Gandis Uka
http://sastra-indonesia.com/
Bulan pecah di dada Martono, Hari-hari Martono yang tidak jelas semakin suram, kesuraman itu ia rasakan bagai diskotik yang selalu lolos dari obraan Satpol PP, dalam kenikmatan itu ia isi dengan mabuk-mabukan, musik-musik koplo dan tentu saja ia mengundang Sumi sebagai bintang penari ‘Strip’ yang sensasional, jika sudah demikian ia akan tertawa bahagia bagai raja penguasa padang sahara. Tidak ada orang lain dalam diskotik itu kecuali Martono dan Sumi.
“Sialan!” Umpat martono yang tidak jelas sembari menerawang langitlangit pos ronda, pandangan matanya yang tajam dengan dahi mengkerut menandakan ia sedang berfikir keras menembus gentinggenting yang mulai kropos, ia rebahkan tubuh gembulnya, sedang kakinya ia sandarkan membujur ke atas pada sekat pos ronda yang tingginya hanya 60 cm, jari kirinya mengapit sepuntung rokok, sesekali ia hisap kemudian memainkan asapnya dengan membentuk huruf “O”.
“Hoe!”
Martono njingkat dengan suara yang tibatiba muncul dari belakang karena berbarengan dengan amben yang digebrak, martono pun terbatuk kemudian duduk.
“Sialan kamu Jon, gak tahu orang lagi sumpek malah dikageti, aku jotos baru tahu rasa kamu”. Sungut martono.
“Walllah.. aku cuma bercanda lho Ton, gitu aja diseriusi”. Martono melengos kesal “Lha kamu juga pagipagi sudah melamun mbok ya cari kerja dari pada kluyarkluyur gak karuan.”
“Aaahh! Kamu jangan banyak ngomong kayak Emakku!” Bentak martono.
“Yo wes.. Ogak…” Jono terdiam sesaat kemudian melanjutkan setelah mengawasi Martono dengan seksama. “Kamu ini kenapa gak seperti biasanya yang beringas, bedigas, pagipagi gini biasanya sudah nongkrong di pasar majekin orangorang, tapi hari ini kamu kok lemes gitu gak bergairah, lempek, sulek, kenapa kamu itu? Lha malah ini satu, dua, tiga,….” Jono menghitung puntung rokok yang sudah berjumlah lima belas batang di dalam asbak dekat Martono “Whiikkk.. lima belas batang rokok sudah kamu hisap hari ini, mau bunuh diri kamu?!” Ungkap Jono heran dengan nada sedikit meninggi, namun Martono tak acuh, beberapa saat kemudian Martono bercerita datar.
“Kamu tahu apa yang membuatku seperti ini?”
Mata Martono mendelik tepat di muka Jono dengan sinar menelisik menusuk jantung, melihat temannya tak memberikan jawaban Martono semakin mendekatkan wajahnya pada Jono, matanya semakin melotot dan merah sehingga memerahkan hidung, pipi, menjalar ke telinga, tibatiba mata Martono berubah berbinar sayu, bibirnya pun menyunggingkan senyum yang membuatnya terlihat manis dan baik hati, namun Jono masih menggeleng dengan sedikit mundur, takut dengan apa yang hendak dilakukan sahabatnya itu. Mengetahui temannya salah tingkah Martono ingin tertawa namun ia tahan. Martono kembali bersandar menghisap dalamdalam rokoknya, menghembuskan asap yang panjang layaknya uap kereta api tahun 90-an, kemudian mengeluarkan sebatang rokok yang masih utuh, ia ciumi batang rokok itu, diolesoleskan di pipi, di bibir bahkan ia olesoleskan di (maaf) kemaluannya, Jono mengernyit ngeri melihat tingkah laku temannya yang semakin aneh sambil terus menggelenggeleng heran, apa yang telah membuat temannya tibatiba tidak waras.
“Sumi.” Desah Martono yang masih terus mendengus batang rokok di tangannya.
“Ha?!” Seperti apa yang kita duga Jono tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Bokongnya bahenol, betisnya lancir, kulitnya kinyiskinyis dan bibirnya (sambil memonyongkan bibir) emmmuuuach… Sensual…” Martono berbisik dengan mendekat lagi pada wajah Jono “Aku keblinger sama Sumi.” tibatiba suasana berubah, Martono tersipu malu, lain halnya dengan Jono yang spontan ngakak terpingkalpingkal tidak peduli kalau wajah Martono berubah merah padam karena merasa dilecehkan.
“Martono… Martono… Preman kampung yang ditakuti orang ini sedang jatuh cinta to?” Ledek Jono dengan tidak berhenti dari tertawanya.
“Hussh!! Aku bekep mulutmu pakek sendal nyahok kamu!”
“Sabar Bos… Sabar…” Jono mulai menguasai diri untuk tidak tertawa meski hatinya masih geli, “Hmm… Kamu bisa tertarik sama cewek juga? Aku pikir kamu gak normal.”
Spontan Martono bangkit meraih sendal “Ooo..!! pancen mulutmu minta dibekep!”
“Ampun Ton, ampun, ampun, aku cuma bercanda.”
“Bercandamu kelewatan!” Sungut Martono.
“Iyo, iyo. Ampun, aku ini cuma kaget, sabar sedikit kenapa.”
Martono melengos mengambil duduk, bersandar kembali memainkan rokokrokoknya, sedangkan Jono salah tingkah ingin bertanya takut kena damprat. Keheningan sesaat tak tertahankan karena rasa ingin tahu Jono semakin membuncah melihat tingkah laku sahabatnya memperlakukan batang rokok seperti manusia.
“Kamu menyukai Sumi, tapi kenapa kamu dengan rokok itu….” Jono tak hendak melanjutkan kalimatnya menunjuk rokok dan Martono yang semakin mesra.
“Rokokrokok ini adalah buatan Sumi, aku bisa merasakan bau tubuhnya, halus tangannya dari batang rokok ini.”
“Owalah Ton, masak iya, lha wong Sumi itu satu dari sepuluh ribu karyawan yang ada, bagaimana kamu bisa membedakan?”
“Bisa! coba kamu cium rokok ini.” Martono menyodorkan sebatang rokok ke hidung Jono dengan semangat, Jono ragu namun ia ikuti juga perintah temannya, “Benar kan mirip bau badan Sumi?” Jono mengernyit lantas kembali mencium batang rokok lainnya. Tiba-tiba Jono membanting rokok itu.
“Yadalah… dasar preman gebleg, ya jelas mirip bau badan Sumi lha wong Sumi kerja di pabrik rokok, terang aja bau badane mirip mbako.”
Meski yang dikatakan sahabatnya benar Martono tetap kesal, ia merampas lagi rokokrokoknya.
Harihari Martono yang tidak jelas semakin suram, kesuraman itu ia rasakan bagai diskotik yang selalu lolos dari obraan Satpol PP, dalam kenikmatan itu ia isi dengan mabukmabukan, musikmusik koplo dan tentu saja ia mengundang Sumi sebagai bintang penari ‘Strip’ yang sensasional, jika sudah demikian ia akan tertawa bahagia bagai raja penguasa padang Sahara. Tidak ada orang lain dalam diskotik itu kecuali Martono dan Sumi, sedang lainnya hanya nyamuk karena diskotik dengan segala isinya hanya lamunannya saja, ia akan sadar lantas mengumpat apabila nyamuk telah menggigit mukanya.
“Tono!” bentak Jono yang menyebabkan Martono terkaget dan menumpahkan sebagian isi alkohol ke baju.
“Arrghh! Lagi-lagi kamu Jon! Bosan hidup ya kamu!” Bentak Martono yang semakin sengit.
“Ampun, ampun, aku ke sini membawa kabar penting, jangan marah dulu.”
“Kabar penting apa?!”
“Si Sumi.”
“Sumi kenapa?” Martono menarik leher baju Jono.
“Aku melihat Sumi dibonceng cowok lain.”
“Yang benar kamu!”
“Benar, mana mungkin aku bohong.”
“Antarkan aku ke sana.”
Martono dengan keadaan sempoyongan membonceng Jono dengan kencang berharap mengejar Sumi dan leleki itu, di dalam rumah penduduk mereka ngebut, tidak peduli membahayakan pengguna jalan lainnya, Martono kalap. Mereka melaju sesuai arah yang ditunjukkan Jono mengarah ke jalan raya dan lebih tepatnya ke arah Alon-alon kota.
“Nah, Nah, itu mereka.” Tunjuk Jono dengan tergopoh.
“Arrgghh, brengsek! Berani benar bocah itu, akan kuhajar dia.” Martono kembali manarik gas motornya, tak sadar keadaan dirinya sedang mabuk setelah menenggak beberapa botol alkohol, sedang Sumi beserta pasangannya tidak curiga sama sekali jika ada yang menguntit di belakang dengan sleat-sleot, malahan Sumi menyalakan rokok untuk pasangannya, bagai Roro Mendut yang sedang menjajakan rokok. Lelaki itu sangat menikmati lantas Sumi memeluknya semakin erat, sedang dua orang yang terus menguntitnya semakin kepanasan, apa lagi abu rokok pasangan Sumi diterpa angin dan mengenai wajah Martono yang tepat di belakang mereka.
“Waduh jangkrik!” Martono hendak menyalip, namun naas ketika ia membanting setir ke kanan ada sebuah mobil yang melaju dengan kencang menyenggol kendaraanya hingga mereka terjatuh dan ban depan mengenai ban belakang kendaraan Sumi hingga mengagetkan pasangan Sumi dengan menjatuhkan puntung rokok tepat di baju Martono yang sebelumnya terkena alkohol ditambah tumpahnya bensin yang meluber sehingga “Bum!!” ledakan tidak terelakkan, puntung rokok yang membuatnya keblinger telah merenggut nyawanya.
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
http://sastra-indonesia.com/
Bulan pecah di dada Martono, Hari-hari Martono yang tidak jelas semakin suram, kesuraman itu ia rasakan bagai diskotik yang selalu lolos dari obraan Satpol PP, dalam kenikmatan itu ia isi dengan mabuk-mabukan, musik-musik koplo dan tentu saja ia mengundang Sumi sebagai bintang penari ‘Strip’ yang sensasional, jika sudah demikian ia akan tertawa bahagia bagai raja penguasa padang sahara. Tidak ada orang lain dalam diskotik itu kecuali Martono dan Sumi.
“Sialan!” Umpat martono yang tidak jelas sembari menerawang langitlangit pos ronda, pandangan matanya yang tajam dengan dahi mengkerut menandakan ia sedang berfikir keras menembus gentinggenting yang mulai kropos, ia rebahkan tubuh gembulnya, sedang kakinya ia sandarkan membujur ke atas pada sekat pos ronda yang tingginya hanya 60 cm, jari kirinya mengapit sepuntung rokok, sesekali ia hisap kemudian memainkan asapnya dengan membentuk huruf “O”.
“Hoe!”
Martono njingkat dengan suara yang tibatiba muncul dari belakang karena berbarengan dengan amben yang digebrak, martono pun terbatuk kemudian duduk.
“Sialan kamu Jon, gak tahu orang lagi sumpek malah dikageti, aku jotos baru tahu rasa kamu”. Sungut martono.
“Walllah.. aku cuma bercanda lho Ton, gitu aja diseriusi”. Martono melengos kesal “Lha kamu juga pagipagi sudah melamun mbok ya cari kerja dari pada kluyarkluyur gak karuan.”
“Aaahh! Kamu jangan banyak ngomong kayak Emakku!” Bentak martono.
“Yo wes.. Ogak…” Jono terdiam sesaat kemudian melanjutkan setelah mengawasi Martono dengan seksama. “Kamu ini kenapa gak seperti biasanya yang beringas, bedigas, pagipagi gini biasanya sudah nongkrong di pasar majekin orangorang, tapi hari ini kamu kok lemes gitu gak bergairah, lempek, sulek, kenapa kamu itu? Lha malah ini satu, dua, tiga,….” Jono menghitung puntung rokok yang sudah berjumlah lima belas batang di dalam asbak dekat Martono “Whiikkk.. lima belas batang rokok sudah kamu hisap hari ini, mau bunuh diri kamu?!” Ungkap Jono heran dengan nada sedikit meninggi, namun Martono tak acuh, beberapa saat kemudian Martono bercerita datar.
“Kamu tahu apa yang membuatku seperti ini?”
Mata Martono mendelik tepat di muka Jono dengan sinar menelisik menusuk jantung, melihat temannya tak memberikan jawaban Martono semakin mendekatkan wajahnya pada Jono, matanya semakin melotot dan merah sehingga memerahkan hidung, pipi, menjalar ke telinga, tibatiba mata Martono berubah berbinar sayu, bibirnya pun menyunggingkan senyum yang membuatnya terlihat manis dan baik hati, namun Jono masih menggeleng dengan sedikit mundur, takut dengan apa yang hendak dilakukan sahabatnya itu. Mengetahui temannya salah tingkah Martono ingin tertawa namun ia tahan. Martono kembali bersandar menghisap dalamdalam rokoknya, menghembuskan asap yang panjang layaknya uap kereta api tahun 90-an, kemudian mengeluarkan sebatang rokok yang masih utuh, ia ciumi batang rokok itu, diolesoleskan di pipi, di bibir bahkan ia olesoleskan di (maaf) kemaluannya, Jono mengernyit ngeri melihat tingkah laku temannya yang semakin aneh sambil terus menggelenggeleng heran, apa yang telah membuat temannya tibatiba tidak waras.
“Sumi.” Desah Martono yang masih terus mendengus batang rokok di tangannya.
“Ha?!” Seperti apa yang kita duga Jono tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Bokongnya bahenol, betisnya lancir, kulitnya kinyiskinyis dan bibirnya (sambil memonyongkan bibir) emmmuuuach… Sensual…” Martono berbisik dengan mendekat lagi pada wajah Jono “Aku keblinger sama Sumi.” tibatiba suasana berubah, Martono tersipu malu, lain halnya dengan Jono yang spontan ngakak terpingkalpingkal tidak peduli kalau wajah Martono berubah merah padam karena merasa dilecehkan.
“Martono… Martono… Preman kampung yang ditakuti orang ini sedang jatuh cinta to?” Ledek Jono dengan tidak berhenti dari tertawanya.
“Hussh!! Aku bekep mulutmu pakek sendal nyahok kamu!”
“Sabar Bos… Sabar…” Jono mulai menguasai diri untuk tidak tertawa meski hatinya masih geli, “Hmm… Kamu bisa tertarik sama cewek juga? Aku pikir kamu gak normal.”
Spontan Martono bangkit meraih sendal “Ooo..!! pancen mulutmu minta dibekep!”
“Ampun Ton, ampun, ampun, aku cuma bercanda.”
“Bercandamu kelewatan!” Sungut Martono.
“Iyo, iyo. Ampun, aku ini cuma kaget, sabar sedikit kenapa.”
Martono melengos mengambil duduk, bersandar kembali memainkan rokokrokoknya, sedangkan Jono salah tingkah ingin bertanya takut kena damprat. Keheningan sesaat tak tertahankan karena rasa ingin tahu Jono semakin membuncah melihat tingkah laku sahabatnya memperlakukan batang rokok seperti manusia.
“Kamu menyukai Sumi, tapi kenapa kamu dengan rokok itu….” Jono tak hendak melanjutkan kalimatnya menunjuk rokok dan Martono yang semakin mesra.
“Rokokrokok ini adalah buatan Sumi, aku bisa merasakan bau tubuhnya, halus tangannya dari batang rokok ini.”
“Owalah Ton, masak iya, lha wong Sumi itu satu dari sepuluh ribu karyawan yang ada, bagaimana kamu bisa membedakan?”
“Bisa! coba kamu cium rokok ini.” Martono menyodorkan sebatang rokok ke hidung Jono dengan semangat, Jono ragu namun ia ikuti juga perintah temannya, “Benar kan mirip bau badan Sumi?” Jono mengernyit lantas kembali mencium batang rokok lainnya. Tiba-tiba Jono membanting rokok itu.
“Yadalah… dasar preman gebleg, ya jelas mirip bau badan Sumi lha wong Sumi kerja di pabrik rokok, terang aja bau badane mirip mbako.”
Meski yang dikatakan sahabatnya benar Martono tetap kesal, ia merampas lagi rokokrokoknya.
Harihari Martono yang tidak jelas semakin suram, kesuraman itu ia rasakan bagai diskotik yang selalu lolos dari obraan Satpol PP, dalam kenikmatan itu ia isi dengan mabukmabukan, musikmusik koplo dan tentu saja ia mengundang Sumi sebagai bintang penari ‘Strip’ yang sensasional, jika sudah demikian ia akan tertawa bahagia bagai raja penguasa padang Sahara. Tidak ada orang lain dalam diskotik itu kecuali Martono dan Sumi, sedang lainnya hanya nyamuk karena diskotik dengan segala isinya hanya lamunannya saja, ia akan sadar lantas mengumpat apabila nyamuk telah menggigit mukanya.
“Tono!” bentak Jono yang menyebabkan Martono terkaget dan menumpahkan sebagian isi alkohol ke baju.
“Arrghh! Lagi-lagi kamu Jon! Bosan hidup ya kamu!” Bentak Martono yang semakin sengit.
“Ampun, ampun, aku ke sini membawa kabar penting, jangan marah dulu.”
“Kabar penting apa?!”
“Si Sumi.”
“Sumi kenapa?” Martono menarik leher baju Jono.
“Aku melihat Sumi dibonceng cowok lain.”
“Yang benar kamu!”
“Benar, mana mungkin aku bohong.”
“Antarkan aku ke sana.”
Martono dengan keadaan sempoyongan membonceng Jono dengan kencang berharap mengejar Sumi dan leleki itu, di dalam rumah penduduk mereka ngebut, tidak peduli membahayakan pengguna jalan lainnya, Martono kalap. Mereka melaju sesuai arah yang ditunjukkan Jono mengarah ke jalan raya dan lebih tepatnya ke arah Alon-alon kota.
“Nah, Nah, itu mereka.” Tunjuk Jono dengan tergopoh.
“Arrgghh, brengsek! Berani benar bocah itu, akan kuhajar dia.” Martono kembali manarik gas motornya, tak sadar keadaan dirinya sedang mabuk setelah menenggak beberapa botol alkohol, sedang Sumi beserta pasangannya tidak curiga sama sekali jika ada yang menguntit di belakang dengan sleat-sleot, malahan Sumi menyalakan rokok untuk pasangannya, bagai Roro Mendut yang sedang menjajakan rokok. Lelaki itu sangat menikmati lantas Sumi memeluknya semakin erat, sedang dua orang yang terus menguntitnya semakin kepanasan, apa lagi abu rokok pasangan Sumi diterpa angin dan mengenai wajah Martono yang tepat di belakang mereka.
“Waduh jangkrik!” Martono hendak menyalip, namun naas ketika ia membanting setir ke kanan ada sebuah mobil yang melaju dengan kencang menyenggol kendaraanya hingga mereka terjatuh dan ban depan mengenai ban belakang kendaraan Sumi hingga mengagetkan pasangan Sumi dengan menjatuhkan puntung rokok tepat di baju Martono yang sebelumnya terkena alkohol ditambah tumpahnya bensin yang meluber sehingga “Bum!!” ledakan tidak terelakkan, puntung rokok yang membuatnya keblinger telah merenggut nyawanya.
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar