A. Jabbar Hubbi
Ketika membaca suatu karya sastra khususnya puisi, mayoritas penikmat sastra mendambakan adanya suatu nuansa keindahan setelah membaca karya sastra. Oleh karena itu, banyak penyair berusaha menuangkan harmoni kata yang indah dalam setiap karya puisi, walau mungkin maksud dari puisi tersebut adalah kegetiran kata yang tak tampak pada kasatmata.
Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam, adalah merupakan bibit dari munculnya kesusastraan Melayu. Sedang sastra keagamaan yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang; ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian Islam tersebut, ilmu tasawuf merupakan yang paling dekat dengan sastra, khususnya sastra Islam. Mengapa ilmu tasawuf disebut sebagai bibit dari corak sastra Islam?
Ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap untuk dapat bersatu dengan Tuhan, berusaha mendapatkan kesejatian diri, kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang diucapkan para sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan pengalaman pahit yang mereka derita. Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagi para sufi untuk memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-kalimat yang begitu indahnya dengan penjiwaan yang begitu teramat dalam serta mengandung keindahan bahasa yang sungguh luar biasa.
Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal termasuk ladang garapan tasawuf. Semangatnya yang membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epiknya sampai kepada karya-karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat universal. Tasawuf memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Persia Islam yang lebih lokal sifatnya. Perkembangannya mencapai ketinggian setelah berada di tangan para sufi.
Tak pelak lagi, Pengaruh tasawuf sangat besar sekali. Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada arsitektur terlihat dengan jelas perpaduannya dengan tasawuf. Para sufi hidup di dunia ini seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh getar kerohanian, di mana keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.
Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah Fansuri merupakan pelopor sastra Islam yang bernuansa sufistik, merupakan cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan penting beliau dalam sejarah pemikiran dunia Melayu nusantara bukan saja karana gagasan tasawufnya, malah puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.
Sebagai pencipta pertama syair Melayu dengan bentuk puisi empat baris dengan pola sajak akhir aaaa, bakat Hamzah Fansuri sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual daripada al-Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.
***
Dewasa ini, setelah perkembangan sastra dan tasawuf tampak seperti terbawa arus roda zaman. Para penyair yang sufistik beralih ke dalam nuansa yang sama namun tujuan yang berbeda untuk menuangkan sajak-sajak keindahan tersebut. Pekik zaman yang kian hari makin menggetirkan membuat para penyair seperti kehilangan kaki untuk melangkah. Bahasanya indah, tapi substansi puisinya seperti “orang-orang kalah.”
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ada dua kubu sastra yang keduanya sah: sastra pembebasan dan sastra kemanusiaan. Kemudian Kuntowijoyo muncul dengan sastra transendental guna menggenapi isu sastra yang ada, dan sastra transendental itu juga sah. Sastra transendental mengambil tema-tema keagamaan yang variasinya amat banyak dan tidak melulu mesti mengacu kepada penyair sufistik.
Lebih jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Lalu ketiga sastra itu (pembebasan, kemanusiaan, dan transendental) digabungkan oleh Kuntowijoyo menjadi sastra profetik, dalam arti melanjutkan tradisi kerasulan.
Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar. Amar ma’aruf adalah memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar adalah pembebasan, dan beriman kepada Tuhan adalah transendental. Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik. Sastra profetik telah menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa pencerahan dan tidak melulu lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada hablumminannas (membumi).
***
Peran dunia tasawuf dalam khazanah kesusastraan Indonesia juga tak dapat dielakkan. Bukankan hidup ini memerlukan keseimbangan. Menuangkan gagasan yang melulu melangit bukanlah suatu yang tak berguna, dan menuangkan untaian sastra yang selalu membumi bukan berarti akan selalu membawa pencerahan. Jika selalu terbawa pada persoalan yang horizontal bukankah kita nanti akan terjebak dalam pernyataan bahwa spiritualitas itu adalah candu, atau membenarkan ungkapan spiritualitas itu adalah pelarian dari rasa ketakutan dalam diri manusia.
Oleh karena itu, karya sastra yang membawa pencerahan jiwa dan pencerahan sosial sama-sama dibutuhkan. Sastra dapat mengekspersikan zamannya sekaligus dapat memberikan kritik terhadap zamannya. Dan bahwa di setiap zaman sastra bisa berkembang.
Masa depan sastra bisa diibaratkan dengan masa depan organisasi sosial. Sastra dapat pula menjadi pembela moralitas. Jika kesadaran masyarakat menurun, sastra bisa tampil untuk menjadi profeter asal dia bervariasi di dalam tema sastranya.
Sastra profetik memang lebih progresif, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra yang membebaskan kaum tertindas, walaupun bentuk penyadarannya melalui puisi, cerpen, novel, dan karya sastra yang lainnya. Oleh karena itu, ruang sempit sastra religius dapat menjadi luas, karya sastra yang jauh dari moralitas perlahan akan tergantikan dan lenyap terkunyah oleh zaman. Dan, ruang pencerahan yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo melalui sastra profetiknya akan berkembang serta menggelora di hati para pembaca sastra di Tanah Air. Lebih dari itu, sastra profetik menjadi inspirasi dan daya dorong kekuatan kreativitas dari munculnya karya-karya sastra baru yang membangkitkan, membebaskan, dan mencerahkan, bukan karya sastra yang diperdagangkan.
https://www.tambakberas.com/artikel/sekilas-tentang-sastra-profetik/
Minggu, 29 September 2019
Sekilas Tentang Sastra Profetik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar