Sabrank Suparno
1.Tonggak Peradaban
Padanan diksiologi mengenai kata’tonggak’ berjuktaposisi dengan patok, panjer, tenger, atau suatu sejenis yang bermuatan makna pondasi tunggal. Tonggak bisa berposisi tinggi menjulang atau rebah memanjang. Namun dari kedua posisi tersebut tetap berfungsi sama secara esensial, yakni sebagai titik pandang untuk menarik ribuan anak tonggak yang lain dalam satu garis diagonal (vertikal-horizontal). Kelurusan garis yang meskipun mengarah ke pelbagai penjuru, hanya akan tepat penilaian akurasinya jika ditarik titik fokusnya berdasarkan tonggak tunggal. Dalam skala keilmuan yang lebih luas, tonggak lebih nyaman diartikan “mata watak pandang” atau jujugan. Semisal rumah terdapat satu ruang yang disebut “tempat rembugan atau balai” kerajaan dan negara ada istana, umat islam sebumi ada ka’bah, dan jasat/tubuh, ada hati (qolbu).
2.Sektor Lenceng
Secara ilustratif sebut saja tonggak kehidupan itu suatu jenis pohon. Pohon itu sendiri sudah bersyarat sebagai substansi makna primer meskipun tanpa dahan, daun dan ranting. Karena dalam ulasan ini melibatkan “pemikiran”, makna arah “tonggak” yang kita maksud adalah ‘hidup’yang merupakan inheren (bakat tersendiri dari alam). Karena’hidup’itu dimensinya sangatlah universal, maka diperlukan metodologi khusus untuk menemukan pilahan lajur keilmuan yang tepat. Metode hidup yang sederhana pernah diungkapkan Cak Nun di pertemuan ke tiga awal pengajian padhang mbulan. Urip, urap, urup. Urip (hidup), urap(berbaur), urup(nyala berdasarkan dialektika sosial)
Hidup itu sendiri ibarat satu kota ‘live space’ yang untuk memasukinya terbentang berbagai penjuru jalan. Didalam memasuki kota ini, dengan sendirinya merupakan putaran aksi dari terbentuknya karakter kota. Bentuk karakter inilah yang membedakan satu kota dengan kota lainnya. Ketika motifasi hidup berlangsung, manusia sebagai kholifah Alloh di bumi merealisasikan dalam berbagai bentuk wujud perilaku: politik, sosial, budaya. Dari tiga aspek ini kemudian bercecabang melahirkan ribuan segmen sistem yang berafiliasi dengan hidup-kehidupan.
Tiga aspek politik, sosial, budaya ini kemudian menjadi manufaktur yang memproduksi berbagai socity frame. Berawal dari tiga anak tonggak inilah muncul indikasi bermacam-macam yang berupa warna hidup. Warna hidup ini kemudian menempati jarak ruang dalam kadar, corak, dan luas tertentu. Warna hidup dalam ruang yang sempit disebut ‘trend’ atau mode yang kemudian meningkat ke skala berikutnya yang di sebut ‘dekade’. Beratus produktifitas trend mode dan berpuluh dekaden kemudian dimuat dalam zaman, sebuah ruang yang lebih longgar dari ‘trend’ dan lebih sempit dari sejarah. Sedang corak/warna yang lebih, dapat ditemukan pada seluas peradaban, milenia bertingkat
Sejak adanya sejarah yang mampu digali dunia pendidikan sebagai acuan wacana, belum kita temukan suatu keadaan yang disebut puncak kejayaan zaman. Renesiensi, Auf klarung yang dibangga-banggakan sebagai awal bangkitnya peradaban mulai bergeser tahta dengan ditemukannya ciri-ciri/tanda yang lebih rasional dari syarat terjadinya peradaban tertinggi. Aufklarung justru merupakan ‘tonggak kegagalan zaman’ dalam mempersiapkan milinia. Ini terbukti dari apa dan bagaimana pada akhirnya yang dihasilkan abad pencerahan tersebut’.
Pagelaran peradaban yang sudah menyentuh milinia telah kita saksikan dan perankan. Tentu dibarengi ‘ruh’ yang bernama ‘ide’ pemikiran. Segmuend Frued justru meletakkan ‘ide’ sebagai bahan dasar kehidupan yang setara dengan ‘ilham’. Demi ‘ide’ Socrites justru memilih minum racun dari pada menghianati ekspresisnya. Hal yang sama juga dilakukan Giodano Bruno yang memintas hidupnya dengan membakar diri.
Seolah mememang gelora ide yang digulirkan para rausyan fikir (ulul albab) yang disebut 16 kali dalam Al-qur’an, tandang memocerkan warna peradaban. Sejumlah nama yang diorbit dari barat semisal Copernicus, Rene Descartes, Galileo Galilei, Plato, Aristoteles nyaris menjadi berhala sesembahan kaum skolastis. Sedangkan Ibnu Taufail, Muhammad Iqbal, Al-Ghozali, Al-Hallaj-Ibnu Arabi, Ibnu Sina diusung dari wilayah Timur Tengah. Barisan nama-nama ini terus bergantayangan meskipun aliran baru postmodernisme-post strukturalisme semacam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, KH Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Afrizal Malna, telah datang dengan konvesi baru.
Menurut Cak Nun ide itu di cletukkan oleh akal, sedangkan akal adalah hasil sinergi (embat-embatan) antara otak kanan dan otak kiri neurologi. Letupan dan pendaran sinergi otak inilah kemudian menghasilkan akal yang pasti benar kinerjanya. Maka rancu jika kemudian tidak berdasarkan filsafat mengatakan istilah ‘akal sehat’, sebab akal pasti sehat.
Apa yang kurang dari hidup dan peradabannya jika idealis para pemikir sudah menjadi perangkat ruh dari peradaban itu sendiri? Apa yang kurang, kalau pada akhirnya kehancuran dan kebobrokan selalu menjadi ending cerita?
Ide atas ego merupakan ‘kebenaran tinggi’. Dalam pandangan sufisme diletakkan sebagai strata ma’rifat (sikap arif). Sedangkan ma’rifat itu sendiri hanyalah susunan ‘nilai’ yang dihasilkan dari transformasi kontinuitas selama ‘lelaku’ hidup.
Idealnya para pemikir barat ini mampu menyelamatkan bentangan peradaban sesudah masa kejayaannya. Sains dan teknologi yang mereka giatkan hanya berfungsi memoles kemenoran peradaban, tapi bukan kekokohan. Dalam permainan semacam ini tentu nilai kartu mudah ditebak arahnya, yakni kekroposan dan kejugrukan ambruknya peradaban.
Dalam skala nasional juga terjadi padatan gelombang yang sama. Dimana para tokoh dan intelektual yang lulus paspalnya dengan mencucup sperma barat, terbukti gagal membentuk Indonesia. Sain dan teknologi barat hanya mampu membentuk pelaku sejarah yang menghancurkan peradaban. Gejala inferioritas para tokoh ‘cangkokan’ luar negeri semakin menebalkan ketidak yakinan generasi muda Indonesia, bahwa mereka tidak mampu dijadikan ‘kiblat’ new socity space Indonesia kedepan.
Perangkat komponen penting negara mulai dari pemerintah, partai, aparat, media massa, seniman, sastrawan, budayawan, ulama’ karbitan, hanya berlaku, hangat tai ayam dalam mewarnai Indonesia. Demikian juga ulah yang ditampilkan ribuan perguruan tinggi, universitas dan beberapa fakultasinya terbukti mandul dengan sifat stagnasinya sebagai satu-satunya tumpahan masyarakat
Dari sinilah Emha Ainun Nadjib dengan jama’ah ma’iyah sedikit berbeda dengan cara berfikir kelangan apapun di Indonesia dan Dunia. Kejeniusan ide Cak Nun sebagai pakar, dan kema’rifatan: posisi sebagai hamba, mampu melengkapi dirinya dengan tiga hal penting sebagai rumus kebenaran. Tiga hal itu adil di dalam ma’rifat ilmunya, ikhlas dan ikhsan. Kelebihan rahmat Alloh semacam inilah yang tidak diberikan pada para pemikir terdahulu.
Satu hari kholifah Ali bin Abi Tholib berkunjung ke masjid agung di Basrah (Iraq). Di dalam masjid yang luas itu sedang berlangsung berpuluh-puluh gerombol team diskusi. Spontan Ali bin Abi Tholib membubarkan mereka semua. Akhirnya tinggallah satu kelompok diskusi yag dimoderatori kalangan muda Hasan al Basry. Seraya Ali bertanya kepada pemuda itu “Hai anak muda, kalau kau bisa menjawab pertanyaanku, teruskanlah berdiskusi, tetapi kalau tidak tepat menjawab, maka bubarlah. Apa yang menyelamatkan agama dan dunia, apa pula yang menghancurkan agama dan dunia?” Hasan Basry menjawab “Yang merusak adalah ‘keserakahan’ sedangkan yang menyelamatkan adalah ‘zuhud (anti kepentingan)”. Tampaklah bahwa ketidakadilan terhadap nafsu membuat para pelaku sejarah bersikap serakah dan pada akhirnya memperlebar sektor lenceng dari cita-cita ketertataan dunia.
3. Tonggak Pandang Emha Ainun Nadjib (Ma’iyah)
Awal dari kegagalan peradaban selama ini adalah kerakusan. Awal dari kerakusan ter bentuk dari ketidak sanggupan kaum skolastik menarik nilai-nilai yang diaspirasikan oleh Tuhan. Aspirasi nilai ketuhanan berbeda dengan agama atau institusinya. Mengutip tulisan DR. Ali Syari’ati bahwa Islam berbeda dengan Sufisme. Kaum sufi hidup dan mati karena Alloh, tetapi Islam hidup bergerak menghampiri Alloh dan bersama Alloh bergerak menghampiri umat manusia. Seluruh kebobrokan sistem nilai peradaban selama ini dianalisa Emha Ainun Nadjib pada pengajian padhang mbulan 27 Pebruari 2010. Cak Nun mensinyalir bahwa awal kegagalan peradaban global bermula dari cara berfikir dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang berlangsung, tidak menyematkan ‘aspirasi Tuhan’ dalam pengambilan setiap keputusan. Gejala semacam ini hanyalah ekses kausalis dari buntut panjang dangkalnya pemahaman ‘tauhid’ yang mendasari wacana seseorang. Krisis tauhid dimasa pendidikan dasar menusia akan menyebabkan kekroposan kadar nilai saat berperan menjadi tokoh atau pakar.
Program pendidikan dasar ilmu tauhid adalah wahana seseorang untuk mengenal, memahami, berakrab, serta bergantung terhadap Tuhannya. Cara yang paling efektif untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengamati ciptaan-Nya. Maka ada 3 pokok dasar bidang keilmuan yang ketika seseorang berpredikat sebagai pembelajar jagat sekaligus bersapaan langsung dengan Tuhan. Ilmu Biologi, Fisika, Kimia. Ada dua hal yang menyebabkan kemerosotan dasar tauhid. 1. Program pendidikan yang mengurangi jatah bidang studi ke-alaman. 2. Tidak mampunya para pendidik menarik garis hubung program materi dengan peran Tuhan dalam tata kosmos kehidupan. Program penyempitan terhadap 3 dasar ilmu eksat tersebut hanyalah bertingkah de-edukasi. Proses de edukasi terbukti sebagai sebab awal terjadiya gejala kegagalan peradaban, sebab dalam proses penyelenggaraannya bersifat pembodohan dengan cara sekolah.
Dalam pengajian padhang mbulan yang hampir mendekati 100 hari wafatnya Gus Dur itu, Cak Nun menyingkap contoh-contoh yang dirasa luput dari paradigma barat-modern. Awal dari keserakahan dunia yang berpuncak pada perang-perang besar dunia adalah dari penguasaan negara-negara penghasil minyak. Kemiskinan Amerika-Eropa terhadap kekayaan minyak mentah menyebabkan Amerika menguasi geopolitik Timur Tengah dan Asia. Selama ini ilmuwan Barat berpendapat bahwa bahan dasar minyak berasal dari endapan fosil dan bebatuan berjuta tahun lalu. Kelemahan ilmuwan barat yang dianut sebagai guru keilmuan se-Indonesia itu diluruskan Cak Nun dengan pendapat barunya, yakni kadar minyak mentah sesungguhnya berasal dari ‘mayat manusia’. Timur Tengah dan Asia adalah sebagai sampel hipotesa kebenaran ini. Sepanjang sejarah peradaban di dua dataran inilah kerap terjadi pemusnahan massal jasat manusia. Di Timur Tengah, mayat disebabkan oleh kerapnya peperangan, sedangkan di Asia lebih disebabkan karena bencana alam.
Dua gejala alam yang berbeda antara Timur Tengah dan Asia nyaris menyumbat kecerdikan ilmuwan barat. Pusat penelitian Mesopotamia, peradaban Yunani kuno, aufklarung prancis yang dipajang sebagai acuan kebudayaan tertinggi diam-diam tidak mereka sadari, kalau keberadaan minyak mentah di benua ini seolah mencolok mata dan menjungkir kebenaran. Minyak mentah adalah hasil endapan sel-sel cair makhluk hidup berjuta-juta tahun lalu. Dari sini dapat kita analisa, apakah benar peradaban tertua itu Eropa? Setelah pengendapan sekian juta tahun lalu, kemana bahan minyak mentah di Eropa? Dan bukankah peradaban tertua itu ada di Indonesia (Jawa)
Lebih dalam Cak Nun memikirkan saat Nabi Muhammad mendapat wahyu pertama “iqro’” itu malaikat Jibril tidak sedang membwa lembaran/suhuf. Lantas apa yang diperintahkan Jibril untuk dibaca? Tidak lain adalah gejala alam semesta (biologi, fisika, kimia). Hal yang sama juga dialami Nabi Ibrahim as. Beliau menemukan eksistensi Alloh justru dari mengenali rotasi dan revolusi planet. Dalam contoh lain Cak Nun menafsirkan bahwa secara susunan komposisi pertikel salju yang berada puncak Himalaya, tentu berbeda kadarnya dengan salju yang berada dikutub utara dan selatan . Hipotesa mengenai reaksi kimia salju ini harus tepat, sebab menyangkut bencana peradaban saat pemanasan global (global warming) terjadi. Dan saat itulah puncak salju mencair dan air laut pasang.
Tentu ini sangat luas cakupannya, semisal RUU tata ruang kota, perizinan proyek industri dan lain-lain yang menyangkut keselamatan lingkungan. Dari sinilah ma’iyah tampil beda membuka wacana yang merevolusi cara berfikir masyarakat sebagai penghuni peradaban.
1.Tonggak Peradaban
Padanan diksiologi mengenai kata’tonggak’ berjuktaposisi dengan patok, panjer, tenger, atau suatu sejenis yang bermuatan makna pondasi tunggal. Tonggak bisa berposisi tinggi menjulang atau rebah memanjang. Namun dari kedua posisi tersebut tetap berfungsi sama secara esensial, yakni sebagai titik pandang untuk menarik ribuan anak tonggak yang lain dalam satu garis diagonal (vertikal-horizontal). Kelurusan garis yang meskipun mengarah ke pelbagai penjuru, hanya akan tepat penilaian akurasinya jika ditarik titik fokusnya berdasarkan tonggak tunggal. Dalam skala keilmuan yang lebih luas, tonggak lebih nyaman diartikan “mata watak pandang” atau jujugan. Semisal rumah terdapat satu ruang yang disebut “tempat rembugan atau balai” kerajaan dan negara ada istana, umat islam sebumi ada ka’bah, dan jasat/tubuh, ada hati (qolbu).
2.Sektor Lenceng
Secara ilustratif sebut saja tonggak kehidupan itu suatu jenis pohon. Pohon itu sendiri sudah bersyarat sebagai substansi makna primer meskipun tanpa dahan, daun dan ranting. Karena dalam ulasan ini melibatkan “pemikiran”, makna arah “tonggak” yang kita maksud adalah ‘hidup’yang merupakan inheren (bakat tersendiri dari alam). Karena’hidup’itu dimensinya sangatlah universal, maka diperlukan metodologi khusus untuk menemukan pilahan lajur keilmuan yang tepat. Metode hidup yang sederhana pernah diungkapkan Cak Nun di pertemuan ke tiga awal pengajian padhang mbulan. Urip, urap, urup. Urip (hidup), urap(berbaur), urup(nyala berdasarkan dialektika sosial)
Hidup itu sendiri ibarat satu kota ‘live space’ yang untuk memasukinya terbentang berbagai penjuru jalan. Didalam memasuki kota ini, dengan sendirinya merupakan putaran aksi dari terbentuknya karakter kota. Bentuk karakter inilah yang membedakan satu kota dengan kota lainnya. Ketika motifasi hidup berlangsung, manusia sebagai kholifah Alloh di bumi merealisasikan dalam berbagai bentuk wujud perilaku: politik, sosial, budaya. Dari tiga aspek ini kemudian bercecabang melahirkan ribuan segmen sistem yang berafiliasi dengan hidup-kehidupan.
Tiga aspek politik, sosial, budaya ini kemudian menjadi manufaktur yang memproduksi berbagai socity frame. Berawal dari tiga anak tonggak inilah muncul indikasi bermacam-macam yang berupa warna hidup. Warna hidup ini kemudian menempati jarak ruang dalam kadar, corak, dan luas tertentu. Warna hidup dalam ruang yang sempit disebut ‘trend’ atau mode yang kemudian meningkat ke skala berikutnya yang di sebut ‘dekade’. Beratus produktifitas trend mode dan berpuluh dekaden kemudian dimuat dalam zaman, sebuah ruang yang lebih longgar dari ‘trend’ dan lebih sempit dari sejarah. Sedang corak/warna yang lebih, dapat ditemukan pada seluas peradaban, milenia bertingkat
Sejak adanya sejarah yang mampu digali dunia pendidikan sebagai acuan wacana, belum kita temukan suatu keadaan yang disebut puncak kejayaan zaman. Renesiensi, Auf klarung yang dibangga-banggakan sebagai awal bangkitnya peradaban mulai bergeser tahta dengan ditemukannya ciri-ciri/tanda yang lebih rasional dari syarat terjadinya peradaban tertinggi. Aufklarung justru merupakan ‘tonggak kegagalan zaman’ dalam mempersiapkan milinia. Ini terbukti dari apa dan bagaimana pada akhirnya yang dihasilkan abad pencerahan tersebut’.
Pagelaran peradaban yang sudah menyentuh milinia telah kita saksikan dan perankan. Tentu dibarengi ‘ruh’ yang bernama ‘ide’ pemikiran. Segmuend Frued justru meletakkan ‘ide’ sebagai bahan dasar kehidupan yang setara dengan ‘ilham’. Demi ‘ide’ Socrites justru memilih minum racun dari pada menghianati ekspresisnya. Hal yang sama juga dilakukan Giodano Bruno yang memintas hidupnya dengan membakar diri.
Seolah mememang gelora ide yang digulirkan para rausyan fikir (ulul albab) yang disebut 16 kali dalam Al-qur’an, tandang memocerkan warna peradaban. Sejumlah nama yang diorbit dari barat semisal Copernicus, Rene Descartes, Galileo Galilei, Plato, Aristoteles nyaris menjadi berhala sesembahan kaum skolastis. Sedangkan Ibnu Taufail, Muhammad Iqbal, Al-Ghozali, Al-Hallaj-Ibnu Arabi, Ibnu Sina diusung dari wilayah Timur Tengah. Barisan nama-nama ini terus bergantayangan meskipun aliran baru postmodernisme-post strukturalisme semacam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, KH Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Afrizal Malna, telah datang dengan konvesi baru.
Menurut Cak Nun ide itu di cletukkan oleh akal, sedangkan akal adalah hasil sinergi (embat-embatan) antara otak kanan dan otak kiri neurologi. Letupan dan pendaran sinergi otak inilah kemudian menghasilkan akal yang pasti benar kinerjanya. Maka rancu jika kemudian tidak berdasarkan filsafat mengatakan istilah ‘akal sehat’, sebab akal pasti sehat.
Apa yang kurang dari hidup dan peradabannya jika idealis para pemikir sudah menjadi perangkat ruh dari peradaban itu sendiri? Apa yang kurang, kalau pada akhirnya kehancuran dan kebobrokan selalu menjadi ending cerita?
Ide atas ego merupakan ‘kebenaran tinggi’. Dalam pandangan sufisme diletakkan sebagai strata ma’rifat (sikap arif). Sedangkan ma’rifat itu sendiri hanyalah susunan ‘nilai’ yang dihasilkan dari transformasi kontinuitas selama ‘lelaku’ hidup.
Idealnya para pemikir barat ini mampu menyelamatkan bentangan peradaban sesudah masa kejayaannya. Sains dan teknologi yang mereka giatkan hanya berfungsi memoles kemenoran peradaban, tapi bukan kekokohan. Dalam permainan semacam ini tentu nilai kartu mudah ditebak arahnya, yakni kekroposan dan kejugrukan ambruknya peradaban.
Dalam skala nasional juga terjadi padatan gelombang yang sama. Dimana para tokoh dan intelektual yang lulus paspalnya dengan mencucup sperma barat, terbukti gagal membentuk Indonesia. Sain dan teknologi barat hanya mampu membentuk pelaku sejarah yang menghancurkan peradaban. Gejala inferioritas para tokoh ‘cangkokan’ luar negeri semakin menebalkan ketidak yakinan generasi muda Indonesia, bahwa mereka tidak mampu dijadikan ‘kiblat’ new socity space Indonesia kedepan.
Perangkat komponen penting negara mulai dari pemerintah, partai, aparat, media massa, seniman, sastrawan, budayawan, ulama’ karbitan, hanya berlaku, hangat tai ayam dalam mewarnai Indonesia. Demikian juga ulah yang ditampilkan ribuan perguruan tinggi, universitas dan beberapa fakultasinya terbukti mandul dengan sifat stagnasinya sebagai satu-satunya tumpahan masyarakat
Dari sinilah Emha Ainun Nadjib dengan jama’ah ma’iyah sedikit berbeda dengan cara berfikir kelangan apapun di Indonesia dan Dunia. Kejeniusan ide Cak Nun sebagai pakar, dan kema’rifatan: posisi sebagai hamba, mampu melengkapi dirinya dengan tiga hal penting sebagai rumus kebenaran. Tiga hal itu adil di dalam ma’rifat ilmunya, ikhlas dan ikhsan. Kelebihan rahmat Alloh semacam inilah yang tidak diberikan pada para pemikir terdahulu.
Satu hari kholifah Ali bin Abi Tholib berkunjung ke masjid agung di Basrah (Iraq). Di dalam masjid yang luas itu sedang berlangsung berpuluh-puluh gerombol team diskusi. Spontan Ali bin Abi Tholib membubarkan mereka semua. Akhirnya tinggallah satu kelompok diskusi yag dimoderatori kalangan muda Hasan al Basry. Seraya Ali bertanya kepada pemuda itu “Hai anak muda, kalau kau bisa menjawab pertanyaanku, teruskanlah berdiskusi, tetapi kalau tidak tepat menjawab, maka bubarlah. Apa yang menyelamatkan agama dan dunia, apa pula yang menghancurkan agama dan dunia?” Hasan Basry menjawab “Yang merusak adalah ‘keserakahan’ sedangkan yang menyelamatkan adalah ‘zuhud (anti kepentingan)”. Tampaklah bahwa ketidakadilan terhadap nafsu membuat para pelaku sejarah bersikap serakah dan pada akhirnya memperlebar sektor lenceng dari cita-cita ketertataan dunia.
3. Tonggak Pandang Emha Ainun Nadjib (Ma’iyah)
Awal dari kegagalan peradaban selama ini adalah kerakusan. Awal dari kerakusan ter bentuk dari ketidak sanggupan kaum skolastik menarik nilai-nilai yang diaspirasikan oleh Tuhan. Aspirasi nilai ketuhanan berbeda dengan agama atau institusinya. Mengutip tulisan DR. Ali Syari’ati bahwa Islam berbeda dengan Sufisme. Kaum sufi hidup dan mati karena Alloh, tetapi Islam hidup bergerak menghampiri Alloh dan bersama Alloh bergerak menghampiri umat manusia. Seluruh kebobrokan sistem nilai peradaban selama ini dianalisa Emha Ainun Nadjib pada pengajian padhang mbulan 27 Pebruari 2010. Cak Nun mensinyalir bahwa awal kegagalan peradaban global bermula dari cara berfikir dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang berlangsung, tidak menyematkan ‘aspirasi Tuhan’ dalam pengambilan setiap keputusan. Gejala semacam ini hanyalah ekses kausalis dari buntut panjang dangkalnya pemahaman ‘tauhid’ yang mendasari wacana seseorang. Krisis tauhid dimasa pendidikan dasar menusia akan menyebabkan kekroposan kadar nilai saat berperan menjadi tokoh atau pakar.
Program pendidikan dasar ilmu tauhid adalah wahana seseorang untuk mengenal, memahami, berakrab, serta bergantung terhadap Tuhannya. Cara yang paling efektif untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengamati ciptaan-Nya. Maka ada 3 pokok dasar bidang keilmuan yang ketika seseorang berpredikat sebagai pembelajar jagat sekaligus bersapaan langsung dengan Tuhan. Ilmu Biologi, Fisika, Kimia. Ada dua hal yang menyebabkan kemerosotan dasar tauhid. 1. Program pendidikan yang mengurangi jatah bidang studi ke-alaman. 2. Tidak mampunya para pendidik menarik garis hubung program materi dengan peran Tuhan dalam tata kosmos kehidupan. Program penyempitan terhadap 3 dasar ilmu eksat tersebut hanyalah bertingkah de-edukasi. Proses de edukasi terbukti sebagai sebab awal terjadiya gejala kegagalan peradaban, sebab dalam proses penyelenggaraannya bersifat pembodohan dengan cara sekolah.
Dalam pengajian padhang mbulan yang hampir mendekati 100 hari wafatnya Gus Dur itu, Cak Nun menyingkap contoh-contoh yang dirasa luput dari paradigma barat-modern. Awal dari keserakahan dunia yang berpuncak pada perang-perang besar dunia adalah dari penguasaan negara-negara penghasil minyak. Kemiskinan Amerika-Eropa terhadap kekayaan minyak mentah menyebabkan Amerika menguasi geopolitik Timur Tengah dan Asia. Selama ini ilmuwan Barat berpendapat bahwa bahan dasar minyak berasal dari endapan fosil dan bebatuan berjuta tahun lalu. Kelemahan ilmuwan barat yang dianut sebagai guru keilmuan se-Indonesia itu diluruskan Cak Nun dengan pendapat barunya, yakni kadar minyak mentah sesungguhnya berasal dari ‘mayat manusia’. Timur Tengah dan Asia adalah sebagai sampel hipotesa kebenaran ini. Sepanjang sejarah peradaban di dua dataran inilah kerap terjadi pemusnahan massal jasat manusia. Di Timur Tengah, mayat disebabkan oleh kerapnya peperangan, sedangkan di Asia lebih disebabkan karena bencana alam.
Dua gejala alam yang berbeda antara Timur Tengah dan Asia nyaris menyumbat kecerdikan ilmuwan barat. Pusat penelitian Mesopotamia, peradaban Yunani kuno, aufklarung prancis yang dipajang sebagai acuan kebudayaan tertinggi diam-diam tidak mereka sadari, kalau keberadaan minyak mentah di benua ini seolah mencolok mata dan menjungkir kebenaran. Minyak mentah adalah hasil endapan sel-sel cair makhluk hidup berjuta-juta tahun lalu. Dari sini dapat kita analisa, apakah benar peradaban tertua itu Eropa? Setelah pengendapan sekian juta tahun lalu, kemana bahan minyak mentah di Eropa? Dan bukankah peradaban tertua itu ada di Indonesia (Jawa)
Lebih dalam Cak Nun memikirkan saat Nabi Muhammad mendapat wahyu pertama “iqro’” itu malaikat Jibril tidak sedang membwa lembaran/suhuf. Lantas apa yang diperintahkan Jibril untuk dibaca? Tidak lain adalah gejala alam semesta (biologi, fisika, kimia). Hal yang sama juga dialami Nabi Ibrahim as. Beliau menemukan eksistensi Alloh justru dari mengenali rotasi dan revolusi planet. Dalam contoh lain Cak Nun menafsirkan bahwa secara susunan komposisi pertikel salju yang berada puncak Himalaya, tentu berbeda kadarnya dengan salju yang berada dikutub utara dan selatan . Hipotesa mengenai reaksi kimia salju ini harus tepat, sebab menyangkut bencana peradaban saat pemanasan global (global warming) terjadi. Dan saat itulah puncak salju mencair dan air laut pasang.
Tentu ini sangat luas cakupannya, semisal RUU tata ruang kota, perizinan proyek industri dan lain-lain yang menyangkut keselamatan lingkungan. Dari sinilah ma’iyah tampil beda membuka wacana yang merevolusi cara berfikir masyarakat sebagai penghuni peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar