Rakai Lukman
Jajaran reklame di jalan utama kota, spanduk dan kibar umbul-umbul diterpa angin barat seperti dadaku saat memandangnya duduk di bangku halte yang kusam. Gadis bermata elok, tubuhnya ramping dibalut kebaya. Pemandangan yang susah kutemui pada kota-kota metropolis di pulau Jawa. Ia mengalihkan perhatianku saat menikmati foto wajah selebriti jelita bersanding iklan seluler merk terbaru, yang kunikmati dengan mengulum bibir sendiri, berfantasi layaknya cumbu rayu jarak jauh. Ya, karena mumpung akal masih sehat, aku tidak memanjat papan setinggi lima meter itu dan menjilatinya lalu kalayak kota akan berbondong-bondong menyaksikan orang gila berkostum office boy, celana necis, berjas hitam, bersepatu dan berdasi.
Gadis itu sering menatap ke bawah seperti tersipu malu, gerak-gerik matanya sering mengarah ke kanan. Kesiur angin berdebu menerpa pipinya yang rona, tak mampu menghapus pandangku. Ada ketakutan kecil di hati, berpuas dengan melihatnya dari jarak kurang lebih sepuluh meter, itu pun di seberang jalan. Anehnya siang ini jalanan sepi, kemana mereka yang biasa lalu lalang di jalanan utama, penghubung antar desa-desa sebelah timur kota. Matahari begitu menyengat, untungnya saya di bawah pohon besar, satu-satunya di jalan utama yang berjarak radius 30 km. Gadis itu beratap seng, tapi tak terlihat peluh dan keringatnya. Udara sejuk dan sesekali angin membelai rambutnya, semakin mempesona dan mengetar jantungku.
Berita yang kudengar dan kutonton di radio dan televisi, berdasarkan ramalan cuaca badan meteorologi dan geofisika, akan terjadi hujan meteor dan badai besar. Tapi saya tak ambil peduli, ini saat menunaikan hasrat sepuas-puasnya, menyaksikan kekasih kesayangan di papan reklame itu, adalah keinginan yang kupendam dua bulan sejak iklan itu dipasang. Perempuan dengan belahan dada dan pantat bahenol di papan reklame itu seolah lenyap dari benakku begitu saja. Bahkan melesat pula nafsu bercinta dengannya. Gadis itu benar-benar menyelamatkan saya dari kegilaan. Apalagi tidak tampak ketegangan pada wajah gadis kebaya ungu itu, Ia semakin membius kesadaranku. Saya dan dia seolah dipertemukan oleh isu yang belum tentu kebenarannya.
Saya hanya pelayan warung makan, karena malu dengan orang sekampung tiap berangkat ke kota saya berseragam layak eksekutif muda. Maklum lulusan perguruan tinggi yang mitosnya kuliah di situ akan menjadi pengusaha atau birokrat bermobil mewah dan mempunyai istri cantik dan bermake up layaknya pergi ke acara-acara kalangan ekslusif, wajarlah bila sarjana muda dari kalangan petani sepertinya saya tidak ada peluang kerja yang diidam-idamkan banyak orang seperti PNS atau investator. Maklum tidak ada modal, mau melamar jadi PNS tidak diterima, meski uji kelayakan intelektual sudah mumpuni tapi kurang syarat utama, yakni uang sepuluh juta. Ingin jadi investor, mimpi siang bolong ni ye!
Gadis kebaya ungu tiba-tiba melempar senyum manis padaku, meski setipis korden jendela ruang tamu rumah ibuku. Seolah memanggil saya untuk menjabat tangannya yang kuning langsat dan halus itu. Tidak terasa sudah sejam saya berdiri di bawah pohon beringin yang konon berusia puluhan tahun, batangnya bersarung kain batik, akar-akar kecilnya bergantungan seperti hujan tak henti-henti, akar induknya menjadi penopang altar persembahan, saya melihat ada dupa kemenyan dan sesaji, berupa sembako dan buah-buahan. Saya jadi teringat masa kuliah, bersama kawan-kawan saya sehabis subuh selalu mengambilnya, karena kalau malam ramai pengunjung dan wisatawan, ada yang minta kaya, kedudukan tinggi dan sampai-sampai ada yang minta menang judi lewat SMS yang marak tersiar di televisi dan radio. Tiap pemohon membaca mantra-mantra kuno sesuai tujuannya. Mereka menggunakan bahasa kawi (Jawa kuno) tak satu pun kata yang saya kenal.
Pohon beringin itu adalah sisa-sisa aliran kepercayaan tua penghuni asli pulau Jawa, animisme-dinamisme, konon di bawah pohon itu juga Aji Saka dimakamkan, berdasarkan mitologi pribumi Jawa beliau yang babad alas pulau Jawa, yang konon jalmo moro jalmo mati. Pohon itu satu-satunya situs yang terpaksa dilindungi keberadaannya oleh pemerintah, karena kepercayaan masyarakarat terlampau mengakar. Adapun pohon yang lain berganti tiang listrik dan telpon, juga trotoar jalan seperti pematang sawah yang dibabat habis rumputnya oleh kemarau panjang berupa tata dan keindahan kota, berganti paving dan pot bunga.
Ah, Pohon beringin tua dan gadis kebaya ungu, kalian berdua benar-benar membuai saya siang ini. Beringin tua biarlah sekian saja riwayatmu. Gadis kebaya ungu sungguh saya tak bisa mengindahkanmu, begitu terserap, tersita, terpana, tak terasa waktu bergulir tambah satu jam. Dia tak pernah berdiri, duduk berpose laksana putri keraton. Sesekali ia menatapku dengan sorot mata yang teduh. Tetapi ia seperti melihat saya alien di seberang jalan atau sebaliknya ia mahluk asing berwajah rupawan, bukan seperti yang digambarkan NASA, bahwa aliensi itu buruk muka. Kebayanya yang ungu dan sanggul rambut bertusuk konde seperti ornamen tiga dimensi, sungguh sejuk hati meski sekedar memandangnya.
Mendung putih bagai kapas yang berhambur di angkasa, cerah matahari memoles sampai kilau, bagi penikmat alam tentu begitu indahnya hari ini. Tapi kemana kalayak yang biasanya meramaikan kota dengan gerakan yang bergegas menyelesaikan target hidup. Ya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beraneka warna, yang semuanya telah campur aduk, berebut minta didahulukan. Barangkali mereka sudah menjadi budak iklan dengan pasukan andalannya sederetan papan reklame dan tayangan iklan televisi yang meminta untuk ditimang dan dibelai mesra, seperti perempuan cantik dan molek, yang ingin dijadikan pendamping sampai tersisa hanya jasad kaku tak berharga. Hari ini bukan karena itu, sebuah ketakutan menghantam dada dan menhancurkan kegigihan mereka. Kalian tahu kemana mereka sembunyi, pada dasarnya ketakutan sudah tertanam dalam batin mereka seperti kematian.
Hai gadis kebaya ungu, sebenarnya saya ingin berbagi kegundahanku tentang kesaksian akan kenyataan, tapi sebagai lelaki saya telah dididik televisi menjadi lelaki perayu dan tukang bual, tapi mesin penggeraknya seketika macet karenamu menyisihkan karakter kebanggaan alias playboy, bahwa saya setiap minggu sekali ganti pacar, ya mumpung masih muda dan modal tampang lumayan. Setidaknya perempuan akan tertunduk oleh kecanggihanku mengolah kata dan mengajaknya berwisata gaya eropa coy.
Adapun saya hanya terpaku, tersipu-sipu. Beruntung saat ini kota sepi, yang sesekali kesiur angin menyepuh wajah dan seragam office boyku, mampu menurunkan temperamen saya dari tegangan tinggi sebagai lelaki yang jatuh hati. Kau di halte dan saya di seberang jalan seperti sebuah pementasan dua aktor yang tersusun rapi skenarionya, bercerita tentang lelaki culun nan lugu bertemu gadis cantik yang cukup puas memandangnya dari jauh. Jari-jari saya bergerak-gerak seperti menari dan keringat dingin menyumbat pori-poriku sejak pertama menatap wajah ayu gadis kebaya ungu. Sebagai tanda kegelisahan lelaki yang tertusuk busur asmara. Kaki saya bergetar-getar, juga kesemutan, adakah kau lihat kegundahan ini melalui ekspresi senyum tipismu, oh gadis kebaya ungu?, ujar hati kecilku.
Awan-awan putih mulai menggumpal, menyerbu matahari. Sinarnya tertutup dan langit pun mendung. Awan menghitam mulai berarak semakin ramai menutup biru langit. Saya melawatkan pandang ke atas, pekatnya tak seperti biasa. Tekanan udara semakin memberat daun beringin bergoyang-goyang ke arah timur seperti ingin meninggalkan rantingnya yang elastis. Gerimis kiriman juga mulai turun, tapi daun beringin terlalu rapat hanya setetes dua tetes menimpa wajah dan rambut, mungkin juga jas hitam yang selalu saya seterika tiap pukul lima pagi, meski tidak pernah dicuci sejak beli di toko barang bekas.
Langit siang ini benar-benar gulita seperti malam. Awan-awan itu bersatu menjelma bentuk kubah. Meski jarak pandangku terhambat gedung-gedung bertingkat, juga swalayan di belakang halte berkarat itu. Namun tak sedikitpun ketakukan merayapi tulang sumsumku. Begitu juga gadis kebaya ungu, tiba-tiba ia beranjak dari kursi halte, berdiri dan melepas sanggulnya, rambut terurai, yang kukira tusuk konde ternyata lontar seperti yang saya jumpai di situs purbakala. Saya melihat jelas saat ia membukanya. Mulutnya mulai komat-kamit seperti merapal mantra. Suaranya lembut, lirih tapi telinga saya yang agak tuli bisa mendengarnya karena terlalu sering pakai headseat, mungkin sebab kota ini begitu sunyi dan angin menghantar suara kali ini sangat nyaring.
Kemudian ia menari bagai sinden seperti yang ada di kenanganku ketika menyaksikan pertunjukan wayang saat kecil dulu. Tiba-tiba Gerombolan awan di langit mendatangi gadis itu. Dengan melesat cepat menyelimuti tubuhnya, lalu berpusar pelahan makin lama semakin cepat. Ia menghampiriku, dia menjabat tanganku, aneh saya hanya membatu. Karena bisikan halusnya “Mari kekasihku, kita tinggalkan fana”. Lalu kami berpusar membentuk angin puting beliung, membabat gedung-gedung, papan-papan reklame, umbul-umbul, menghaburkan paving serta debu-debu.
Dalam pusaran kencang angin gadis kebaya ungu berujar “Saya adalah Dewi Sri yang murka sebab sawah tak lagi tumbuh padi, tapi rumah, gudang dan gedung” bibirku masih kaku tak mampu mengimbangnya. Ungkapan dia yang kedua “Kau, titisan kekasihku”. Sedang pohon beringin ini kami bawah berpusingan, anehnya masih utuh bahkan daun-daunnya tak satupun luruh. Dalam perjalanan kami mulai meninggal kota dan berangkat menuju kerajaan para dewa, kami disambut hangat oleh Bathara Wisnu, di gerbang istana langit terukir “Dasar segala bencana adalah tangan serakah manusia”. Dan kami pun menjadi sepasang mempelai yang tertunda kerinduannya beribu-ribu tahun sebelum manusia mengenal dongeng dan legenda. Sedangkan pohon beringin itu menghias taman para dewa dan malaikat.
Kota telah porak-poranda, hujan meteor hanya rekaan BMG saja. Langit cerah penduduk kota besoknya berhambur, kembali berwisata dengan bencana, bantuan berhamburan dari kota-kota dan desa-desa, bahkan antar pulau dan negara. Berdasarkan laporan badan survey, korban berjumlah ribuan manusia, binatang piaraan dan kerugian kota mencapai triliyunan rupiah. Itu sudah biasa, manipulasi data adalah kegemaran penduduk negeri ini, juga kotaku.
Sebulan kemudian gedung-gedung semakin menjulang ke langit, tak ada lagi taman kota, bahkan tempat ibadah menjadi kios-kios dan jendelanya penuh panflet dan poster, bahkan ada yang jualan sandal dan sepatu di mimbar. Saya dan gadis kebaya ungu hanya senyum-senyum, Manusia semakin menggila. Kami hanya tunggu aba-aba, memberi peringatan kedua pada manusia, tentu semakin dasyat, yang tak bisa diperhitungkan oleh prakiraan apapun, kecuali sang Pencipta.
Papringan februari 2009
http://sastra-indonesia.com/2019/12/gadis-kebaya-ungu/
Selasa, 10 Desember 2019
Gadis Kebaya Ungu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar