Minggu, 31 Oktober 2010

Maiyah Merajut Mozaik (em3)

Sabrank Suparno
 
Miayah itu upaya setiap pelakunya, sendiri-sendiri atau bersama-sama, untuk mencari dan menemukan ketepatan posisi dan keadilan hubungannya dengan Tuhan, sesama mahkluk, alam semesta dan dirinya sendiri. Pencarian itu bisa dilakukan setiap Orang Maiyah di dalam kesendiriannya, bisa dengan berkumpul secara berkala, dengan berbagai jalan ijtihat ilmu, berbagai cara budaya, berbagai alat tehnologi sosial, berbagai perangkat jasat dan batin, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. (Emha Ainun Nadjib, Kadipuro 25 Des 2009, draf no 5-6 kesaksian syahadat wa-lhamdulillah).
 
Seruan Cak Nun pada draf di atas, menghimbau agar Orang Maiyah menuai hasil, setelah sekian lama melakukan pergumulan panjang bersama pemikiran-pemikiran Cak Nun yang begitu luas cakupannya, terutama rumusan mengenai prinsip hidup ke-ummatan dan ke-indonesiaan.
 
Bagi Orang Maiyah, tidak dianjurkan pun seharusnya mengamalkan nilai Maiyah dalam praktek kehidupan sehari hari. Namun dalam mengamalkannya tiap Orang Maiyah perlu mengatur komposisi berdasarkan skala prioritas masing-masing dan menganalisa kiprahnya sendiri agar tidak kebablasan yang berakibat meruntuhkan nilai Maiyah. Artinya, diperlukan metodologi ilmu penerapan Maiyah agar tercapai tujuan yang bukan sekedar ‘baik dan benar’, melainkan ‘mulya.
 
Prinsip hidup ke-Ummatan menurut Cak Nun: Agar Orang Maiyah tetap konsisten pada aliran yang dianut sebelum berMaiyahan. “Yang NU, NU oo! Yang Muhammadiyah, Muhammadiyah oo! Atau aliran apa pun monggo. Tapi setelah mendalami ilmu Maiyah, bergeraklah memperbaiki NU mu, Muhammadiyah mu, aliranmu.” Saran Cak Nun berkali kali.
 
Demikian juga dalam prinsip ke-indonesiaan. “Partaimu opo? Jabatan mu opo? Suku mu opo? Tapi bangun dan perbaikilah cara berke-indonesiaanmu dengan ilmu Maiyah yang telah kau cerap.”
 
Sehubungan dengan itulah Cak Nun pada Pengajian Padhang mBulan tanggal 22 Oktober 2010 mengintruksikan agar Orang Maiyah inten merajut Mozaik Maiyah. Yaitu mengambil kiprah, sikap jelas, nyata, ‘berketerlibatan’ Orang Maiyah dalam mewarnai dielektika sosial, dan atau dengan gerakan apa saja. Cak Nun pernah menyebut istilah Maiyah Uyah, di mana keberadaan Orang Maiyah sebagai bumbu pelengkap untuk ‘ngepyuri’ racikan masakan sosial yang kurang sedap. Sehingga pada ahirnya Orang Maiyah tanpa disamping atau bersama Cak Nun pun akan menjadi kisi-kisi rajutan benang emas yang dengan khas warna keindahannya menyemburatkan sinar perak mentari sore di langit senja. Ronanya mengkilat, melukis lanskap cakrawala sringkah menjadi sketsa bunga bermekaran di pelupuk mata. Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan ilmu Maiyah sebagai salah satu sarana untuk ‘mejelaskan islam’. Dan bukan membuat sekte baru atau sejenisnya.
 
Maiyah memiliki muatan kapasitas ilmu sendiri dalam menjelaskan islam. Ilmu Maiyah yang paling prinsipil dan sudah diterapkan ialah menjalankan sistem kontrol dalam beragama, berbangsa, bernegara. Orang Maiyah di Indonesia kususnya, berada dalam suatu tatanan negara besar namun berkualitas SDM rendah. Keadaan negara semacam ini mengakibatkan kesenjangan perekonomian warganya. Dalam kesenjangan ekonomi, yang paling lenyap dalam aturan penerapan bernegara adalah hilangnya sistem kontrol. Di sinilah orang Maiyah menjalankan prinsip hidup bernegara sebagai sistem control (gak anut-anutan).
 
Dengan menjalani toriqoh sebagai sistem kontrol, sama artinya Orang Maiyah menempatkan ketidakbersenyawaan dengan pandangan umum. Sementara pandangan umum yang dipandegani pemerintah di Indonesia menerapkan konstalasi perpolitikan berdasarkan kedengkian.
 
Rumusan sikap sistem kontrol secara garis besar diungkapkan Cak Nun agar Orang Maiyah tidak melepas sedikit pun aktivitas yang dijalaninya sebagai amal jariyah. Bahkan, Orang Maiyah jangan sampai kalah (salah niat) walau dalam situasi kemenangan. Artinya harus terus bertanding melawan eksistensi.
 
Ungkapan Cak Nun itu adalah langkah konsesi sufi tingkat tinggi. Dalam kekalahan, wajar kita kalah. Tapi dalam kemenangan, kita ngalah, diperlukan keajegan belajar menanggalkan eksistensi. Artinya tidak gampang subyo-subyo larut dalam kesenangan di luar batas kewajaran.
 
Dari toriqoh Maiyah Uyah, Maiyah Pupuk, Maiyah Glepung, atau zat apapun yang disimbolkan sebagai bahan penyempurna hal yang mogol(mentah gak mentah, mateng gak mateng), Orang Maiyah diharapkan tidak menjadi ‘Sisifus’(cerita rakyat Yunani) yang pekerjaannya ngusungi bebatuan ke atas bukit. Namun setelah batu terkumpul di atas bukit, Sisifus kemudian menggelundungkan lagi. Begitu seterusnya. Bagi Sisifus, keunikan yang dilakukan ialah ketika mendengar denting-denting bebatuan yang berjatuhan. Toh nantinya ia yang akan mengangkutnya kembali ke atas bukit.
 
Ke-Maiyahan bagi Orang Maiyah bukanlah ekstas di ruang Megalomania: Sebilik ruang tempat membangun diri, membesarkan eksistensi diri, sakau sakau putauw dalam kebesaran dirinya. Maiyah memang besar dibanding gerakan apa pun di Indonesia. Dari berbagai event yang diadakan dalam skala nasional, kesadaran orang yang datang dengan tanpa paksaan atau tanpa menejemen kordinatif organisasi, Maiyah mencatat pengunjung tertinggi yang mencapai ribuan orang.
 
Kebesaran Jamaah Maiyah bukan alasan kwantitas semata. Sebab hal yang kwantitas selalu diikuti pengaruh kwalitas. Kebesaran Maiyah tak lepas dari kebesaran cara berfikir Cak Nun, yang selama kiprahnya dibidang kebudayaan sebagai tokoh multi dimensial dan dalam kurun waktu tiga zaman. Terhitung sampai dekade 2000 ke atas, seluruh pejabat di Indonesia tergolong sebagai tokoh baru dalam jabatannya. Pejabat yang usianya lebih muda: Setara adik Cak Nun. Secara otomatis kedudukan demikian memungkinkan para pejabat meminta Cak Nun turut menyelesaikan permasalahan pelik bangsa ini.
 
Hal yang sama juga terjadi di masyarakat Indonesia. Naluri manusia adalah berubah ke hal yang lebih baik dan bermutu. Dari segi cara berfikir misalnya, pemikiran Cak Nun selalu dinanti orang sebagai penyempurna pendapat pribadi mereka yang terasa ampang dan dangkal jika dibanding pemikiran Cak Nun yang sublim. Disinilah peran Orang Maiyah yang memang kental dengan pemikiran Cak Nun, dipandang perlu andil turut menjelaskan, merumuskan, menyelesaikan, memberi masukan dll ala berfikir Maiyah. Efektifnya, dalam menjelaskan teori Cak Nun, Orang Maiyah memakai rumus: Bukan karena Cak Nun mereka menjelaskan pemikiran Cak Nun, melainkan demi kwalitas mutu cara berfikir ummat manusia.
 
Orang Maiyah adalah orang yang khatam (selesai) dengan dirinya sendiri. Mereka menyadari haqikat eksistensinya di hadapan Tuhan dan pribadinya. Kepribadian tersebut akan menjadi entri power tersendiri ketika mereka merajut dunia profesionalisme dengan bebenang Maiyah. Sementara yang disebut pandangan umum ialah orang-orang yang tak selesai dengan dirinya sendiri: Yaitu orang yang mempermasalahkan hal sepele ketimbang hal progresif.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar