Aang Fatihul Islam
Aang Fatihul Islam
Ijo dan abang itulah dua kronim yang selalu melekat pada kota Jombang, sebuah perpaduan antara golongan santri dan abangan. Jombang adalah sebuah analogi miniatur kecil pluralisme yang terwakili dua akronim ijo dan abang. Jombang walaupun hanya kota kecil, tetapi di dalamnya tersimpan banyak hal menarik. Ini yang menyebabkan kota jombang selalu menarik untuk dikaji. Jombang tiada henti-hentinya menjadi sorotan, mulai sebutan kota santri, kota kelahiran Riyan sang jagal,, kota kelahiran Ponari Sang dukun cilik, kota budaya, sastra dan sebagainya.
Sejarah mencatat kota ini banyak melahirkan para pelopor yang menebarkan benih-benih pluralisme, sastra dan juga budaya baik di Jombang sendiri maupun di luar Jombang sampai di hampir seluruh pelosok tanah air. Dari sabang sampai merauke siapa yang tidak kenal Jombang, bahkan Negara tetanggapun juga sudah akrab dengan nama Jombang. Karena sejarah mencatat tokoh-tokoh yang punya peran vital di Indonesia dan di luar negeri, banyak yang berasal dari Jombang.
Dalam kancah pergulatan sastra dan budaya di Jombang, ternyata masih banyak hal yang seringkali kita lupakan. Maka dengan bermunculannya para pemerhati sastra dan budaya di Jombang, merupakan nafas segar bagi pemertahanan budaya dan sastra yang mulai lunglai. Di Jombang sebenarnya banyak hal yang bisa kita gali, mulai dari varian budaya yang berserakan, misalnya: kesenian topeng, tari, besutan dan masih banyak lagi. Sastra yang bertebaran dimana-mana misalnya dapat kita lihat para penggiat sastra yang tergabung dalam komunitas Lembah Pring yang juga kerap mengadakan Gladak Sastra yang penuh inspiratif, dan komunitas-komunitas sastra yang selalu berusaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dunia sastra di Jombang. Para penelusur sejarah, penggiat sastra dan budaya yang bermunculan, merupakan harapan baru bagi tumbuh-kembangnya peradaban sejarah, budaya dan sastra di Jombang pada khusunya. Namun kita semua perlu memberikan sumbangsih pemikiran demi keberlangsungan kekayaan sastra dan budaya di Jombang yang mulai menggeliat.
Dalam hal ini, penulis mencoba untuk mengungkap hal yang masih terlupakan yaitu dalam Gerbong Sastra, dalam hal ini adalah cerita rakyat yang biasa disebut dengan sastra lisan atau seringkali di sebut ‘folklor’ yang ada di Jombang. Ketika ditelusuri ternyata tidak banyak masyarakat Jombang yang masih memelihara kelestarian cerita rakyat, misalnya tidak banyak masyarakat Jombang yang faham betul tentang cerita rakyat di Jombang dan ini juga ditopang dengan kurangnya perhatian instansi terkait. Faktor lain adalah keberadaan cerita rakyat juga sudah tergantikan media visual dan audio visual seperti radio dan televisi yang menyebabkan berkurangnya cerita rakyat yang masih diberikan pada anak-anaknya seperti yang dilakukan pada waktu dulu sebelum media visual dan audio visual muncul di tengah-tengah kita. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Jombang, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Suripan Sadi Hotomo (1991:1) tokoh pemerhati sastra lisan, mengatakan bahwa “di Indonesia perhatian terhadap sastra yang tidak tertulis (sastra lisan) memang kurang sekali dibanding sastra tulis”. Karena sifat sastra lisan adalah dari mulut ketelinga lalu ke mulut (dari mulut ke mulut), maka penulis khawatir ketika orang-orang yang tahu dan faham tentang sastra lisan sudah tidak ada lagi, maka sastra lisan yang ada di Jombang ini akan punah seiring dengan perjalanan waktu. Padahal keberadaannya merupakan mutiara yang sangat berharga bagi keberlangsungan kantung sastra dan budaya di Jombang.
Sebenarnya ada banyak cerita rakyat yang ada di Jombang namun sayangnya belum terbukukan, antara lain cerita Putri Tunggorono dan Maesosuro, Kebokicak Dapur Kejambon, Dung Cinet, Dung Mangu, Dung Budeng, Palemahan Mojokrapak, Sambong Santren, Banjardowo, Topeng Jatiduwur dan sebagainya. Walaupun ada sebagian yang sudah ditulis, akan tetapi hanya sebagian kecil saja. Jadi bisa dikatakan bahwa masih banyak cerita-cerita rakyat lain yang belum terlacak dan terbukukan. Kemudian ketika membincangkan tentang budaya di Jombang, ternyata banyak hal yang kita tahu mulai dari Besutan, Jaran dor, Tari Remo, Reog dan sebagainya. Ada sekitar 23 kekayaan budaya yang ada di Jombang. Nah, sekarang kalau kita menengok sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat yang ada di Jombang, Faktor usia pun tidak menjamin orang tersebut tahu benar cerita rakyat yang ada di Jombang dengan fasih Bahkan mereka tidak tahu sama sekali. Ini merupakan sebuah keprihatinan tersendiri, kalau sampai orang-orang yang faham cerita rakyat di Jombang sudah habis maka apa yang akan terjadi nanti, otomatis kantung-kantung sastra lisan di Jombang akan punah. Tentunya kita tidak ingi itu terjadi bukan?
Karya sastra merupakan mutiara yang sangat berharga, karenanya di dalamnya baik sastra tulis maupun lisan banyak hal berharga dapat kita temukan: nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi, realisme sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Sepengetahuan saya, penelitian sastra lisan ini juga belum banyak dilakukan, apalagi di Jombang. Hal ini mungkin juga ditopang dari sulitnya untuk mendapatkannya karena tidak banyak yang memeliharanya. Maka karya sastra sebenarnya juga merupakan media pembelajaran yang cukup efektif dalam melakukan silaturrahmi wacana, walaupun tidak bertemu dengan penulisnya langsung kalau sastra tulis maupun penceritera berupa sastra lisan.
Dari uraian permasalahan di atas, cerita rakyat di Jombang sebagai mutiara yang terlupakan seharusnya akan lebih arif dan bijaksana ketika para pemerhati sastra dan budaya di Jombang dan juga pemerintah segera menyikapinya dengan cara mengambil langkah kongkrit dan reliable, misalnya dengan mengakomodir kantung-kantung sastra lisan di Jombang yang masih berserakan, kemudian segera membukukannya. Pembukuan cerita rakyat di Jombang akan te-realisasi ketika ada kerjasama dari berbagai pihak untuk segera melacak dan mendapatkan data cerita rakyat di Jombang dengan cara wawancara dan mencatatnya kemudian mengumpulkannya menjadi satu, untuk kemudian dijadikan sebuah kumpulan (antologi) cerita rakyat di Jombang. Supaya kekhawatiran yang selama ini menghantui kita akan segera berakhir. Untuk penyikapan yang lebih bijaksana saya serahkan sepenuhnya kepada semua pihak yang masih peduli dengan nafas sastra dan budaya di Jombang, kota yang penuh dengan mutiara. Apakah akan membiarkan mutiara itu hilang tergerus arus begitu saja, ataukah segera menyikapinya dengan arif dan bijaksana? Semuanya terserah kita, karena nasib keberlangsungan hidup sastra lisan di Jombang ada di tangan kita. Semoga keberlangsungan sastra lisan di Jombang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya segera bisa diselamatkan dari keter-ancaman kepunahan. Amin.
Dimuat Radar Mojokerto-Jombang tanggal 22 Agustus 2010.
Aang Fatihul Islam
Ijo dan abang itulah dua kronim yang selalu melekat pada kota Jombang, sebuah perpaduan antara golongan santri dan abangan. Jombang adalah sebuah analogi miniatur kecil pluralisme yang terwakili dua akronim ijo dan abang. Jombang walaupun hanya kota kecil, tetapi di dalamnya tersimpan banyak hal menarik. Ini yang menyebabkan kota jombang selalu menarik untuk dikaji. Jombang tiada henti-hentinya menjadi sorotan, mulai sebutan kota santri, kota kelahiran Riyan sang jagal,, kota kelahiran Ponari Sang dukun cilik, kota budaya, sastra dan sebagainya.
Sejarah mencatat kota ini banyak melahirkan para pelopor yang menebarkan benih-benih pluralisme, sastra dan juga budaya baik di Jombang sendiri maupun di luar Jombang sampai di hampir seluruh pelosok tanah air. Dari sabang sampai merauke siapa yang tidak kenal Jombang, bahkan Negara tetanggapun juga sudah akrab dengan nama Jombang. Karena sejarah mencatat tokoh-tokoh yang punya peran vital di Indonesia dan di luar negeri, banyak yang berasal dari Jombang.
Dalam kancah pergulatan sastra dan budaya di Jombang, ternyata masih banyak hal yang seringkali kita lupakan. Maka dengan bermunculannya para pemerhati sastra dan budaya di Jombang, merupakan nafas segar bagi pemertahanan budaya dan sastra yang mulai lunglai. Di Jombang sebenarnya banyak hal yang bisa kita gali, mulai dari varian budaya yang berserakan, misalnya: kesenian topeng, tari, besutan dan masih banyak lagi. Sastra yang bertebaran dimana-mana misalnya dapat kita lihat para penggiat sastra yang tergabung dalam komunitas Lembah Pring yang juga kerap mengadakan Gladak Sastra yang penuh inspiratif, dan komunitas-komunitas sastra yang selalu berusaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dunia sastra di Jombang. Para penelusur sejarah, penggiat sastra dan budaya yang bermunculan, merupakan harapan baru bagi tumbuh-kembangnya peradaban sejarah, budaya dan sastra di Jombang pada khusunya. Namun kita semua perlu memberikan sumbangsih pemikiran demi keberlangsungan kekayaan sastra dan budaya di Jombang yang mulai menggeliat.
Dalam hal ini, penulis mencoba untuk mengungkap hal yang masih terlupakan yaitu dalam Gerbong Sastra, dalam hal ini adalah cerita rakyat yang biasa disebut dengan sastra lisan atau seringkali di sebut ‘folklor’ yang ada di Jombang. Ketika ditelusuri ternyata tidak banyak masyarakat Jombang yang masih memelihara kelestarian cerita rakyat, misalnya tidak banyak masyarakat Jombang yang faham betul tentang cerita rakyat di Jombang dan ini juga ditopang dengan kurangnya perhatian instansi terkait. Faktor lain adalah keberadaan cerita rakyat juga sudah tergantikan media visual dan audio visual seperti radio dan televisi yang menyebabkan berkurangnya cerita rakyat yang masih diberikan pada anak-anaknya seperti yang dilakukan pada waktu dulu sebelum media visual dan audio visual muncul di tengah-tengah kita. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Jombang, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Suripan Sadi Hotomo (1991:1) tokoh pemerhati sastra lisan, mengatakan bahwa “di Indonesia perhatian terhadap sastra yang tidak tertulis (sastra lisan) memang kurang sekali dibanding sastra tulis”. Karena sifat sastra lisan adalah dari mulut ketelinga lalu ke mulut (dari mulut ke mulut), maka penulis khawatir ketika orang-orang yang tahu dan faham tentang sastra lisan sudah tidak ada lagi, maka sastra lisan yang ada di Jombang ini akan punah seiring dengan perjalanan waktu. Padahal keberadaannya merupakan mutiara yang sangat berharga bagi keberlangsungan kantung sastra dan budaya di Jombang.
Sebenarnya ada banyak cerita rakyat yang ada di Jombang namun sayangnya belum terbukukan, antara lain cerita Putri Tunggorono dan Maesosuro, Kebokicak Dapur Kejambon, Dung Cinet, Dung Mangu, Dung Budeng, Palemahan Mojokrapak, Sambong Santren, Banjardowo, Topeng Jatiduwur dan sebagainya. Walaupun ada sebagian yang sudah ditulis, akan tetapi hanya sebagian kecil saja. Jadi bisa dikatakan bahwa masih banyak cerita-cerita rakyat lain yang belum terlacak dan terbukukan. Kemudian ketika membincangkan tentang budaya di Jombang, ternyata banyak hal yang kita tahu mulai dari Besutan, Jaran dor, Tari Remo, Reog dan sebagainya. Ada sekitar 23 kekayaan budaya yang ada di Jombang. Nah, sekarang kalau kita menengok sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat yang ada di Jombang, Faktor usia pun tidak menjamin orang tersebut tahu benar cerita rakyat yang ada di Jombang dengan fasih Bahkan mereka tidak tahu sama sekali. Ini merupakan sebuah keprihatinan tersendiri, kalau sampai orang-orang yang faham cerita rakyat di Jombang sudah habis maka apa yang akan terjadi nanti, otomatis kantung-kantung sastra lisan di Jombang akan punah. Tentunya kita tidak ingi itu terjadi bukan?
Karya sastra merupakan mutiara yang sangat berharga, karenanya di dalamnya baik sastra tulis maupun lisan banyak hal berharga dapat kita temukan: nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi, realisme sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Sepengetahuan saya, penelitian sastra lisan ini juga belum banyak dilakukan, apalagi di Jombang. Hal ini mungkin juga ditopang dari sulitnya untuk mendapatkannya karena tidak banyak yang memeliharanya. Maka karya sastra sebenarnya juga merupakan media pembelajaran yang cukup efektif dalam melakukan silaturrahmi wacana, walaupun tidak bertemu dengan penulisnya langsung kalau sastra tulis maupun penceritera berupa sastra lisan.
Dari uraian permasalahan di atas, cerita rakyat di Jombang sebagai mutiara yang terlupakan seharusnya akan lebih arif dan bijaksana ketika para pemerhati sastra dan budaya di Jombang dan juga pemerintah segera menyikapinya dengan cara mengambil langkah kongkrit dan reliable, misalnya dengan mengakomodir kantung-kantung sastra lisan di Jombang yang masih berserakan, kemudian segera membukukannya. Pembukuan cerita rakyat di Jombang akan te-realisasi ketika ada kerjasama dari berbagai pihak untuk segera melacak dan mendapatkan data cerita rakyat di Jombang dengan cara wawancara dan mencatatnya kemudian mengumpulkannya menjadi satu, untuk kemudian dijadikan sebuah kumpulan (antologi) cerita rakyat di Jombang. Supaya kekhawatiran yang selama ini menghantui kita akan segera berakhir. Untuk penyikapan yang lebih bijaksana saya serahkan sepenuhnya kepada semua pihak yang masih peduli dengan nafas sastra dan budaya di Jombang, kota yang penuh dengan mutiara. Apakah akan membiarkan mutiara itu hilang tergerus arus begitu saja, ataukah segera menyikapinya dengan arif dan bijaksana? Semuanya terserah kita, karena nasib keberlangsungan hidup sastra lisan di Jombang ada di tangan kita. Semoga keberlangsungan sastra lisan di Jombang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya segera bisa diselamatkan dari keter-ancaman kepunahan. Amin.
Dimuat Radar Mojokerto-Jombang tanggal 22 Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar