Sabrank Suparno
Miayah itu upaya setiap pelakunya, sendiri-sendiri atau bersama-sama, untuk
mencari dan menemukan ketepatan posisi dan keadilan hubungannya dengan Tuhan,
sesama mahkluk, alam semesta dan dirinya sendiri. Pencarian itu bisa dilakukan
setiap Orang Maiyah di dalam kesendiriannya, bisa dengan berkumpul secara
berkala, dengan berbagai jalan ijtihat ilmu, berbagai cara budaya, berbagai
alat tehnologi sosial, berbagai perangkat jasat dan batin, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. (Emha Ainun Nadjib, Kadipuro 25 Des 2009, draf no
5-6 kesaksian syahadat wa-lhamdulillah).
Seruan Cak Nun pada draf di atas, menghimbau agar Orang Maiyah menuai
hasil, setelah sekian lama melakukan pergumulan panjang bersama
pemikiran-pemikiran Cak Nun yang begitu luas cakupannya, terutama rumusan
mengenai prinsip hidup ke-ummatan dan ke-indonesiaan.
Bagi Orang Maiyah, tidak dianjurkan pun seharusnya mengamalkan nilai Maiyah
dalam praktek kehidupan sehari hari. Namun dalam mengamalkannya tiap Orang
Maiyah perlu mengatur komposisi berdasarkan skala prioritas masing-masing dan
menganalisa kiprahnya sendiri agar tidak kebablasan yang berakibat meruntuhkan
nilai Maiyah. Artinya, diperlukan metodologi ilmu penerapan Maiyah agar
tercapai tujuan yang bukan sekedar ‘baik dan benar’, melainkan ‘mulya.
Prinsip hidup ke-Ummatan menurut Cak Nun: Agar Orang Maiyah tetap konsisten
pada aliran yang dianut sebelum berMaiyahan. “Yang NU, NU oo! Yang
Muhammadiyah, Muhammadiyah oo! Atau aliran apa pun monggo. Tapi setelah
mendalami ilmu Maiyah, bergeraklah memperbaiki NU mu, Muhammadiyah mu,
aliranmu.” Saran Cak Nun berkali kali.
Demikian juga dalam prinsip ke-indonesiaan. “Partaimu opo? Jabatan mu opo?
Suku mu opo? Tapi bangun dan perbaikilah cara berke-indonesiaanmu dengan ilmu
Maiyah yang telah kau cerap.”
Sehubungan dengan itulah Cak Nun pada Pengajian Padhang mBulan tanggal 22
Oktober 2010 mengintruksikan agar Orang Maiyah inten merajut Mozaik Maiyah.
Yaitu mengambil kiprah, sikap jelas, nyata, ‘berketerlibatan’ Orang Maiyah
dalam mewarnai dielektika sosial, dan atau dengan gerakan apa saja. Cak Nun
pernah menyebut istilah Maiyah Uyah, di mana keberadaan Orang Maiyah sebagai
bumbu pelengkap untuk ‘ngepyuri’ racikan masakan sosial yang kurang sedap.
Sehingga pada ahirnya Orang Maiyah tanpa disamping atau bersama Cak Nun pun
akan menjadi kisi-kisi rajutan benang emas yang dengan khas warna keindahannya
menyemburatkan sinar perak mentari sore di langit senja. Ronanya mengkilat,
melukis lanskap cakrawala sringkah menjadi sketsa bunga bermekaran di pelupuk
mata. Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan ilmu Maiyah sebagai salah satu
sarana untuk ‘mejelaskan islam’. Dan bukan membuat sekte baru atau sejenisnya.
Maiyah memiliki muatan kapasitas ilmu sendiri dalam menjelaskan islam. Ilmu
Maiyah yang paling prinsipil dan sudah diterapkan ialah menjalankan sistem
kontrol dalam beragama, berbangsa, bernegara. Orang Maiyah di Indonesia
kususnya, berada dalam suatu tatanan negara besar namun berkualitas SDM rendah.
Keadaan negara semacam ini mengakibatkan kesenjangan perekonomian warganya.
Dalam kesenjangan ekonomi, yang paling lenyap dalam aturan penerapan bernegara
adalah hilangnya sistem kontrol. Di sinilah orang Maiyah menjalankan prinsip
hidup bernegara sebagai sistem control (gak anut-anutan).
Dengan menjalani toriqoh sebagai sistem kontrol, sama artinya Orang Maiyah
menempatkan ketidakbersenyawaan dengan pandangan umum. Sementara pandangan umum
yang dipandegani pemerintah di Indonesia menerapkan konstalasi perpolitikan
berdasarkan kedengkian.
Rumusan sikap sistem kontrol secara garis besar diungkapkan Cak Nun agar
Orang Maiyah tidak melepas sedikit pun aktivitas yang dijalaninya sebagai amal
jariyah. Bahkan, Orang Maiyah jangan sampai kalah (salah niat) walau dalam
situasi kemenangan. Artinya harus terus bertanding melawan eksistensi.
Ungkapan Cak Nun itu adalah langkah konsesi sufi tingkat tinggi. Dalam
kekalahan, wajar kita kalah. Tapi dalam kemenangan, kita ngalah, diperlukan
keajegan belajar menanggalkan eksistensi. Artinya tidak gampang subyo-subyo
larut dalam kesenangan di luar batas kewajaran.
Dari toriqoh Maiyah Uyah, Maiyah Pupuk, Maiyah Glepung, atau zat apapun
yang disimbolkan sebagai bahan penyempurna hal yang mogol(mentah gak mentah,
mateng gak mateng), Orang Maiyah diharapkan tidak menjadi ‘Sisifus’(cerita
rakyat Yunani) yang pekerjaannya ngusungi bebatuan ke atas bukit. Namun setelah
batu terkumpul di atas bukit, Sisifus kemudian menggelundungkan lagi. Begitu
seterusnya. Bagi Sisifus, keunikan yang dilakukan ialah ketika mendengar
denting-denting bebatuan yang berjatuhan. Toh nantinya ia yang akan
mengangkutnya kembali ke atas bukit.
Ke-Maiyahan bagi Orang Maiyah bukanlah ekstas di ruang Megalomania: Sebilik
ruang tempat membangun diri, membesarkan eksistensi diri, sakau sakau putauw
dalam kebesaran dirinya. Maiyah memang besar dibanding gerakan apa pun di
Indonesia. Dari berbagai event yang diadakan dalam skala nasional, kesadaran
orang yang datang dengan tanpa paksaan atau tanpa menejemen kordinatif
organisasi, Maiyah mencatat pengunjung tertinggi yang mencapai ribuan orang.
Kebesaran Jamaah Maiyah bukan alasan kwantitas semata. Sebab hal yang
kwantitas selalu diikuti pengaruh kwalitas. Kebesaran Maiyah tak lepas dari
kebesaran cara berfikir Cak Nun, yang selama kiprahnya dibidang kebudayaan
sebagai tokoh multi dimensial dan dalam kurun waktu tiga zaman. Terhitung
sampai dekade 2000 ke atas, seluruh pejabat di Indonesia tergolong sebagai
tokoh baru dalam jabatannya. Pejabat yang usianya lebih muda: Setara adik Cak
Nun. Secara otomatis kedudukan demikian memungkinkan para pejabat meminta Cak
Nun turut menyelesaikan permasalahan pelik bangsa ini.
Hal yang sama juga terjadi di masyarakat Indonesia. Naluri manusia adalah
berubah ke hal yang lebih baik dan bermutu. Dari segi cara berfikir misalnya,
pemikiran Cak Nun selalu dinanti orang sebagai penyempurna pendapat pribadi
mereka yang terasa ampang dan dangkal jika dibanding pemikiran Cak Nun yang
sublim. Disinilah peran Orang Maiyah yang memang kental dengan pemikiran Cak
Nun, dipandang perlu andil turut menjelaskan, merumuskan, menyelesaikan,
memberi masukan dll ala berfikir Maiyah. Efektifnya, dalam menjelaskan teori
Cak Nun, Orang Maiyah memakai rumus: Bukan karena Cak Nun mereka menjelaskan
pemikiran Cak Nun, melainkan demi kwalitas mutu cara berfikir ummat manusia.
Orang Maiyah adalah orang yang khatam (selesai) dengan dirinya sendiri.
Mereka menyadari haqikat eksistensinya di hadapan Tuhan dan pribadinya.
Kepribadian tersebut akan menjadi entri power tersendiri ketika mereka merajut
dunia profesionalisme dengan bebenang Maiyah. Sementara yang disebut pandangan
umum ialah orang-orang yang tak selesai dengan dirinya sendiri: Yaitu orang
yang mempermasalahkan hal sepele ketimbang hal progresif.
***
Minggu, 31 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar