developer memerlukan kejelian dalam memahami jenis tanah di suatu tempat sebelum jauh mendirikan sebuah bangunan. Terutama kwalitas jenis tanah yang menyangkut keadaan dasar dan kekuatan tebal lapisan. Struktur rancangan pondasi harus tepat, agar eksisting pondasi kuat dan mampu bertahan dari gerak naik turunnya tanah. Dan hal itulah yang menentukan roboh dan kokohnya bangunan.

Sekedar berfikir rilex, agaknya perlu kita usut bentuk dan bahan pondasi dasar negara kita, sebagai tambahan wacana untuk menyimpulkan mengapa negara Indonesia ini dari zaman ke zaman selalu kropos.

Secara filologis, sila-sila dari pancasila tentu dahulu ditentukan oleh minimal pakar bahasa yang mewakili kesusastraan waktu itu. Jika seni dan sastra adalah simbol kadar keadaan zaman, maka seberapa kadar intelektualitas para penggagas dapat dibaca, dan pada perkembangannya dapat diuji kelayakannya dalam suatu relevansi. Seni dan sastra, tumbuh pada suatu wilayah tergantung dari kesuburan zamannya. Pertarungan dalam medan semantik, sangat menentukan kadar kemenangan bobot suatu karya yang mencakup seberapa kadar asosiasi yang dituangkan. Dari sinilah patut dipertanyakan, kemana peran pendekar bahasa saat pertarungan menggodok lahirnya pancasila? Dilibatkan, ataukah didepak minggir keluar arena, ataukah memang tidak terlalu mumpuni kesaktian pilosofi bahasannya.

Setengah abad lebih Indonesia sudah merangkak menapaki kemerdekaan. Tetapi cangkang Nasional masih terlihat kosong. Etnonasionalisme yang merupakan metamorfosis dari keberagaman ekspresi beberapa etnik, terlihat berbalik arah. Sedikit banyak keadaan ini adalah akses dari penghadapan wacana sila-sila pancasila sebagai dasar negara.

Emha menghadirkan selintas fikiran ringan tentang isi muatan sila pancasila. Pemikiran Emha tersebut, disampaikan dalam suatu paket rentetan menanggapi kebobrokan negeri ini yang terus simultan (padhang mbulan 26 Juli 2010). Sila pertama misalnya “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sila ini artinya Indonesia tidak menghadirkan “Tuhan” secara verbal, utuh, menyeluruh. Yang tertulis hanya “Ketuhanan”. Ketuhanan berbeda dengan Tuhan. Kalimat ‘ketuhanan’ hanya menampilkan cita rasa ber-Tuhan. Dalam cita rasa tentu bersifat fluktuatif. Tuhan diserap sekedar berdasarkan penangkapan sensibility. Ketika Tuhan tidak dihadirkan secara verbal, maka sah pengambilan keputusan apapun yang menyangkut perundang-undangan tidak melibatkan Tuhan sebagai perhitungan. Ketika Tuhan dilenyapkan inilah, terjadi kebrutalan para pejabat dan relasinya untuk mengeksplorasi besar-besaran kekayaan negara. Kalimat Ketuhanan yang Maha Esa berbeda makna dengan “Tuhan yang Maha Esa”. Dengan kata lain : negara yang ber-Tuhan, meletakkan aspirasi Tuhan sebagai dasar praktek apapun.

Kata sifat dihadirkan lagi dalam sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan, dan bukannya ‘manusia’. Imperioritas terjadi lagi, dimana nilai diukur berdasarkan ‘sifat’ prilaku manusia, sedangkan perilaku manusia dipengaruhi sifat kondisial. Dalam ‘kemanusiaan’ ada celah ruang yang memungkinkan dihuni oleh ‘kebinatangan’ sebab belum utuh menjadi manusia. Sedang manusia adalah manusia.

Lanjutan sila ke dua, pada kata “adil dan beradab” juga terjadi kerancuhan sublimitas. Adil, dan beradab, berada pada kalimat setara kadarnya dengan kata hubung ‘dan’. Adil dalam kalimat ini sudah cukup sempurna simplifikasinya mencakup peradaban. Dan pembahasannya akan melebar pada wacana psiko-sosial. Dimana jika dalam praktik kehidupan ‘adil’ ditegakkan, ia akan menghasilkan target kebaikan yang lebih luas. sedangkan peradaban hanyalah anak sungai dari terciptanya keadilan yang tidak patut disejajarkan.

Sila ke tiga: Persatuan Indonesia”. Kalimat ‘Persatuan’, induk kata-nya adalah ‘satu’. Proses neolitika terjadi pada kalimat per-satu-an yang artinya mengikat dari beberapa hal yang satu. Kata ‘persatuan’ lebih rendah nilainya dibanding kata ‘penyatuan’. Persatuan berindikasi memaksa, sedangkan penyatuan artinya usaha untuk menemukan titik temu ke satu arah dari keberagaman etnik di Indonesia. Seharusnya adalah kata ‘Kesatuan Indonesia’. Kata kesatuan dalam kalimat tersebut adalah cita-cita yang bermakna tujuan dengan kesadaran masing-masing. Dan bukannya pemaksan untuk bersatu tanpa syarat.

Sila ke empat ‘kerakyatan’ dan bukan ‘Rakyat’. Kata ‘kerakyatan’ berarti mengakui secara verbal ecritur tubuh untuk sungguh-sungguh sebagai rakyat, yang berbeda posisi dengan raja atau pemerintah. Rakyat=diperintah, sedang, alam demokrasi, rakyat mempunyai wakil, utusan, orang yang dipercaya, buruh, yang bernama pemerintah. Ironis sekali jika kemudian pemerintah berbalik makna menjadi juragan dan rakyat sebagai buruh.

Sampai pada sila ke lima. Keadilan Sosial. Keadailan adalah proses metamorfosis menuju ‘adil’. Dalam proses ini tersedia ruang untuk khilaf yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri.

Yang lebih mubazir adalah sampai setengah abad lebih, dimana sistem pendidikan menjamur dengan berbagai fakultas bahasa dan sastra, namun tidak ada ketegasan para ahli bahasa. Patut dipertanyakan. Apa fungsi ahli bahasa bagi perbaikan Indonesia? kalau sekedar fakultas dibuka sebagai proyek pendidikan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar