Kamis, 25 Februari 2021

Dunia dan Strategi Baru Pesantren

Aguk Irawan M.N. *
cetak.kompas.com
 
Menjelang hajatan besar Nahdlatul Ulama, baik juga mendengar keluhan sejumlah selebriti. Mereka mengaku merasa resah dengan adanya beragam fatwa. Misalnya, fatwa soal hukum haramnya penggunaan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, melakukan rebonding, foto pre-wedding dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan “gaya hidup modern”.
 
Mereka berharap, pesantren bisa menghadapi dan memberikan solusi bijak mengenai persoalan ini. Maklum saja, bila dirunut dari sejarahnya, pesantren adalah semacam “rumah besar”, lembaga sosial tempat setiap anggota masyarakat- tanpa peduli jenis, kelas, ras, usia, atau penggolongan lainnya- dapat berkumpul untuk belajar dan mengajar, atau sekadar bersilaturahim. Bisa juga “curhat” (curahan hati) tentang segala masalah hidup yang kian pelik belakangan hari. Meskipun demikian, lembaga tradisional itu sekarang ini seperti mendapat tantangan, bahkan ancaman tidak ringan yang mempertaruhkan tidak hanya peran, tetapi juga eksistensinya.
 
Sebagai sebuah lembaga tradisional, pesantren sebenarnya sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke negeri ini. Sebagai sebuah tempat untuk “berkumpul, berembuk dan mengaji” (Karel A Steenbrink, 1986).
 
Mengapa kemudian pesantren dapat bertahan sampai hari ini, di saat banyak lembaga pendidikan Islam tradisional di dunia lain berguguran? Hal ini tidak lain karena wataknya yang akomodatif dan apresiatif terhadap (ekspresi) budaya lokal. Tidak mengherankan jika pesantren segera diterima secara luas.
 
Tembang lokal
 
Karakter dasar pesantren itu dibangun oleh sebuah kemampuannya dalam membangun relasi yang empatik dan mutualistik, antara Islam dengan adab dan adat lokal (Nusantara). Sebuah relasi atau perkawinan yang akhirnya melahirkan semacam larutan baru: Nusantara yang Islam atau Islam yang Nusantara. Hal itu, antara lain, ditandai oleh banyaknya nadzaman dan tembang-tembang yang menggunakan bahasa lokal dan biasa dilantunkan di pesantren atau majelis taklim di masjid-masjid. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit nadzaman dan tembang-tembang lokal yang bertemakan Islam.
 
Meskipun demikian, munculnya beragam fatwa oleh satu atau dua pesantren menimbulkan pertanyaan, apakah muncul “wajah baru” pesantren? Apakah pesantren kehilangan kemampuan adaptif dan apresiatifnya pada perkembangan sosial di sekitarnya? Apakah pesantren sudah tidak lagi memiliki kemampuan yang adekuat untuk berdialog dengan zaman, menyerap kenyataan mutakhir yang sedang berkembang di sekitar masyarakatnya? Padahal, karakter dasar itulah yang selama ini menjadi kebanggaan kaum tradisionalis.
 
Karakter dasar itu, oleh Martin van Bruinessen, dilihat karena didasari oleh self-consciousness traditionalism, tradisionalisme yang sadar diri. Khususnya karena kaum sarungan ini memiliki kesadaran tinggi pada pelestarian tradisi.
 
Dalam tradisi terdapat tiga hal yang fundamental dalam meneguhkan eksistensi, sebagai pribadi maupun kelompok, yakni nilai, simbol, dan strategi kebudayaan. Nilai yang membuat manusia memiliki makna hidup. Makna itu kemudian disimpan oleh tradisi di dalam sebuah simbol, tempat nilai pun direproduksi, didaur ulang, dan diwariskan.
 
Strategi kebudayaan
 
Bagaimana sebuah tradisi berkembang dan bertahan, tidak bisa tidak, membutuhkan apa yang disebut dengan sebuah strategi kebudayaan.
 
Pesantren menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang di atas struktur. Pada posisi inilah pesantren memiliki watak yang toleran, pluralis, populis, dan independen. Bila pun ia berfatwa, fatwa itu segera dapat diterima, karena ia mengakomodasi kehendak, pikiran dan mimpi konstituennya. Bahkan, lebih dari itu, ia mampu menjadi semacam karantina atau benteng pertahanan pada saat negara menjadi otoriter dan represif.
 
Untuk itu, sebagai bagian dari penguatan tradisi, pesantren harus punya strategi kebudayaan. Pemahaman akan dinamisme kebudayaan yang berubah-ubah itulah yang mestinya dipahami oleh kalangan pesantren sehingga dengan sendirinya pesantren turut mengawal dan mengikuti perubahan dari waktu ke waktu. Dan, tentu saja, perubahan ke yang lebih baik harus sama ditonjolkan dengan mempertahankan budaya lama yang baik.
 
Diktum klasik Sunni yang sering dijadikan pedoman pesantren, “menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik,” mesti dipraktikkan bukan semata berhenti pada upaya konservasi (al-muhafadzah ala qadim as-shalih), melainkan juga pada “kreasi dan inovasi baru” (al-akhdzu bil jadid al-ashlah).
 
Fleksibilitas yang membuat negeri dan bangsa ini lentur, bertahan, bahkan jauh berkembang, setidaknya sebelum ia dicengkeram dan dibius oleh kapitalisme yang kasar belakangan ini. Sayang, bila hanya karena nafsu material (dari kapitalisme) dan akhirnya ambisi kekuasaan dipakai sebagai landasannya, harus membuat pesantren tiba-tiba menjadi polisi moral yang kesiangan.
 
Maka Islam-Nusantara itu akan layu dan gugur karenanya. Karena kita.
***
 
*) AGUK IRAWAN MN Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah-Lesbumi, Yogyakarta.

http://sastra-indonesia.com/2010/06/dunia-dan-strategi-baru-pesantren/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar