Rabu, 24 Agustus 2011

Produksi Budaya, Orisinalitas, Dan Selera Kolektif

Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Jurnal Jombangana, Nov 2010

Mengetengahkan persoalan bagaimana kegiatan keseharian sebagai reperesentasi konsumsi narasi menjadi sesuatu yang sedang mengalami masa pasang. Setelah ilmu sosial menampilkan tema-tema gigantis tentang kuasa politik sebagai satuan utama dalam mencari kualitas kebebasan manusia, berganti menjadi pembahasan yang berkaitan dengan kedekatan antar personal dengan kelengkapan-kelengkapan simbolisnya.
Peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu yang pendek lebih disukai daripada membayangkan milenearisme, tindakan yang berhubungan dengan benda-benda dan logika keseharian yang akrab menjadi lebih penting daripada membayangkan konsep-konsep yang tidak dapat diraba langsung. Ini bukan sebuah gejala posmodernisme, melainkan kebutuhan untuk bereaksi langsung dengan ekonomi tanda menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda. Bahkan negara yang tidak ingin kehilangan popularitasnya harus bersinergi dengan tema-tema seperti ini, realisasi kongkritnya ada pada kebijakan publik.

Susah untuk membayangkan perkara-perkara seperti ini pada masyarakat yang masih berdekatan dengan komitmen metafisik dalam memutuskan mana yang baik dan buruk yang umumnya ada pada zaman-zaman ideologi. Zaman dimana kebutuhan melanggengkan nalar-nalar keagungan manusia dalam term borjuisme lama. Dibutuhkan kesantunan berpikir yang bahkan meminta gerakan-gerakan ideologis paling liar untuk beradaptasi. Hingga zaman modernisme, tidak ada yang layak dibicarakan oleh mereka-mereka yang menginkan perubahan dalam cara melihat konstruksi kreatif. Hanya yang berani untuk berubah dari dalam dan mendapat saat yang tepat untuk meluncurkannya dihadapan publik yang memiliki potensi pembaharuan, Arnold Schoenberg misalnya. Pergantian pikiran filosofis Schoenberg adalah persoalan temperamen. Sebagai anak asli Wina dia memilki bnayak pilihan. Pandangan umum mengenai eksistensi pada masa mudanya berupa kesinisan ringan, dengan sedikit warna ironi. Kecanggihan kelas menengahnya secara garis besar didasarkan pada derajat kemampuan menyikapi persoalan budaya dengan jernih. Bahkan seniman-seniman waktu itu diharapkan untuk bersikap bijak, menjaga argumen-argumen mereka selaras dengan café. Begitu kuatnya atmosfir ini menekan untuk menyatakan idealismenya dalam tingkat yang sangat menyiksa hati, padahal energi yang dimilikinya bisa diserap oleh bagian besar lain Eropa.

Kegiatan kultural merefleksikan penekanan salah satu fungsi eksistensial manusia yang dianggap sebagai hal paling utama dalam masyarakat, dan hal itu memiliki perbedaan-perbedaan seiring dengan siklus dominasi. Pergantian tendensi bukan sesuatu yang aneh dalam masyarakat meskipun bisa dikatakan terdapat stabilitas struktural yang inhern dan menjadi identitas yang bisa dijadikan acuan dalam kurun waktu lama. Pada masyarakat kontemporer praktik keseharian terproyeksikan dalam produk-produk kultural yang dalam proses apresiasinya sendiri sudah mengisyratkan dibutuhkannya penggalan tertentu dari manusia untuk dikuatkan.

Penciptaan film di Iran, kenangan yang kuat berdasar tradisi Muharram memberikan alasan yang tidak bisa dikesampingkan. Bagaimana film yang salah satu media seni era produksi massal bisa menjadi alat yang tepat untuk menyebarkan spektrum mistisisme mullah. Logika komodifikasi dibawah kapitalisme telah membawa kepada sebuah bentuk pencitraan yang mereduksi dunia imajinal ke dalam dunia inderawi. Sebagai akibatnya persepsi indera manusia terkorupsi dengan penggunaannya dalam proses karakterisasi dan produksi, proses pengutaraan voyeuristic dan fetishistic membangun citra yang terkomodifikasi yang terdapat pada sinema dominan di untuk dianggapa sebagia realitas itu sendiri. Dengan logika ini, bagian-bagian perceptual para pengiman, setelah dimurnikan dapat mengakses dunia imajinal dan memanggil gambar-gambar bersanding bersama di ruang antah berantah (Na-koja-Abad) untuk memperbaiki kesalahan, melepaskan tubuh pengiman dari agressor-agresor. Banyak ucapan dan tulisan Ayatollah Khomeini menegaskan bahwa teknologi penglihatan dan pendengaran, sebagai perluasan prostetik dari penginderaan tubuh kolektif nasional, sekali dimurnikan akan memungkinkan pengiman untuk mengakses dunia imajinal – sebuah dunia di luar semua koordinat.

Apapun kepentingannya, semua berkaitan dengan konsumsi ide dan sebelah mana bagian dari eksistensi yang paling membutuhkan prioritas sangat menyangkut yang terjadi hari ini. Bagain paling mendesak harus segera dipenuhi dan untuk mencukupinya kadang perlu persediaan yang diasumsikan, investasi yang cukup untuk menjamin masyrakat tidak gelisah dan mampu untuk menenangkan mereka. Salah satu hal penting dalam diskusi sosiologi saaat ini, modal sosial.

Modal sosial menarik bagi teoritisi sosial selain alas an integritas asli kelanjutan profesional dalam upaya menjaga jarak dari neo-liberalisme, negaraisme (statism), reduksionoisme, Marxisme, posmodernisme, dan isme-isme yang lain yang telah menjadi kebiasaan dilecehkan sebagai symbol-simbol dogmatisme dan kurangnya sikap realistis. Dan masalah positif modal sosial sebab dapat dijadikan kerangka peran untuk dimainkan dalam pembangunan ekonomi dan sosial oleh masyarakat sipil atau apa saja yang terdapat diantara pasar dan negara.

Perkiraan Ben Fine itu bukan sesuatu yang benar-benar steril, bahkan untuk kepentingan paling praktis sekalipun. Sisi tersembunyi dalam kepala manusia selalu mengindikasikan yanng ideal dan tidak terlihat langsung dalam kesibukan yang sadar, dengan tetap berhati-hati terhadap abosulutisme psikoanalitik, kadar delusi selalu butuh interpretasi yang seringkali hanya bisa tampak melalui strategi hasrat. Semuanya menjadi lebih kentara dalam pilihan konsumsi.

Permintaan akan barang dianggap sebagai agregat dan konsekwensinya mengganti sifat personal kebutuhan menjadi suatu amuk massa baik ukuran deografis dan populasi tertentu. Produsen hanya akan menanggapi permintaan sejauh itu memberikan selisih yang masuk akal. Kondisi yang dianggap masuk akal dalam pemenuhan benda budaya, baik yang abstrak maupun material, diukur melalui kesenangan umum. Keberlimpahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kesenangan akan selalu dapat diserap oleh masyarakat dibandingkan ekstasi yang rumit. Singkatnnya, tidak ada lagi nilai obyektif sebuah produk budaya, melainkan kesenangan yang bisa masuk dalam jangkauan pasar. Metode untuk menanggapi pasar juga telah banyak mendukung, riset-riset sistematis tentang layak tidaknya produk dijual telah banyak dijumpai. Yang indah dan yang buruk bisa diukur dengan perilaku tergeneralisasi, yang jika kurang yakin lagi bisa ditambah dengan pemantapan penekanan-penekanan biologis. Seperti karya yang sedih harus mampu membuat audiens mencucurkan air mata dan kegembiraan diukur melalui nyaring tidaknya gelak tawa. Sesederhana itu.

Jika Kant mengizinkan bahwa karya keindahan dapat dibentuk oleh manusia dia akan mempertahankan pendapat karya tersebut sebagai obyek yang indah tidak dapat direduksi oleh aturan-aturan yang pasti. Dengan demikian dalam posisinya dia akan menyatakan karya seni mesti memaparkan orisinalitas. Tetapi penting untuk dicatat, dalam membuat klaim ini dia tidak bermaksud mengatakan karya seni dibuat tanpa beberapa aturan yang mengarahkan maksud apa yang disebut indah. Harus ada beberapa aturan, bahkan jika itu tidak dapat dibayangkan oleh kita secara pasti, tetapi kita tidak dapat berpendapat bahwa obyek yang dimaksudkan dibentuk sebagai karya indah dengan demikian dapat dikatakan sebagai seni. Dalam kebutuhan memenuhi permintaan akan keindahan di pasar, tidak ada orisinalitas. Yang dibutuhkan adalah bagaimana dibutuhkan aturan-aturan tertentu yang dengan redaksional terukur mampu menetapkan karya akan menjamin kelangsungan produksi atau seharusnya dikesampingkan saja.

Karya yang dapat dikatakan indah produksinya harus muncul dari bakat penciptanya, yang artinya sebuah tindakan orisinal. Itu mengapa Kant bersiteguh seniman haruslah seorang jenius, mereka menciptakan seni mereka tidak dengan mengikuti eturan-aturan pasti –bahkan yang secara tidak sadar- tetapi mereka sendiri yang harus memberikan aturan-aturan seni. Dengan demikian aturan ini tidak dapat dirumuskan dari konsep-konsep spesifik (yang dengannya kita dapat menentukan lebih jauh mana obyek yang indah), ini hanya bisa ditunjukkan dalam karya itu sendiri. Bahkan sang seniman sendiri tidak dapat menspesifikasi dalam sebuah tatanan algoritma bagaimana mereka bisa mencapai hasil itu.

Tindakan orisinal artistik yang mencoba beradaptasi dengan produksi massal memeang tidak akan selalu berakhir dengan kekecewaan, tetapi tidak banyak produsen yang cukup berani berjudi dengan situasi semacam ini. Dengan memperhatikan rating perolehan minat dalam masyrakat, sebuah produksi membayangkan konsep-konsep artistik yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Trend adalah ukuran utama, jika tidak menghiraukannya sama saja membuang modal. Modal ekonomi tidak selalu bersinggungan dengan modal kultural juga modal sosial.

Kant menyatakan berkaitan dengan orisinalitas, sebagai kondisi kejeniusan, karya yang diproduksi oleh pikiran orisinal harus menjadi teladan. Gagasannya adalah bahwa seseorang dapat menghasilkan karya orisinal yang non-sense atau sampah, dan kebanyakan karya secara nyata tidak cukup menjamin kita untuk mengatakannya sebagai sumbangan untuk fine art. Oleh karenanya apa yang dihasilkan oleh jenius harus menjadi teladan.dalam pengertian diperlakukan sebagai model atau standar keputusan untuk mengestimasi karya mereka dalam gaya yang sama (dalam rangka menfasilitasi perkembangan selera penikmat) dan dalam waktu yang sama sebagai stimulus jenius lainnya untuk membentuk kekuatan orisinal mereka sendiri kedalam irama kreatif. Sebuah karya jenius sejati mesti mampu menstimulasi imajinasi untuk membebaskan dirinya sendiri dari jeratan aturan-aturan tertentu, sementara pada saat yang sama bekerja dalam sebuah deretan dari ide-ide terpisah yang berkesesuaian dengan tuntutan untuk penyatuaan paham.

Produk artistik merupakan sekelumit dari kompleksitas kemasyarakatan yang secara bertahap mengalami perubahan dalam melihat prioritas kesehariannya. Konsumsi terhadap karya-karya teladan merupakan sebuah parameter keberhasilan mereka mendidik diri. Teladan seperti apakah yang menjadi panutan tergantung pada kesanggupan dan kemampuan mengurai realitas obyektif yang ada di dalamnya. Produk artistik tidak sekedar pelepasan, tetapi juga memberikan reaksi balik terhadap kelanjutan masyarakat itu sendiri. Saat ini nilai penting itu ditetapkan oleh agen-agen gagasan dengan pertimbangan diluar kepentingan untuk menstimulasi imajinasi, melainkan merawat kedalaman pengaruh lewat politisasi budaya untuk memuaskan fantasi tentang hegemoni yang sempit yang tidak bisa dijamin kualitas kritisnya.

Dengan sejarah budaya yang serba limbung, ditarik kesana kemari tanpa menawarkan produk yang lebih banyak lagi untuk dikonsumsi secara massal dan mempunyai integritas kritis, bukan kebiasaan yang bertanggung-jawab untuk melupakan pembahasan yang mendasar mengenai upaya penyediaan modal kultural dan sosial dalam usaha yang lebih berani. Mendasarkan diri pada pemujaan atas masa lalu dan chauvinisme paradigmatis yang hanya memuaskan secara artifisial atau menjadikannya sebagai senjata apa adanya dalam berhadapan dengan pihak luar, perlu lebih banyak lagi spekulasi yang imajinatif. Spekulasi yang menghindarkan publik dari kecenderungan kehilangan potensi yang lebih jauh untuk berada di dunia di luar semua koordinat Dengan beberapa aturan tentunya, bahkan jika itu tidak dapat dibayangkan oleh kita secara pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar