Minggu, 29 Agustus 2010

Peradapan Langit

Sabrank Suparno
__Bulletin Maiyah Jawa Timur

Perkembangan peradapan ummat manusia dapat ditelusuri dari benda atau tulisan yang ditinggalkannya. Penyandaran’ nilai ketuhanan’ sebagai pondasi sangat penting untuk kekokohan eksisting suatu bangunan yang sekaligus referensi peradapan masa itu. Ka’bah, Tembok Berlin, Menara Efel, Candi, Musium Fir’aun dll merupakan gambaran sosial yang dapat dianalisa seberapa besar ‘pelakunya ‘ menyertakan nilai katuhanan baik interior-exteriornya.

Seperti dijelaskan dalam surat Ali Imron : 96, Ka’bah dibangun dengan pondasi yang dirancang Alloh dan diteruskan nabi Ibrahim. Dalam proyek pembangunan Ka’bah, Ibrhim hanya sebagai pelaksana dan bukan desainernya. Disinilah benang tarik perbedaan antara bangunan yang didesain berdasarkan padatan Tuhan dengan bangunan yang murni ide manusia.

Dalam peradapan islam, Ka’bah dijadikan kiblat dari seluruh proses pergerakan hidup yang meliputi nuansa sosial, politik, agama dan budaya. Kiblat diartikan sebagai ‘watak pandang/jujukan. Ibarat rumah, Ka’bah adalah balai, misal kerajaan Ka’bah adalah istana, andai jasat biologi manusia, Ka’bah adalah hati. Yang kesemua simbol di atas merupakan tempat merumuskan permasalahan, rembukan, dan mengembalikan tiap permasalahan .

Tentu ada dasar alamiah mengapa Ka’bah dijadikan titik pusat ummat islam sedunia, terutama kiblat sholat. Posisi Ka’bah di bumi ternyata tepat dengan posisi matahari pada saat tertentu. Dari beberapa sumber ada yang menyebutkan bahwa matahari tepat di atas Ka’bah pada tanggal 15 dan 16 Juli. Ada juga yang menyebutkan tanggal 25 Mei. Sementara pendapat yang umum berdasarkan perhitungan astronomi( ilmu falak) adalah tanggal 27 Juni.

Sebalum ada alat secanggih mBah Gooegle, orang jaman dahulu menciptakan ‘bencet’sebangai kompas. Yaitu bangunan berukuran 50 cm persegi, setinggi 1 meter yang tengahnya ditancap besi sekitar 15 cm. Alat ini juga berfungsi sebagai batas waktu sholat yang didasarkan dari bayang-bayang matahari, yang mana posisi bayang bayang selalu berlawanan dengan keberadaan matahari.

Gempa berkekuatan 8,8 skala rehter di Chilli pada Rabu 3 Maret 2010 lalu, mengakibatkan pergeseran lempeng bumi dan mempengaruhi negara-negara yang jauh dari Ka’bah berubah arah. Di Indonesia pergeseran itu diperkirakan mencapai 10 cm ke barat laut dan disinyalir berdasar fatwa MUI, ekitar 700 tempat ibadah mengalami perubahan.

Polemik ini menimbulkan keresahan bagi ummat islam. Sebagaimana komentar menteri agama Surya Dharma Ali tanggal 16 Juli 2010 ketika menanggapi fatwa MUI, Drs.Ahmad Fuad Efendi ( cak Fuad) mengawali pengajian Padhang mBulan Selasa 24 Agustus 2010 di Mentoro dengan menjelaskan cara menyikapi pergeseran ini secara tepat. Cak Fuad mengacu pada penafsiran Surat Al- Baqoroh ayat 177. Ayat ini menganjurkan bahwa yang esensi dari peribadatan seorang hamba bukanlah menghadap ke timur atau barat. Melainkan ke Alloh yang memiliki timur dan barat tersebut.

Cak Fuad juga menambahkan bahwa ketidaktepatan sejumlah masjid dan mushollah ahir-ahir ini justru bukan karena gempa Chilli. Tetapi sejak munculnya tehnologi gooegle yang akuratif ke arah Ka’bah. Ada sejumlah mushollah, setelah diukur ulang, malah terlalu ke utara dan harus dikembalikan ke selatan. Keadaan inilah yang menimbulkan keresahan. Sebab MUI justru menyarankan arah kiblat kurang ke utara 10 cm.

Untuk mendalami makna Ka’bah sebagai bangunan yang didesain langsung oleh Alloh, Emha Ainun Najib menafsirkan dalam sajak sajak profetiknya: Jibril// dan para kekasih Alloh dulu bertawaf di sini//dahulu kala, tatkala Ibrahim sendiri yang mendirikan, Ia belum mengenali ilmu gerakan melingkar//yakni gerak mengitari satu titik pusat cinta// kemudian abad-abad berlalu//kemudian kesadaran dan pemahaman melaju//berjuta-juta kaum muslim merebahkan seluruh eksistensinya dihadapan Ka’bah// tempat rahasia dikuakkan//Ka’bah hanyalah setitik tanda, karena hidup memerlukan watak pandang//. Potongan sajak sajak Emha ini menyiratkan makna bahwa yang disebut ‘kiblat’ hanyalah arah. Sholat cukup menghadap ke arah Ka’bah, dan tidak harus persis sejajar garis lurus.

Selain Ka’bah, candi candi yang dibangun berdasarkan perhitungan nilai ketuhanan terlihat dari tata letaknya dengan komposisi padatan atom alam sekitar. Inti keberadaannya berhubungan erat dengan keharmonisan lingkungan setempat. Candi Perambanan misalnya, ternyata pintunya berhadapan persis dengan pintu candi Borobudur. Padahal letak kedua candi itu berjauhan.

Candi Weringin Lawang atau yang disebut Gapura Weringin Lawang di Jatirejo Trowulan Mojokerto, unik. Ada saat malam purnama posisi bulan tapat di atas gapura. Pengakuan tentang keberadaan itu dilihat dari bayang sinar bulan yang habis dibagi sejajar saat bulan bergaris lurus dengan fisik candi.

Abad mutakhir sekarang, arsitektur telah menciptakan bangunan pencakar langit. Namun konsep filosofi bangunannya tidak memasukkan unsur nilai ketuhanan. Agaknya perlu tela’ah ulang para insinyur ketika hendak mendirikan bangunan baru yang menyangkut fungsi dan akibatnya terhadap kerusakan sistem peradapan.

Gedung Word Trade Center (WTC) di Amerika, diasumsikan kaum kapitalis sebagai khurofat ‘saingan tuhan’ yang akan melegalisasi produk-produk dunia. Dimana produk terbaik dunia hanya sah jika diakui merk-nya oleh WTO selaku korporasi perdagangan dunia. Konsep inilah awal kesalahan arsitektur modern. Tidak meletakkan nilai ketuhanan dalam konsep pembangunannya.

Kehancuran WTC yang dibom Jaringan Oesama Bin Laden tanggal 11 September 2001, bukanlah sekedar insidental antara Jordania-Amerika, islam-yahudi atau kepentingan politik apapun. Tetapi merupakan grand desain peradapan langit. Kronologi pengeboman WTC tergambar jelas dalam Qs: Attaubah ayat 109-110. Gedung WTC bertingkat 109 persis ayat ke 109. Surat attaubah adalah surat ke 09 yang persis bulan kejadian yaitu September bulan ke 09. Tanggal 11 merupakan ayat 110. Posisi gedung disamping sungai JL. Jefhar yang dalam ayat tersebut kata ‘jefhar’transliting dari kata’jurufin haarin’yang hanya disebut satu kali dalam Alqur’an.

Jelaslah bahwa bangunan yang berdasarkan’ GustiAlloh fondasion’lebih kokoh dijadikan watak peradapan dibanding bangunan yang dirancang manusia. Apalagi jika dasar pembangunannya adalah pondasi ‘keserakahan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar