Rabu, 15 Januari 2020

HANTU-HANTU HALAMAN RUMAH

Ahmad Yulden Erwin

1
Sedikit  aneh,  sedikit  terlambat, buah-buah  mangga  matang
Terlalu  cepat,  jejak  kemarau  menapak  langkan  rumah  tua.
Pagi-pagi  seorang  tukang  pos mengantarkan sepucuk surat,
Seolah semacam  isyarat: satu keluarga  mesti pergi, sebelum

Kabut  menjemput  kutuk  sewarna  marun. Angin  hijau pastel
Di halaman  rumah, membelai sebiji embun  di daun cempaka,
Sebelum  sesetel  sayap tekuku  berkepak menembus cahaya
Pagi melepas bebulu sepasang bajing mati ke dahan angsana.

Tak  bisa  lagi  kauhantarkan  segelas teh  pahit itu, terbayang
Wajah bocah lima tahun dengan sepasang biji mata terkagum,
Berteriak,  ‘Bak, ada  surat!’  Tukang  pos  sejenak  tersenyum
Menatapmu  berlari  mengacungkan  selembar  amplop coklat,

Setelah  sebuah  siulan kecil;  ‘Taruh  saja  di meja,’ sahutnya.
Lalu,  kau terjerembab.  Ia menghampiri,  cuma tegas berkata,
‘Bangun, Nak.  Jadilah lelaki.’  Dan kini,  dalam rasa  asing ini,
Kauurai  satu-satu  lontai  kenangan dalam kisah  paling nyeri.


2
Serakan daun petai cina  dan belimbing di halaman rumah tua
Dibakar  sebelum  selesai  senja,  usai  ketukan pintu, mereka
Menculik lelaki renta itu, sepucuk senapan teracu ke dagunya;
Mereka mengikat tangan dan kakinya seolah pelanduk buruan,

Orang tak bertuhan  dibuang ke tepi  hutan. Begitu kaudengar
Takdir  kakekmu  dari  bibirnya,  sedikit  gemetar, hawa  dingin
Seliar  angin  menggigit  reranting   waru.  Kupu-kupu  kuning
Hinggap pada  selembar  kenangan jatuh di samping tumitmu.

‘Bak,  kenapa  kita  bisa mati?’  Begitu kauingat  sebisik tanya
Bocah  lima  tahun itu; matanya  sembab menatap  langit biru.
Lelaki  itu  menghirup  tehnya.  ‘Pagi ini  kakek  tidur  di surga,
Tak bisa  mereka  sembelih kakek di sana,’  katanya, kautatap

Awan putih  menyusut  seperti  rintih  di lekung  pipi  lelaki  itu.
Sekarang ia  kembali mengarit halaman  rumah, subuh-subuh
Membikin  siring  antara vanili  dan sulur sirih  berdaun merah
Kini melilit  sebatang  pohon seri.  ‘Jangan pernah membenci,

Anakku, jangan  pernah  membenci,’  lirihnya  di tepi senja itu.
Begitulah,  kami  mulai  lagi  permainan  purba itu,  mendekap
Rasa kutuk yang aneh tahun-bertahun, lolong yang terbantun
Pada  bibir  sejarah, kekejian yang dipahami tanpa rasa salah.


3
Di ketek  adek  paku  dipantek, kali-berkali beliung ditancapkan
Menembus  laung kesakitan; bunda memeluk betis penghukum
Sebelum  lancip  gancu  ditusuk  ke perutnya; atas nama  dosa
Kegilaan massal itu  dihajatkan, seakan  upacara pembersihan.

Bersuit angin sebentar, gerimis senja menyentuh sayap lelawa,
Di dahan nangka  terbakar digantung sederet  tebasan kepala;
Jari-jari putih  menghapus  noda kesumba di ujung pedangnya,
Di kubangan  kerbau algojo itu  berkaca sebagai pemilik surga.

Tanpa  nisan, sebuah lubang baru  digali, tiada bakal jadi saksi
Tubuh-tubuh  penghujah  telah disucikan. Jadi juadah dan kopi
Boleh  dihidangkan. Di bawah  pohon  siwalan  itu  arwah  kami
Berkerumun, masih  ketakutan,  ketika  kenduri  pemburu  babi

Dimulai:  bebareng  melantunkan  doa, ayat-ayat penyejuk jiwa
Melepas arwah kami mengembara, menggoyang sarang lelaba
Di atas   jendela. Sesekali lubang itu menguarkan bacin darah,
Tanda  arwah kami bergentayang  di sudut kiri halaman rumah.


4
Sebab kami tidak akan menyerah, debu-debu di jalan senyap
Meluku mata  dua ekor kambing jantan; kemarau  di halaman
Telah berkisar hingga jantung  dipacu dari tanggal ke tanggal
Pada kalender kusam  tergantung  di dinding  gelap meracau.

Jadi  batu-batu  dekat cincin sumur tua itu  boleh disingkirkan
Sebagai  nisan, meskipun  arwah kami terlalu lama dilupakan;
Memeram pertanyaan di bawah  lidah sakit kaum pemberang,
Kami hanya tak bisa menjerit, sebab di bawah rumpun ilalang

Kami terus  dipaksa menyanyi lagu kebangsaan, seriuh  kicau
Ratusan pipit  berebut  mematuki remah padi; sawah ditinggal
Sebab para  petani mengungsi, sebab truk-truk para penjagal
Mencegat  dari simpang  dukuh  memburu orang-orang kalah.

Sebab kami tidak akan menyerah, debu-debu di jalan senyap
Menyeret kami  bebas  ke negeri orang-orang mati, memang,
Hantu-hantu tidak tewas dua kali, kami bisa tenang sekarang,
Hidup  tanpa  membenci,  di sini,  di negeri  orang-orang mati.

Catatan:
1. Bak: sapaan untuk ayah dalam bahasa satu subetnis di Sumatera Selatan.
Adek: adik.
2. Puisi diambil dari kumpulan Enam Puisi ‘Politik’ Ahmad Yulden Erwin.
https://ragil.org/2015/03/13/hantu-hantu-halaman-rumah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar