Spirit Teater, Sesungguhnya untuk mempertemukan manusia dengan Tuhan
Rodli TL
Bila menyimak sejarahnya, teater hadir dengan spirit transendensinya, sebagaimana orang-orang Yunani kuno mendekatkan diri pada dewa-dewanya dengan ritual teater, begitu pula orang-orang Mesir kuno yang peristiwa sembahyangnya diabadikan di artefak piramid tentang pengabdian teaternya pada tuhan-tuhannya. Begitu pula asal-muasal dan perkembangan teater di nusantara, di antaranya adalah teater tradisional yang merupakan seni pertunjukan teater yang ada dari dan untuk masyarakatnya.
Teater dalam sejarah kehidupan masyarakat dan budaya nusantara menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Kegiatan teater bisa disaksikan dalam upacara-upacara ritual keagamaan, yang kadang juga sebagai bentuk penanda siklus hidup yaitu kelahiran, pertumbuhan dan kematian juga sebagai hiburan. Setiap daerah mempunyai keunikan dan kekhasan dalam tata cara penyampaiannya.
Teater dipastikan memiliki fungsi yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan zamannya. Teater tradisional tidak terbatas pada media hiburan, ada tuntunan hidup di dalamnya. Bahkan teater tradisional bagi masyarakat tertentu merupakan media komunikasi dengan hal yang ghaib. Sebagaimana Soemardjo menyampaikan bahwa fungsi-fungsi penyelenggaraan kegiatan teater tradisional di tengah masyarakat pendukungnya. Di bawah ini disebutkan secara umum fungsi-fungsi teater tradisional Pemanggil kekuatan gaib, diantaranya adalah:
Menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukan.
Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat.
Peringatan pada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawanannya.
Pelengkap Upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang seperti keberhasilan menempati suatu kedudukan, jabatan kemasyarakatan, jadi kepala suku atau adat.
Pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu. Upacara kelahiran, kedewasaan dan kematian.
Ciri-ciri teater tersebut merupakan penciptaan masyarakat pemiliknya bahwa teater yang hubungannya tidak bisa dipisahkan dengan budaya sosial, lingkungan dan kebutuhan utama kepada Tuhannya. Teater tradisional bukan semata sebagai hiburan yang profane. Namun memiliki nilai reliji yang ritualnya dilakukan secara rutin oleh masyarakat pemilik teater tradisional tersebut.
Bila merenungkan gambaran asal-usul teater tersebut, baik di Yunani, Mesir dan teater tradisional nusantara, kita mendapatkan spirit teater itu sesungguhnya, bahwa teater itu media untuk mempertemukan segala kehidupan sosial dengan lingkungan yang muara akhirnya disandarkan pada Tuhannya dalam pertemuan yang dinamai ritual teater. Lalu dimanakah posisi teater kita yang telah dinamai teater modern itu, masihkah teater kita mengusung spirit transendal tersebut? Mulailah kita akan menemukan banyak penyimpangan-penyimpangan dalam aktifitas teater kita. Sebab teater kita masih sebatas media ekspresi diri yang cenderung emosional, tanpa ada kesadaran sosial tanpa ada kesadaran transendal, bahkan ada kecenderungan teater-teater yang skeptis dengan Tuhannya, akhirnya orang-orang teater menjadi teralineasi dari kehidupan sesungguhnya, sebab hanya bereforia dengan panggung-panggung kecilnya yang lepas dengan kesadaran panggung sesungguhnya.
Anton Pavlovich Chekhov dalam naskah dramanya yang berjudul Nyanyian Angsa sesunggunya telah mengingatkan para aktor-aktor, bahkan seluruh orang-orang teater, kita semua. Tokoh dalam naskah tersebut bernama Vasili Svietlovidoff, di masa akhirnya merasa kesepian, ia kehilangan kejayaan menjadi seorang aktor dari sebuah gedung pertunjukan yang selalu dipenuhi riuh tepuk tangan penonton. Bahkan Chekhov mengkritik tepuk tangan, ucapan selamat bahkan permintaan para penonton berselfi usai pentas sang aktor adalah peristiwa semu. Sebab tidak satupun penonton yang mengaguminya di panggung itu juga kagum dalam realitas sesungguhnya. Kenyataannya seluruh perempuan yang pernah mengidolakan tidak satupun yang menerima menjadi istri, menantu atau kakak iparnya.
Jangan-jangan teater kita juga tidak pernah diterima Tuhan sebagai hambanya
Kritik Anton Chekhov tersebut mengingatkan kesadaran pada spirit teater yang sesunggunya. Bahwa teater itu punya tanggungjawab sosial dan transendental untuk menjaga keberlangsungan hidup. Teater itu mengabdi pada kehidupan, teater itu menyembah pada Tuhan. Sebagaimana pelajaran yang sangat berharga dalam proses penyutradaraan dalam penciptaan karya panggung. Entah apa yang terjadi pertunjukan teater itu tanpa sutradara, tentulah tidak mungkin ada lukisan tanpa pelukis, bagaimana kacaunya bila aktor-aktor tidak taat pada instruksi sutradara, aktor-aktor bermain tapi tidak mau membaca naskah, atau membacanya tapi tidak untuk diikuti, bahkan melawan apa yang menjadi kemauan sutradara. Tentu pentas tidak akan terjadi, bahkan akan terjadi kacau sekacau-kacaunya dalam proses sebelum pentas, dan tidak akan menjadi karya pertunjukan teater.
Sesungguhnya itulah dalam hidup teater. Kehidupan kita akan kacau balau bila sudah tidak mau lagi melibatkan Tuhan dalam kehidupan sesungguhnya, malas membaca naskah-naskah-Nya, kita bertindak diluar ketentua-Nya, bahkan abai pada instruksi-instruksi penyutradaraan-Nya. Hidup kita akan menjadi kehidupan yang amburadul seamburadul-amburadulnya.
Sejauh mana kita melibatkan Tuhan dalam teater kita, dalam hidup kita?
***
Kamis, 30 Januari 2020
Dipresentasikan di Kedai Kopi Sastra Asuhan Zuhdi SWT.
Jl. Raya Ketanen, Sono, Siwalan, Kec. Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur 61156.
Rabu, 29 Januari 2020
NGAJI SASTRA TEATER
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar