Rabu, 16 Maret 2011

Menawar Kematian

Dian DJ

Jamin masih dipenuhi ragu berdiri di depan sebuah rumah kecil berdinding kayu jati tua. Dia masih sangsi untuk masuk rumah yang kata orang banyak adalah rumah Mbah Jan, seorang dukun sakti. Rumah itu terletak di tengah huntan belantra yang jauh dari pemukiman penduduk. Harus menempuh bukit terjal dan sungai yang cukup panjang untuk mencapainya.

Jamin mendatangi Mbah Jan bukan berarti tanpa tujuan, dia ingin minta tolong tentang pergulatan jiwanya. Belakangan Jamin tidak bisa memungkiri datangnya kesunyian dan diserbu oleh rasa takut yang mencekram pada hari-harinya. Mungkin kehampaan spiritual yang mendominasi dirinya, membuatnya selalu merasa suram dalam menjalani hidup. Kerinduan rohnya yang menggebu terhadap sang kholiq selalu terbelenggu terhadap nafsu dunia. Berujung pada keinginan rohnya untuk lepas dari belenggu jasmaninya yang hanya menuruti keinginan nafsu belaka.

Henta suara dari mana yang membuat dia merasa bahwa jatah umur dari tuhan akan segera berakhir. Jamin sudah berusaha keras mengusirnya jauh-jauh, namun rasa itu sudah melebur pada jiwanya. Pernah dia mendatangi seorang temanya yang ahli jiwa, namun hasilnya nol. Bahkan, dia juga mendatangi seorang kiai untuk minta tolong, namun hasilnya sama saja. Bukan kesalahan Jamin mendatangi seorang Kiai, Mungkin kesalahanya kurang pintarnya Jamin memilah-milah kiai yang tepat. Mungkin juga bukan kurang pintarnya Jamin, karena di jaman dan di negeri “comberan” ini, mencari seorang Kiai pewaris nabi, sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Hingga ada seorang teman yang menganjurkan untuk mendatangi dukun. Rasa takut akan kematian membuatnya mau melakukan saran temanya.

“masuklah nak !“, sebuah suara dari dalam rumah yang membuyarkan lamunan jamin.

Dengan sedikit keberanian yang dipaksa, Jamin masuk rumah yang mengesankan keangkeran itu. Terlihat isi rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan dengan cahaya remang-remang dari sudut-sudut rumah. Seorang laki-laki setengah baya berambut panjang menggenakan pakain serba hitam kecoklatan dengan leher yang terhiasi kalung dari tulang.

“ apa dia yang namanya Mbah Jan?” Jamin bertanya pada diri sendiri.
“ ia, jika kau mencari seorang dukun ternama, itu adalah aku, Mbah Sumijan alias Mbah Jan”. kata laki-laki yang ternyata Mbah Sumijan atau Mbah Jan dengan gaya ala dukun memamerkan ketajaman ilmunya. “ duduklah! ”.

Masih belum menguasai diri, Jamin nasal duduk berhadapan dengan Mbah Jan. ketika jarak mereka hanya beberapa jengkal yang hanya terhalang meja penuh sesejen, Mbah Jan bekata untuk meyakinkan kearifanya sebagai dukun, “ aku tahu maksut kedatanganmu kesini, kau merasa kematian semakin mengakrabimukan? ”

“ ia ” jawab Jamin.

“ jangan gusar nak, sebenarnya yang patut disalahkan adalah para Malaikat yang mengurusi kematian ”.

“ maksutnya apa mbah? “,
“ dalam arsip umur manusia, barus saja Malaikat melakukan kesalahan pendataan, sehingga datanya terbengkalai ”,
“ mana mungkin Malaikat keliru? ” selat Jamin.

“ diam!, kalau kau tak percaya padaku, sampai disini saja perjumpaan kita ”, Mbah Jan berkata dengan lantang.

“ maaf mbah, lanjutkan! ” selat Jamin cepat-cepat supaya Mbah Jan tidak tersinggung.

“ karena takut atasan para Malaikat dengan liciknya menyulap catatan umur kehidupan, sehingga umurmu yang sebenarnya masih cukup panjang menjadi tidak lama lagi. Sayang dibumi ini tidak ada ‘Dewan Perwakilan Bumi’ yang bisa mewakili aspirasi penghuni bumi untuk menuntut penghuni langit. Tapi percuma juga mencari orang yang pantas menduduki jabatan tinggi itu, akan sangat sulit mencari orang yang bisa dipercaya apalagi di negeri ini. Untuk mewakili daerahnya saja sudah sakkarepe dewe, mereka hanya bisa membuncitkan perut dan tidur didalam mobil mewah berplat merah dengan gaji yang tinggi , memang bila kita gaji lebih jauh dalam kegalatun masih banyak tangan yang tega berbuat nista” keluh Mbah Jan dengan menggelengkan kepala.

“ saya harus bagaimana mbah?, apa saya harus menjadi Dewan Perwakilan Bumi? ”,
“ tidak usah nak!, mereka terlalu besar untuk kita. Kau sembunyi saja pada hari kematianmu. Bagaimana? ”,
“ kemana kitakan sembunyi hanya padanyalah kitakan kembali? ”
“ tanyakan pada rumput yang bergoyang ”.

Jamin menahan tawa, “ ternyata Mbah Jan tahu juga lagunya Ebit ” bisiknya dalam hati.

“ kau pikir ini waktu yang tepat untuk bercanda?, kau akan aku ruba menjadi rerumputan didepan rumah, pasti malaikat tidak menyangka kau disana ”,
“ kalau itu cara yang terbaik untuk menawar kematian, saya manut saja “.

Ringkas cerita, dengan mencurahkan seluruh kesaktianya, tokoh kita Jamin di sihir menjadi segumpal rumput yang kemudian oleh Mbah Jan ditaruh di depan rumah dekat pintu. Setelah memperkirakan segala kemungkin terburuk, Mbah Jan kembali ke meja kerjanya.

Keesokan harinya ketika mentari baru saja menampakkan wajahnya, Mbah Jan ingin keluar dari rumah untuk menengok rerumputan yang merupakan jelmaan dari Jamin. Betapa kaget dan geramnya ketika Mbah Jan melihat segerombolan Kambing –henta datang dari mana- tengah asyik menyantap rerumputan segar jelmaan Jamin. Mbah Jan hanya bisa bengong melihat dengan lahapnya para Kambing menghabiskan rerumputan tanpa tersisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar