Anjrah Lelono Broto
http://www.pelita.or.id/
Manusia secara hakekat adalah homo socius, sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lain dalam hidup dan berkehidupan. Guna membangun ikatan hubungan dengan manusia lain, manusia mengembangkan sistem kemasyarakatan yang mengikat secara konvensional manusia-manusia yang ada di dalamnya.
Sederetan tata normatif lahir sebagai aksesoris pelengkap tata kemasyarakatan tersebut. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam suatu ikatan masyarakat berkembang gejala-gejala yang secara manusiawi dapat diklasifikasikan ke dalam oposisi biner, positif dan negatif. Gejala-gejala tersebut bersifat sosial, dalam pengertian lahir dan berkembang berdasarkan dorongan pribadi individu terkait dengan dorongan pribadi individu lain dalam masyarakat, sehingga gejala-gejala tersebut lebih afdhal jika disebut sebagai gejala sosial.
Korupsi adalah salah satu gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi negatif, karena korupsi merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat.
Korupsi memberikan peluang lebih untuk menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan melalui proses yang tidak wajar (procedural) demi pribadi, keluarga atau kelompok.
Namun, dewasa ini korupsi telah menjadi sebuah virus sosial, yang tingkat penyebarannya sangat tinggi. Dalam ilmu kesehatan, daerah atau wilayah tubuh yang terserang suatu virus maka harus dilakukan tindakan pengkarantinaan sebagai tindakan pencegahan penyebaran. Yang memalukan adalah, hari ini, Indonesia telah memenuhi prasyarat untuk masuk kategori wilayah karantina. Karena di Indonesia, korupsi telah menjadi budaya yang tidak lagi dipandang sebagai pendhaliman namun telah menjadi kalaziman untuk dilakukan.
Penempatan korupsi sebagai budaya yang lazim dilakukan di Indonesia, maka kita perlu melihatnya dari perspektif perilaku sosial masyarakat, dan bukan sebagai perilaku pribadi semata. Korupsi kita pandang sebagai persoalan penyakit sosial masyarakat, watak masyarakat, perilaku masyarakat yang bertalian erat dengan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat. Pada hakekatnya, masyarakat Indonesia memiliki tata peri kehidupan yang normal, yang berpijak pada nilai-nilai kultural.
Ketika kapitalisme dikenal oleh masyarakat Indonesia, terjadilah pergeseran nilai-nilai yang luar biasa. Sebelumnya, keberhargaan atau penghormatan antar individu di dalam masyarakat lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan keluhuran budi pekerti. Tetapi pasca masuk dan berkembangnya kapitalisme, nilai keberhargaan atau penghormatan antar individu lebih dipengaruhi oleh besaran kepemilikan material semata. Masyarakat tidak memberikan perhatian dari mana asal besaran kepemilikan materi, namun lebih memperhatikan konten dari besaran kepemilikan tersebut.
Pada tahapan inilah virus korupsi menempati ruang dalam masyarakat kita. Ketika kapitalisme melahirkan tata mentalitas seperti ingin cepat kaya, ingin cepat sukses, dan berperilaku instant maka proses kerja yang matang menjadi terpinggirkan. Penghalalan segala cara menjadi sebuah pilihan, dan korupsi menggoda hati untuk segera dilakukan.
Dalam bukunya Social Theory and Social Structure (1957), Robert K. Merton menyatakan bahwa korupsi termotivasi oleh sikap yang berasal dari tekanan-tekanan sosial yang melahirkan pelanggaran-pelanggaran norma. Dalam budaya yang menitikberatkan keberhasilan ekonomi sebagai sebuah tujuan paling akhir seperti yang diterapkan oleh negara-negara penganut faham kapitalisme, maka negara tersebut akan memberi ruang yang lebih bagi mutasi virus korupsi. Ketika virus korupsi berkembang di lingkungan kekuasaan pemerintahan, mereka dapat bermutasi menjadi virus manipulasi, baik data informasi maupun opini. Sedangkan, ketika berkembang di lingkungan organisasi yang lebih kecil, virus korupsi dapat bermutasi menjadi virus kolusi dan nepotisme, kedekatan kekerabatan darah atau visi-misi menjadi habitat subur perkembangannya.
Di era Orde Baru, agregat perkembangan Indonesia dapat dikategorikan dalam kelompokan negara yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik secara instant. Secara luar biasa, ketika negara-negara seusianya di Asia (Malaysia, Thailand, Filiphina, Kamboja, Vietnam, Pakistan, India, dll) masih tertatih-tatih di segala lini kehidupan kenegaraan (politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun pertahanan keamanan) Indonesia telah mampu menampilkan diri sebagai Macan Asia. Mampu berdiri sejajar dengan Inggris, Perancis, ataupun Swiss, tetapi tatkala krisis moneter melanda Indonesia knock out karena tidak bangun-bangun lagi meski hitungan ke sepuluh tahun telah berlalu.
Dalam orde Reformasi ini, sekali lagi, analis-analis ekonomi dalam negeri maupun internasional memasukkan Indonesia dalam kelompok negara yang ingin cepat makmur secara instant. Meski tanpa program ekonomi yang jelas serta memiliki sumber daya manusia yang bersaing (secara IQ, EQ, dan SQ), Indonesia telah rajin menumpuk utang luar negeri, baik antar negara maupun dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB. Mengakarnya budaya instant yang begitu kental tidak hanya tercermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah semata, namun telah menyebar-luas ke berbagai lini kehidupan masyarakat seperti seni-budaya, ekonomi, pendidikan, informasi, komunikasi, maupun agama. Kecurangan dalam Ujian Nasional (UNAS), aksi suap-menyuap yang menjalar dalam lahirnya peraturan perundang-undangan atau tes masuk PNS, motivasi besar untuk mendadak jadi artis/selebritis, hingga pendewaan hasil survey dalam pemilu, dll, tidak lagi merupakan sasmita penyebaran budaya instant melainkan sudah menjadi fakta.
Ketika korupsi dan budaya instant kita identifikasi sebagai sebuah psikososial sistemik, kita pun dapat memahami sejauh mana korupsi yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Secara historis, kapitalisme dikenal bersamaan dengan masuknya kolonialis Belanda. Pemerintah kolonialis Belanda sebagai subjek (penjajah) menempatkan bangsa Indonesia sebagai objek. Posisi subjek dan objek ini memiliki jurang pemisah yang lebar, tetapi jurang tersebut dapat dijembatani dengan pasokan bulu bekti atau upeti (yang bersifat materialistis). Hal ini menjadi latar belakang lahirnya paradigma kapitalis bahwa keberhargaan individu ditentukan oleh besaran kepemilikan materi. Fenomena ini menjadi tak terbantahkan ketika dipertemukan dengan persoalan psikososial dalam fenomena psikodimanik nirsadar ala psikoanalis Sigmund Freud. Freud menyebut fenomena ini sebagai tranferensi atau transfer sosial, yang secara kontekstual, adalah pemindahan nirsadar pola-pola hubungan masa lalu bangsa dengan penjajah ke realitas hubungan masa kini antara penguasa dan rakyat.
Budaya menjilat atasan demi mendapatkan atau menyamankan posisi, budaya suap-menyuap pihak yang berwenang demi pencapaian tujuan, ataupun budaya menekan bawahan demi raihan kekuasaan merupakan cerminan transfer sosial hubungan antara terjajah (objek) dengan penjajah (subjek). Akhirnya, kaum penguasa atau kelompok elite yang menjadi subjek ketika menerima suap atau melakukan tindakan korupsi dianggap sebagai sebuah perilaku budaya (kewajaran). Menilik pada pola hubungan subjek-objek, lakuan tindak korupsi ini dianggap sebagai bentuk imbalan dari posisi atau status sosial yang tersemat di dadanya. Sosiolog Jared Diamond dalam bukunya Gun, Germs and Stell: The Fates of Human Society (1999) yang mengatakan kaum elite apakah yang terorganisir dalam unit politik yang disebut dengan negara atau dalam unit politik yang lebih kecil setingkat desa, selalu mentransfer kekayaan dari kelas sosial yang lebih rendah kepada kelas di atas.
Akibatnya, secara ekonomi, masyarakat yang berada dalam kelas yang lebih rendah menemui kesulitan untuk menemukan kenyamanan dalam hidup dan berkehidupan. Mereka juga berkehendak untuk mampu berada di kelas atas, namun secara instant. Ironis memang.
Solusi
Sungguh naof ketika pemberantasan korupsi dipercayakan kepada non-governmental organization seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih ketika melihat sosok pemimpinnya, yang hari ini dipaksa untuk terlibat cinta segi tiga. Ibarat korupsi adalah virus menular yang menyerang dengan ganas maka KPK adalah obat luka yang single fighter terseok-seok dan dikhawatirkan untuk segera kehilangan kredibilitasnya. Mengapa?
Hingga hari ini, kasus korupsi di tubuh Bank Indonesia yang diusutnya belum juga menemukan titik akhir, karena melibatkan Aulia Pohan yang notabene adalah besan presiden. Apalagi, sang pemimpinnya yaitu Budiono, hari ini berhajad besar yaitu maju dalam bursa Pilpres 2009.
Adalah kenaifan yang luar biasa ketika pemberantasan korupsi hanya sebatas menyeret pelakunya ke dalam penjara, karena gerakan ini sama sekali tidak menyentuh substansi virus korupsi. Solusi yang dibutuhkan adalah konstruksi pendidikan yang memberikan landasan moral, etika dan spiritual sosial kolektif kebangsaan.
Pendidikan harus diarahkan untuk membuka wawasan kehidupan, cakrawala batin agar bangsa ini tidak terbelit otomatisme ketidaksadarannya terhadap pola-pola hubungan koruptif yang telah berakar dan terbentuk dari sejarah masa lalu. Pendidikan lebih difokuskan kepada pendidikan karakter, pendidikan mental mentalitas yang sehat. Harapannya, di masa yang akan datang lahirlah bangsa dan masyarakat dengan mental dan watak yang memahami nilai-nilai kebersamaan, kebangsaan, kebenaran, kejujuran, kesucian hati maupun jiwa. Di tangan merekalah, Indonesia ini kelak kita titipkan.
*) Penulis adalah Litbang LBTI Tinggal di Jombang
Selasa, 27 Desember 2011
Korupsi, Antara Virus dan Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar