Akhmad Idris
Pernikahan adalah hal yang diidam-idamkan oleh setiap orang, bahkan pertanyaan “kapan nikah” selalu menjadi pertanyaan wajib dalam setiap acara keluarga. Pelaksanaan pernikahan juga menjadi hal yang romantis, mengharukan dan tidak akan terlupakan oleh kekejaman zaman.
Namun suasana di atas tak berlaku bagi calon pengantin dari Desa Karang Kembang, yang harus melintasi Gunung Pegat, Lamongan. Alasannya, ada mitos yang dipercayai oleh masyarakat Desa Karang, bahwa calon mempelai asal Jombang dan sekitarnya, yang melintasi Gunung Pegat, bisa saja bercerai.
Hal ini disebabkan oleh jalur terdekat dari Lamongan ke Jombang adalah melintasi Gunung Pegat, sedangkan melintasi Gunung Pegat adalah sebuah pantangan bagi masyarakat Desa Karang. Untuk mentaktisinya, maka calon pengantin harus menempuh jalur melingkar (menghindari gunung pegat), yakni jalur Lamongan-Mojokerto-Jombang.
Arif Hidayatullah (2018) dalam penelitiannya tentang mitos Gunung Pegat menyebutkan bahwa calon pengantin yang terpaksa melintasi Pegat, harus melepaskan sepasang ayam yang seukuran kepalan tangan orang dewasa.
Salah satu tokoh agama di Desa Karang memang menolak percaya dengan mitos tersebut, sebab ia menganggap unen-unen Jowo (nasihat-nasihat orang Jawa) tidak memiliki konsekuensi logis. Apalagi soal melepaskan ayam.
Tetapi, bagi saya, tradisi atau kebudayaan (dalam hal ini berarti tradisi melepaskan ayam di Gunung Pegat) memiliki hubungan yang logis dengan anjuran agama. Keterbatasan dalam perenunganlah yang membuatnya terlihat tidak logis.
Pelepasan sepasang ayam biasanya sudah ditunggu oleh beberapa anak-anak dan orang-orang di sekitar Pegat. Siapa pun di antara mereka yang dapat menangkap ayam tersebut, maka binatang itu sudah menjadi miliknya.
Saya memandang pelepasan sepasang ayam bukan hanya sebuah tradisi, tetapi juga sebuah implementasi nilai-nilai agama Islam berupa sedekah. Justru sedekah terbaik adalah sedekah sirri (sedekah yang rahasia)--yang tidak tahu hendak diberikan kepada siapa.
Ketika calon pengantin melepaskan sepasang ayam, ia hanya merasa menjalankan tradisi. Padahal anak-anak dan orang-orang sekitar merasa bahwa itu adalah pemberian yang sangat menyenangkan bagi mereka.
Agama Islam lewat hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud menyampaikan bahwa “sedekah benar-benar dapat menolak bala’ (ujian/musibah)”. Sedekah yang telah dilakukan oleh calon pengantin (pelepasan sepasang ayam), diharapkan dapat menolak musibah (perceraian dalam rumah tangga).
Jika calon pengantin tidak mau melepaskan sepasang ayam, maka anak-anak dan orang-orang sekitar Pegat akan mengumpati calon pengantin dan berdoa buruk pada mereka. Ngantene bakal pegatan (pengantinnya nanti akan bercerai).
William Bascom (2006) dalam tulisannya yang berjudul The Form of Folklore, menyebutkan bahwa sastra lisan (legenda/cerita rakyat/mitos) sering disebut hanya sebagai hiburan atau seni, tetapi sastra lisan juga memiliki fungsi penting yang lain (misalnya misi moralitas).
Dari pendapat William Bascom, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan seperti sepeser uang koin. Pemegang koin lah yang menentukan memilih sisi mana yang baik atau buruk.
Soal muasal mitos, konon cerita itu berasal dari kisah tragis kerja rodi pada masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1917/1918, Belanda ingin mempermudah invasi ke Indonesia. Cara yang dipilih oleh pemerintah kolonial adalah membangun jalur kereta api penghubung wilayah utara Jawa Timur dengan Wilayah selatan Jawa Timur.
Caranya adalah meratakan tengah-tengah gunung di antara dua wilayah tersebut. Saat itu, para pekerja pribumi dipaksa oleh pemerintah kolonial untuk bekerja sepanjang siang dan malam tanpa diupah. Tidak sedikit korban yang berjatuhan karenanya, sehingga muncullah sumpah serapah dari para pekerja pribumi yang masih hidup.
"sopo wae sing ngelewati dalan iki bakal pegatan” artinya adalah siapa pun yang melintasi jalan ini, akan bercerai. Sejak saat itu, mitos perceraian Gunung Pegat terus diwariskan dari mulut ke mulut hingga saat ini.
Omong-omong, Gunung Pegat semula bernama Gunung Gajah. Sejak sumpah serapah itu juga, Gunung Gajah berubah nama menjadi Gunung Pegat. Selain itu, nama Pegat juga sesuai dengan letak geologis gunung tersebut; yakni satu gunung yang di-pegat (dipisah) menjadi dua.
Kondisi tersebut melambangkan dua manusia yang mulanya bersatu (dalam ikatan pernikahan) kemudian dipisah menjadi sendiri-sendiri (perceraian). Hal inilah yang membuat Gunung Pegat selalu dikaitkan dengan mitos perceraian.
Tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun dan dijaga dengan baik oleh pewaris-pewarisnya, dapat menjadi sebuah hukum di dalam kelompok tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan kepatuhan masyarakat terhadap larangan melintasi Gunung Pegat bagi calon pengantin.
Soerjono Soekanto (1984) dalam bukunya yang berjudul Antropologi Hukum menyatakan bahwa law as tool of social control. Hukum adalah sebuah alat kontrol sosial. Merujuk dari teori itu, mitos perceraian Gunung Pegat mampu mengontrol masyarakat Desa Karang.
https://etnis.id/mitos-gunung-pegat-untuk-calon-pengantin-sekitar-jombang/
Minggu, 29 September 2019
Mitos Gunung Pegat untuk Calon Pengantin Sekitar Jombang
Label:
Akhmad Idris,
Catatan,
Esai,
Forum Sastra Jombang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar