Sabrank Suparno
Kata ibu, usia Nenek sekitar 102 tahun. Tubuh ringkih itu sisa masa kolonial. Lima belas tahun silam, Nenek masih berjalan tegak nyambangi sawah. Aku ingat, aku kecil sering diajak kepekarangan di pojok desa. Aku bermain lumpur, dan tubuh wanita itu gigih mencangkul, menanam pohon kelapa. Dasar orang tua, ada saja tabiatnya. Apa sempat Nenek memetik nanti? Sedang usianya di ambang senja.
Aku dan semua cucu-cicitnya mengetahui perihal sepetak sawah itu, kenapa tidak dijual saat paceklik melanda dan keenam anaknya kelaparan. Bukan karena usiaku cukup tua untuk mengetahui riwayat sebidang tanah itu. Kakek meninggal saja, ibuku belum menikah.
Tidak luas memang. Hanya sepertiga hektar. Itupun tinggalan dari Kakek. Kakekku namanya Urip. Tetapi dipanggil Suro. Sebab jaman dulu, setelah menikah, para lelaki mengganti namanya dengan julukan. Jaman dimana profil tidak terlalu penting. Simbol dipandang perlu untuk menyembunyikan identitas diri. Yang penting apa yang mereka lakukan.
Untuk menyuruh orang singgah misalnya, cukup dengan “ silahkan mampir ke gubuk saya”, dan bukan “silahkan mampir kerumh saya”. Pemilihan kepala desa, calon hanya disimbolkan dengan lambing padi, jagung, nanas, kelapa, tebu, dan lain sebainya. Dan bukan photo.
Berbeda dengan sekarang. Gambar calon kandidat pilkada ngerumpi di perempatan kota. Tak hanya photo, nama mbah dan buyutnya ikut serta.
Sekarang benar-benar jaman telanjang. Aurat yang tabu dilihat, malah dijilat seperti es crime. Ludruk, Ketoprak, Jaran Kepang, Reog yang menampilkan Jatil (anak laki-laki dirias ala wanita) sebagai peran pendamping, kini digantu wujut aslinya. Wanita.
Tak heran jika Reog kehilangan ‘yoni’ dan dicuri tatangga. Sebab di negri sendiri sudah kehilangan kekuatan magiknya. Jatil yang disunggi, sama dengan meletakkan kemaluan wanita dikepalanya. Yang Maha Syahwat.
***
Diranjang bambu, tembikar pandan Kakek terkulai. Dia ingin pergi jauh. Tetapi kakinya terborgol rantai besi. Ia terus memandangi enam wajah anaknya yang lesu terserang paceklik. Meraka menangis, memanggil-manggil kelaparan.
Mata Kakek berkata-kata. Hanya Nenek yang mengerti bahasanya. Saat itu Nenek masih bahenol dan semlohe. Untuk menikah lagi, tak sepi para duda menghampiri.
Sesobek kain dicelupkan Nenek ke baskom air hangat. Perlahan, dengan bahasa yang hanya mereka mengerti, tangan lembut Nenek mengusap dahi Kakek. Seketika api yang memanggang muka Kakek, redam. Tetapi panasnya masih menyulut ke dalam dada. Nenek segera mengerti yang diinginkan Kakek. “Kang, kalau memang sudah tidak kuat, pergilah. Aku tidak akan menikah lagi. Aku membesarkan anak-anak saja. Sawah juga tidak akan kujual. Percuma aku menikah lagi. Iya kalau dapat lelaki pengertian, kalau tidak malah menelantarkan anak”, ucap Nenek sembari duduk dipinggir amben.
Kata-kata Nenek kemudian menjelma para laleki bersorban dan berjubah putih. Mereka menunggu sedari kamarin hendak menjemput Kakek. Mereka mengendarai kereta kencana berpayung jingga dengan umbul-umbul emas berukir berlian dan permadani. Pasukan berjubah itu melepas borgol kaki Kakek, dan segeralah Kakek pergi ke suatu tempat yang tak pernah diceritakan. Tempat yang tak ada lagi warna hijau, kuning, merah, dan biru. Tempat jingga, yah, jingga.
Aku tau persis wajah Kakek sebelum pergi meski aku tak menunggui saat itu. Kata Nenek, pamanku satu-satunya, gelagat, peringai, dan wajahnya adalah kakek yang tak pernah pergi. Tiap malam Jum’at aku mengunjunginya. Tuk sekedar bercanda ria. Kuwe dan kopi kesukaannya ku kemas dalam do’a. Bagamanapun juga aku darah dagingnya, dan yang kutempati adalah pekarangannya.
***
Aku dan adik-adikku pernah merasakan pahitnya kunir. Nenek dengan mulut yang ngedumel itu memamah-pamah sepertiga batang kunir. Sesaat setelah itu ampas kunir lembut dicekokkan kemulutku. Tiap kali selalu begitu. Tiap aku dan adikku menangis saat dimomongnya. Nenek digaji satu ember gabah setiap hari. Upah Nenek memomong aku dan adikku saat penen tiba. Sedang bapak dan ibuku sibuk memanen padi.
Dari tujuh saudaraku, yang cantik Cuma Yayuk adik ragilku. Sebab dia yang paling wanita. Adik perempuanku paling akrab dengan Nenek dibanding cucu lainnya. Aku heran. Peringai Yayuk kecil terkadang meniru gelagat buyut (ibu Nenek). Menurut Nenek, Buyut sering datang dan berpesan agar jangan menyakiti Yayuk. Karena dirinya merasuk di tubuh Yayuk. Paha Yayuk tak segosong pahaku yang kerap dicubit Nenek.
Suatu malam aku mendengar suara Nenek melengking dari kamar sebelah. Dongeng sebelum tidur buat adikku. Suara Nenek memang tak bisa pelan. Persis pesawat take of di bandara. Suara itu bagai busur panah melesat menembus telinga kiriku. Dan lubang kepalaku membekas hingga sekarang. “ Kamu sudah kelas enam. Sebentar lagi ‘ini’ akan keluar darah( aku membayangkan pasti nenek sedang memegang kemaluan adik perempuanku). Kau akan menjadi kuntum bunga yang mekar. Wanita itu harus menghargai kewanitaannya. Mengertilah kalau engkau wanita. Jangan sampai sari madumu dihisap kumbang-kumbang jalanan. Darahmu hanya mengalir karena satu kumbang sampaui ahir hayatnya”. Kalimat itu terngiang di kepalaku hinggga kini. Meski aku bukan wanita, tapi aku tak bisa hidup tanpa wanita. Atau mungkin beranak wanita.
Semenjak kepergian Kakek, hari hari Nenek tak bertanggal. Matahari runtuh dan bulan menjauh. Hanya keenam anaknya menjadi seberkas bintang gemintang dan cucu cicitnya kerlip meteor mengelilinginya. Walau tak seterang matahari tak kurang cahaya tuk kehilangan arah.
Tiap hari lebaran, aku dan anak cucunya sungkem. Saudara dan familiku bergantian menggendongkan anaknya walau sejenak. Kami iri, Tuhan telah menjalankan tubuh ringkih hingga seusia ini. Sementara kami tak tau akan hidup berapa tahun lagi. Bisakah menyamai Nenek.
Lebaran ke lima belas tahun lalu Nenek menanyaiku. Kapan dirinya menimang anakku. Hatiku terhenyak. Suara itu bagai gemuruh badai hantam dadaku. Aku bisiki telinganya. ” Pokoknya Nenek gak boleh mati, sebelum gendong anakku”. Dia mengangguk. Perjanjian itu diselipkan di rambut, dan diikat dalam bundelan pojok bajunya.
Karna sibuk, pernah satu lebaran aku tak bersimpuh dilututnya. Semua famili yang kujumpai menyampaikan pesan, kalau aku ditunggu Nenek. Seperti lebaran sebelumnya, aku pasti ditanya,” kapan kamu menikah?”.
***
Satu persatu wajah kekasihku hadir kembali membawa kenangan berbeda. Wanita, yang rahasianya tak pernah khatam dikaji lelaki. Kadang wanita jadi merpati. Dikejar hilang, dibiarkan menghampiri. Kadang menjadi gunung, duduk termenung menunggu pendaki. Adapula yang jadi samudera. Tak mengatakan kalau dirinya dalam, melainkan para nelayan harus menyelam tuk mengais ikan-ikan dan mutiara di dalamnya. Ada yang seperti bumi. Ditanam ilalang tumbuh padi, tanam padi timbuh ilalang. Ada yang garang bak matahari hanya menyinar tak ingin kembali. Sementara yang lain hanyalah kerlip bintang malam hari, indah dipandang, tak dapat diraih.
***
Sejak lima tahun lalu Nenek sudah tidak bisa melihat. Tak pernah lagi bersih-bersih kebun atau mencari kayu bakar. Ia cuma duduk di kursi menunggu bibi membisiki kalau sudah azan. Ia lalu bergegas sholat dan lalu duduk kembali. Tiga tahun lalu Nenek sakit keras. Semua anak cucunya dikumpulkan. Nafasnya tersengal dan beberapa kali koma. Kami menghantar do’a dengan membaca ‘yasin’. Tak ada kata terucap sebelum menghembuskan nafas terahir. Para tetangga segera merangkai bunga dan tiga lapis kain mori. Ohh, betapa terkutuknya aku. Ketika semuanya menangis kehilangan induk darah dagingnya, ahh, cucu macam apa aku ini. Kenapa aku tak bisa menangis. Aku tak percaya. Aku merasa Nenek biasa-biasa saja. Wajar sakit keras dan shock. Empat puluh lima menit kemudian famili yang mengerubuti berteriak lagi. Ternyata nafas yang tadinya hilang berhembus lagi.
Sejak kejadian itu Nenek sering berpesan agar kami mempersiapkan serius bekal kematian kelak. Saat roh dicabut, kulit tubuh terasa dikelupas seperti kulit ular.
Lebaran depan kian mendekat. Sementara yang tahun lalu Nenek berbicara pelan kepadaku, kalau dirinya tak ingin lagi menjadi beban. Ia mengungkapkan, kalau rindu sekali bertemu Kakek. Ia ingin bercerita ke Kakek, tentang anak-anaknya, semua sudah membangun rumah, rajin mengaji, dan mengajari cucu-cucunya sholat. Sepetak sawah tinggalanya sampai sekarang tidak dijual lantaran kepingin motor.
***
Tiap lebaran menjelang, kedunguanku kian membebal. Entah berapa tahun lagi. Seorang wanita akan datang kepadaku sambil membawa kunci kerinduan Nenek bertemu Kakek. Aku dan Nenek menunggu dalam tiap hembusan nafas. Tak sekedar demi aku, tapi Nenekku jua.
Dia adalah satu di antara semilyar wanita, yang aku sejuk, damai bersemayam di bawah kelopak matanya dan teduh di bawah alisnya. Wanita yang matanya kan kutatap berabad-abad. Wanita yang bukan siapa-siapa, tetapi diriku yang terbelah menjadi dirinya.
(Jombang 20 Agustus 2010. Buat Nenek Toyah)
Kata ibu, usia Nenek sekitar 102 tahun. Tubuh ringkih itu sisa masa kolonial. Lima belas tahun silam, Nenek masih berjalan tegak nyambangi sawah. Aku ingat, aku kecil sering diajak kepekarangan di pojok desa. Aku bermain lumpur, dan tubuh wanita itu gigih mencangkul, menanam pohon kelapa. Dasar orang tua, ada saja tabiatnya. Apa sempat Nenek memetik nanti? Sedang usianya di ambang senja.
Aku dan semua cucu-cicitnya mengetahui perihal sepetak sawah itu, kenapa tidak dijual saat paceklik melanda dan keenam anaknya kelaparan. Bukan karena usiaku cukup tua untuk mengetahui riwayat sebidang tanah itu. Kakek meninggal saja, ibuku belum menikah.
Tidak luas memang. Hanya sepertiga hektar. Itupun tinggalan dari Kakek. Kakekku namanya Urip. Tetapi dipanggil Suro. Sebab jaman dulu, setelah menikah, para lelaki mengganti namanya dengan julukan. Jaman dimana profil tidak terlalu penting. Simbol dipandang perlu untuk menyembunyikan identitas diri. Yang penting apa yang mereka lakukan.
Untuk menyuruh orang singgah misalnya, cukup dengan “ silahkan mampir ke gubuk saya”, dan bukan “silahkan mampir kerumh saya”. Pemilihan kepala desa, calon hanya disimbolkan dengan lambing padi, jagung, nanas, kelapa, tebu, dan lain sebainya. Dan bukan photo.
Berbeda dengan sekarang. Gambar calon kandidat pilkada ngerumpi di perempatan kota. Tak hanya photo, nama mbah dan buyutnya ikut serta.
Sekarang benar-benar jaman telanjang. Aurat yang tabu dilihat, malah dijilat seperti es crime. Ludruk, Ketoprak, Jaran Kepang, Reog yang menampilkan Jatil (anak laki-laki dirias ala wanita) sebagai peran pendamping, kini digantu wujut aslinya. Wanita.
Tak heran jika Reog kehilangan ‘yoni’ dan dicuri tatangga. Sebab di negri sendiri sudah kehilangan kekuatan magiknya. Jatil yang disunggi, sama dengan meletakkan kemaluan wanita dikepalanya. Yang Maha Syahwat.
***
Diranjang bambu, tembikar pandan Kakek terkulai. Dia ingin pergi jauh. Tetapi kakinya terborgol rantai besi. Ia terus memandangi enam wajah anaknya yang lesu terserang paceklik. Meraka menangis, memanggil-manggil kelaparan.
Mata Kakek berkata-kata. Hanya Nenek yang mengerti bahasanya. Saat itu Nenek masih bahenol dan semlohe. Untuk menikah lagi, tak sepi para duda menghampiri.
Sesobek kain dicelupkan Nenek ke baskom air hangat. Perlahan, dengan bahasa yang hanya mereka mengerti, tangan lembut Nenek mengusap dahi Kakek. Seketika api yang memanggang muka Kakek, redam. Tetapi panasnya masih menyulut ke dalam dada. Nenek segera mengerti yang diinginkan Kakek. “Kang, kalau memang sudah tidak kuat, pergilah. Aku tidak akan menikah lagi. Aku membesarkan anak-anak saja. Sawah juga tidak akan kujual. Percuma aku menikah lagi. Iya kalau dapat lelaki pengertian, kalau tidak malah menelantarkan anak”, ucap Nenek sembari duduk dipinggir amben.
Kata-kata Nenek kemudian menjelma para laleki bersorban dan berjubah putih. Mereka menunggu sedari kamarin hendak menjemput Kakek. Mereka mengendarai kereta kencana berpayung jingga dengan umbul-umbul emas berukir berlian dan permadani. Pasukan berjubah itu melepas borgol kaki Kakek, dan segeralah Kakek pergi ke suatu tempat yang tak pernah diceritakan. Tempat yang tak ada lagi warna hijau, kuning, merah, dan biru. Tempat jingga, yah, jingga.
Aku tau persis wajah Kakek sebelum pergi meski aku tak menunggui saat itu. Kata Nenek, pamanku satu-satunya, gelagat, peringai, dan wajahnya adalah kakek yang tak pernah pergi. Tiap malam Jum’at aku mengunjunginya. Tuk sekedar bercanda ria. Kuwe dan kopi kesukaannya ku kemas dalam do’a. Bagamanapun juga aku darah dagingnya, dan yang kutempati adalah pekarangannya.
***
Aku dan adik-adikku pernah merasakan pahitnya kunir. Nenek dengan mulut yang ngedumel itu memamah-pamah sepertiga batang kunir. Sesaat setelah itu ampas kunir lembut dicekokkan kemulutku. Tiap kali selalu begitu. Tiap aku dan adikku menangis saat dimomongnya. Nenek digaji satu ember gabah setiap hari. Upah Nenek memomong aku dan adikku saat penen tiba. Sedang bapak dan ibuku sibuk memanen padi.
Dari tujuh saudaraku, yang cantik Cuma Yayuk adik ragilku. Sebab dia yang paling wanita. Adik perempuanku paling akrab dengan Nenek dibanding cucu lainnya. Aku heran. Peringai Yayuk kecil terkadang meniru gelagat buyut (ibu Nenek). Menurut Nenek, Buyut sering datang dan berpesan agar jangan menyakiti Yayuk. Karena dirinya merasuk di tubuh Yayuk. Paha Yayuk tak segosong pahaku yang kerap dicubit Nenek.
Suatu malam aku mendengar suara Nenek melengking dari kamar sebelah. Dongeng sebelum tidur buat adikku. Suara Nenek memang tak bisa pelan. Persis pesawat take of di bandara. Suara itu bagai busur panah melesat menembus telinga kiriku. Dan lubang kepalaku membekas hingga sekarang. “ Kamu sudah kelas enam. Sebentar lagi ‘ini’ akan keluar darah( aku membayangkan pasti nenek sedang memegang kemaluan adik perempuanku). Kau akan menjadi kuntum bunga yang mekar. Wanita itu harus menghargai kewanitaannya. Mengertilah kalau engkau wanita. Jangan sampai sari madumu dihisap kumbang-kumbang jalanan. Darahmu hanya mengalir karena satu kumbang sampaui ahir hayatnya”. Kalimat itu terngiang di kepalaku hinggga kini. Meski aku bukan wanita, tapi aku tak bisa hidup tanpa wanita. Atau mungkin beranak wanita.
Semenjak kepergian Kakek, hari hari Nenek tak bertanggal. Matahari runtuh dan bulan menjauh. Hanya keenam anaknya menjadi seberkas bintang gemintang dan cucu cicitnya kerlip meteor mengelilinginya. Walau tak seterang matahari tak kurang cahaya tuk kehilangan arah.
Tiap hari lebaran, aku dan anak cucunya sungkem. Saudara dan familiku bergantian menggendongkan anaknya walau sejenak. Kami iri, Tuhan telah menjalankan tubuh ringkih hingga seusia ini. Sementara kami tak tau akan hidup berapa tahun lagi. Bisakah menyamai Nenek.
Lebaran ke lima belas tahun lalu Nenek menanyaiku. Kapan dirinya menimang anakku. Hatiku terhenyak. Suara itu bagai gemuruh badai hantam dadaku. Aku bisiki telinganya. ” Pokoknya Nenek gak boleh mati, sebelum gendong anakku”. Dia mengangguk. Perjanjian itu diselipkan di rambut, dan diikat dalam bundelan pojok bajunya.
Karna sibuk, pernah satu lebaran aku tak bersimpuh dilututnya. Semua famili yang kujumpai menyampaikan pesan, kalau aku ditunggu Nenek. Seperti lebaran sebelumnya, aku pasti ditanya,” kapan kamu menikah?”.
***
Satu persatu wajah kekasihku hadir kembali membawa kenangan berbeda. Wanita, yang rahasianya tak pernah khatam dikaji lelaki. Kadang wanita jadi merpati. Dikejar hilang, dibiarkan menghampiri. Kadang menjadi gunung, duduk termenung menunggu pendaki. Adapula yang jadi samudera. Tak mengatakan kalau dirinya dalam, melainkan para nelayan harus menyelam tuk mengais ikan-ikan dan mutiara di dalamnya. Ada yang seperti bumi. Ditanam ilalang tumbuh padi, tanam padi timbuh ilalang. Ada yang garang bak matahari hanya menyinar tak ingin kembali. Sementara yang lain hanyalah kerlip bintang malam hari, indah dipandang, tak dapat diraih.
***
Sejak lima tahun lalu Nenek sudah tidak bisa melihat. Tak pernah lagi bersih-bersih kebun atau mencari kayu bakar. Ia cuma duduk di kursi menunggu bibi membisiki kalau sudah azan. Ia lalu bergegas sholat dan lalu duduk kembali. Tiga tahun lalu Nenek sakit keras. Semua anak cucunya dikumpulkan. Nafasnya tersengal dan beberapa kali koma. Kami menghantar do’a dengan membaca ‘yasin’. Tak ada kata terucap sebelum menghembuskan nafas terahir. Para tetangga segera merangkai bunga dan tiga lapis kain mori. Ohh, betapa terkutuknya aku. Ketika semuanya menangis kehilangan induk darah dagingnya, ahh, cucu macam apa aku ini. Kenapa aku tak bisa menangis. Aku tak percaya. Aku merasa Nenek biasa-biasa saja. Wajar sakit keras dan shock. Empat puluh lima menit kemudian famili yang mengerubuti berteriak lagi. Ternyata nafas yang tadinya hilang berhembus lagi.
Sejak kejadian itu Nenek sering berpesan agar kami mempersiapkan serius bekal kematian kelak. Saat roh dicabut, kulit tubuh terasa dikelupas seperti kulit ular.
Lebaran depan kian mendekat. Sementara yang tahun lalu Nenek berbicara pelan kepadaku, kalau dirinya tak ingin lagi menjadi beban. Ia mengungkapkan, kalau rindu sekali bertemu Kakek. Ia ingin bercerita ke Kakek, tentang anak-anaknya, semua sudah membangun rumah, rajin mengaji, dan mengajari cucu-cucunya sholat. Sepetak sawah tinggalanya sampai sekarang tidak dijual lantaran kepingin motor.
***
Tiap lebaran menjelang, kedunguanku kian membebal. Entah berapa tahun lagi. Seorang wanita akan datang kepadaku sambil membawa kunci kerinduan Nenek bertemu Kakek. Aku dan Nenek menunggu dalam tiap hembusan nafas. Tak sekedar demi aku, tapi Nenekku jua.
Dia adalah satu di antara semilyar wanita, yang aku sejuk, damai bersemayam di bawah kelopak matanya dan teduh di bawah alisnya. Wanita yang matanya kan kutatap berabad-abad. Wanita yang bukan siapa-siapa, tetapi diriku yang terbelah menjadi dirinya.
(Jombang 20 Agustus 2010. Buat Nenek Toyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar