Penggalan Novel Sepasang Sayap di Punggungmu
Karya: Mangun Kuncoro
http://sastra-indonesia.com/
Waktu pun berputar begitu cepatnya membuat putaran-putaran ganda dalam kehidupan laksana kincir air yang disapu arus deras gelombang sungai. Fatan sudah jauh berjalan, entah dimana lagi Fatan menghentakkan kakinya, berjuta fenomena mewarnai perjalanan panjangnya, tapi sekali lagi, sejauh ini Fatan berjalan, dia belum menemukan apa-apa semakin jauh ia berjalan semakin ketidak mengertian mendera, selalu begitu tanda tanya besar selalu bersarang dalam benaknya membuatnya tenggelam dalam samudra ketidakmengertian.
Satu tahun setengah Fatan berjalan meninggalkan kawan-kawannya, kini mungkin sudah sampai penghujung dunia, jauh dari kehidupan, jauh dari keramaian hanya ada celotehan suara burung, gemeriuk air, deruan angin menyapa dedaunan, hanya itu yang mengisi kehidupan di tanah ini tiada orang, tiada hawa peradapan. Mungkin Fatan orang yang pertama menjejakkan kakinya disitu.
***
Fatan kini makin bingung, perjalanan tak mungkin lagi bisa dilanjut, sementara keindahan juga belum didapat. Bagaimana tidak daratan sudah sampai penghujung hanya samudra yang ditatap Fatan. Fatan kini hanya mampu tegak d iatas tumpukan pasir-pasir indah, menatap kosong menyaksikan indahnya mentari terbenam, memandang elok burung-burung saling nakal, sesekali ombak kecil menyapa kaki tanpa alas. Fikiran Fatan buncah entah kemana, ingin memaki Tuhan: tapi Fatan terteggun melihat keindahan ciptaanNya. Mau diam saja tetapi Fatan selalu dibuatNya bingung.
“Fatan … hidup terkadang tidak adil tapi terkadang ketidakadilan itu bisa membuat kita nyaman jika ketidakadilan itu kita warnai dengan keindahan.” terdengar dari arah belakang fatan.
Sentuhan lembut menepuk bahu Fatan. Serasa sentuhan yang belum pernah Fatan rasakan ; sentuhan hangat ; sentuhan sayang ; sentuhan cinta. Fatan pun tersentak merasakannya, membuyarkan lamunan sejenak akan keindahan yang diciptaNya.
Berjuta pertanyaan muncul dari benak Fatan : adakah orang disini? Siapa dia? Dia juga tahu namaku ? kata-kata itu ? Abah Amin . hanya itu yang ada di benak Fatan ‘Abah Amin’ karena hanya Abah Amin yang tahu tentang semua ini.
Fikir pendek Fatan membalikkan badan, dengan maksud menyakinkannya kalau itu Abah Amin. Dengan sigap dipeluknya tubuh besar berpakaian sederhana itu. Pelukan indah; pelukan kasih sayang menghangatkan tubuh Fatan, menghilangkan sejenak gemelut dalam hati dan benak Fatan.
Selang beberapa menit, Fatan sadar bahwa yang dipeluknya bukan Abah Amin. Fatan betul-betul paham akan perawakan Abah Amin dan dia bukanlah perawakan Abah Amin yang dikenal Fatan.
Fatan pun beranjak satu langkah ke belakang melepas pelukan indahnya. Gemetar pun terasa dari ujung kaki Fatan hingga menyelimuti seluruh tubuhnya, menggigil seluruh tubuh Fatan, ketakutan membungkus tubuhnya.
“Kau… jangan takut Fatan ! Aku juga sepertimu.” Laki-laki bertubuh besar itu hanya tersenyum melihat Fatan ketakutan.
“Kau siapa ? Orangkah ? Atau makhluk lain yang menghuni pantai ini ?atau malaikat keindahan?” gerutu fatan bingung akan kedatangan laki-laki bertubuh besar itu.
Laki-laki itu hanya bertahan dengan senyuman indah mendengar pertanyaan Fatan. Sementara Fatan menahan gemetar yang terus menggerakkan tubuhnya sambil memandang kaki laki-laki bertubuh besar itu. Menjejak tanah atau tidak, hanya itu yang Fatan amati karna hanya tanda itu yang mampu Fatan fahami untuk bisa menyakinkan bahwa dia benar-benar manusia.
“Aku manusia Fatan.”
Sekali lagi, laki-laki itu melontarkan senyuman indah pada Fatan. Fatan kini agak yakin kalau laki-laki itu benar-benar manusia, lewat tanda yang diamatinya.
“Kau tau namaku?”
“Yah aku tahu …. Fatan kan?
“Kau tau darimana?, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Aku tidak perlu menjelaskan semuanya padamu Fatan, yang terpenting aku faham akan dirimu.”
Fatan semakin bingung, sesekali Fatan memandangi wajah laki-laki itu, penuh tanda tanya, penuh kebimbangan, ketidak tahuan yang dalam teramat.
“Aku tidak mengerti akan maksudmu?”
“Kau tidak perlu mengerti Fatan, dan kau tak usah memikirkan siapa aku, duduk sini. Mendekatlah padaku! Kau tidak usah takut, bukannya kau sudah memastikan lewat penelitianmu, kalau aku sama sepertimu.” Senyum indah laki-laki bertubuh besar itu.
“Bagaimana orang itu bisa tahu tentang pengamatanku.” guman Fatan dalam hati. Fatan semakin bingung dan tidak mengerti akan semua ini, tapi Fatan bukan penakut, jiwa keberaniannya membuat kakinya beranjak mendekati laki-laki bertubuh besar itu.
***
Mentari indah kini sudah lenyap dari pandangan hanya menyisakan sia-sia sinarnya di langit-langit mega merah. Tenggelam dalam hamparan samudra nan luas. Fatan dan laki-laki bertubuh besar itu duduk bersampingan di atas bongkahan batu besar pinggiran pantai. Walau mentari sudah ditelan samudra, mega merah tak lagi mengangah, tapi rembulan mengantikannya, memancarkan sinar terindahnya. Fatan tak lagi menggigil gemetar ketakutan. Sedikit demi sedikit Fatan menetralisir rasa itu. Tampaknya Fatan begitu nyaman duduk di samping laki-laki bertubuh besar itu, walau sejuta pertanyaan bersarang dalam benaknya.
“Kau mencari keindahan itu Fatan. ”
“ Bagaimana kau bisa tau tentang itu?”
“Aku sudah bilang padamu, aku faham akan dirimu, mengapa kau tanyakan lagi?”Senyum indah pun kembali telontar untuk fatan.
“Aku semakin tidak mengerti akan maksudmu!”
“Fatan .. kau tau rembulan itu. Rembulan itu tidak semerta-merta indah seperti yang kita lihat sekarang, rembulan itu butuh proses untuk menjadi indah, awalnya rembulan itu hanya tampak sebagian, lebih dikenal dengan rembulan sabit. Pada saat rembulan itu masih tampak sabit mata pun tak akan terpesona olehnya, karena tidak memunculkan keindahan. Tapi rembulan tidak putus asa Fatan, dia akan selalu berproses sehingga menjadi indah, purnama bisa disebut: memancarkan keindahan membuat semua mata terpukau akan keindahannya, kau tau itu Fatan?”
Fatan pun hanya memilih untuk diam tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk sekedar menjawab pertanyaan laki-laki bertubuh besar itu, isarat pun tak dilontarkan oleh Fatan. Fatan hanyut dengan kebingungan, sementara laki-laki bertubuh besar itu hanya menyeringai melihat kebingungan yang bermuara di wajah Fatan, melontarkan senyuman indah tak bersalah kepada Fatan. Sesekali laki-laki itu mengelus indah bahu Fatan, dan Fatan memilih untuk tidak berontak sama sekali, hanya diam seperti seonggok patung yang tak bernyawa.
“Coba lihat tebing pinggir pantai itu Fatan. Indah bukan? Dulu sebelum kau datang kemari, tebing itu tak seindah sekarang, hanya gundukan batu jelek yang tak berarti, tak memunculkan keindahan sama sekali. Mata pun tak akan terpanah melihatnya, coba perhatikan, sekarang indah bukan? Menjorok ke pantai mempunyai relief yang indah sekali. Kau mesti tau Fatan, walau tebing itu dulu jelek, tidak indah sama sekali, tapi tebing itu selalu menerima akan keadaan, selalu tabah menerima deburan ombak-ombak yang siap mengikis bagian tubuhnya, coba kau lihat hasil dari ketabahan dan kerelaanya, parasnya menjadi elok bukan? Kau harus meniru tebing itu?”
Fatan semakin tidak mengerti akan maksud laki-laki bertubuh besar itu, fikirannya kini semakin membuncah tak mampu mengidentifikasi keadaan sama sekali, hanya mampu menatap kosong wajah teduh laki-laki bertubuh besar itu, sementara laki-laki bertubuh besar itu hanya tersenyum melihat kebingungan menyelimuti benak Fatan.
“Kau tak perlu bingung Fatan, itu semua gambaran keindahan yang kau cari. Bulan yang berproses menjadi indah, tebing yang kuat menghadapi deburan ombak untuk mencapai keindahan. Itu semua hanya perumpamaan yang ku berikan padamu. Aku tahu bahwa kau berangkat dari ketidakadilan, tapi itu pemahaman yang salah, coba kau renungkan lebih dalam lagi, ketidakadilan itu hakekatnya tidak ada Fatan, semua yang ada dalam kehidupan itu cukup adil dan sangat adil bahkan. Tidak adilkah rembulan diciptakan dari bulan sabit? Siapa bilang itu tidak adil. Coba kau bayangkan jika bulan itu muncul dengan purnamanya, berapa lama keindahan yang akan dipancarkannya? Tentu sebentar bukan? Tapi jika rembulan dicipta dari sabit maka rembulan akan berproses dari nol hingga mencapai kesempurnaan dan proses itu dapat kita nikmati, kita kenang dan tentunya kita akan selalu menunggu hingga purnama tiba. Cukup adil bukan?
Satu lagi, sangat adil sekali ketika tebing itu berawal dari gundukan batu yang tak berparas indah, andaikan tebing itu langsung menjorok dan berelief seperti yang kita lihat sekarang, berapa lama tebing itu akan menahan abrasi setiap harinya. Ketika tebing itu hanya sebuah gundukan batu jelek tetapi tebing itu kuat menahan deburan gelombang pasang . kita dapat menyaksikan kekokohannya bukan? dan kita dapat menikmati pengorbanannya, bukankah itu cukup adil juga Fatan?”
Fatan pun hanya tertunduk dalam mendengarkan semua itu. Setidaknya penjelasan laki-laki bertubuh besar itu mampu menjawab sebagian tanda tanya besar yang bersarang di benaknya. Dan Fatan hanya mampu merenung tanpa harus menyangkal atau sekedar menjawab penjelasan dari laki-laki bertubuh besar itu, seperti biasanya laki-laki bertubuh besar itu hanya melontarkan senyuman indah kepada Fatan.
***
“Fatan aku rasa kau cukup mengerti akan maksudku, bukannya kau orang yang tangkas, mampu menafsirkan segala sesuatu.”
Fatan pun memilih untuk tidak menjawab, karena menurutnya pertanyaan itu tidak memerlukan sebuah jawaban.
“Fatan pulanglah dengan keindahan yang kau dapatkan.”
“Keindahan … apanya yang indah? ” Nada sengau memotong ucapan laki-laki bertubuh besar itu.
“Keindahan yang kau cari, kau sudah mendapatkannya.”
Fatan semakin dibaut tidak mengerti akan maksud Laki-laki bertubuh besar itu. ’Dimana keindahan? Apanya yang indah?.’ Pertanyaan itu selalu bersarang di benak Fatan, membuat ruang kebingungan di sekujur tubuhnya.
“Pulanglah Fatan, kau tidak usah bingung, keindahan itu sudah ada pada dirimu, mungkin kau belum mengerti. Yakinlah semua ucapannku padamu akan indah pada waktunya.”
”Aku harus kembali? Benarkah keindahan itu sudah tertancap pada diriku.” Fatan pun bertanya dengan nada kebingungan seakan tak percaya dengan semua ini. ’Apanya yang indah ?’ pertanyaan itu selalu menggema dalam telinganya.
“Yah kau sudah mendapatkan semuanya Fatan, dan aku yakin kamu mampu menjadi tetesan air yang siap membuat lubang pada kerasnya batu kehidupan ini.” Sentuhan halus terlontar pada bahu fatan.
Rembulan semakin meninggi air pantai pun semakin pasang, Fatan dan laki-laki bertubuh besar itu masih duduk bersampingan. Tak berapa lama, Fatan berdiri dari duduknya dengan aura kebingungan menyelimuti dirinya. ‘Fatan harus kembali’, begitulah perintah laki-laki bertubuh besar itu, padahal Fatan sama sekali tak merasakan adanya keindahan pada dirinya. Hanya kebingungan dan ketidakmengertian yang Fatan rasakan.
Seperti biasanya laki-laki bertubuh besar itu hanya tersenyum indah ke arah Fatan. Laki-laki itu pun ikut berdiri disamping Fatan, dengan sigap laki-laki bertubuh besar itu memeluk Fatan, sementara Fatan hanya diam tak berontak sama sekali.
***
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Karya: Mangun Kuncoro
http://sastra-indonesia.com/
Waktu pun berputar begitu cepatnya membuat putaran-putaran ganda dalam kehidupan laksana kincir air yang disapu arus deras gelombang sungai. Fatan sudah jauh berjalan, entah dimana lagi Fatan menghentakkan kakinya, berjuta fenomena mewarnai perjalanan panjangnya, tapi sekali lagi, sejauh ini Fatan berjalan, dia belum menemukan apa-apa semakin jauh ia berjalan semakin ketidak mengertian mendera, selalu begitu tanda tanya besar selalu bersarang dalam benaknya membuatnya tenggelam dalam samudra ketidakmengertian.
Satu tahun setengah Fatan berjalan meninggalkan kawan-kawannya, kini mungkin sudah sampai penghujung dunia, jauh dari kehidupan, jauh dari keramaian hanya ada celotehan suara burung, gemeriuk air, deruan angin menyapa dedaunan, hanya itu yang mengisi kehidupan di tanah ini tiada orang, tiada hawa peradapan. Mungkin Fatan orang yang pertama menjejakkan kakinya disitu.
***
Fatan kini makin bingung, perjalanan tak mungkin lagi bisa dilanjut, sementara keindahan juga belum didapat. Bagaimana tidak daratan sudah sampai penghujung hanya samudra yang ditatap Fatan. Fatan kini hanya mampu tegak d iatas tumpukan pasir-pasir indah, menatap kosong menyaksikan indahnya mentari terbenam, memandang elok burung-burung saling nakal, sesekali ombak kecil menyapa kaki tanpa alas. Fikiran Fatan buncah entah kemana, ingin memaki Tuhan: tapi Fatan terteggun melihat keindahan ciptaanNya. Mau diam saja tetapi Fatan selalu dibuatNya bingung.
“Fatan … hidup terkadang tidak adil tapi terkadang ketidakadilan itu bisa membuat kita nyaman jika ketidakadilan itu kita warnai dengan keindahan.” terdengar dari arah belakang fatan.
Sentuhan lembut menepuk bahu Fatan. Serasa sentuhan yang belum pernah Fatan rasakan ; sentuhan hangat ; sentuhan sayang ; sentuhan cinta. Fatan pun tersentak merasakannya, membuyarkan lamunan sejenak akan keindahan yang diciptaNya.
Berjuta pertanyaan muncul dari benak Fatan : adakah orang disini? Siapa dia? Dia juga tahu namaku ? kata-kata itu ? Abah Amin . hanya itu yang ada di benak Fatan ‘Abah Amin’ karena hanya Abah Amin yang tahu tentang semua ini.
Fikir pendek Fatan membalikkan badan, dengan maksud menyakinkannya kalau itu Abah Amin. Dengan sigap dipeluknya tubuh besar berpakaian sederhana itu. Pelukan indah; pelukan kasih sayang menghangatkan tubuh Fatan, menghilangkan sejenak gemelut dalam hati dan benak Fatan.
Selang beberapa menit, Fatan sadar bahwa yang dipeluknya bukan Abah Amin. Fatan betul-betul paham akan perawakan Abah Amin dan dia bukanlah perawakan Abah Amin yang dikenal Fatan.
Fatan pun beranjak satu langkah ke belakang melepas pelukan indahnya. Gemetar pun terasa dari ujung kaki Fatan hingga menyelimuti seluruh tubuhnya, menggigil seluruh tubuh Fatan, ketakutan membungkus tubuhnya.
“Kau… jangan takut Fatan ! Aku juga sepertimu.” Laki-laki bertubuh besar itu hanya tersenyum melihat Fatan ketakutan.
“Kau siapa ? Orangkah ? Atau makhluk lain yang menghuni pantai ini ?atau malaikat keindahan?” gerutu fatan bingung akan kedatangan laki-laki bertubuh besar itu.
Laki-laki itu hanya bertahan dengan senyuman indah mendengar pertanyaan Fatan. Sementara Fatan menahan gemetar yang terus menggerakkan tubuhnya sambil memandang kaki laki-laki bertubuh besar itu. Menjejak tanah atau tidak, hanya itu yang Fatan amati karna hanya tanda itu yang mampu Fatan fahami untuk bisa menyakinkan bahwa dia benar-benar manusia.
“Aku manusia Fatan.”
Sekali lagi, laki-laki itu melontarkan senyuman indah pada Fatan. Fatan kini agak yakin kalau laki-laki itu benar-benar manusia, lewat tanda yang diamatinya.
“Kau tau namaku?”
“Yah aku tahu …. Fatan kan?
“Kau tau darimana?, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Aku tidak perlu menjelaskan semuanya padamu Fatan, yang terpenting aku faham akan dirimu.”
Fatan semakin bingung, sesekali Fatan memandangi wajah laki-laki itu, penuh tanda tanya, penuh kebimbangan, ketidak tahuan yang dalam teramat.
“Aku tidak mengerti akan maksudmu?”
“Kau tidak perlu mengerti Fatan, dan kau tak usah memikirkan siapa aku, duduk sini. Mendekatlah padaku! Kau tidak usah takut, bukannya kau sudah memastikan lewat penelitianmu, kalau aku sama sepertimu.” Senyum indah laki-laki bertubuh besar itu.
“Bagaimana orang itu bisa tahu tentang pengamatanku.” guman Fatan dalam hati. Fatan semakin bingung dan tidak mengerti akan semua ini, tapi Fatan bukan penakut, jiwa keberaniannya membuat kakinya beranjak mendekati laki-laki bertubuh besar itu.
***
Mentari indah kini sudah lenyap dari pandangan hanya menyisakan sia-sia sinarnya di langit-langit mega merah. Tenggelam dalam hamparan samudra nan luas. Fatan dan laki-laki bertubuh besar itu duduk bersampingan di atas bongkahan batu besar pinggiran pantai. Walau mentari sudah ditelan samudra, mega merah tak lagi mengangah, tapi rembulan mengantikannya, memancarkan sinar terindahnya. Fatan tak lagi menggigil gemetar ketakutan. Sedikit demi sedikit Fatan menetralisir rasa itu. Tampaknya Fatan begitu nyaman duduk di samping laki-laki bertubuh besar itu, walau sejuta pertanyaan bersarang dalam benaknya.
“Kau mencari keindahan itu Fatan. ”
“ Bagaimana kau bisa tau tentang itu?”
“Aku sudah bilang padamu, aku faham akan dirimu, mengapa kau tanyakan lagi?”Senyum indah pun kembali telontar untuk fatan.
“Aku semakin tidak mengerti akan maksudmu!”
“Fatan .. kau tau rembulan itu. Rembulan itu tidak semerta-merta indah seperti yang kita lihat sekarang, rembulan itu butuh proses untuk menjadi indah, awalnya rembulan itu hanya tampak sebagian, lebih dikenal dengan rembulan sabit. Pada saat rembulan itu masih tampak sabit mata pun tak akan terpesona olehnya, karena tidak memunculkan keindahan. Tapi rembulan tidak putus asa Fatan, dia akan selalu berproses sehingga menjadi indah, purnama bisa disebut: memancarkan keindahan membuat semua mata terpukau akan keindahannya, kau tau itu Fatan?”
Fatan pun hanya memilih untuk diam tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk sekedar menjawab pertanyaan laki-laki bertubuh besar itu, isarat pun tak dilontarkan oleh Fatan. Fatan hanyut dengan kebingungan, sementara laki-laki bertubuh besar itu hanya menyeringai melihat kebingungan yang bermuara di wajah Fatan, melontarkan senyuman indah tak bersalah kepada Fatan. Sesekali laki-laki itu mengelus indah bahu Fatan, dan Fatan memilih untuk tidak berontak sama sekali, hanya diam seperti seonggok patung yang tak bernyawa.
“Coba lihat tebing pinggir pantai itu Fatan. Indah bukan? Dulu sebelum kau datang kemari, tebing itu tak seindah sekarang, hanya gundukan batu jelek yang tak berarti, tak memunculkan keindahan sama sekali. Mata pun tak akan terpanah melihatnya, coba perhatikan, sekarang indah bukan? Menjorok ke pantai mempunyai relief yang indah sekali. Kau mesti tau Fatan, walau tebing itu dulu jelek, tidak indah sama sekali, tapi tebing itu selalu menerima akan keadaan, selalu tabah menerima deburan ombak-ombak yang siap mengikis bagian tubuhnya, coba kau lihat hasil dari ketabahan dan kerelaanya, parasnya menjadi elok bukan? Kau harus meniru tebing itu?”
Fatan semakin tidak mengerti akan maksud laki-laki bertubuh besar itu, fikirannya kini semakin membuncah tak mampu mengidentifikasi keadaan sama sekali, hanya mampu menatap kosong wajah teduh laki-laki bertubuh besar itu, sementara laki-laki bertubuh besar itu hanya tersenyum melihat kebingungan menyelimuti benak Fatan.
“Kau tak perlu bingung Fatan, itu semua gambaran keindahan yang kau cari. Bulan yang berproses menjadi indah, tebing yang kuat menghadapi deburan ombak untuk mencapai keindahan. Itu semua hanya perumpamaan yang ku berikan padamu. Aku tahu bahwa kau berangkat dari ketidakadilan, tapi itu pemahaman yang salah, coba kau renungkan lebih dalam lagi, ketidakadilan itu hakekatnya tidak ada Fatan, semua yang ada dalam kehidupan itu cukup adil dan sangat adil bahkan. Tidak adilkah rembulan diciptakan dari bulan sabit? Siapa bilang itu tidak adil. Coba kau bayangkan jika bulan itu muncul dengan purnamanya, berapa lama keindahan yang akan dipancarkannya? Tentu sebentar bukan? Tapi jika rembulan dicipta dari sabit maka rembulan akan berproses dari nol hingga mencapai kesempurnaan dan proses itu dapat kita nikmati, kita kenang dan tentunya kita akan selalu menunggu hingga purnama tiba. Cukup adil bukan?
Satu lagi, sangat adil sekali ketika tebing itu berawal dari gundukan batu yang tak berparas indah, andaikan tebing itu langsung menjorok dan berelief seperti yang kita lihat sekarang, berapa lama tebing itu akan menahan abrasi setiap harinya. Ketika tebing itu hanya sebuah gundukan batu jelek tetapi tebing itu kuat menahan deburan gelombang pasang . kita dapat menyaksikan kekokohannya bukan? dan kita dapat menikmati pengorbanannya, bukankah itu cukup adil juga Fatan?”
Fatan pun hanya tertunduk dalam mendengarkan semua itu. Setidaknya penjelasan laki-laki bertubuh besar itu mampu menjawab sebagian tanda tanya besar yang bersarang di benaknya. Dan Fatan hanya mampu merenung tanpa harus menyangkal atau sekedar menjawab penjelasan dari laki-laki bertubuh besar itu, seperti biasanya laki-laki bertubuh besar itu hanya melontarkan senyuman indah kepada Fatan.
***
“Fatan aku rasa kau cukup mengerti akan maksudku, bukannya kau orang yang tangkas, mampu menafsirkan segala sesuatu.”
Fatan pun memilih untuk tidak menjawab, karena menurutnya pertanyaan itu tidak memerlukan sebuah jawaban.
“Fatan pulanglah dengan keindahan yang kau dapatkan.”
“Keindahan … apanya yang indah? ” Nada sengau memotong ucapan laki-laki bertubuh besar itu.
“Keindahan yang kau cari, kau sudah mendapatkannya.”
Fatan semakin dibaut tidak mengerti akan maksud Laki-laki bertubuh besar itu. ’Dimana keindahan? Apanya yang indah?.’ Pertanyaan itu selalu bersarang di benak Fatan, membuat ruang kebingungan di sekujur tubuhnya.
“Pulanglah Fatan, kau tidak usah bingung, keindahan itu sudah ada pada dirimu, mungkin kau belum mengerti. Yakinlah semua ucapannku padamu akan indah pada waktunya.”
”Aku harus kembali? Benarkah keindahan itu sudah tertancap pada diriku.” Fatan pun bertanya dengan nada kebingungan seakan tak percaya dengan semua ini. ’Apanya yang indah ?’ pertanyaan itu selalu menggema dalam telinganya.
“Yah kau sudah mendapatkan semuanya Fatan, dan aku yakin kamu mampu menjadi tetesan air yang siap membuat lubang pada kerasnya batu kehidupan ini.” Sentuhan halus terlontar pada bahu fatan.
Rembulan semakin meninggi air pantai pun semakin pasang, Fatan dan laki-laki bertubuh besar itu masih duduk bersampingan. Tak berapa lama, Fatan berdiri dari duduknya dengan aura kebingungan menyelimuti dirinya. ‘Fatan harus kembali’, begitulah perintah laki-laki bertubuh besar itu, padahal Fatan sama sekali tak merasakan adanya keindahan pada dirinya. Hanya kebingungan dan ketidakmengertian yang Fatan rasakan.
Seperti biasanya laki-laki bertubuh besar itu hanya tersenyum indah ke arah Fatan. Laki-laki itu pun ikut berdiri disamping Fatan, dengan sigap laki-laki bertubuh besar itu memeluk Fatan, sementara Fatan hanya diam tak berontak sama sekali.
***
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar