Sabrank Suparno
(Dimuat Radar Surabaya tanggal 26 Desember 2010)
Kebudayaan dalam keterpautannya dengan perkembangan peradaban, selalu dilongok serius sebagai indikator corak yang mewarnai strukturalisasinya. Apa dan bagaimana kadar kebudayaan dalam kurun waktu tertentu tak lepas dari proses sinergis yang didalamnya memungkinkan terbentuk secara power heterogensi yang tak harus terkait pula dengan kapasitas kualitatif ataupun kuantitatif.
Konstruksi filosofis sosio-kultural masyarakat Jawa dapat dijadikan alegori banding sisi wajah yang berhadapan. Dari sinilah bentuk dan corak kekinian dapat dilihat secara utuh polahnya.
Konsep tata ruang kota secara menyeluruh di pulau Jawa sejak prakolonial meletakkan 4 posisi penting sebagai pusat aktifitas kebudayaan, yakni kantor pemerintah, alun-alun, masjid, pasar, dan penjara. Keempat komponen tersebut berurut : kantor pemerintahan disebelah timur, pasar disebelah selatan, masjid di sebelah barat, dan penjara di sebalah utara dan alun-alun di tengah.
Pencanangan konseptual semacam ini tentu bukan lahir dari hal-hal yang bla-bla dan asal comot sebagai unsur filsafah, kita bisa menyusuri dari aturan-aturan dogmatis theologis masyarakat Jawa. Peletakan tata ruang kota yang rumpun dan runtun demikian bagi filosofi Jawa merupakan manifestasi dari “syahadat jawa”, dimana dalam syahadat agama Jawa tersebut mengawali arah timur sebagai pemula dan perhitungan untuk menetapkan laku kehidupan, barulah kemudian arah selatan, barat dan utara yang dengan sendirinya melahirkan tengah sebagai volume jarak pandang.
Syahadat Jawa menyatakan “sifat kodrat, dulurku papat, limo panjer”, yang artinya sifat kodrat ; hakikat kehidupan sehari-hari atau yang disebut istilah ‘kekinian’ selalu berhubungan dengan 4 arah mata angin, yakni timur, selatan, barat, dan utara. Empat arah itu kemudian dijelentrehkan sebagai berikut : 1. Timur (etan) = manggone nduk wetan, wernane putih, gunungane kapur, kembangane cempoko, manukane kunthul, segarane santen, kutone seloko, seng manngoni Betoro Guru, manjeng nduk ati suci. 2. Selatan (kidul) = manggone nduk kidul, wernane abang, gunungane geni, kembangane waribang, manukane ulung, segarane geteh, kutone tembogo, seng manggon Betoro Brahma, manjeng nduk Durgomongso. 3. Barat (kulon) = warnane kuning, gunungane welirang, kembangane kenikir, manukane kepodang, segarane madu, kutone kuningan, seng manggoni Betoro Komojoyo, menjeng nduk kebraen. 4. Utara (elor) = warnane ireng, gunungane areng, kembangane menteleng, manuke gagak, segarane nilo, kutone wesi, seng mangoni Betoro Wisnu, manjeng nduk jaman pelanggengan”.
Dalam syahadat Jawa di atas, orang Jawa meletakkan pusat menejemen pemerintahan untuk mengatur, merumuskan, serta melayani berlangsungnya proses pemerintahan sehari-hari di tempat arah timur, yang sekaligus simbol berawalnya setiap karya sejak terbitnya matahari. Pasar di sebelah Selatan adalah potret berlangsungnya transaksi kepentingan : politik, sosial, budaya, berkesenian, beragama dan lain sebagainya. Masjid di sebelah Barat diasumsikan sebagai daya filterisasi; mengayak berhamburannya berbagai nilai pluralisme pasar. Masjid di sini tidak harus dikaitkan dengan Islam, tetapi bagaimana masyarakat Jawa menginginkan pentingnya penarikan atas transaksi moral yang dilakoninya dapat “diselamatkan” dengan menempatkan asas aspirasi nilai ketuhanan, sehingga dalam pembentukan peradaban jangka panjang mampu lebih tertata. Dengan menemukan titik nilai ketuhananlah, nilai abskuratif yang terjadi selama proses negosiasi pasar dapat dilesapkan.
Proses senergi yang berlangsung dari kantor pemerintah, pasar, dan masjid diperlukannya wadah secara simbolik dengan membentangkan alun-alun : tempat yang dinilai cukup untuk mengaduk nilai. Di alun-alun ini, semua bebas memilih nilai, dengan catatan harus pula memahami beserta resiko-resikonya. Penanggung akibat dari resiko transaksial itulah yang kemudian disediaknnya penjarah. Dengan kata lain, silahkan berperilaku semaumu, asal anda juga paham resikonya (penjara).
Dari sinilah peta nilai kebudayaan dapat diukur berdasarkan karakter serta kecenderungan yang terjadi pada suatu masa tertentu. Indonesia misalnya, dalam sekala global tak lepas dari ‘green desain’ arus format dari negara-negara besar yang sudah pasti turut menentukan, serta menyertakan misi mereka dalam bersosial, politik, dan budaya.
Sejak lahir tahun 1945 kemarin sore, Indonesia terbukti gagal mengemban amanat kebudayaan. Dikatakan gagal, karena, apa fungsinya jika kebudayaan yang berlangsung kian merosot? Sampai pada tampuk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang menapaki awal dekade 2010 (sekarang), tidak menunjukkan indikasi perubahan nilai yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat, pelaku sejarah di berbagai bidang, menerapkan sistem materialis kapitalik sebagai mode desain formula sejarah. Sistem inilah yang menentukan pengambilan keputusan atas masalah yang menyangkut harkat dan martabat masyarakat dihitung berdasarkan untung dan rugi secara nominal materi.
Konsep perekonomian kapital, serta merta mencanangkan “meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya” pasti menelorkan budaya; jika menguntungkan akan dilakukan meskipun bernilai bobrok, namun jika tidak menguntungkan akan dicutat meskipun baik. Pada dekade ini, kita kian ‘menyaksikan’ berlangsungnya negosiasi transaksial politik, sosial, budaya, cenderung ke batas wilayah keuntungan materi yang memberlakukan hukum pasar bebas. Pertarungan di alun-alun yang semestinya dimainkan kekuatannya secara berimbang, menjadi miring ke arah karakter pasar, dimana transaksi pemerintah, transaksi masjid, bahkan transaksi hukum, cenderung menjadi nilai pasar.
Medan inilah yang menentukan tolak ukur nilai jika agama, seni, dan pendidikan dan kebudayaan dihitung sebatas nominal untung dan rugi. Semestinya, segala daya dan upaya dilakukan untuk membebaskan sektor agama, seni, pendidikan, dan kebudayaan. Bertransaksilah!
(Dimuat Radar Surabaya tanggal 26 Desember 2010)
Kebudayaan dalam keterpautannya dengan perkembangan peradaban, selalu dilongok serius sebagai indikator corak yang mewarnai strukturalisasinya. Apa dan bagaimana kadar kebudayaan dalam kurun waktu tertentu tak lepas dari proses sinergis yang didalamnya memungkinkan terbentuk secara power heterogensi yang tak harus terkait pula dengan kapasitas kualitatif ataupun kuantitatif.
Konstruksi filosofis sosio-kultural masyarakat Jawa dapat dijadikan alegori banding sisi wajah yang berhadapan. Dari sinilah bentuk dan corak kekinian dapat dilihat secara utuh polahnya.
Konsep tata ruang kota secara menyeluruh di pulau Jawa sejak prakolonial meletakkan 4 posisi penting sebagai pusat aktifitas kebudayaan, yakni kantor pemerintah, alun-alun, masjid, pasar, dan penjara. Keempat komponen tersebut berurut : kantor pemerintahan disebelah timur, pasar disebelah selatan, masjid di sebelah barat, dan penjara di sebalah utara dan alun-alun di tengah.
Pencanangan konseptual semacam ini tentu bukan lahir dari hal-hal yang bla-bla dan asal comot sebagai unsur filsafah, kita bisa menyusuri dari aturan-aturan dogmatis theologis masyarakat Jawa. Peletakan tata ruang kota yang rumpun dan runtun demikian bagi filosofi Jawa merupakan manifestasi dari “syahadat jawa”, dimana dalam syahadat agama Jawa tersebut mengawali arah timur sebagai pemula dan perhitungan untuk menetapkan laku kehidupan, barulah kemudian arah selatan, barat dan utara yang dengan sendirinya melahirkan tengah sebagai volume jarak pandang.
Syahadat Jawa menyatakan “sifat kodrat, dulurku papat, limo panjer”, yang artinya sifat kodrat ; hakikat kehidupan sehari-hari atau yang disebut istilah ‘kekinian’ selalu berhubungan dengan 4 arah mata angin, yakni timur, selatan, barat, dan utara. Empat arah itu kemudian dijelentrehkan sebagai berikut : 1. Timur (etan) = manggone nduk wetan, wernane putih, gunungane kapur, kembangane cempoko, manukane kunthul, segarane santen, kutone seloko, seng manngoni Betoro Guru, manjeng nduk ati suci. 2. Selatan (kidul) = manggone nduk kidul, wernane abang, gunungane geni, kembangane waribang, manukane ulung, segarane geteh, kutone tembogo, seng manggon Betoro Brahma, manjeng nduk Durgomongso. 3. Barat (kulon) = warnane kuning, gunungane welirang, kembangane kenikir, manukane kepodang, segarane madu, kutone kuningan, seng manggoni Betoro Komojoyo, menjeng nduk kebraen. 4. Utara (elor) = warnane ireng, gunungane areng, kembangane menteleng, manuke gagak, segarane nilo, kutone wesi, seng mangoni Betoro Wisnu, manjeng nduk jaman pelanggengan”.
Dalam syahadat Jawa di atas, orang Jawa meletakkan pusat menejemen pemerintahan untuk mengatur, merumuskan, serta melayani berlangsungnya proses pemerintahan sehari-hari di tempat arah timur, yang sekaligus simbol berawalnya setiap karya sejak terbitnya matahari. Pasar di sebelah Selatan adalah potret berlangsungnya transaksi kepentingan : politik, sosial, budaya, berkesenian, beragama dan lain sebagainya. Masjid di sebelah Barat diasumsikan sebagai daya filterisasi; mengayak berhamburannya berbagai nilai pluralisme pasar. Masjid di sini tidak harus dikaitkan dengan Islam, tetapi bagaimana masyarakat Jawa menginginkan pentingnya penarikan atas transaksi moral yang dilakoninya dapat “diselamatkan” dengan menempatkan asas aspirasi nilai ketuhanan, sehingga dalam pembentukan peradaban jangka panjang mampu lebih tertata. Dengan menemukan titik nilai ketuhananlah, nilai abskuratif yang terjadi selama proses negosiasi pasar dapat dilesapkan.
Proses senergi yang berlangsung dari kantor pemerintah, pasar, dan masjid diperlukannya wadah secara simbolik dengan membentangkan alun-alun : tempat yang dinilai cukup untuk mengaduk nilai. Di alun-alun ini, semua bebas memilih nilai, dengan catatan harus pula memahami beserta resiko-resikonya. Penanggung akibat dari resiko transaksial itulah yang kemudian disediaknnya penjarah. Dengan kata lain, silahkan berperilaku semaumu, asal anda juga paham resikonya (penjara).
Dari sinilah peta nilai kebudayaan dapat diukur berdasarkan karakter serta kecenderungan yang terjadi pada suatu masa tertentu. Indonesia misalnya, dalam sekala global tak lepas dari ‘green desain’ arus format dari negara-negara besar yang sudah pasti turut menentukan, serta menyertakan misi mereka dalam bersosial, politik, dan budaya.
Sejak lahir tahun 1945 kemarin sore, Indonesia terbukti gagal mengemban amanat kebudayaan. Dikatakan gagal, karena, apa fungsinya jika kebudayaan yang berlangsung kian merosot? Sampai pada tampuk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang menapaki awal dekade 2010 (sekarang), tidak menunjukkan indikasi perubahan nilai yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat, pelaku sejarah di berbagai bidang, menerapkan sistem materialis kapitalik sebagai mode desain formula sejarah. Sistem inilah yang menentukan pengambilan keputusan atas masalah yang menyangkut harkat dan martabat masyarakat dihitung berdasarkan untung dan rugi secara nominal materi.
Konsep perekonomian kapital, serta merta mencanangkan “meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya” pasti menelorkan budaya; jika menguntungkan akan dilakukan meskipun bernilai bobrok, namun jika tidak menguntungkan akan dicutat meskipun baik. Pada dekade ini, kita kian ‘menyaksikan’ berlangsungnya negosiasi transaksial politik, sosial, budaya, cenderung ke batas wilayah keuntungan materi yang memberlakukan hukum pasar bebas. Pertarungan di alun-alun yang semestinya dimainkan kekuatannya secara berimbang, menjadi miring ke arah karakter pasar, dimana transaksi pemerintah, transaksi masjid, bahkan transaksi hukum, cenderung menjadi nilai pasar.
Medan inilah yang menentukan tolak ukur nilai jika agama, seni, dan pendidikan dan kebudayaan dihitung sebatas nominal untung dan rugi. Semestinya, segala daya dan upaya dilakukan untuk membebaskan sektor agama, seni, pendidikan, dan kebudayaan. Bertransaksilah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar