Fahrudin Nasrulloh
Sebagai bagian dari beragam jenis bentuk kesenian yang bercokol kuat di wilayah Jawa Timur, ludruk merupakan kesenian yang melibatkan banyak anggota, sekitra 50-an lebih, di mana untuk konteks sekarang ketika tuntutan hidup dan pragmatisme semakin memepet eksistensi seniman dan imbasnya kreativitas mereka dalam berkesenian mengalami ketidakmenentuan. Belum lagi problem eksternal yang menggandoli ludruk tidak bisa disepelekan begitu saja. Salah satunya adalah perkara perizinan ke pihak aparatur Negara dan lebih khusus pada pihak kepolisian kala tanggapan ludruk digelar.
Pungutan liar? Saya sebut demikian, sebab entah hal itu sudah ada aturannya atau tidak, sungguh telah menjadi momok bagi grup ludruk dan apresiannya yang ingin menanggap ludruk. Kenyataan tersebut sudah sejak lama terjadi dalam hal ihwal perizinan yang dikelola secara terselubung. Alibi yang paling menohok adalah demi keamanan. Keamanan yang dijabar-tafsirkan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang dan mengundang kerumunan yang tidak terduga jumlahnya dan kemungkinan ekses yang diakibatkannya menjadi alasan yang sukar dibantahkan. Di situlah perizinan tanggapan ludruk prakteknya sangat memberatkan. Sebuah grup ludruk ketika ditanggap oleh si penanggap, maka ia akan diperhadapkan pada sederetan perizinan yang harus dipenuhi. Persyaratan-persyaratan secara administratif menjadi perkara dan keruwetan yang kadangkala dibuat-buat seolah jadi problem serius. Semisal apakah grup ludruk yang ditanggap itu memiliki izin usaha atau telah tercatat nomor induknya di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di daerahnya secara legal formal.
Memang pihak si penanggap yang menanggung beban semua ongkos atau pungli itu. Kita dapat memerinci bentuk pungutan tersebut: 25 ribu izin ke kelurahan, 25 ribu izin ke kecamatan, 25 ribu izin ke koramil, 25 ribu izin ke polsek. Kemudian ketika acara tanggapan ludruk berlangsung, dari pihak kepolisian akan mendatangkan personilnya demi keamanan sebanyak kira-kira 4 sampai 5 polisi. Masing-masing polisi ini akan meminta “pajak keamanan” atau “pajak gelap” kepada si penanggap. Besarnya 50 ribu untuk satu orang polisi. Demikian pula dari pihak koramil. Demikian pula dari pihak polsek. Demikian pula dari pihak satpol PP. Kesemuanya itu tergabung dalam satuan keamanan yang disebut PAM (Polisi Amanat Masyarakat). Kita bisa menghitung sendiri “total jendral” ongkos yang bakal dikeluarkan si penanggap. Tentu dengan catatan bahwa di setiap wilayah tanggapannya pun berbeda-beda pungutan gelapnya.
Dari sekian amatan saya di wilayah Jombang dan Mojokerto, si penanggap ludruk akan menanggung keseluruhan pungutan gelap itu antara 750 ribu sampai 1,5 juta. Belum lagi yang sifatnya khusus, misalnya jika sebuah grup ludruk menghadirkan bintang tamu kesohor, katakanlah Kartolo atau Kirun, maka khusus untuk memajaki si pelawak tersebut akan dipungut sekitar 500-an ribu. Angka ini juga bermacam-macam di saban wilayah yang berbeda, tergantung sejauh mana potensi masyarakat yang menonton atau potensi kemungkinan kerusuhan jika itu memang sering terjadi di daerah tertentu. Si penanggap kadang berembuk dulu dengan pimpinan ludruk soal pungli ini. Tak jarang pihak ludruk akan ikut membantu atau dipaksa patungan beberapa persen, seringkali 30 persen, untuk menambahi beban pungli tersebut, jika tidak si penanggap ada kemungkinan akan membatalkan tanggapan.
Biaya tanggapan ludruk sekarang bervariasi ongkosnya. Dan tiap grup ludruk punya patokan harga masing-masing. Umumnya paling minim 5 juta, hingga belasan juta. Patokan ini diperhitungkan atas perkiraan jarak tempuh di mana grup ludruk bermarkas dan di wilayah mana si penanggap tinggal. Lalu jumlah personil yang bebannya menjadi perhitungan tersendiri bagi pimpinan ludruk. Kemudian jenis panggung yang digunakan, memakai panggung biasa seperti panggung orkes dangdut ataukah dalam bentuk tobong (panggung lengkap dengan layar yang berlapis-lapis dan diorama khusus) juga sound systemnya. Misalnya ludruk Jombang, ketika yang nanggap masih di wilayah Jombang, ia akan memasang harga sekitar 7 sampai 8 juta. Jika di luar Jombang, maka bisa molor harganya. Biaya tanggapan dari luar kota biasanya si penanggap akan dimintai tambahan 2 juta sampai 2,5 juta.
Persoalan ludruk sebagai kesenian dengan sendirinya mengalami perubahan yang siknifikan dengan hiburan modern dan derasnya pengaruh televisi. Masyarakat jadi enggan menanggap ludruk apabila biaya yang dikeluarkan sebesar yang digambarkan di atas. Biaya 15 juta sampai 20-an juta setidaknya membayang-bayangi mereka. Grup ludruk juga dihantui pungli tersebut. Hal mendasar yang dipahami masyarakat adalah bahwa segala apa yang dijalankan polisi merupakan suatu tanggung jawab pengabdian kepada warga dan karena itu mereka digaji oleh Negara. Kita membutuhkan kejelasan dan transparansi dari pihak pemerintah, lebih khusus pemerintah daerah untuk merembukkan persoalan ini. Melalui DPRD misalnya. Upaya menjembatani dan mencari solusi dengan mempertemukan kaum seniman ludruk dengan instansi pemerintah sehingga dihasilkan suatu peraturan yang sama-sama dimengerti dan tidak merugikan seniman ludruk dan masyarakat.
Kamis, 15 Juli 2010
Ludruk dan Pungli Polisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar