A. Rego S. Ilalang
http://sastra-indonesia.com/
Saat Itu dan Nyatanya Saat Ini
Arus globalisasi yang terus bergulir, liberalisasi perdagangan dengan perdagangan bebas seiring dengan perkembangan teknologi membawa perubahan peradaban manusia. Dengan proses pergerakan yang percepatannya tinggi. Banyak sekali kebudayaan yang masuk (diimpor dengan sengaja) ke negara yang sedang carut-marut perekonomiannya seperti Indonesia saat ini.
Menilik kenyataannya di mana budaya-budaya lokal termarginalkan dan kalah bersaing dengan budaya impor. Dari kondisi yang memprihatinkan itu selayaknya muncul kegelisahan untuk melakukan proses-proses menata ulang kembali dari pelaku-pelaku kesenian (praktisi) juga masyarakat secara keseluruhan. Sebagai wujud resistensi terhadap budaya-budaya asing yang deras menggelontor mengisi sisi-sisi dan ruang-ruang kehidupan bangsa ini.
Memang tidak dapat dipungkiri perubahan harus terjadi. Secara nyata sekali dengan perubahan pola pikir masyarakat juga mempengaruhi kebiasaan-kecenderungan perilaku. Dalam hal ini kesenian juga tereduksi fungsinya hingga yang semula sebagai alat kontemplatif dan reflektif, sekarang hanya sebagai sekedar hobby dan klangenan sebagian kecil masyarakat serta hiburan untuk kebanyakan.
Kesenian secara keseluruhan menempati posisi alternatif untuk perubahan, kontemplatif, reflektif, rekreatif, informatif, edukatif, propagandis, klangenan dan unsur lainnya yang menjadi perilaku masyarakat dalam kehidupan. Di samping juga menjadi penanda budaya. Untuk lebih kreatif dan berwawasan lebih dengan apresiasi dan berkarya lewat kesenian. Di samping juga untuk ikut memberikan sumbangsih dalam membangun tatanan kehidupan. Gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.(Peribahasa)
Kesenian (teater, musik, tari, lukis, kerajinan, sastra, dll) selalu tidak terlepas dari apa yang didapatkan dalam keseharian pelakunya. Mulai dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dari persoalan dan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat lingkungan sekitar. Untuk dapat membaca dan menginterpretasikan sebuah wacana yang berkembang (di lingkungan terdekat) dibutuhkan kemampuan intelektualitas, daya nalar, kepekaan sosial dalam kerangka empati. Seorang pelaku seni harus memiliki kemampuan interpretasi yang cukup untuk nantinya diimplementasikan dalam wujud karya seni. Karya seni tidak ada yang tidak menghasilkan apa-apa, kesenian memberi pengaruh eksplisit pada diri ataupun jiwa. Kesenian juga bukan sekadar media untuk menuangkan pemikiran, ide-ide kreatif, kegelisahan, dan ganjalan perasaan saja. Kesenian merupakan suatu karya refleksi dan kontemplatif sebagai alat pencurahan bagi manusia yang mau menorehkan sesuatu yang ada baik dalam rasa maupun pikirannya untuk menuju kesadaran.
Dan demikian karya adalah alat komunikasi antara pelaku kesenian dengan penikmat seni. Untuk bersama-sama memikirkan, menerjemahkan dan sedapat mungkin mencari solusi penyikapan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi. Dengan pembongkaran orientasi sikap, pikiran, watak dan perilaku yang jelas membutuhkan keberanian dan kelegawaan mengakui kondisi kebudayaan bangsa saat ini sedang sekarat dan terjerat pada ruang-ruang yang linglung.
Menilik kehidupan dengan kompleksitasnya kesenian merupakan kebutuhan sebagai penyeimbang dan perimbangan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan rekreatif dan membangun pola komunikasi antar individu dalam masyarakat.
Sering kali perubahan seiring perubahan jaman melupakan jati diri yang menjadi karakteristik bangsa. Terjadinya proses reduksi dari gencarnya seduksi tanpa disadari akan mempersempit ruang-ruang (kesenian). Akankah kita pasrah dan membiarkan itu terus terjadi?
Imajinasi dalam Berkarya Seni
Ada istilah kontemplasi atau kontemplatif dalam kesenian (proses berkesenian). Yaitu perenungan atau pengendapan dari telaah teori, fraksis/realita dan imajiner (imajinasi). Imajinasi dalam telaahnya dibutuhkan kepekaan pandangan dan pemikiran serta daya intuitif untuk mencari solusi/resolusi dari permasalahan. Imajinasi sendiri bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau direka-reka “ala kadarnya” tanpa alasan logis. Tetapi yang dimaksud imajinasi di sini adalah kembaraan pikiran yang mempunyai kemampuan menembus batas ruang, waktu dan dimensional pikiran. Dalam berimajinasi, intelektualitas, intuisi/kepekaan dan pengalaman adalah mutlak adanya. Untuk menghadirkan hasil imajinasi yang mempunyai nilai tawar dan mempunyai kegunaan baik untuk diri sendiri maupun orang lain (jelas dalam wujud karya).
Pelaku seni tidak hanya pandai meniru saja. Tetapi harus kreatif menciptakan hal-hal baru yang inovatif. Serta juga mengenal lingkungan, relevansi dan korelasi kekinian serta aspek-aspek moral yang ada di tempat ia berada. Dimaksudkan agar kesenian tidak semakin ekslusif dan terpisahkan dari masyarakatnya. Karena semua yang dilakukan oleh pelaku kesenian berdasar dan bertanggungjawab tidak ngawur dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara intuitif juga secara logis.
Di samping itu untuk mewujudkan pencitraan, karakteristik dari pelaku dan kesenian itu sendiri. Kepekaan (daya intuitif) terhadap fenomena sosial yang terjadi sangat penting untuk membawa kesenian jadi up to date (tidak ketinggalan jaman), wajar, estetik dan artistik tanpa meninggalkan semangat lokalitas yang menjadi nilai-nilai kearifan.
***
*Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
http://sastra-indonesia.com/
Saat Itu dan Nyatanya Saat Ini
Arus globalisasi yang terus bergulir, liberalisasi perdagangan dengan perdagangan bebas seiring dengan perkembangan teknologi membawa perubahan peradaban manusia. Dengan proses pergerakan yang percepatannya tinggi. Banyak sekali kebudayaan yang masuk (diimpor dengan sengaja) ke negara yang sedang carut-marut perekonomiannya seperti Indonesia saat ini.
Menilik kenyataannya di mana budaya-budaya lokal termarginalkan dan kalah bersaing dengan budaya impor. Dari kondisi yang memprihatinkan itu selayaknya muncul kegelisahan untuk melakukan proses-proses menata ulang kembali dari pelaku-pelaku kesenian (praktisi) juga masyarakat secara keseluruhan. Sebagai wujud resistensi terhadap budaya-budaya asing yang deras menggelontor mengisi sisi-sisi dan ruang-ruang kehidupan bangsa ini.
Memang tidak dapat dipungkiri perubahan harus terjadi. Secara nyata sekali dengan perubahan pola pikir masyarakat juga mempengaruhi kebiasaan-kecenderungan perilaku. Dalam hal ini kesenian juga tereduksi fungsinya hingga yang semula sebagai alat kontemplatif dan reflektif, sekarang hanya sebagai sekedar hobby dan klangenan sebagian kecil masyarakat serta hiburan untuk kebanyakan.
Kesenian secara keseluruhan menempati posisi alternatif untuk perubahan, kontemplatif, reflektif, rekreatif, informatif, edukatif, propagandis, klangenan dan unsur lainnya yang menjadi perilaku masyarakat dalam kehidupan. Di samping juga menjadi penanda budaya. Untuk lebih kreatif dan berwawasan lebih dengan apresiasi dan berkarya lewat kesenian. Di samping juga untuk ikut memberikan sumbangsih dalam membangun tatanan kehidupan. Gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.(Peribahasa)
Kesenian (teater, musik, tari, lukis, kerajinan, sastra, dll) selalu tidak terlepas dari apa yang didapatkan dalam keseharian pelakunya. Mulai dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dari persoalan dan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat lingkungan sekitar. Untuk dapat membaca dan menginterpretasikan sebuah wacana yang berkembang (di lingkungan terdekat) dibutuhkan kemampuan intelektualitas, daya nalar, kepekaan sosial dalam kerangka empati. Seorang pelaku seni harus memiliki kemampuan interpretasi yang cukup untuk nantinya diimplementasikan dalam wujud karya seni. Karya seni tidak ada yang tidak menghasilkan apa-apa, kesenian memberi pengaruh eksplisit pada diri ataupun jiwa. Kesenian juga bukan sekadar media untuk menuangkan pemikiran, ide-ide kreatif, kegelisahan, dan ganjalan perasaan saja. Kesenian merupakan suatu karya refleksi dan kontemplatif sebagai alat pencurahan bagi manusia yang mau menorehkan sesuatu yang ada baik dalam rasa maupun pikirannya untuk menuju kesadaran.
Dan demikian karya adalah alat komunikasi antara pelaku kesenian dengan penikmat seni. Untuk bersama-sama memikirkan, menerjemahkan dan sedapat mungkin mencari solusi penyikapan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi. Dengan pembongkaran orientasi sikap, pikiran, watak dan perilaku yang jelas membutuhkan keberanian dan kelegawaan mengakui kondisi kebudayaan bangsa saat ini sedang sekarat dan terjerat pada ruang-ruang yang linglung.
Menilik kehidupan dengan kompleksitasnya kesenian merupakan kebutuhan sebagai penyeimbang dan perimbangan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan rekreatif dan membangun pola komunikasi antar individu dalam masyarakat.
Sering kali perubahan seiring perubahan jaman melupakan jati diri yang menjadi karakteristik bangsa. Terjadinya proses reduksi dari gencarnya seduksi tanpa disadari akan mempersempit ruang-ruang (kesenian). Akankah kita pasrah dan membiarkan itu terus terjadi?
Imajinasi dalam Berkarya Seni
Ada istilah kontemplasi atau kontemplatif dalam kesenian (proses berkesenian). Yaitu perenungan atau pengendapan dari telaah teori, fraksis/realita dan imajiner (imajinasi). Imajinasi dalam telaahnya dibutuhkan kepekaan pandangan dan pemikiran serta daya intuitif untuk mencari solusi/resolusi dari permasalahan. Imajinasi sendiri bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau direka-reka “ala kadarnya” tanpa alasan logis. Tetapi yang dimaksud imajinasi di sini adalah kembaraan pikiran yang mempunyai kemampuan menembus batas ruang, waktu dan dimensional pikiran. Dalam berimajinasi, intelektualitas, intuisi/kepekaan dan pengalaman adalah mutlak adanya. Untuk menghadirkan hasil imajinasi yang mempunyai nilai tawar dan mempunyai kegunaan baik untuk diri sendiri maupun orang lain (jelas dalam wujud karya).
Pelaku seni tidak hanya pandai meniru saja. Tetapi harus kreatif menciptakan hal-hal baru yang inovatif. Serta juga mengenal lingkungan, relevansi dan korelasi kekinian serta aspek-aspek moral yang ada di tempat ia berada. Dimaksudkan agar kesenian tidak semakin ekslusif dan terpisahkan dari masyarakatnya. Karena semua yang dilakukan oleh pelaku kesenian berdasar dan bertanggungjawab tidak ngawur dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara intuitif juga secara logis.
Di samping itu untuk mewujudkan pencitraan, karakteristik dari pelaku dan kesenian itu sendiri. Kepekaan (daya intuitif) terhadap fenomena sosial yang terjadi sangat penting untuk membawa kesenian jadi up to date (tidak ketinggalan jaman), wajar, estetik dan artistik tanpa meninggalkan semangat lokalitas yang menjadi nilai-nilai kearifan.
***
*Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar