Sabtu, 24 Juli 2010

Replikasi Kebudayaan Jawa

Sabrank Suparno
(Dimuat Radar Surabaya tanggal 26 Desember 2010)

Kebudayaan dalam keterpautannya dengan perkembangan peradaban, selalu dilongok serius sebagai indikator corak yang mewarnai strukturalisasinya. Apa dan bagaimana kadar kebudayaan dalam kurun waktu tertentu tak lepas dari proses sinergis yang didalamnya memungkinkan terbentuk secara power heterogensi yang tak harus terkait pula dengan kapasitas kualitatif ataupun kuantitatif.

Konstruksi filosofis sosio-kultural masyarakat Jawa dapat dijadikan alegori banding sisi wajah yang berhadapan. Dari sinilah bentuk dan corak kekinian dapat dilihat secara utuh polahnya.

Konsep tata ruang kota secara menyeluruh di pulau Jawa sejak prakolonial meletakkan 4 posisi penting sebagai pusat aktifitas kebudayaan, yakni kantor pemerintah, alun-alun, masjid, pasar, dan penjara. Keempat komponen tersebut berurut : kantor pemerintahan disebelah timur, pasar disebelah selatan, masjid di sebelah barat, dan penjara di sebalah utara dan alun-alun di tengah.

Pencanangan konseptual semacam ini tentu bukan lahir dari hal-hal yang bla-bla dan asal comot sebagai unsur filsafah, kita bisa menyusuri dari aturan-aturan dogmatis theologis masyarakat Jawa. Peletakan tata ruang kota yang rumpun dan runtun demikian bagi filosofi Jawa merupakan manifestasi dari “syahadat jawa”, dimana dalam syahadat agama Jawa tersebut mengawali arah timur sebagai pemula dan perhitungan untuk menetapkan laku kehidupan, barulah kemudian arah selatan, barat dan utara yang dengan sendirinya melahirkan tengah sebagai volume jarak pandang.

Syahadat Jawa menyatakan “sifat kodrat, dulurku papat, limo panjer”, yang artinya sifat kodrat ; hakikat kehidupan sehari-hari atau yang disebut istilah ‘kekinian’ selalu berhubungan dengan 4 arah mata angin, yakni timur, selatan, barat, dan utara. Empat arah itu kemudian dijelentrehkan sebagai berikut : 1. Timur (etan) = manggone nduk wetan, wernane putih, gunungane kapur, kembangane cempoko, manukane kunthul, segarane santen, kutone seloko, seng manngoni Betoro Guru, manjeng nduk ati suci. 2. Selatan (kidul) = manggone nduk kidul, wernane abang, gunungane geni, kembangane waribang, manukane ulung, segarane geteh, kutone tembogo, seng manggon Betoro Brahma, manjeng nduk Durgomongso. 3. Barat (kulon) = warnane kuning, gunungane welirang, kembangane kenikir, manukane kepodang, segarane madu, kutone kuningan, seng manggoni Betoro Komojoyo, menjeng nduk kebraen. 4. Utara (elor) = warnane ireng, gunungane areng, kembangane menteleng, manuke gagak, segarane nilo, kutone wesi, seng mangoni Betoro Wisnu, manjeng nduk jaman pelanggengan”.

Dalam syahadat Jawa di atas, orang Jawa meletakkan pusat menejemen pemerintahan untuk mengatur, merumuskan, serta melayani berlangsungnya proses pemerintahan sehari-hari di tempat arah timur, yang sekaligus simbol berawalnya setiap karya sejak terbitnya matahari. Pasar di sebelah Selatan adalah potret berlangsungnya transaksi kepentingan : politik, sosial, budaya, berkesenian, beragama dan lain sebagainya. Masjid di sebelah Barat diasumsikan sebagai daya filterisasi; mengayak berhamburannya berbagai nilai pluralisme pasar. Masjid di sini tidak harus dikaitkan dengan Islam, tetapi bagaimana masyarakat Jawa menginginkan pentingnya penarikan atas transaksi moral yang dilakoninya dapat “diselamatkan” dengan menempatkan asas aspirasi nilai ketuhanan, sehingga dalam pembentukan peradaban jangka panjang mampu lebih tertata. Dengan menemukan titik nilai ketuhananlah, nilai abskuratif yang terjadi selama proses negosiasi pasar dapat dilesapkan.

Proses senergi yang berlangsung dari kantor pemerintah, pasar, dan masjid diperlukannya wadah secara simbolik dengan membentangkan alun-alun : tempat yang dinilai cukup untuk mengaduk nilai. Di alun-alun ini, semua bebas memilih nilai, dengan catatan harus pula memahami beserta resiko-resikonya. Penanggung akibat dari resiko transaksial itulah yang kemudian disediaknnya penjarah. Dengan kata lain, silahkan berperilaku semaumu, asal anda juga paham resikonya (penjara).

Dari sinilah peta nilai kebudayaan dapat diukur berdasarkan karakter serta kecenderungan yang terjadi pada suatu masa tertentu. Indonesia misalnya, dalam sekala global tak lepas dari ‘green desain’ arus format dari negara-negara besar yang sudah pasti turut menentukan, serta menyertakan misi mereka dalam bersosial, politik, dan budaya.

Sejak lahir tahun 1945 kemarin sore, Indonesia terbukti gagal mengemban amanat kebudayaan. Dikatakan gagal, karena, apa fungsinya jika kebudayaan yang berlangsung kian merosot? Sampai pada tampuk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang menapaki awal dekade 2010 (sekarang), tidak menunjukkan indikasi perubahan nilai yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat, pelaku sejarah di berbagai bidang, menerapkan sistem materialis kapitalik sebagai mode desain formula sejarah. Sistem inilah yang menentukan pengambilan keputusan atas masalah yang menyangkut harkat dan martabat masyarakat dihitung berdasarkan untung dan rugi secara nominal materi.

Konsep perekonomian kapital, serta merta mencanangkan “meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya” pasti menelorkan budaya; jika menguntungkan akan dilakukan meskipun bernilai bobrok, namun jika tidak menguntungkan akan dicutat meskipun baik. Pada dekade ini, kita kian ‘menyaksikan’ berlangsungnya negosiasi transaksial politik, sosial, budaya, cenderung ke batas wilayah keuntungan materi yang memberlakukan hukum pasar bebas. Pertarungan di alun-alun yang semestinya dimainkan kekuatannya secara berimbang, menjadi miring ke arah karakter pasar, dimana transaksi pemerintah, transaksi masjid, bahkan transaksi hukum, cenderung menjadi nilai pasar.

Medan inilah yang menentukan tolak ukur nilai jika agama, seni, dan pendidikan dan kebudayaan dihitung sebatas nominal untung dan rugi. Semestinya, segala daya dan upaya dilakukan untuk membebaskan sektor agama, seni, pendidikan, dan kebudayaan. Bertransaksilah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar