M. Shoim Anwar
http://sastra-indonesia.com/
Jemuah legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang Wonokromo.
Merah-Putih Kepala Banteng
Benderane dokter Soetomo.
Pantun (parikan) di atas dikidungkan oleh Cak Pono, arek Jombang, saat pentas Ludruk Sari Bancet di Bondowoso. Gara-gara kidungan itu pementasan dibubarkan oleh Belanda karena dianggap menghembuskan nafas nasionalisme. Saat pentas di Desa Mojorejo, Jombang, Cak Durasim sebagai pimpinan Ludruk Organisatie (LO) ditangkap dan disiksa Jepang karena melantuntan kidungan “Pagupon omahe dara, Melok Nippon tambah sara.” Cak Pono dan Cak Durasim adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menggunakan media kultural sebagai media perlawanan. Ketika Indonesia telah merdeka, tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme juga masih mendominasi lakon-lakon ludruk.
Kolonialisme memang melahirkan berbagai akibat buruk. Cak Pono dan Cak Durasim sadar hingga melakukan perlawanan. Di sisi lain, kolonialisme juga menimbulkan perpecahan kepribadian. Sebagai contoh, Hanafi dilahirkan sebagai seorang bumi putra (Indonesia), tapi dia bergaya hidup seperti orang Belanda (Barat) dan menganggap rendah apa-apa yang berbau Indonesia. Dia pernah bersentuhan dengan sekolah Belanda hingga membuatnya makin tercerabut dari akar budaya tanah kelahiran sampai akhir hayat. Hanafi adalah seorang tokoh dalam roman klasik Indonesia Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Hanafi hadir sebagai simbol dalam wacana kolonial yang mewakili berbagai persoalan antara pihak penjajah dan terjajah. Dengan demikian Hanafi tidaklah sendiri.
Hanafi adalah simbol kekisruhan identitas. Kolonialisme telah menghunjamkan cakarnya ke bumi jajahan, tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai belahan bumi. Identitas menjadi proyek pencitraan kolonial, di mana bangsa penjajah selalu dicitrakan jauh lebih baik daripada yang terjajah. Tokoh-tokoh lokal dalam kisah Nyai Dasima dicitrakan tidak baik, sementara tokoh Belanda dibuat bertengger secara terhormat. Kisah tersebut ditulis oleh G. Fransis, sastrawan peranakan Indo-Belanda tahun 1896. Dalam film-film koboi Amerika, suku Indian yang asli Amerika kerap kali digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan suka menjarah. Bahkan, wacana sejarah kolonial menyatakan bahwa Colombus adalah “penemu” Benua Amerika. Seakan-akan Benua Amerika saat itu adalah wilayah kosong yang hanya dihuni para binatang liar. Kolonialisme dan perbudakan di Amerika akhirnya memunculkan wacana antikolonial dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin karya Stowe.
Lihat juga film-film Amerika yang berlatar Vietnam, Rambo misalnya, bangsa Vietnam selalu digambarkan sangat jahat dan buruk hingga perlu ditumpas. Amerika menyerang Vietnam dalam rangka kolonialisme. Amerika akhirnya mengalami kekalahan besar. Tetapi, hampir dalam semua filmnya, Amerika dicitrakan menang. Model seperti ini dapat pula dilihat pada film-film Amerika (Barat) yang bertema perang, spionase, dan pembebasan yang berlatar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penduduk asli dan para pemimpinnya senantiasa dicitrakan buruk.
Kolonialisme fisik mungkin sudah dapat dilepaskan. Tetapi, kolonialisme telah membekaskan luka yang panjang. Para kritikus seperti Edwar Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, atau Leela Gandhi, telah mengungkap bahwa dalam wacana pasca/poskolonial pun problem kolonialisme telah menjadi sesuatu yang laten. Kolonialisme telah menjadikan krisis identitas yang tidak selalu disadari oleh bangsa-bangsa yang pernah dijajah, khususnya di Afrika dan Asia. Masyarakat terjajah berkecenderungan mengalami problem psikologis seperti hibridasi, mimikri, dan ciri-ciri ambilavalens sebagai akibat hegemoni kekuasaan yang dilakukan selama masa pendudukan.
Brosur-brosur yang menawarkan perumahan juga dilanda penyakit poskolonial. Dalam gambar-gambar rumah tersebut biasanya terdapat gambar atau foto orang di depannya sebagai penghuni. Anehnya, banyak kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, gambar atau foto yang ditampilkan justru berwajah orang Barat, seakan orang Indonesia tidak layak ditampilkan. Dalam realitanya pun tak ada orang Barat yang menghuni di kompleks perumahan seperti itu.
Tiap hari kita berhadapan dengan media massa. Begitu banyak iklan tentang kecantikan yang menawarkan “kulit menjadi lebih putih” dengan segala akibat positifnya. Hampir semua adegan iklan menggambarkan bahwa “si kulit putih” menjadi pusat perhatian dan unggul sehingga “si kulit yang lain” menjadi rendah diri, bahkan mengutuk kodratnya. Kita digiring ke persoalan ras sehingga kulit yang berwarna “sawo matang”, “coklat”, atau “hitam” dipandang lebih buruk dan dijauhi sehingga perlu “diputihkan”. Hegemoni seperti ini menjadikan para perempuan terperangkap dalam mitos kulit putih dan ingin mimikri atau menirunya secara instan hingga berefek buruk bagi kesehatan. Bila di Indonesia para perempuan disuguhi obat “pemutih” kulit, apakah di Barat juga ditawarkan obat “penghitam”, “pencoklat” atau pewarna yang lain? Rasanya kita belum pernah mendengarnya.
Krisis identitas, khususnya yang berkaitan dengan ras, menjadi semakin melebar. Identitas kulit putih ditambahkan lagi dengan warna rambut. Jangan heran bila masyarakat yang mengalami krisis identitas banyak yang menyemir rambutnya seperti warna rambut orang bule. Hidung mereka juga dipermak agar menjadi mancung seperti ras orang bule. Tempat tinggal mereka, arsitektur rumah atau kota, banyak menampilkan model atau patung-patung dari negeri orang bule. Sinetron atau acara-acara televisi pun, meski berkaitan dengan bersoalan lokal, tampak ada selera untuk mengedepankan bintang orang bule, setidak-tidaknya berdarah indo. Mirip dengan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan di atas, para selebritis juga lebih suka kawin dengan pria bule. Sampai-sampai ada sindiran, alangkah enaknya menjadi bule, meski gelandangan, asal mau sedikit bergaya di Indonesia, tentu akan digaet oleh artis. Hibridasi ini kerap berantakan di tengah jalan karena kegagalan menjinakkan identitas kultural, seakan-akan membenarkan paham kolonialis, “Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak dapat disatukan”.
Kolonialisme telah menyatukan dirinya dengan kapitalisme. Media global yang dimiliki oleh para pemodal besar begitu gencar melancarkan invasi ekonomis. Masalah gaya hidup yang berkaitan dengan 3F (Fashion, Fun, dan Food) serta 3S (sex, sport, science/technology) menjadi tema yang dipompakan dari detik ke detik. Kiblat yang dituju sangat jelas, yaitu mengajak hidup konsumtif sebagai bagian dari rantai industri. Perlawanan terhadapnya memang tidak mudah. Yang paling umum dimunculkan adalah hibridasi “glokal”, “berpikir global tetapi berkepribadian lokal” sebagaimana disimbolkan oleh tokoh Marineti dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.
Kolonialisme menimbulkan residu berkepanjangan dan memiliki dampak yang kompleks. Saat masa pergantian rezim, seperti ditulis Leela Gandhi, masyarakat poskolonial mengalami ambivalensi kultural, antara lain, ditandai dengan retorika kemerdekaan dan euforia swapenciptaan yang kreatif, penuh dengan kebingungan dan ketakutan akan kegagalan menciptakan kondisi dan organ-organ baru, dipaksa menegosiasikan berbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historis, terpedaya dalam harapan bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara cepat, adanya aparat kebebasan yang tak tampak dan tekanan ketidakbebasan yang tersembunyi, jejak-jejak dan kenangan residual terhadap subordinasi, kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang tersamar.
Munculnya kerusuhan di sekitar pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, antara lain, juga disebabkan oleh ambivalensi kultural. Tafsir poskolonial otonomi daerah tidak lain adalah terlepasnya simpul-simpul kekuasaan pusat dan diambil alih daerah. Dari tafsir demokrasi, otonomi daerah pada awalnya dikonsepkan untuk memberdayakan daerah agar lebih kreatif dan mandiri dalam pengelolaan pemerintahan, lama-lama mengalami polarisasi ke ajang pertarungan kekuasaan dan kapitalisasi. Kolonialisme yang identik dengan kekuasaan mengejawantah dalam bentuk politik uang. Mereka yang memiliki uang dan bernafsu menjadi penguasa akan membeli hak-hak rakyat, bahkan menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan ketika syahwat kekuasaan tak dapat dipuaskan.
Kolonialisme mencengkeram kekuasaan untuk mengeruk _ultura. Syahwat politik dikeloni agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Mereka yang berkuasa akan terus berusaha untuk merebut lagi pada periode berikutnya. Bila tak mungkin, istri atau anak merekalah yang dipompa untuk maju. Kekuasaan adalah investasi modal yang nantinya harus kembali dengan jumlah yang melimpah-limpah. Korupsi akhirnya merajalela. Identitas _ultural makin terpuruk. Hidup dipenuhi janji-janji dan slogan-slogan yang ambivalens. Itulah sebagian wajah _ultural kita.
*Untuk Irfa di Ngudirejo yang selalu berjuang melawan kolonialisme.
**Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
http://sastra-indonesia.com/
Jemuah legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang Wonokromo.
Merah-Putih Kepala Banteng
Benderane dokter Soetomo.
Pantun (parikan) di atas dikidungkan oleh Cak Pono, arek Jombang, saat pentas Ludruk Sari Bancet di Bondowoso. Gara-gara kidungan itu pementasan dibubarkan oleh Belanda karena dianggap menghembuskan nafas nasionalisme. Saat pentas di Desa Mojorejo, Jombang, Cak Durasim sebagai pimpinan Ludruk Organisatie (LO) ditangkap dan disiksa Jepang karena melantuntan kidungan “Pagupon omahe dara, Melok Nippon tambah sara.” Cak Pono dan Cak Durasim adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menggunakan media kultural sebagai media perlawanan. Ketika Indonesia telah merdeka, tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme juga masih mendominasi lakon-lakon ludruk.
Kolonialisme memang melahirkan berbagai akibat buruk. Cak Pono dan Cak Durasim sadar hingga melakukan perlawanan. Di sisi lain, kolonialisme juga menimbulkan perpecahan kepribadian. Sebagai contoh, Hanafi dilahirkan sebagai seorang bumi putra (Indonesia), tapi dia bergaya hidup seperti orang Belanda (Barat) dan menganggap rendah apa-apa yang berbau Indonesia. Dia pernah bersentuhan dengan sekolah Belanda hingga membuatnya makin tercerabut dari akar budaya tanah kelahiran sampai akhir hayat. Hanafi adalah seorang tokoh dalam roman klasik Indonesia Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Hanafi hadir sebagai simbol dalam wacana kolonial yang mewakili berbagai persoalan antara pihak penjajah dan terjajah. Dengan demikian Hanafi tidaklah sendiri.
Hanafi adalah simbol kekisruhan identitas. Kolonialisme telah menghunjamkan cakarnya ke bumi jajahan, tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai belahan bumi. Identitas menjadi proyek pencitraan kolonial, di mana bangsa penjajah selalu dicitrakan jauh lebih baik daripada yang terjajah. Tokoh-tokoh lokal dalam kisah Nyai Dasima dicitrakan tidak baik, sementara tokoh Belanda dibuat bertengger secara terhormat. Kisah tersebut ditulis oleh G. Fransis, sastrawan peranakan Indo-Belanda tahun 1896. Dalam film-film koboi Amerika, suku Indian yang asli Amerika kerap kali digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan suka menjarah. Bahkan, wacana sejarah kolonial menyatakan bahwa Colombus adalah “penemu” Benua Amerika. Seakan-akan Benua Amerika saat itu adalah wilayah kosong yang hanya dihuni para binatang liar. Kolonialisme dan perbudakan di Amerika akhirnya memunculkan wacana antikolonial dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin karya Stowe.
Lihat juga film-film Amerika yang berlatar Vietnam, Rambo misalnya, bangsa Vietnam selalu digambarkan sangat jahat dan buruk hingga perlu ditumpas. Amerika menyerang Vietnam dalam rangka kolonialisme. Amerika akhirnya mengalami kekalahan besar. Tetapi, hampir dalam semua filmnya, Amerika dicitrakan menang. Model seperti ini dapat pula dilihat pada film-film Amerika (Barat) yang bertema perang, spionase, dan pembebasan yang berlatar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penduduk asli dan para pemimpinnya senantiasa dicitrakan buruk.
Kolonialisme fisik mungkin sudah dapat dilepaskan. Tetapi, kolonialisme telah membekaskan luka yang panjang. Para kritikus seperti Edwar Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, atau Leela Gandhi, telah mengungkap bahwa dalam wacana pasca/poskolonial pun problem kolonialisme telah menjadi sesuatu yang laten. Kolonialisme telah menjadikan krisis identitas yang tidak selalu disadari oleh bangsa-bangsa yang pernah dijajah, khususnya di Afrika dan Asia. Masyarakat terjajah berkecenderungan mengalami problem psikologis seperti hibridasi, mimikri, dan ciri-ciri ambilavalens sebagai akibat hegemoni kekuasaan yang dilakukan selama masa pendudukan.
Brosur-brosur yang menawarkan perumahan juga dilanda penyakit poskolonial. Dalam gambar-gambar rumah tersebut biasanya terdapat gambar atau foto orang di depannya sebagai penghuni. Anehnya, banyak kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, gambar atau foto yang ditampilkan justru berwajah orang Barat, seakan orang Indonesia tidak layak ditampilkan. Dalam realitanya pun tak ada orang Barat yang menghuni di kompleks perumahan seperti itu.
Tiap hari kita berhadapan dengan media massa. Begitu banyak iklan tentang kecantikan yang menawarkan “kulit menjadi lebih putih” dengan segala akibat positifnya. Hampir semua adegan iklan menggambarkan bahwa “si kulit putih” menjadi pusat perhatian dan unggul sehingga “si kulit yang lain” menjadi rendah diri, bahkan mengutuk kodratnya. Kita digiring ke persoalan ras sehingga kulit yang berwarna “sawo matang”, “coklat”, atau “hitam” dipandang lebih buruk dan dijauhi sehingga perlu “diputihkan”. Hegemoni seperti ini menjadikan para perempuan terperangkap dalam mitos kulit putih dan ingin mimikri atau menirunya secara instan hingga berefek buruk bagi kesehatan. Bila di Indonesia para perempuan disuguhi obat “pemutih” kulit, apakah di Barat juga ditawarkan obat “penghitam”, “pencoklat” atau pewarna yang lain? Rasanya kita belum pernah mendengarnya.
Krisis identitas, khususnya yang berkaitan dengan ras, menjadi semakin melebar. Identitas kulit putih ditambahkan lagi dengan warna rambut. Jangan heran bila masyarakat yang mengalami krisis identitas banyak yang menyemir rambutnya seperti warna rambut orang bule. Hidung mereka juga dipermak agar menjadi mancung seperti ras orang bule. Tempat tinggal mereka, arsitektur rumah atau kota, banyak menampilkan model atau patung-patung dari negeri orang bule. Sinetron atau acara-acara televisi pun, meski berkaitan dengan bersoalan lokal, tampak ada selera untuk mengedepankan bintang orang bule, setidak-tidaknya berdarah indo. Mirip dengan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan di atas, para selebritis juga lebih suka kawin dengan pria bule. Sampai-sampai ada sindiran, alangkah enaknya menjadi bule, meski gelandangan, asal mau sedikit bergaya di Indonesia, tentu akan digaet oleh artis. Hibridasi ini kerap berantakan di tengah jalan karena kegagalan menjinakkan identitas kultural, seakan-akan membenarkan paham kolonialis, “Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak dapat disatukan”.
Kolonialisme telah menyatukan dirinya dengan kapitalisme. Media global yang dimiliki oleh para pemodal besar begitu gencar melancarkan invasi ekonomis. Masalah gaya hidup yang berkaitan dengan 3F (Fashion, Fun, dan Food) serta 3S (sex, sport, science/technology) menjadi tema yang dipompakan dari detik ke detik. Kiblat yang dituju sangat jelas, yaitu mengajak hidup konsumtif sebagai bagian dari rantai industri. Perlawanan terhadapnya memang tidak mudah. Yang paling umum dimunculkan adalah hibridasi “glokal”, “berpikir global tetapi berkepribadian lokal” sebagaimana disimbolkan oleh tokoh Marineti dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.
Kolonialisme menimbulkan residu berkepanjangan dan memiliki dampak yang kompleks. Saat masa pergantian rezim, seperti ditulis Leela Gandhi, masyarakat poskolonial mengalami ambivalensi kultural, antara lain, ditandai dengan retorika kemerdekaan dan euforia swapenciptaan yang kreatif, penuh dengan kebingungan dan ketakutan akan kegagalan menciptakan kondisi dan organ-organ baru, dipaksa menegosiasikan berbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historis, terpedaya dalam harapan bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara cepat, adanya aparat kebebasan yang tak tampak dan tekanan ketidakbebasan yang tersembunyi, jejak-jejak dan kenangan residual terhadap subordinasi, kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang tersamar.
Munculnya kerusuhan di sekitar pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, antara lain, juga disebabkan oleh ambivalensi kultural. Tafsir poskolonial otonomi daerah tidak lain adalah terlepasnya simpul-simpul kekuasaan pusat dan diambil alih daerah. Dari tafsir demokrasi, otonomi daerah pada awalnya dikonsepkan untuk memberdayakan daerah agar lebih kreatif dan mandiri dalam pengelolaan pemerintahan, lama-lama mengalami polarisasi ke ajang pertarungan kekuasaan dan kapitalisasi. Kolonialisme yang identik dengan kekuasaan mengejawantah dalam bentuk politik uang. Mereka yang memiliki uang dan bernafsu menjadi penguasa akan membeli hak-hak rakyat, bahkan menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan ketika syahwat kekuasaan tak dapat dipuaskan.
Kolonialisme mencengkeram kekuasaan untuk mengeruk _ultura. Syahwat politik dikeloni agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Mereka yang berkuasa akan terus berusaha untuk merebut lagi pada periode berikutnya. Bila tak mungkin, istri atau anak merekalah yang dipompa untuk maju. Kekuasaan adalah investasi modal yang nantinya harus kembali dengan jumlah yang melimpah-limpah. Korupsi akhirnya merajalela. Identitas _ultural makin terpuruk. Hidup dipenuhi janji-janji dan slogan-slogan yang ambivalens. Itulah sebagian wajah _ultural kita.
*Untuk Irfa di Ngudirejo yang selalu berjuang melawan kolonialisme.
**Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar