Dian DJ
Jamin masih dipenuhi ragu berdiri di depan sebuah rumah kecil berdinding kayu jati tua. Dia masih sangsi untuk masuk rumah yang kata orang banyak adalah rumah Mbah Jan, seorang dukun sakti. Rumah itu terletak di tengah huntan belantra yang jauh dari pemukiman penduduk. Harus menempuh bukit terjal dan sungai yang cukup panjang untuk mencapainya.
Jamin mendatangi Mbah Jan bukan berarti tanpa tujuan, dia ingin minta tolong tentang pergulatan jiwanya. Belakangan Jamin tidak bisa memungkiri datangnya kesunyian dan diserbu oleh rasa takut yang mencekram pada hari-harinya. Mungkin kehampaan spiritual yang mendominasi dirinya, membuatnya selalu merasa suram dalam menjalani hidup. Kerinduan rohnya yang menggebu terhadap sang kholiq selalu terbelenggu terhadap nafsu dunia. Berujung pada keinginan rohnya untuk lepas dari belenggu jasmaninya yang hanya menuruti keinginan nafsu belaka.
Henta suara dari mana yang membuat dia merasa bahwa jatah umur dari tuhan akan segera berakhir. Jamin sudah berusaha keras mengusirnya jauh-jauh, namun rasa itu sudah melebur pada jiwanya. Pernah dia mendatangi seorang temanya yang ahli jiwa, namun hasilnya nol. Bahkan, dia juga mendatangi seorang kiai untuk minta tolong, namun hasilnya sama saja. Bukan kesalahan Jamin mendatangi seorang Kiai, Mungkin kesalahanya kurang pintarnya Jamin memilah-milah kiai yang tepat. Mungkin juga bukan kurang pintarnya Jamin, karena di jaman dan di negeri “comberan” ini, mencari seorang Kiai pewaris nabi, sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Hingga ada seorang teman yang menganjurkan untuk mendatangi dukun. Rasa takut akan kematian membuatnya mau melakukan saran temanya.
“masuklah nak !“, sebuah suara dari dalam rumah yang membuyarkan lamunan jamin.
Dengan sedikit keberanian yang dipaksa, Jamin masuk rumah yang mengesankan keangkeran itu. Terlihat isi rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan dengan cahaya remang-remang dari sudut-sudut rumah. Seorang laki-laki setengah baya berambut panjang menggenakan pakain serba hitam kecoklatan dengan leher yang terhiasi kalung dari tulang.
“ apa dia yang namanya Mbah Jan?” Jamin bertanya pada diri sendiri.
“ ia, jika kau mencari seorang dukun ternama, itu adalah aku, Mbah Sumijan alias Mbah Jan”. kata laki-laki yang ternyata Mbah Sumijan atau Mbah Jan dengan gaya ala dukun memamerkan ketajaman ilmunya. “ duduklah! ”.
Masih belum menguasai diri, Jamin nasal duduk berhadapan dengan Mbah Jan. ketika jarak mereka hanya beberapa jengkal yang hanya terhalang meja penuh sesejen, Mbah Jan bekata untuk meyakinkan kearifanya sebagai dukun, “ aku tahu maksut kedatanganmu kesini, kau merasa kematian semakin mengakrabimukan? ”
“ ia ” jawab Jamin.
“ jangan gusar nak, sebenarnya yang patut disalahkan adalah para Malaikat yang mengurusi kematian ”.
“ maksutnya apa mbah? “,
“ dalam arsip umur manusia, barus saja Malaikat melakukan kesalahan pendataan, sehingga datanya terbengkalai ”,
“ mana mungkin Malaikat keliru? ” selat Jamin.
“ diam!, kalau kau tak percaya padaku, sampai disini saja perjumpaan kita ”, Mbah Jan berkata dengan lantang.
“ maaf mbah, lanjutkan! ” selat Jamin cepat-cepat supaya Mbah Jan tidak tersinggung.
“ karena takut atasan para Malaikat dengan liciknya menyulap catatan umur kehidupan, sehingga umurmu yang sebenarnya masih cukup panjang menjadi tidak lama lagi. Sayang dibumi ini tidak ada ‘Dewan Perwakilan Bumi’ yang bisa mewakili aspirasi penghuni bumi untuk menuntut penghuni langit. Tapi percuma juga mencari orang yang pantas menduduki jabatan tinggi itu, akan sangat sulit mencari orang yang bisa dipercaya apalagi di negeri ini. Untuk mewakili daerahnya saja sudah sakkarepe dewe, mereka hanya bisa membuncitkan perut dan tidur didalam mobil mewah berplat merah dengan gaji yang tinggi , memang bila kita gaji lebih jauh dalam kegalatun masih banyak tangan yang tega berbuat nista” keluh Mbah Jan dengan menggelengkan kepala.
“ saya harus bagaimana mbah?, apa saya harus menjadi Dewan Perwakilan Bumi? ”,
“ tidak usah nak!, mereka terlalu besar untuk kita. Kau sembunyi saja pada hari kematianmu. Bagaimana? ”,
“ kemana kitakan sembunyi hanya padanyalah kitakan kembali? ”
“ tanyakan pada rumput yang bergoyang ”.
Jamin menahan tawa, “ ternyata Mbah Jan tahu juga lagunya Ebit ” bisiknya dalam hati.
“ kau pikir ini waktu yang tepat untuk bercanda?, kau akan aku ruba menjadi rerumputan didepan rumah, pasti malaikat tidak menyangka kau disana ”,
“ kalau itu cara yang terbaik untuk menawar kematian, saya manut saja “.
Ringkas cerita, dengan mencurahkan seluruh kesaktianya, tokoh kita Jamin di sihir menjadi segumpal rumput yang kemudian oleh Mbah Jan ditaruh di depan rumah dekat pintu. Setelah memperkirakan segala kemungkin terburuk, Mbah Jan kembali ke meja kerjanya.
Keesokan harinya ketika mentari baru saja menampakkan wajahnya, Mbah Jan ingin keluar dari rumah untuk menengok rerumputan yang merupakan jelmaan dari Jamin. Betapa kaget dan geramnya ketika Mbah Jan melihat segerombolan Kambing –henta datang dari mana- tengah asyik menyantap rerumputan segar jelmaan Jamin. Mbah Jan hanya bisa bengong melihat dengan lahapnya para Kambing menghabiskan rerumputan tanpa tersisa.
Jamin masih dipenuhi ragu berdiri di depan sebuah rumah kecil berdinding kayu jati tua. Dia masih sangsi untuk masuk rumah yang kata orang banyak adalah rumah Mbah Jan, seorang dukun sakti. Rumah itu terletak di tengah huntan belantra yang jauh dari pemukiman penduduk. Harus menempuh bukit terjal dan sungai yang cukup panjang untuk mencapainya.
Jamin mendatangi Mbah Jan bukan berarti tanpa tujuan, dia ingin minta tolong tentang pergulatan jiwanya. Belakangan Jamin tidak bisa memungkiri datangnya kesunyian dan diserbu oleh rasa takut yang mencekram pada hari-harinya. Mungkin kehampaan spiritual yang mendominasi dirinya, membuatnya selalu merasa suram dalam menjalani hidup. Kerinduan rohnya yang menggebu terhadap sang kholiq selalu terbelenggu terhadap nafsu dunia. Berujung pada keinginan rohnya untuk lepas dari belenggu jasmaninya yang hanya menuruti keinginan nafsu belaka.
Henta suara dari mana yang membuat dia merasa bahwa jatah umur dari tuhan akan segera berakhir. Jamin sudah berusaha keras mengusirnya jauh-jauh, namun rasa itu sudah melebur pada jiwanya. Pernah dia mendatangi seorang temanya yang ahli jiwa, namun hasilnya nol. Bahkan, dia juga mendatangi seorang kiai untuk minta tolong, namun hasilnya sama saja. Bukan kesalahan Jamin mendatangi seorang Kiai, Mungkin kesalahanya kurang pintarnya Jamin memilah-milah kiai yang tepat. Mungkin juga bukan kurang pintarnya Jamin, karena di jaman dan di negeri “comberan” ini, mencari seorang Kiai pewaris nabi, sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Hingga ada seorang teman yang menganjurkan untuk mendatangi dukun. Rasa takut akan kematian membuatnya mau melakukan saran temanya.
“masuklah nak !“, sebuah suara dari dalam rumah yang membuyarkan lamunan jamin.
Dengan sedikit keberanian yang dipaksa, Jamin masuk rumah yang mengesankan keangkeran itu. Terlihat isi rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan dengan cahaya remang-remang dari sudut-sudut rumah. Seorang laki-laki setengah baya berambut panjang menggenakan pakain serba hitam kecoklatan dengan leher yang terhiasi kalung dari tulang.
“ apa dia yang namanya Mbah Jan?” Jamin bertanya pada diri sendiri.
“ ia, jika kau mencari seorang dukun ternama, itu adalah aku, Mbah Sumijan alias Mbah Jan”. kata laki-laki yang ternyata Mbah Sumijan atau Mbah Jan dengan gaya ala dukun memamerkan ketajaman ilmunya. “ duduklah! ”.
Masih belum menguasai diri, Jamin nasal duduk berhadapan dengan Mbah Jan. ketika jarak mereka hanya beberapa jengkal yang hanya terhalang meja penuh sesejen, Mbah Jan bekata untuk meyakinkan kearifanya sebagai dukun, “ aku tahu maksut kedatanganmu kesini, kau merasa kematian semakin mengakrabimukan? ”
“ ia ” jawab Jamin.
“ jangan gusar nak, sebenarnya yang patut disalahkan adalah para Malaikat yang mengurusi kematian ”.
“ maksutnya apa mbah? “,
“ dalam arsip umur manusia, barus saja Malaikat melakukan kesalahan pendataan, sehingga datanya terbengkalai ”,
“ mana mungkin Malaikat keliru? ” selat Jamin.
“ diam!, kalau kau tak percaya padaku, sampai disini saja perjumpaan kita ”, Mbah Jan berkata dengan lantang.
“ maaf mbah, lanjutkan! ” selat Jamin cepat-cepat supaya Mbah Jan tidak tersinggung.
“ karena takut atasan para Malaikat dengan liciknya menyulap catatan umur kehidupan, sehingga umurmu yang sebenarnya masih cukup panjang menjadi tidak lama lagi. Sayang dibumi ini tidak ada ‘Dewan Perwakilan Bumi’ yang bisa mewakili aspirasi penghuni bumi untuk menuntut penghuni langit. Tapi percuma juga mencari orang yang pantas menduduki jabatan tinggi itu, akan sangat sulit mencari orang yang bisa dipercaya apalagi di negeri ini. Untuk mewakili daerahnya saja sudah sakkarepe dewe, mereka hanya bisa membuncitkan perut dan tidur didalam mobil mewah berplat merah dengan gaji yang tinggi , memang bila kita gaji lebih jauh dalam kegalatun masih banyak tangan yang tega berbuat nista” keluh Mbah Jan dengan menggelengkan kepala.
“ saya harus bagaimana mbah?, apa saya harus menjadi Dewan Perwakilan Bumi? ”,
“ tidak usah nak!, mereka terlalu besar untuk kita. Kau sembunyi saja pada hari kematianmu. Bagaimana? ”,
“ kemana kitakan sembunyi hanya padanyalah kitakan kembali? ”
“ tanyakan pada rumput yang bergoyang ”.
Jamin menahan tawa, “ ternyata Mbah Jan tahu juga lagunya Ebit ” bisiknya dalam hati.
“ kau pikir ini waktu yang tepat untuk bercanda?, kau akan aku ruba menjadi rerumputan didepan rumah, pasti malaikat tidak menyangka kau disana ”,
“ kalau itu cara yang terbaik untuk menawar kematian, saya manut saja “.
Ringkas cerita, dengan mencurahkan seluruh kesaktianya, tokoh kita Jamin di sihir menjadi segumpal rumput yang kemudian oleh Mbah Jan ditaruh di depan rumah dekat pintu. Setelah memperkirakan segala kemungkin terburuk, Mbah Jan kembali ke meja kerjanya.
Keesokan harinya ketika mentari baru saja menampakkan wajahnya, Mbah Jan ingin keluar dari rumah untuk menengok rerumputan yang merupakan jelmaan dari Jamin. Betapa kaget dan geramnya ketika Mbah Jan melihat segerombolan Kambing –henta datang dari mana- tengah asyik menyantap rerumputan segar jelmaan Jamin. Mbah Jan hanya bisa bengong melihat dengan lahapnya para Kambing menghabiskan rerumputan tanpa tersisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar