Siti Sa'adah
“Pena yang usang lebih berharga dari ingatan yang tajam”
Siang tidak terlalu terik, minggu, 9 Mei 2010 saya menginjak halaman kantor madrasah diniyah Tarbiyatunnasyiin Paculgowang untuk bertemu Bustanul Arifin dengan maksud wawancara ringan mengenai kiprahnya di dunia kepenulisan yang relatif masih asing bin langka di lingkungan Paculgowang.
Begitu bertemu, ternyata kami sudah saling mengenal, hanya saja selama ini belum tahu nama satu sama lain. Kang Arifin yang lahir di Lampung, 21 April 1983 ini mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng semester lima dan mengajar di madrasah Tarbiyatunnasyiin tempatnya mondok dan di MTs-MA Terpadu AL-Munawaroh Ngemplak Ngudirejo.
Bagi yang sudah membaca bukunya, pasti sudah tahu kalau buku itu berisi mauidhoh romo kyai Abdul Aziz yang disampaikan dalam kuliah subuh setiap Jum’at Legi. Dalam kuliah itu biasanya romo kyai mengangkat sebuah tema, menulis sebuah maqolah atau hadits yang berhubungan dengan tema tersebut, kemudian menjelaskannya dan seringkali diselingi dengan kisah berhikmah.
Kebiasaan kang Arifin adalah mencatat keterangan yang disampaikan bahkan jika memungkinkan merekamnya. Bertahun-tahun mengikuti kuliah subuh, sampai akhirnya tergerak untuk mendokumentasikan catatan tersebut menjadi sebuah buku, jika ada yang kurang dia meminjam catatan santri lain, kemudian mencocokkannya.
Di tengah proses penyusunan, tekatnya lebih kuat saat ada teman alumni yang dulu dijuluki Towil bertandang ke pondok dan menanyakan apakah ada karya dari pondok untuk di bawa pulang dan bisa dijadikan kenang-kenangan, saat itu memang belum ada, dan masih menjadi rahasia bahwa kang Arifin sedang menyusun sebuah buku. Semangatnya terlecut untuk segera merampungkan buku dan proses itu tidak lepas dari bimbingan gurunya yaitu Sayubi Alwi, teman-teman di pondok Paculgowang, Fathurrohman Karyadi dari majalah Tebuireng, serta nasehat romo kyai sendiri. Sehingga buku ini tidak terbit begitu saja, tetapi dengan keberanian untuk memulai, tekat yang kuat. Pergaulannya dengan teman-teman di Tebuireng yang juga penulis serta kegemarannya membaca sangat berpengaruh, terlebih buku-buku karya KH. Musthafa Bisri dari Rembang atau yang biasa dipanggil Gus Mus. Menurutnya tulisan Gus Mus itu sederhana tetapi mengena, tidak seperti tulisan para doktor yang njelimet.
Selama proses penulisan tidak jarang kang Arifin merasa buntu atau menthok, kesulitan untuk meneruskan tulisan yang masih ditengah jalan. Jika dihadang kendala seperti itu biasanya dia membaca buku yang mendukung topik yang sedang digarapnya, begitu dirasa dapat suntikan semangat dan ide, menulis dilanjutkannya kembali.
Menulis memang merupakan perbuatan terpuji dengan maksud mengikat ilmu (mukhafadhotul ilmi) dengan tulisan, yup! Adik-adik yang di ingat bisa terlupa namun yang tertulis bisa abadi dan dibaca orang banyak. Kalimatnya yang berkesan adalah penulis sehari-harinya mencari inspirasi, begitu sudah menetapkan tema atau judul, pikirannya akan terus berkelayapan serta nalarnya dikembangkan untuk mengulas tema tersebut.
Menurut kang Arifin, sebenarnya pondok khususnya di Paculgowang memiliki begitu banyak bahan untuk ditulis, karena begitu banyak ilmu yang ada, hanya saja belum ada keberanian untuk memulai, karena memang kepenulisan disini masih langka, perlu juga bimbingan tehnik menulis sehingga bisa mempermudah penuangan ide ke dalam tulisan.
Langkah berani kang Arifin memang pantas diacungi jempol, semoga bisa mendobrak keberanian dan kreatifitas kita dalam menulis, tidak hanya di ponpes tempatnya mondok tetapi juga siswa/I dan satri Al-Anwar. Disela-sela waktu mengajar dan kuliah serta mondok, dia terus berjuang menulis. Dia termotivasi oleh ulama besar, dimana dia bisa belajar dan mendapat ilmu melalui karya-karya mereka.
Saat ini dia sedang menyiapkan edisi revisi buku Mutiara Indah dari Paculgowang dari sebelas bab menjadi tujuh belas bab, dan buku ke-2 berumbul Bingkisan Mungil untukmu berisi mauidloh pernikahan yang disampaikan kyai Aziz dan direkamnya selama mengikuti beberapa pernikahan teman alumni.
Semoga catatan kecil ini bermanfaat dan menginspirasi.
Catatan: Tulisan kecil ini dikutip dari mading Perpustakaan MTs-MA AL-ANWAR Paculgowang Edisi Perdana.
“Pena yang usang lebih berharga dari ingatan yang tajam”
Siang tidak terlalu terik, minggu, 9 Mei 2010 saya menginjak halaman kantor madrasah diniyah Tarbiyatunnasyiin Paculgowang untuk bertemu Bustanul Arifin dengan maksud wawancara ringan mengenai kiprahnya di dunia kepenulisan yang relatif masih asing bin langka di lingkungan Paculgowang.
Begitu bertemu, ternyata kami sudah saling mengenal, hanya saja selama ini belum tahu nama satu sama lain. Kang Arifin yang lahir di Lampung, 21 April 1983 ini mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng semester lima dan mengajar di madrasah Tarbiyatunnasyiin tempatnya mondok dan di MTs-MA Terpadu AL-Munawaroh Ngemplak Ngudirejo.
Bagi yang sudah membaca bukunya, pasti sudah tahu kalau buku itu berisi mauidhoh romo kyai Abdul Aziz yang disampaikan dalam kuliah subuh setiap Jum’at Legi. Dalam kuliah itu biasanya romo kyai mengangkat sebuah tema, menulis sebuah maqolah atau hadits yang berhubungan dengan tema tersebut, kemudian menjelaskannya dan seringkali diselingi dengan kisah berhikmah.
Kebiasaan kang Arifin adalah mencatat keterangan yang disampaikan bahkan jika memungkinkan merekamnya. Bertahun-tahun mengikuti kuliah subuh, sampai akhirnya tergerak untuk mendokumentasikan catatan tersebut menjadi sebuah buku, jika ada yang kurang dia meminjam catatan santri lain, kemudian mencocokkannya.
Di tengah proses penyusunan, tekatnya lebih kuat saat ada teman alumni yang dulu dijuluki Towil bertandang ke pondok dan menanyakan apakah ada karya dari pondok untuk di bawa pulang dan bisa dijadikan kenang-kenangan, saat itu memang belum ada, dan masih menjadi rahasia bahwa kang Arifin sedang menyusun sebuah buku. Semangatnya terlecut untuk segera merampungkan buku dan proses itu tidak lepas dari bimbingan gurunya yaitu Sayubi Alwi, teman-teman di pondok Paculgowang, Fathurrohman Karyadi dari majalah Tebuireng, serta nasehat romo kyai sendiri. Sehingga buku ini tidak terbit begitu saja, tetapi dengan keberanian untuk memulai, tekat yang kuat. Pergaulannya dengan teman-teman di Tebuireng yang juga penulis serta kegemarannya membaca sangat berpengaruh, terlebih buku-buku karya KH. Musthafa Bisri dari Rembang atau yang biasa dipanggil Gus Mus. Menurutnya tulisan Gus Mus itu sederhana tetapi mengena, tidak seperti tulisan para doktor yang njelimet.
Selama proses penulisan tidak jarang kang Arifin merasa buntu atau menthok, kesulitan untuk meneruskan tulisan yang masih ditengah jalan. Jika dihadang kendala seperti itu biasanya dia membaca buku yang mendukung topik yang sedang digarapnya, begitu dirasa dapat suntikan semangat dan ide, menulis dilanjutkannya kembali.
Menulis memang merupakan perbuatan terpuji dengan maksud mengikat ilmu (mukhafadhotul ilmi) dengan tulisan, yup! Adik-adik yang di ingat bisa terlupa namun yang tertulis bisa abadi dan dibaca orang banyak. Kalimatnya yang berkesan adalah penulis sehari-harinya mencari inspirasi, begitu sudah menetapkan tema atau judul, pikirannya akan terus berkelayapan serta nalarnya dikembangkan untuk mengulas tema tersebut.
Menurut kang Arifin, sebenarnya pondok khususnya di Paculgowang memiliki begitu banyak bahan untuk ditulis, karena begitu banyak ilmu yang ada, hanya saja belum ada keberanian untuk memulai, karena memang kepenulisan disini masih langka, perlu juga bimbingan tehnik menulis sehingga bisa mempermudah penuangan ide ke dalam tulisan.
Langkah berani kang Arifin memang pantas diacungi jempol, semoga bisa mendobrak keberanian dan kreatifitas kita dalam menulis, tidak hanya di ponpes tempatnya mondok tetapi juga siswa/I dan satri Al-Anwar. Disela-sela waktu mengajar dan kuliah serta mondok, dia terus berjuang menulis. Dia termotivasi oleh ulama besar, dimana dia bisa belajar dan mendapat ilmu melalui karya-karya mereka.
Saat ini dia sedang menyiapkan edisi revisi buku Mutiara Indah dari Paculgowang dari sebelas bab menjadi tujuh belas bab, dan buku ke-2 berumbul Bingkisan Mungil untukmu berisi mauidloh pernikahan yang disampaikan kyai Aziz dan direkamnya selama mengikuti beberapa pernikahan teman alumni.
Semoga catatan kecil ini bermanfaat dan menginspirasi.
Catatan: Tulisan kecil ini dikutip dari mading Perpustakaan MTs-MA AL-ANWAR Paculgowang Edisi Perdana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar