Ahmad Ikhwan Susilo
http://sastra-indonesia.com/
I
Udara kering dini hari ini masih membuatku terjaga. Dan sudah menjadi kebiasaanku untuk duduk di beranda bilamana aku terjaga dari tidur dan ingin menyendiri. Dua hari yang lalu istriku menerima sepucuk surat yang diantar oleh tukang pos ketika aku pergi ke Pairara. Istriku tak tahu menahu surat itu. Dia hanya berkata dari jauh. Tak ada nama pengirim. Hanya sebuah amplop kuning kecoklatan dengan tempelan dua perangko bergambar tiga kawanan Kanguru sedang berlarian yang bertuliskan; untuk kawan lamaku di Tanah Timor.
Aku mulai menduga…
II
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kukasihi.
Aku tahu kamu marah sebelum membaca tulisan ini. Kamu lebih senang melihat kehadiranku, bukan selembar tulisan dan potret masa lalu. Aku minta kamu juga mengerti keadaanku di sini. Aku berjanji pasti akan kembali. Kau masih ingat, suatu hari aku dari Dili pergi ke Lospalos hanya dengan modal satu dollar Amerika, di bawah standar kehidupan orang miskin. Aku menahan lapar di tengah jalan, tersesat di jalan dua arah menunggu bus di kota Baucau ditemani sebatang rokok. Tetapi aku selalu menepati janji. Anggaplah aku ketinggalan kereta dan sedang berjalan kaki pulang ke kampung halaman. Di tengah jalan aku menemukan banyak kehidupan yang sangat beragam warnanya. Lalu kutulis dalam sebuah cerita perjalanan seorang pengembara mencari cinta, perdamaian, dan keadilan.
Sekarang ini tidak seperti dulu lagi. Kata orang dunia sudah berubah. Aku tertawa sendiri mendengar itu. Dunia sebenarnya tidak berubah, yang berubah adalah manusia yang menghancurkan dunia. Waktu kita masih bersama dalam situasi politik yang hampir mencengkram leher dan urat nadi kita, kita hampir mati dalam gelombang laut musim barat. Aku pikir mungkin pak polisi dan tentara melihat kita berdua sebagai menu makanan yang tidak mengundang selera makan mereka. Sehingga kita diberi kesempatan untuk hidup, dan bercerita kisah yang hampir hilang dari ingatan kita.
Aku masih ingat betul, kamu belajar gitar dari aku, sementara aku belajar mencintai perempuan dan makan sehat darimu. Kadang-kadang kamu mengajakku makan malam bersamamu di rumah dinas berwarna putih seperti kulitmu. Makanan yang sangat enak dan lezat buatan ibumu. Aku suka sekali dengan sambal jeruk nipis. Ibumu melihatku seperti anaknya sendiri. Almarhum bapakmu seorang pegawai, sedangkan bapakku seorang polisi yang digaji rendah. Meski begitu, aku tetap bangga dan kagum terhadap profesinya.
Kita pernah berjanji untuk katakan ‘tidak’ pada segala jenis merek rokok yang menghancurkan hidup kita. Namun itu hanya omong kosong. Mungkin karena darah kita yang masih segar atau barangkali kita seperti anak kecil yang suka main kotor dan makan tanah. Itulah proses kehidupan, bagaimana manusia ingin mandi kalau dia sendiri belum kotor.
Kita pernah bermain mobil-mobilan di bawah pohon beringin besar dekat rumahku. Kamu memiliki mobil plastik koleksi terbaru. Orangtuamu sangat memperhatikanmu dalam hal mainan. Mereka memanjakanmu sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Sementara aku bermain dengan mobil buatanku sendiri. Bahan-bahannya dari sepotong kayu kering dan kaleng bekas dengan paku berjumlah delapan belas. Kita bermain bersama adik-adik membuat jalan kecil. Mengangkut tanah dan batu manjadi benteng pertahanan kita, seperti kota Berlin kecil dengan desain arsitek amburadul.
Aku juga masih ingat ketika mabuk Colombus dari orang-orang Buton sebagai tanda perdamaian antara aku dengan istri pak Samsudin yang mukanya penuh dengan jerawat. Hanya gara-gara aku meminta istrinya untuk menghidupkan tape Polytron yang tidak terawat itu untuk menghiburku di pagi hari yang buta. Suaminya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi dengan alasan aku mencoba merayu istrinya yang sudah dikaruniai dua anak. Gila saja! Ini tidak adil bagiku karena aku tidak memiliki rencana untuk melakukan hal semacam itu. Sampai akhirnya pak polisi Mas’ud dari Bima bersama Justino dari Moru Parlamento dengan motor RX-Kingnya mencari aku sampai di SMP Lautem. Waktu itu aku sudah tahu kedatangan polisi. Aku berusaha menghindarinya. Di pagi yang buta aku berlari sampai ke kampung Liarava. Sembunyi di asrama anak Soikili dan Iraonu. Kami makan jagung rebus dan ubi kayu. Kami bercanda tawa. Bercerita penuh bangga tentang reputasiku yang jelek di masyarakat.
Ah, betapa hebatnya pengalaman remaja dulu. Aku sungguh tak bisa melupakannya. Sungguh.
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kurindukan.
Aku ingat dengan jelas bahwa malam itu udara begitu dingin, begitu pekat gelap yang menyelimuti. Iringan suara jangkrik seperti paduan suara di Opera House Sydney menemani langkahku menembus malam menuju Lautem. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba ada bisikan datang dari pasar gelap itu.
“Itu mungkin Robin, tapi kenapa dia tidak pakai baju? Coba kau panggil, Karlito.” Ujar pak Samada.
Karlito mulai memanggilku, “Robin, darimana kamu?”
Aku sedikit takut mendengar suara itu. Aku jawab, “Aku dari kampung Liarava. Apakah kalian bersama polisi?”
“O, tidak, kami bersama pak Samada, Rudi, dan Germano. Pak Samada memanggilmu, Robin. Dia dari tadi cari kamu.”
Dengan berat hati kulangkahkan kakiku ke pasar gelap itu. Di situ telah menunggu kau, pak Samada, dan Germano. Kulihat wajahmu begitu gusar. Dan aku sendiri mungkin terlihat pasi. Kita pun beranjak ke rumah orang Buton itu untuk berdamai.
Betapa girangnya aku sesampainya di sana. Kita langsung disuruh makan. Aku begitu menikmati. Ada ikan merah besar, bir ABC lima kaleng, dan dua botol Colombus. Sungguh, sebuah tanda perdamaian yang sangat menyenangkan.
Alkohol mulai mengotrol tubuhku. Aku merasa darahku tidak berwarna merah lagi. Bola mataku seperti Bob Marley menghisap ganja. Aku mulai ngomong dengan suara keras dan tertawa sendiri seperti orang gila dalam lagu Iwan Fals. Kita pulang dari rumah orang Buton itu. Kau memapahku karena tubuhku mulai melayang ringan. Aku berjalan sempoyongan. Tentu kau ingat, ketika kita sampai di depan kantor polisi aku mulai berteriak dengan lantang.
“Hei, Justino! kita punya masalah belum selesai, selama tanganku belum kena mukamu. Kamu ingat itu! Kamu bisa lapor ke komandanmu. Aku tidak takut sama kalian semua. Selamat tidur.” Setelah itu kita pergi. Aku mabuk berat malam itu.
III
Sebentar lagi subuh dan aku masih terjaga. Pagi ini tak begitu dingin. Aku mulai beranjak dari dudukku sedari tadi. Saatnya membuat segelas kopi lagi. Aku melangkah tenang menuju dapur. Berusaha tak membuat gaduh. Kulihat istriku begitu lelap tertidur. Aku yakin masih ada sisa air panas dalam termos juga sebungkus kopi racikan istriku. Dia pandai sekali dalam mengolah kopi. Sering kalinya aku ceritakan kepada teman-temanku bagaimana kehebatan istriku dalam meracik kopi. Hingga bilamana ada teman atau sanak saudara beranjang ke rumah kami, selalu kami bawakan kopi sebagai oleh-oleh. Memang dalam hal rasa dan selera kopi aku cukup angkuh.
Peristiwa itu sudah 26 tahun berlalu. Aku hampir melupa bila surat itu tak datang. Aku tersenyum mengingat setiap detil kebersamaan kami. Waktu darah muda dan semangat pemberontakan membanjiri tubuh. Waktu kami merasa sama hebatnya dengan Nino Konis Santana yang kenyang melahap peluru-peluru TNI.
Barangkali tanggung rasanya bila tidur pagi ini. Kurenggangkan tubuhku sejenak. Kutarik nafas. Dalam. Lalu kuhembuskan dengan perlahan. Otakku kembali segar. Segera kubuka sebungkus rokok. Kuambil sebatang. Kusulut.
Aku kembali membaca surat itu…
IV
Rudy kawanku,
Aku tahu cerita ini sudah basi di telinga orang-orang yang pernah memfitnah kita yang hidup di zaman itu. Aku tidak akan lagi menceritakannya kepada mereka. Aku hanya akan bercerita kepada anak cucu kita, generasi yang akan datang, bayi-bayi yang baru lahir, dan embrio-embrio yang sedang tumbuh dalam rahim pasangan anak muda yang mungkin besok akan menikah. Aku ingin mereka tahu sebuah kisah yang pernah terjadi di negeri ini. Aku bercerita secara jujur apa adanya. Apakah aku salah? Apakah aku sok moralis?
Ah, sungguh aku tidak ingin hidup kembali di zaman itu. Aku tidak mau seperti jagoan dalam film India yang memukul orang-orang sampai babak belur. Dan ketika kita masih remaja yang sering menghancurkan tenda-tenda pernikahan. Lorong gelap itu sudah terlalu tua untuk aku berjalan. Aku ingin membuka lembaran baru. Seperti seorang kakek tua yang rajin mandi sehari tiga kali di bawah air mancur sambil mengambil batu kecil digosokkan dari ujung kaki sampai rambut. Berlama-lama main air.
Mulai membuat jadwal menengok tetangga sebelah. Bangun lebih awal lalu membuat kopi. Mengantar anakku ke sekolah. Membaca sebuah novel. Mengajar bahasa kepiting kepada anakku. Mendengar alunan reggae di pagi hari. Sambil melihat laut dan nelayan yang mulai sibuk. Kehidupan yang damai bagi aku untuk belajar. Ah, aku merasa tua sekarang.
Kau tahu, sekarang aku pun mulai rajin berdoa. Hal ini aku pelajari dari kamu ketika dulu kita berada dalam kondisi yang terjepit. Waktu kita pertama kali tinggal satu rumah untuk bersekolah di Lospalos. Malam itu kita menyalakan dua lilin besar lalu berdoa Bapa Kami dan doa Rosario. Aku melihat kamu sangat serius seolah-olah kamu melihat malaikat datang dari surga atau sedang berkomunikasi dengan Tuhan Yesus. Dalam hatiku, aku tertawa kecil. Kamu benar-benar berubah malam itu. Imanmu lebih kuat dari pada aku. Sepertinya kamu cocok menjadi seorang katekis atau mungkin besok lusa mau jadi pastor. Aha, dalam hati aku tertawa terpingkal.
Setelah selesai berdoa lilin kamu matikan dengan tanganmu. Tidak sampai lima menit, tiba-tiba di luar rumah ada bunyi-bunyi sepatu boat tentara Indonesia. Ada orang sedang berjalan mengelilingi rumah kita, dan awalnya kita tidak takut. Di dalam rumah sangat gelap. Kita tidak saling melihat satu sama lain. Belum ada listrik. Rencananya lusa baru kita pasang. Tiba-tiba terdengar lagi di luar, bunyi sepatu semakin lama semakin banyak. Aku sempat berpikir ada apa sebenarnya. Aku berbisik ke telingamu; mungkin ada intel yang sedang mengikuti langkah kita. Dan memang daerah ini banyak intelnya pak Thomas. Pemimpin Alfa di Lospalos di bawah Kopasus di Laulara.
Dalam gelap itu kita terus berbisik-bisik. Mungkin di antara kita ada yang bekerja sama dengan para pemimpin pemberontak. Sampai bau klandestinnya tercium oleh hidung pak Thomas yang lubangnya semakin besar. Aku juga sudah mulai takut. Di tanganku ada samurai panjang milikmu. Dalam hatiku aku mulai berdoa. Makanya sampai sekarang kadang aku berpikir, kita akan mengingat Tuhan pada saat masuk gereja. Setelah keluar kita lupa. Seperti dalam cerita kita ini.
Ah, kawanku Rudi Marsal Pires
Semakin cerita itu aku kenang semakin aku rindu pula kehadiranmu di sini. Kini tanah kita telah merdeka. Namun apakah manusianya juga telah merdeka? Banyak nyawa yang terlalu sia-sia melayang. Darah yang terlalu suci tercecer. Tangisan yang tiada henti yang terlalu sesak jika aku mengenangnya lagi. Semoga kini jauh lebih baik.
Kau tahu betapa aku merindukan aroma tanah kampung kita. Entah kapan aku bisa menciumnya kembali. Karena aku telah memilih kemerdekaanku sendiri di sini.
V
Aku menerawang jauh menelusuri temaram kampung.
Membayang betapa dia begitu bahagia dengan kemerdekaannya. Kemerdekaan yang dulu sama-sama kami inginkan. Dan aku yakin tak ada satu pun di antara kami yang ingin mengulang masa-masa gelap itu di tanah kami.
Lembar-lembar surat itu telah selesai aku baca. Membuatku merasa merindukan kehadirannya. Mengulang segala cerita-cerita yang pernah kami torehkan. Bergurau sambil meminum dua botol Colombus.
Ingin rasanya segera aku ceritakan kabar baik ini kepadanya bersama angin malam yang mendesis pelan menyapu lembut wajahku.
Kampung kita sudah selayaknya kota. Kita telah memiliki pasar sendiri. Lebih ramai dari pasar-pasar yang lain. Di mana segala sayur dan buah banyak dijual di sini. Hingga kentang-kentang dari Baucau dan Maubisse terpaksa dijual di sini karena distrik tidak menghasilkan cukup untuk kebutuhan. Warga kampung kita pun masih giat menanam bunga. Walaupun potensi penjualannya masih rendah, namun sangat diperlukan bila ada perayaan agama, pesta perkawinan, dan prosesi pemakaman.
Para warga kini bingung melihat musim yang datang. Semua tak tentu. Hujan yang biasa datang dua kali seminggu di bulan Mei hingga Juli kini tidak bisa lagi dipastikan. Entah berapa tahun lagi Sungai Ribeiraraumoco, Ralailaba dan Danau Ira Lalaro mampu menjadi sumber air utama ketika musim kemarau tiba.
Anak-anak banyak yang telah sekolah. Sekolah-sekolah pun sedikit demi sedikit mulai diperbaiki hingga layak digunakan. Begitu juga dengan jalan-jalan kampung kita.
Dan yang lebih penting dari semua itu, kini tak ada lagi peluru-peluru yang menembus tubuh-tubuh tak berdosa hingga darah-darah tak perlu lagi tercecer sia-sia.
Suatu waktu bilamana rindumu sudah tak tertahan, pulanglah dan jenguk kampungmu ini. Ciumlah aroma tanah kebebasannya. Tanah kita. Lospalos…
Jogjakarta – Pare, Mei 2010
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
http://sastra-indonesia.com/
I
Udara kering dini hari ini masih membuatku terjaga. Dan sudah menjadi kebiasaanku untuk duduk di beranda bilamana aku terjaga dari tidur dan ingin menyendiri. Dua hari yang lalu istriku menerima sepucuk surat yang diantar oleh tukang pos ketika aku pergi ke Pairara. Istriku tak tahu menahu surat itu. Dia hanya berkata dari jauh. Tak ada nama pengirim. Hanya sebuah amplop kuning kecoklatan dengan tempelan dua perangko bergambar tiga kawanan Kanguru sedang berlarian yang bertuliskan; untuk kawan lamaku di Tanah Timor.
Aku mulai menduga…
II
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kukasihi.
Aku tahu kamu marah sebelum membaca tulisan ini. Kamu lebih senang melihat kehadiranku, bukan selembar tulisan dan potret masa lalu. Aku minta kamu juga mengerti keadaanku di sini. Aku berjanji pasti akan kembali. Kau masih ingat, suatu hari aku dari Dili pergi ke Lospalos hanya dengan modal satu dollar Amerika, di bawah standar kehidupan orang miskin. Aku menahan lapar di tengah jalan, tersesat di jalan dua arah menunggu bus di kota Baucau ditemani sebatang rokok. Tetapi aku selalu menepati janji. Anggaplah aku ketinggalan kereta dan sedang berjalan kaki pulang ke kampung halaman. Di tengah jalan aku menemukan banyak kehidupan yang sangat beragam warnanya. Lalu kutulis dalam sebuah cerita perjalanan seorang pengembara mencari cinta, perdamaian, dan keadilan.
Sekarang ini tidak seperti dulu lagi. Kata orang dunia sudah berubah. Aku tertawa sendiri mendengar itu. Dunia sebenarnya tidak berubah, yang berubah adalah manusia yang menghancurkan dunia. Waktu kita masih bersama dalam situasi politik yang hampir mencengkram leher dan urat nadi kita, kita hampir mati dalam gelombang laut musim barat. Aku pikir mungkin pak polisi dan tentara melihat kita berdua sebagai menu makanan yang tidak mengundang selera makan mereka. Sehingga kita diberi kesempatan untuk hidup, dan bercerita kisah yang hampir hilang dari ingatan kita.
Aku masih ingat betul, kamu belajar gitar dari aku, sementara aku belajar mencintai perempuan dan makan sehat darimu. Kadang-kadang kamu mengajakku makan malam bersamamu di rumah dinas berwarna putih seperti kulitmu. Makanan yang sangat enak dan lezat buatan ibumu. Aku suka sekali dengan sambal jeruk nipis. Ibumu melihatku seperti anaknya sendiri. Almarhum bapakmu seorang pegawai, sedangkan bapakku seorang polisi yang digaji rendah. Meski begitu, aku tetap bangga dan kagum terhadap profesinya.
Kita pernah berjanji untuk katakan ‘tidak’ pada segala jenis merek rokok yang menghancurkan hidup kita. Namun itu hanya omong kosong. Mungkin karena darah kita yang masih segar atau barangkali kita seperti anak kecil yang suka main kotor dan makan tanah. Itulah proses kehidupan, bagaimana manusia ingin mandi kalau dia sendiri belum kotor.
Kita pernah bermain mobil-mobilan di bawah pohon beringin besar dekat rumahku. Kamu memiliki mobil plastik koleksi terbaru. Orangtuamu sangat memperhatikanmu dalam hal mainan. Mereka memanjakanmu sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Sementara aku bermain dengan mobil buatanku sendiri. Bahan-bahannya dari sepotong kayu kering dan kaleng bekas dengan paku berjumlah delapan belas. Kita bermain bersama adik-adik membuat jalan kecil. Mengangkut tanah dan batu manjadi benteng pertahanan kita, seperti kota Berlin kecil dengan desain arsitek amburadul.
Aku juga masih ingat ketika mabuk Colombus dari orang-orang Buton sebagai tanda perdamaian antara aku dengan istri pak Samsudin yang mukanya penuh dengan jerawat. Hanya gara-gara aku meminta istrinya untuk menghidupkan tape Polytron yang tidak terawat itu untuk menghiburku di pagi hari yang buta. Suaminya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi dengan alasan aku mencoba merayu istrinya yang sudah dikaruniai dua anak. Gila saja! Ini tidak adil bagiku karena aku tidak memiliki rencana untuk melakukan hal semacam itu. Sampai akhirnya pak polisi Mas’ud dari Bima bersama Justino dari Moru Parlamento dengan motor RX-Kingnya mencari aku sampai di SMP Lautem. Waktu itu aku sudah tahu kedatangan polisi. Aku berusaha menghindarinya. Di pagi yang buta aku berlari sampai ke kampung Liarava. Sembunyi di asrama anak Soikili dan Iraonu. Kami makan jagung rebus dan ubi kayu. Kami bercanda tawa. Bercerita penuh bangga tentang reputasiku yang jelek di masyarakat.
Ah, betapa hebatnya pengalaman remaja dulu. Aku sungguh tak bisa melupakannya. Sungguh.
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kurindukan.
Aku ingat dengan jelas bahwa malam itu udara begitu dingin, begitu pekat gelap yang menyelimuti. Iringan suara jangkrik seperti paduan suara di Opera House Sydney menemani langkahku menembus malam menuju Lautem. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba ada bisikan datang dari pasar gelap itu.
“Itu mungkin Robin, tapi kenapa dia tidak pakai baju? Coba kau panggil, Karlito.” Ujar pak Samada.
Karlito mulai memanggilku, “Robin, darimana kamu?”
Aku sedikit takut mendengar suara itu. Aku jawab, “Aku dari kampung Liarava. Apakah kalian bersama polisi?”
“O, tidak, kami bersama pak Samada, Rudi, dan Germano. Pak Samada memanggilmu, Robin. Dia dari tadi cari kamu.”
Dengan berat hati kulangkahkan kakiku ke pasar gelap itu. Di situ telah menunggu kau, pak Samada, dan Germano. Kulihat wajahmu begitu gusar. Dan aku sendiri mungkin terlihat pasi. Kita pun beranjak ke rumah orang Buton itu untuk berdamai.
Betapa girangnya aku sesampainya di sana. Kita langsung disuruh makan. Aku begitu menikmati. Ada ikan merah besar, bir ABC lima kaleng, dan dua botol Colombus. Sungguh, sebuah tanda perdamaian yang sangat menyenangkan.
Alkohol mulai mengotrol tubuhku. Aku merasa darahku tidak berwarna merah lagi. Bola mataku seperti Bob Marley menghisap ganja. Aku mulai ngomong dengan suara keras dan tertawa sendiri seperti orang gila dalam lagu Iwan Fals. Kita pulang dari rumah orang Buton itu. Kau memapahku karena tubuhku mulai melayang ringan. Aku berjalan sempoyongan. Tentu kau ingat, ketika kita sampai di depan kantor polisi aku mulai berteriak dengan lantang.
“Hei, Justino! kita punya masalah belum selesai, selama tanganku belum kena mukamu. Kamu ingat itu! Kamu bisa lapor ke komandanmu. Aku tidak takut sama kalian semua. Selamat tidur.” Setelah itu kita pergi. Aku mabuk berat malam itu.
III
Sebentar lagi subuh dan aku masih terjaga. Pagi ini tak begitu dingin. Aku mulai beranjak dari dudukku sedari tadi. Saatnya membuat segelas kopi lagi. Aku melangkah tenang menuju dapur. Berusaha tak membuat gaduh. Kulihat istriku begitu lelap tertidur. Aku yakin masih ada sisa air panas dalam termos juga sebungkus kopi racikan istriku. Dia pandai sekali dalam mengolah kopi. Sering kalinya aku ceritakan kepada teman-temanku bagaimana kehebatan istriku dalam meracik kopi. Hingga bilamana ada teman atau sanak saudara beranjang ke rumah kami, selalu kami bawakan kopi sebagai oleh-oleh. Memang dalam hal rasa dan selera kopi aku cukup angkuh.
Peristiwa itu sudah 26 tahun berlalu. Aku hampir melupa bila surat itu tak datang. Aku tersenyum mengingat setiap detil kebersamaan kami. Waktu darah muda dan semangat pemberontakan membanjiri tubuh. Waktu kami merasa sama hebatnya dengan Nino Konis Santana yang kenyang melahap peluru-peluru TNI.
Barangkali tanggung rasanya bila tidur pagi ini. Kurenggangkan tubuhku sejenak. Kutarik nafas. Dalam. Lalu kuhembuskan dengan perlahan. Otakku kembali segar. Segera kubuka sebungkus rokok. Kuambil sebatang. Kusulut.
Aku kembali membaca surat itu…
IV
Rudy kawanku,
Aku tahu cerita ini sudah basi di telinga orang-orang yang pernah memfitnah kita yang hidup di zaman itu. Aku tidak akan lagi menceritakannya kepada mereka. Aku hanya akan bercerita kepada anak cucu kita, generasi yang akan datang, bayi-bayi yang baru lahir, dan embrio-embrio yang sedang tumbuh dalam rahim pasangan anak muda yang mungkin besok akan menikah. Aku ingin mereka tahu sebuah kisah yang pernah terjadi di negeri ini. Aku bercerita secara jujur apa adanya. Apakah aku salah? Apakah aku sok moralis?
Ah, sungguh aku tidak ingin hidup kembali di zaman itu. Aku tidak mau seperti jagoan dalam film India yang memukul orang-orang sampai babak belur. Dan ketika kita masih remaja yang sering menghancurkan tenda-tenda pernikahan. Lorong gelap itu sudah terlalu tua untuk aku berjalan. Aku ingin membuka lembaran baru. Seperti seorang kakek tua yang rajin mandi sehari tiga kali di bawah air mancur sambil mengambil batu kecil digosokkan dari ujung kaki sampai rambut. Berlama-lama main air.
Mulai membuat jadwal menengok tetangga sebelah. Bangun lebih awal lalu membuat kopi. Mengantar anakku ke sekolah. Membaca sebuah novel. Mengajar bahasa kepiting kepada anakku. Mendengar alunan reggae di pagi hari. Sambil melihat laut dan nelayan yang mulai sibuk. Kehidupan yang damai bagi aku untuk belajar. Ah, aku merasa tua sekarang.
Kau tahu, sekarang aku pun mulai rajin berdoa. Hal ini aku pelajari dari kamu ketika dulu kita berada dalam kondisi yang terjepit. Waktu kita pertama kali tinggal satu rumah untuk bersekolah di Lospalos. Malam itu kita menyalakan dua lilin besar lalu berdoa Bapa Kami dan doa Rosario. Aku melihat kamu sangat serius seolah-olah kamu melihat malaikat datang dari surga atau sedang berkomunikasi dengan Tuhan Yesus. Dalam hatiku, aku tertawa kecil. Kamu benar-benar berubah malam itu. Imanmu lebih kuat dari pada aku. Sepertinya kamu cocok menjadi seorang katekis atau mungkin besok lusa mau jadi pastor. Aha, dalam hati aku tertawa terpingkal.
Setelah selesai berdoa lilin kamu matikan dengan tanganmu. Tidak sampai lima menit, tiba-tiba di luar rumah ada bunyi-bunyi sepatu boat tentara Indonesia. Ada orang sedang berjalan mengelilingi rumah kita, dan awalnya kita tidak takut. Di dalam rumah sangat gelap. Kita tidak saling melihat satu sama lain. Belum ada listrik. Rencananya lusa baru kita pasang. Tiba-tiba terdengar lagi di luar, bunyi sepatu semakin lama semakin banyak. Aku sempat berpikir ada apa sebenarnya. Aku berbisik ke telingamu; mungkin ada intel yang sedang mengikuti langkah kita. Dan memang daerah ini banyak intelnya pak Thomas. Pemimpin Alfa di Lospalos di bawah Kopasus di Laulara.
Dalam gelap itu kita terus berbisik-bisik. Mungkin di antara kita ada yang bekerja sama dengan para pemimpin pemberontak. Sampai bau klandestinnya tercium oleh hidung pak Thomas yang lubangnya semakin besar. Aku juga sudah mulai takut. Di tanganku ada samurai panjang milikmu. Dalam hatiku aku mulai berdoa. Makanya sampai sekarang kadang aku berpikir, kita akan mengingat Tuhan pada saat masuk gereja. Setelah keluar kita lupa. Seperti dalam cerita kita ini.
Ah, kawanku Rudi Marsal Pires
Semakin cerita itu aku kenang semakin aku rindu pula kehadiranmu di sini. Kini tanah kita telah merdeka. Namun apakah manusianya juga telah merdeka? Banyak nyawa yang terlalu sia-sia melayang. Darah yang terlalu suci tercecer. Tangisan yang tiada henti yang terlalu sesak jika aku mengenangnya lagi. Semoga kini jauh lebih baik.
Kau tahu betapa aku merindukan aroma tanah kampung kita. Entah kapan aku bisa menciumnya kembali. Karena aku telah memilih kemerdekaanku sendiri di sini.
V
Aku menerawang jauh menelusuri temaram kampung.
Membayang betapa dia begitu bahagia dengan kemerdekaannya. Kemerdekaan yang dulu sama-sama kami inginkan. Dan aku yakin tak ada satu pun di antara kami yang ingin mengulang masa-masa gelap itu di tanah kami.
Lembar-lembar surat itu telah selesai aku baca. Membuatku merasa merindukan kehadirannya. Mengulang segala cerita-cerita yang pernah kami torehkan. Bergurau sambil meminum dua botol Colombus.
Ingin rasanya segera aku ceritakan kabar baik ini kepadanya bersama angin malam yang mendesis pelan menyapu lembut wajahku.
Kampung kita sudah selayaknya kota. Kita telah memiliki pasar sendiri. Lebih ramai dari pasar-pasar yang lain. Di mana segala sayur dan buah banyak dijual di sini. Hingga kentang-kentang dari Baucau dan Maubisse terpaksa dijual di sini karena distrik tidak menghasilkan cukup untuk kebutuhan. Warga kampung kita pun masih giat menanam bunga. Walaupun potensi penjualannya masih rendah, namun sangat diperlukan bila ada perayaan agama, pesta perkawinan, dan prosesi pemakaman.
Para warga kini bingung melihat musim yang datang. Semua tak tentu. Hujan yang biasa datang dua kali seminggu di bulan Mei hingga Juli kini tidak bisa lagi dipastikan. Entah berapa tahun lagi Sungai Ribeiraraumoco, Ralailaba dan Danau Ira Lalaro mampu menjadi sumber air utama ketika musim kemarau tiba.
Anak-anak banyak yang telah sekolah. Sekolah-sekolah pun sedikit demi sedikit mulai diperbaiki hingga layak digunakan. Begitu juga dengan jalan-jalan kampung kita.
Dan yang lebih penting dari semua itu, kini tak ada lagi peluru-peluru yang menembus tubuh-tubuh tak berdosa hingga darah-darah tak perlu lagi tercecer sia-sia.
Suatu waktu bilamana rindumu sudah tak tertahan, pulanglah dan jenguk kampungmu ini. Ciumlah aroma tanah kebebasannya. Tanah kita. Lospalos…
Jogjakarta – Pare, Mei 2010
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar