Sabrank Suparno
Bagi penulis yang masih pemula, acapkali rikuh ketika hendak menuangkan ide yang berkecamuk di kepalanya. Padahal ide itu sudah menggumpal berjubelan. Laksana sumbatan air terhalau tampungan, sumbat, tak kunjung mengalir melalui cerca ujung pena dan gemericik menjadi guratan kata.
Tersumbatnya ribuan ide tersebut, bahkan ada yang menimbulkan pobia tersendiri yang menggelisahkan. Sejenak, bisa dibayangkan jika kegelisahan itu menjelma menjadi monster yang menggerogoti ruang jiwa kita. Betapa sakitnya, padahal kepuasan jiwa dari keterbebasannya adalah salah satu unsur lain dari apa yang disebut syarat terbangunnya peradaban, tentu saja bentuk lain dari individu, komunitas, bangsa, dan warga dunia.
Menulis, cukup diawali dengan niat menulis, tidak perlu memikirkan mutu atau hal yang menyangkut kebenaran ilmiah sekalipun, sebab terlalu hina menghadirkan kembali wujud ilmiah menjadi bentuk kembali. Sedangkan disisi lain hal yang fiksioner lebih mampu menghadirkan keterperangahan pembaca ketika terseret ke dalam belantara alur sebuah teks.
Trik menulis yang sederhana dilontarkan oleh Getrude Stein. Penulis AS tersebut mendefinisikan: menulis adalah menulis,adalah menulis,adalah menulis dan seterusnya. Menulis itu untuk pembaca. Bukan untuk penulis ataupun editor, sebab penulis dan editor hanya condong pada struktur penulisan yang justru dengan mudah meruntuhkan esensi tulisan dari pada bentuk. Tidak sedikit teks yang bernuansa ide tinggi dan bermutu, namun jelek dalam struktur penulisannya, ini juga terjadi sebaliknya.
Untuk membobol sumbatan menulis, Gyan C. Jain membentangkan arah bahwa “pikiran cemerlang mendiskusikan gagasan, pikiran biasa mendiskusikan kejadian, pikiran picik mendiskusikan orang”. Dari sinilah sikap penulis harus dihargai dari berbagai segi. Penghargaan itu bisa meliputi kategori penulis dengan ide baik, sastra baik, ilmiah baik, atau struktur kata yang baik. Metode penghargaan atas kategori di atas pernah saya jumpai di program literasi jama’ah ma’iyah Indonesia asuhan penulis kawakan Emha Ainun Najib, meskipun Emha Ainun Najib menyarankan agar menulis secara baik, benar dan indah.
Menulis adalah pembebasan. Dengan menulis, tidak ada ide-ide yang membelenggu terselip dalam perjalanan hidup, sebab semua ide telah tertuang dalam sebuah bentuk nyata. Menulis berarti memberi. Gagasan dan kemampuan dapat kita bocorkan kepembaca. Artinya secara otomatis menulis dapat membentuk karakter seseorang berhati kaya. Sah juga bagi penulis untuk memberikan teksnya ke media massa. Tulisan yang kita berikan ke media massa tidak harus dimuat, tetapi hanya cukup menyapa editor, bahwa kita pernah mengirim tulisan tersebut. Editor media massa adalah orang yang sangat jeli dengan tulisan-tulisan yang diterima, meskipun tidak dimuat. Tentu saja dengan niat yang sudah kita siasati sebelumnya semisal, tulisan yang kita kirim ke media massa adalah tulisan yang kita buang, toh andai tidak dimuatpun tetap akan menjadi koleksi antologi buku kita kelak.
Seorang penulis diam-diam digeledah kedalaman ilmunya oleh pembaca. Bahkan setara dengan itu pembaca sekaligus ‘merogoh’ kedalaman pembaca sendiri sebagai bahan banding tersendiri di hati pembaca.
Menulis dapat dimulai dengan cara yang paling sederhana. Sedari menulis surat cinta, mencatat diksi benda dan kejadian yang kita temui sehari-hari, mengindetifikasi kata yang belum diketahui artinya. Satu kalimat saja pada tahap awal kepenulisan, berarti sudah sukses menjadi penulis. Syukur satu paragraph, satu lembar dan seterusnya.
Saya pernah menemukan selembar kertas lusuh, dan saya tulisi “hidup, tidak untuk dirasakan, tetapi untuk dijalani. Jika hidup dirasakan, biasanya kalau pas tidak enak akan “ngersulo”, nelangsa, tetapi kalau dijalani akan sampai juga waktunya”. Kertas lusuh itu kemudian saya buang kembali di tempat pembuangan sampah. Tigu bulan kemudian ada tamu dari kota menemui saya dengan mengendarai Land Cruiser. Tamu itu berterima kasih teramatsangat, sebab ketika ia hendak bunuh diri -meminum racun- di tempat sampah tersebut karna terlilit hutang, sesaat sebelum nenggak botol racun, ia membaca tulisan saya di kertas lusuh tadi. Saya tidak bisa membayangkan bahwa tulisan “ndemel” saya, mampu menyentak hati orang yang sedang diambang kematian.
Dalam satu kalimat, diharapkan sudah terdapat subyek, predikat, obyek, atau keterangan, kecuali kalimat tunggal. Tidak perlu harus kuliah jurusan bahasa atau mengikuti kursus jurnalis. Buku panduan EYD cukup ampuh sebagai harapan editor dan pembaca sebagai standarisasi kepenulisan di Indonesia. Simple saja, terjadinya tulisan itu bukan karena kita ‘tahu’, tetapi karna kita ‘mau’.
Ide adalah pokok bahasan dalam tulisan yang kemudian dijabarkan secara ontologi (apa) epstimologi (bagaimana) aksiologi (mengapa) dan (motifologi) tujuan yang hendak di capai. Mengamati tulisan, mencari inti bacaan, menggeledah serta mendiskusikan tulisan ketika membaca adalah guru yang ampuh melebihi dosen. Metode konsepsianalis ini diungkapkan Roland Barthez yang lebih baik mati menjadi writerly dari pada sekedar menjadi readerly.
Tulisan kita ibarat puluhan ular yang kita lempar ke tengah kerumunan pembaca. Ada yang dibiarkan, ada yang bunuh, ada pula yang disingkirkan sesuai kapasitas ‘bisa’/ kenakalan ular dalam menggangu pembaca. Pembaca adalah belantara yang menyeleksi kelulusan tulisan seseorang. Tulisan yang mengesankan adalah yang mampu menggeliat dan menuntun hidup pembaca ke jalan wawasan yang belum dipahami pembaca. Maka wawasan yang dimiliki penulis ada ruh yang paling mujarap.
Heterofobia atau ketakutan pada yang lain, biasanya berperan sebagai pedang tajam yang memenggal niat awal. Tetapi saya sering menemukan tulisan editor senior memakai kata ‘akal sehat’ : artinya penulis seniorpun belum tentu memahami fungsi sintaktika kata dengan wacana esensialnya. Akal, itu ada, tetapi tak berbentuk benda, akal berada diantara otak kanan dan otak kiri yang merupakan gelembung pendaran kesadaran dari baik dan buruk, yang kemudian dirumuskannya. Akal sudah pasti ‘baik’ kerjanya. Tidak perlu disebut ‘akal sehat’. Barang kali penulis baru akan muncul lebih berbobot, setelah mempelajari hasil karya penulis lama. Kehadiran penulis baru, tentu dinanti di balik buku.
Bagi penulis yang masih pemula, acapkali rikuh ketika hendak menuangkan ide yang berkecamuk di kepalanya. Padahal ide itu sudah menggumpal berjubelan. Laksana sumbatan air terhalau tampungan, sumbat, tak kunjung mengalir melalui cerca ujung pena dan gemericik menjadi guratan kata.
Tersumbatnya ribuan ide tersebut, bahkan ada yang menimbulkan pobia tersendiri yang menggelisahkan. Sejenak, bisa dibayangkan jika kegelisahan itu menjelma menjadi monster yang menggerogoti ruang jiwa kita. Betapa sakitnya, padahal kepuasan jiwa dari keterbebasannya adalah salah satu unsur lain dari apa yang disebut syarat terbangunnya peradaban, tentu saja bentuk lain dari individu, komunitas, bangsa, dan warga dunia.
Menulis, cukup diawali dengan niat menulis, tidak perlu memikirkan mutu atau hal yang menyangkut kebenaran ilmiah sekalipun, sebab terlalu hina menghadirkan kembali wujud ilmiah menjadi bentuk kembali. Sedangkan disisi lain hal yang fiksioner lebih mampu menghadirkan keterperangahan pembaca ketika terseret ke dalam belantara alur sebuah teks.
Trik menulis yang sederhana dilontarkan oleh Getrude Stein. Penulis AS tersebut mendefinisikan: menulis adalah menulis,adalah menulis,adalah menulis dan seterusnya. Menulis itu untuk pembaca. Bukan untuk penulis ataupun editor, sebab penulis dan editor hanya condong pada struktur penulisan yang justru dengan mudah meruntuhkan esensi tulisan dari pada bentuk. Tidak sedikit teks yang bernuansa ide tinggi dan bermutu, namun jelek dalam struktur penulisannya, ini juga terjadi sebaliknya.
Untuk membobol sumbatan menulis, Gyan C. Jain membentangkan arah bahwa “pikiran cemerlang mendiskusikan gagasan, pikiran biasa mendiskusikan kejadian, pikiran picik mendiskusikan orang”. Dari sinilah sikap penulis harus dihargai dari berbagai segi. Penghargaan itu bisa meliputi kategori penulis dengan ide baik, sastra baik, ilmiah baik, atau struktur kata yang baik. Metode penghargaan atas kategori di atas pernah saya jumpai di program literasi jama’ah ma’iyah Indonesia asuhan penulis kawakan Emha Ainun Najib, meskipun Emha Ainun Najib menyarankan agar menulis secara baik, benar dan indah.
Menulis adalah pembebasan. Dengan menulis, tidak ada ide-ide yang membelenggu terselip dalam perjalanan hidup, sebab semua ide telah tertuang dalam sebuah bentuk nyata. Menulis berarti memberi. Gagasan dan kemampuan dapat kita bocorkan kepembaca. Artinya secara otomatis menulis dapat membentuk karakter seseorang berhati kaya. Sah juga bagi penulis untuk memberikan teksnya ke media massa. Tulisan yang kita berikan ke media massa tidak harus dimuat, tetapi hanya cukup menyapa editor, bahwa kita pernah mengirim tulisan tersebut. Editor media massa adalah orang yang sangat jeli dengan tulisan-tulisan yang diterima, meskipun tidak dimuat. Tentu saja dengan niat yang sudah kita siasati sebelumnya semisal, tulisan yang kita kirim ke media massa adalah tulisan yang kita buang, toh andai tidak dimuatpun tetap akan menjadi koleksi antologi buku kita kelak.
Seorang penulis diam-diam digeledah kedalaman ilmunya oleh pembaca. Bahkan setara dengan itu pembaca sekaligus ‘merogoh’ kedalaman pembaca sendiri sebagai bahan banding tersendiri di hati pembaca.
Menulis dapat dimulai dengan cara yang paling sederhana. Sedari menulis surat cinta, mencatat diksi benda dan kejadian yang kita temui sehari-hari, mengindetifikasi kata yang belum diketahui artinya. Satu kalimat saja pada tahap awal kepenulisan, berarti sudah sukses menjadi penulis. Syukur satu paragraph, satu lembar dan seterusnya.
Saya pernah menemukan selembar kertas lusuh, dan saya tulisi “hidup, tidak untuk dirasakan, tetapi untuk dijalani. Jika hidup dirasakan, biasanya kalau pas tidak enak akan “ngersulo”, nelangsa, tetapi kalau dijalani akan sampai juga waktunya”. Kertas lusuh itu kemudian saya buang kembali di tempat pembuangan sampah. Tigu bulan kemudian ada tamu dari kota menemui saya dengan mengendarai Land Cruiser. Tamu itu berterima kasih teramatsangat, sebab ketika ia hendak bunuh diri -meminum racun- di tempat sampah tersebut karna terlilit hutang, sesaat sebelum nenggak botol racun, ia membaca tulisan saya di kertas lusuh tadi. Saya tidak bisa membayangkan bahwa tulisan “ndemel” saya, mampu menyentak hati orang yang sedang diambang kematian.
Dalam satu kalimat, diharapkan sudah terdapat subyek, predikat, obyek, atau keterangan, kecuali kalimat tunggal. Tidak perlu harus kuliah jurusan bahasa atau mengikuti kursus jurnalis. Buku panduan EYD cukup ampuh sebagai harapan editor dan pembaca sebagai standarisasi kepenulisan di Indonesia. Simple saja, terjadinya tulisan itu bukan karena kita ‘tahu’, tetapi karna kita ‘mau’.
Ide adalah pokok bahasan dalam tulisan yang kemudian dijabarkan secara ontologi (apa) epstimologi (bagaimana) aksiologi (mengapa) dan (motifologi) tujuan yang hendak di capai. Mengamati tulisan, mencari inti bacaan, menggeledah serta mendiskusikan tulisan ketika membaca adalah guru yang ampuh melebihi dosen. Metode konsepsianalis ini diungkapkan Roland Barthez yang lebih baik mati menjadi writerly dari pada sekedar menjadi readerly.
Tulisan kita ibarat puluhan ular yang kita lempar ke tengah kerumunan pembaca. Ada yang dibiarkan, ada yang bunuh, ada pula yang disingkirkan sesuai kapasitas ‘bisa’/ kenakalan ular dalam menggangu pembaca. Pembaca adalah belantara yang menyeleksi kelulusan tulisan seseorang. Tulisan yang mengesankan adalah yang mampu menggeliat dan menuntun hidup pembaca ke jalan wawasan yang belum dipahami pembaca. Maka wawasan yang dimiliki penulis ada ruh yang paling mujarap.
Heterofobia atau ketakutan pada yang lain, biasanya berperan sebagai pedang tajam yang memenggal niat awal. Tetapi saya sering menemukan tulisan editor senior memakai kata ‘akal sehat’ : artinya penulis seniorpun belum tentu memahami fungsi sintaktika kata dengan wacana esensialnya. Akal, itu ada, tetapi tak berbentuk benda, akal berada diantara otak kanan dan otak kiri yang merupakan gelembung pendaran kesadaran dari baik dan buruk, yang kemudian dirumuskannya. Akal sudah pasti ‘baik’ kerjanya. Tidak perlu disebut ‘akal sehat’. Barang kali penulis baru akan muncul lebih berbobot, setelah mempelajari hasil karya penulis lama. Kehadiran penulis baru, tentu dinanti di balik buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar