Kamis, 15 Juli 2010

Ludruk dan Pungli Polisi

Fahrudin Nasrulloh

Sebagai bagian dari beragam jenis bentuk kesenian yang bercokol kuat di wilayah Jawa Timur, ludruk merupakan kesenian yang melibatkan banyak anggota, sekitra 50-an lebih, di mana untuk konteks sekarang ketika tuntutan hidup dan pragmatisme semakin memepet eksistensi seniman dan imbasnya kreativitas mereka dalam berkesenian mengalami ketidakmenentuan. Belum lagi problem eksternal yang menggandoli ludruk tidak bisa disepelekan begitu saja. Salah satunya adalah perkara perizinan ke pihak aparatur Negara dan lebih khusus pada pihak kepolisian kala tanggapan ludruk digelar.

Pungutan liar? Saya sebut demikian, sebab entah hal itu sudah ada aturannya atau tidak, sungguh telah menjadi momok bagi grup ludruk dan apresiannya yang ingin menanggap ludruk. Kenyataan tersebut sudah sejak lama terjadi dalam hal ihwal perizinan yang dikelola secara terselubung. Alibi yang paling menohok adalah demi keamanan. Keamanan yang dijabar-tafsirkan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang dan mengundang kerumunan yang tidak terduga jumlahnya dan kemungkinan ekses yang diakibatkannya menjadi alasan yang sukar dibantahkan. Di situlah perizinan tanggapan ludruk prakteknya sangat memberatkan. Sebuah grup ludruk ketika ditanggap oleh si penanggap, maka ia akan diperhadapkan pada sederetan perizinan yang harus dipenuhi. Persyaratan-persyaratan secara administratif menjadi perkara dan keruwetan yang kadangkala dibuat-buat seolah jadi problem serius. Semisal apakah grup ludruk yang ditanggap itu memiliki izin usaha atau telah tercatat nomor induknya di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di daerahnya secara legal formal.

Memang pihak si penanggap yang menanggung beban semua ongkos atau pungli itu. Kita dapat memerinci bentuk pungutan tersebut: 25 ribu izin ke kelurahan, 25 ribu izin ke kecamatan, 25 ribu izin ke koramil, 25 ribu izin ke polsek. Kemudian ketika acara tanggapan ludruk berlangsung, dari pihak kepolisian akan mendatangkan personilnya demi keamanan sebanyak kira-kira 4 sampai 5 polisi. Masing-masing polisi ini akan meminta “pajak keamanan” atau “pajak gelap” kepada si penanggap. Besarnya 50 ribu untuk satu orang polisi. Demikian pula dari pihak koramil. Demikian pula dari pihak polsek. Demikian pula dari pihak satpol PP. Kesemuanya itu tergabung dalam satuan keamanan yang disebut PAM (Polisi Amanat Masyarakat). Kita bisa menghitung sendiri “total jendral” ongkos yang bakal dikeluarkan si penanggap. Tentu dengan catatan bahwa di setiap wilayah tanggapannya pun berbeda-beda pungutan gelapnya.

Dari sekian amatan saya di wilayah Jombang dan Mojokerto, si penanggap ludruk akan menanggung keseluruhan pungutan gelap itu antara 750 ribu sampai 1,5 juta. Belum lagi yang sifatnya khusus, misalnya jika sebuah grup ludruk menghadirkan bintang tamu kesohor, katakanlah Kartolo atau Kirun, maka khusus untuk memajaki si pelawak tersebut akan dipungut sekitar 500-an ribu. Angka ini juga bermacam-macam di saban wilayah yang berbeda, tergantung sejauh mana potensi masyarakat yang menonton atau potensi kemungkinan kerusuhan jika itu memang sering terjadi di daerah tertentu. Si penanggap kadang berembuk dulu dengan pimpinan ludruk soal pungli ini. Tak jarang pihak ludruk akan ikut membantu atau dipaksa patungan beberapa persen, seringkali 30 persen, untuk menambahi beban pungli tersebut, jika tidak si penanggap ada kemungkinan akan membatalkan tanggapan.

Biaya tanggapan ludruk sekarang bervariasi ongkosnya. Dan tiap grup ludruk punya patokan harga masing-masing. Umumnya paling minim 5 juta, hingga belasan juta. Patokan ini diperhitungkan atas perkiraan jarak tempuh di mana grup ludruk bermarkas dan di wilayah mana si penanggap tinggal. Lalu jumlah personil yang bebannya menjadi perhitungan tersendiri bagi pimpinan ludruk. Kemudian jenis panggung yang digunakan, memakai panggung biasa seperti panggung orkes dangdut ataukah dalam bentuk tobong (panggung lengkap dengan layar yang berlapis-lapis dan diorama khusus) juga sound systemnya. Misalnya ludruk Jombang, ketika yang nanggap masih di wilayah Jombang, ia akan memasang harga sekitar 7 sampai 8 juta. Jika di luar Jombang, maka bisa molor harganya. Biaya tanggapan dari luar kota biasanya si penanggap akan dimintai tambahan 2 juta sampai 2,5 juta.

Persoalan ludruk sebagai kesenian dengan sendirinya mengalami perubahan yang siknifikan dengan hiburan modern dan derasnya pengaruh televisi. Masyarakat jadi enggan menanggap ludruk apabila biaya yang dikeluarkan sebesar yang digambarkan di atas. Biaya 15 juta sampai 20-an juta setidaknya membayang-bayangi mereka. Grup ludruk juga dihantui pungli tersebut. Hal mendasar yang dipahami masyarakat adalah bahwa segala apa yang dijalankan polisi merupakan suatu tanggung jawab pengabdian kepada warga dan karena itu mereka digaji oleh Negara. Kita membutuhkan kejelasan dan transparansi dari pihak pemerintah, lebih khusus pemerintah daerah untuk merembukkan persoalan ini. Melalui DPRD misalnya. Upaya menjembatani dan mencari solusi dengan mempertemukan kaum seniman ludruk dengan instansi pemerintah sehingga dihasilkan suatu peraturan yang sama-sama dimengerti dan tidak merugikan seniman ludruk dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar