Selasa, 08 September 2020

Aayatun, bukan, Semeion

  (Karena tanda itu meminta alamatnya)

Hudan Hidayat *

"Semiotika adalah ilmu tanda; istilah tersebut berasal dari kata Yunani semeion yang berarti 'tanda'. Tanda terdapat di mana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika, Charles Sanders Pierce, menegaskan kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi." Demikianlah pernyataan Panuti Sudjiman dan A.J.A. van Zoest, penyunting buku Serba-Serbi Semiotika. Pernyataan yang dinyatakan sebagai kesimpulan, seperti pernyataan dan kesimpulan Benny H. Hoed: "Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Sampai di sini mungkin kita semua sepakat. Namun, saat kita harus menjawab apa yang dimaksud dengan tanda, mulai ada masalah." Sebagai sebuah kata yang mempunyai makna, tanda ini kelihatannya lebih luas dari kata, walau sebagai makna ia disokong oleh kata, kata tanda. Ia juga lebih luas dari pikiran, walau pikiran yang memproduksikannya. Apakah tanda juga lebih luas dari ada? Apakah ada lebih luas dariNya? Kita memikirkan keluasan karena sesuatu terikat dengannya. Keluasan ini yang membuat Umberto Eco berkata: disiplin ini imperialistik. Apakah tanda juga telah menyerangNya? Lebih luas tanda, atau Allah? Hal yang kita pikirkan karena pengertian tanda yang bersifat mengikat. Seperti keluasan ilmu tanda diakui oleh Paul H. Fry dengan melakukan pembedaan terhadap ilmu sastra, keluasan yang kita canangkan di setiap kehadiran ada, atau tanda, tanda, atau ilmu tentang tanda - pernahkah kita memikirkan kehadiranNya, sebagai bahasa, dari jurusan manusia yang menandai, bahwa bahasaNya, Ia, adalah bagian dari yang kita tandai? Semiotik ini, ujar Fry, bukanlah teori sastra, tetapi teori sastra, bagian dari semiotik. "Semiotics is not in itself a literary theory." Kalau demikian mana teori sastra kalau studi sastra hanya bisa dimengerti karena ia, "as a subfield of semiotics", misalnya "poetics" Roman Jakobson. Atau puitika Aristotle, Poetics, yang meminta agar mata mewartakan tubuhnya. Kita itu gemar memandang-mandang, katanya, walau tidak untuk diarahkan ke manapun selain, "raun-raun" bola mata terhadap objeknya. Seperti kegiatan mata juga yang bergerak "(Menelanjangi) Kuasa Bahasa". "Kuasa Bahasa" apa yang ditelanjangi di sini? Seperti "Kuasa Bahasa" apa yang menjadi "mitos yang dibongkar dalam Sastra Indonesia", oleh Nurel Javissyarqi, sebagai perpanjangan Sastra Barat, anak batin Yunani. Beda dalam kehakikian semeion dengan aayatun, yang bergerak di dalam lorong-lorong bahasa, seperti gerakan memaknai Kitab Suci oleh Imam Al-Maraghi, menjelaskan "aayatun artinya aalamatun yakni tanda", seraya mengarahkannya ke Dia, inilah yang dua puluh terakhir ini kita desakkan ke Sastra Indonesia, ke Bahasa Indonesia, bahwa tanda itu meminta alamatnya. Ia bukanlah semata tanda seperti yang diorientasikan ilmu - semiotik, linguistik.

Tanda meminta alamatnya, saat di puisi, terlihat benderang misalnya kita membaca Ahmad Syauqi Sumbawi, "dari kapal ke kapal", dengan "Gramofon Hindia, 2012", puisi Ahmad Yulden Erwin. Puisi memang akan memaksa ilmu agar menyimak prinsip-prinsip yang ia yakini. Dulce Et Utile ada di sini. Tapi adakah Dia di Dulce Et Utile? "Dengan sastra kita tahu derajat bahasa

Bahasa yang baik-baik saja", ujar Sastra Paramatathya, keyakinan yang baik tapi menuntut kepada objeknya, yaitu karya. Menentukan "bahasa yang baik-baik saja" adalah kegiatan ilmu sastra untuk menimbang serta memutuskan.

*) HUDAN HIDAYAT, penerima Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar