Kamis, 16 September 2010

Kumpulan Puisi Aditya Ardi Nugroho

LITURGI PUISI SEPI

sekerat roti yang tak beragi, sengaja dibagi-bagi
untuk diganyang makhluk jalang
tapi maaf ini bukan untuk perut-perut yang kerjanya menuntut
roti tak beragi khusus untuk makhluk sepi
karena dimasak oleh orang yang hakiki, yang punya arti

supaya mereka mabuk dalam karunia
berpesta tiada hentinya, menyanyi tanpa nada
mentahirkan tangan kepada sang perupa
di tengah mezbah lalu mereka rebah
sesekali mereka bersungut-sungut
menjadi tuhan kecil bagi manusia-manusia kerdil

di antara kitab-kitab tua yang berserakan
mereka lupa pada golghota,janji yang ditandai pelangi
embun beku di bukit sion, jadi busa-busa duka cita

terlalu sibuk mencari kembali tanah perjanjian
yang tak mungkin didapatkan, cukup temukan kefanaan
maka mazmurkanlah kidung akhir zaman
dalam sebuah liturgi puisi sepi

Jombang, 2008



SISAKAN ELEGI

lampu neon di cumbu laron-laron
dalam percintaan yang melelahkan
bahkan mirip asmara gadungan
menggeletar, sayapmu patah satu
kau mengadu padaku, tatkala matamu ngilu
pandanganmu kelabu disadap debu

itu tubuhmu memar biru
karena melulu dipukul waktu
mulutmu menganga tatapanmu tak terbaca
kau paksa aku dengar kesahmu
tentang cintamu pada sorot lampu
serta cahaya yang menyetubuhimu

berpilin-pilin rasa, berjubel di rongga dadamu
apalagi lampu mati, laron-laron jadi ngeri
terus lari mencari matahari di malam sepi
lihatlah laron makin sakit hati
aku pun ikut-ikutan lari, pergi membuka lemari



BESETUBUH SIKSA

aku ini adalah tembakau murah
digulung dalam papir lusuh beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
jadilah sepah tanpa mutu, dijual orang sambi lalu

bila disulut, racun berbung-bunga dari asapku
mengharu biru penuhi paru-paru mengisi nadi
merangkul otak menjadi berontak
lalu muntah mengisi langit-langit kosong

saat asapku dicium udara tanpa warna
menggerus nurani terus butakan logika
hingga mereka mencapai pusara
ada yang unjuk rasa, ada yang unjuk gigi
sama saja cari mati

aku tak peduli
karena aku hanya tembakau murahan
digulung dalam papir lusuh, beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
sepah tanpa mutu, di jual sambil lalu

mobilisasi Warung Kopi

agresi sedang terjadi di bawah panci, kompor tua bernyanyi
membara seperti percik api revolusi
mendidihkan air menjadi gila tak terkata
cangkir-cangkir kosong mulai bergetar
dan sepertinya hidup pun siap digelar

lihatlah di pojok sana, ada yang asik merajut dusta
disini kami sibuk merangkai kata-kata
di depan kami orang-orang ramai berdiskusi
tentang hak asasi dan supremasi
ternyata hendak menggadaikan ideologi, dalam hati kami mencaci

di sebelah kanan, ada orang berbicara tanpa titik dan koma
tentang surga penuh taman bunga, neraka yang tinggi suhunya
dan agama tameng kehidupan fana
mendengarnya hati kami kaya rasa, warna gembira

di sebelah kiri, ada pencuri baru keluar bui
ingin menyanyi lagu padamu negri
lalu tertawa tanpa arti, menangis dalam sepi

kemudian lewat pengemis, sedari tadi mengais-ngais
hati kami jadi gerimis, tapi mereka meringis

sungguh masih banyak kata yang tak teraba
dan warung kopi makin demam tinggi



LIDAH API

rasanya kita sudah cukup lelah
mengembara hingga kita berdarah
tak kenal lagi apa yang mesti dinanti
sudah cukup lupa memar di kepala
juga nyeri-nyeri menempel rapi

di tiap jengkal tubuh kita, tergurat rapat
sisa keringat yang telah berkarat
semoga kita bukan korban sejarah
dari zaman lapuk yang lengang

kesadaran kita mungkin kuncinya
serta keberanian untuk membangkang
pada diri kita, bakarlah itu semua
sebab kita bukan berhala

mari kita benamkan tubuh kita
ke dalam muara yang tak henti alirannya
menuju satu pusara, dimana asa bersembunyi disana
dan saat harapan itu merapat
di tengah tembok kesadaran mendesir
pasti akan tercurah hujan berkah
kita akan mengaisnya sampai tandas
sebelum senja benar-benar menghentikan langkah kita
sebelum malam memasung perjalanan kita



LATAR

tubuhku yang luput oleh kabut tlah disapa senja
aku meniupkan air dan asap di kolom udara
kusaksikan pula udara yang memberat
menjadikan langkahku gawat
cukup angin yang tahu warna kepalaku
dan bisa membaca jemariku
maka apa yang kutiupkan
kini kuhisap kembali

Jombang, 2008



TAK HABIS PIKIR

tak habis pikir, duniaku jungkir
suara-suara menjelma warna menyala
merah, kuning, biru akhirnya juga kelabu
berakhir di kursi itu padat rapat
sebuah kursi penggugah birahi

siapa yang duduk di sana jadi lantang suaranya
jadi pandai berjanji, suka memainkan jari
sedikit-sedikit diskusi tentang problema purba
negeri antah berantah yang tak bisa pecah
apa yang dirubah ?

mereka jadi hilang kata, suaranya lenyap seketika
dan mulai memamah jari-jarinya sendiri
menelan kembali janji-janji yang tak terperi
lalu menyelingkuhi kitab-kitab nabi

sedangkan kita yang sempat terlena oleh kata-kata
cuma bisa geleng kepala, mengelus dada
kita yang telah terperkosa oleh warna
masih dibebani menjaga rahasia
agar dongeng ini jangan sampai tahu anak cucu

kita bisa malu
dan mungkin mati kaku

Jombang, 2008



GEROMBOLAN SI BERAT

mereka yang dibesarkan dengan nasi basi
dan botol-botol keras tak pernah ranggas
irama nafasnya serupa musik pengantar pada maut
tak ada lagi harapan yang ingin dirajut
tergerus dan terhisap pada kolom pengap

di bawah kadang di tepi, gelap tapi bernyawa
mereka memunggungi hari, menyangkali diri
rasa hina adalah pengasuh paling setia
sesekali menggelar reuni pesakitan
pesta pora menggila, mabuk di perempatan

merapat satu posisi matilah suci
membakar jiwa, melebur nyawa

satu lagi, menylingkuhi tragedi
mereka ahli

Jombang, 2008



APA YANG BISA BUATMU TERTAWA

tadi siang kudengar kau banyak bercerita pada angin
lalu kau bisikkan ke telingaku, cerita yang sama, cerita yang lama
seperti di tv dan tayangan telenovela

ah itu biasa, wanita yang disakiti lelakinya: kataku
ini keterlaluan, binatang tak punya hati, anjing: katamu
kitapun bersitatap tanpa cakap, lalu kembali kau menggumam
ruangan ini menjadi demam oleh auramu

lihatlah tembok dan pintu yang mengigau
dan atap yang memerah, menyatu dengan amarahmu
semua murung, termasuk aku merasuk dalam cerita panjangmu
ketika kau berhenti berkata,
ganti aku menyergapmu dengan tanya

tapi tak ada suara, hanya gigil tangis dan air mata yang mendidih
aku bergegas mengambil kantung plastik
sebelum amarahmu kau muntahkan ke lantai

Jombang, 2008



AKROBAT

kau gadis malam, aku tahu itu dari keringatmu
dan bau tubuhmu wangi aroma kasur tua
bekas cinta kilat masih nempel di lehermu; kau acuh
bibirmu itu ciptakan bara, berkobar membakar

tenang kau melenggang, menebar jala dengan paha
mereka yang rajin merajut dusta, kawanmu yang setia
ingin berenang bersama, menyelam atau main petak umpet
dibalik sprei yang basah
mereka juga ingin berkuda
tanpa pelana tentunya

Jombang, 2009



ANDAI AKU PUNYA BAPA

seandainya aku punya bapa
aku akan minta mainan di toko surga
yang mahal harganya, dan takkan rusak oleh dunia

seandainya aku punya bapa
akan kuminta rawatan yang berkelebihan
dimandikan oleh peri di sungai tigris

sekali lagi, seandainya aku punya bapa
akan kuminta supaya debu dunia tidak menohok mata
biar aku tak menangis, biar aku terus meringis

ingin rasanya menyaksikan datangnya musim semi
menikmati guruh riuh dan bentara petir
atau menamatkan fajar yang ceria, bersama bapa

tapi sayang aku tak punya bapa
jadi aku tak perlu sibuk merawat mimpi atau merajut asa
maka kuputuskan naik kereta jurusan neraka

kalau ada, kalau bisa

Jombang, 2009



RUMAH TANPA TANGGA

kusaksikan dua wajah memerah nempel di tembok
ada yang menahan kata tersangkut di pitasuara
ada debu meloncat juga airmata pucat

kusaksikan anak tangga patah
setelah di injak-injak rupiah

Jombang, 2009



SAKIT

baca koran sebongkok wanita bertubuh rawan
lihat tv para pencuri memamah besi
di radio memancar tangis kaum tergusur
tukang becak menggantung diri tinggi-tinggi
di dahan pohon harapan yang rapuh
mereka mengais-ngais disudut zaman
yang nampak lengang dan mati

Jombang, 2009



ABU SUKMAKU

cuma kamu yang bisa mengerti
filsafat pemberontakanku
jadi biar aku titipkan padamu
dan rawatlah baik-baik abu sukmaku
tafsirkanlah aku sesuka hatimu
asal kau beri arti
dan paham tentang kata memaknai
maka aku tak akan merindukan apa-apa lagi
kecuali menyandingmu
bertahta di pucuk-pucuk asa

Jombang, 2009



RAKIRI

mari kita beri semangat !
untuk seragam cokelat yang makin pucat
sebetulnya mereka manusia hebat
seperti pemahat dan pelukis
mereka bentuk pekerti dalam sanubari
dan melukiskan jalan dengan warna cerah
pada setiap lembar-lembar kosong

sayang, mereka tak bekerja di ladang uang
hanya cukup hidup di kandang, baunya apek
udaranya beracun, mereka pingsan
masih saja digencet, perutnya lengket
lalu datang suara-suara besar kepala
malah melilit leher mereka
hingga nafasnya ngadat, tersumbat

geliat seragam cokelat penuh hasarat
tersangkut pada lubang-lubang yang gawat

ketika makna menuntut arti
aku akan jadi saksi

Jombang, 2009



ANTI HURU-HARA

kukabarkan padamu
bilamana aku tersedu dan kepalaku buntu
darahku menyeruap sarapku pecah
penetrasi pembekuan naluri menelusup
berseliweran, riang berkejaran dalam nadi

sejauh ini aku telah dipecundangi
khayalan dan keinginan daging
yang menjadi mahkota duri di kepala
aku menaruh curiga atas mimpi-mimpi
tak percaya lagi pada fantasi otak kiri
perutku kenyang makan kebohongan
semua mengendap, pekat dalam dermaga bisu
dimana kapal-kapal saling bertabrakan
sehingga jadi bengkok, malu untuk berlabuh

dalam warna diri yang kian pudar
kupaksa membetot kesadaranku
mulutku terus berucap mantra-mantra
suranya memekik dan tak terdengar habis dimakan hawa
tapi kau punya telinga sangat peka untuk mengkhidmati
dan memperdengarkan suara-suara
yang mengabarkan ketiadaanku

Jombang, 2009



TERTANGKAP KERING

mata-mata cerdik licik berkesiap
tangan bergelayut, susuk masuk tak cukup
makna menari dalam kolom sempit
hingar bingar itu adalah kamar lapang
untuk mencecap mawaryang menyala

mereka seperti bermain opera murahan
tanpa sutradara, reportoar dan nyanyian
tapi koreonya bagus tertata tanpa kata
berdiri merapat, sedikit geliat lalu sikat
sunguh hebat, legion berani mati

aku berasa asing dari diri, tiba-tiba
diceraikan rasa berani, tubuhku mengencang
saku-saku menuntutku, sambil menggerutu
kurogoh kocek tak lagi receh ini makin sepi
lalu pikiranku meletus, luber tercecer
di lantai yang pusing dan mual
dan aku tahu mereka menginjaknya

Jombang, 2009



RATAPAN NYANYIAN PULASARA

lengkap sudah derita menyala di pundakmu
setelah awan hitam terbuka
matahari tak bisa tertawa
kau tampak membisu saja

lihatlah kepalamu
seperti rumput yang terhimpit di bebatuan
ubun-ubunmu dihisap oleh nasibmu yang gagap
bahkan di tiap-tiap lekuk tubuhmu yang telah kuhafal
membentuk ornamen tentang kematian

langit di dalam membara ke segala arah
dan esok adalah padang halimun
yang mengaburkan tatap mata dunia
di depanmu masih meluap air mata
dan senja petaka
juga ada gempa dan guruh riuh sekawannya

aku pesan kepadamu carilah benteng
di kota-kota tua, singgahlah disana
tetaplah bermazmur meski tanpa suara
kidungkan nyanyian akan kemenangan

maka suluh itu
menerangi tiap langkahmu tanpa sedu
dan ratap itu membeku

Jombang, 2009



ADA TERTULIS

aku mengasihimu sejak aku dikandungmu
kini aku tlah matang dan tamak jadinya
suka mabuk oleh udara dunia
sembilan purnama kau dalam siksa
sekarang pun kerap tertinju;
dengan tuturku dan hati liarku
yang kerap ganggu istirahatmu yang keramat

kadang aku dirudung bingung, disergap resah
saat tanya itu melilitku;
harus dengan apa menggantikan aura
yang kau sematkan di kalbuku
dengan apa aku lunaskan segala ilmu kasih
dan nafas hidup yang tunai kau berikan

terkadang aku ingin mengambil sayap malaikat itu
lalu kulekatkan dipunggungmu; bersayaplah
dan kita terbang bertolak dari perkabungan

Jombang, 2009



YANG MAHA SEPI

saat mulut-mulut dibungkus rapi
aku ditipu oleh daun pintu
sedari tadi tersipu mengawasi
langkah gerakku jadi hilang arti
segala rasa mampat di hidung saja
berjelaga; mengendap pada tabularasa

kuputuskan menerobos jantung malam
dimana keangkuhanya berdiri perkasa
lalu kuperdengarkan seru ilalang
tercabik udara nyalang liar
menyeringai bagai tatapan jalang
hening cipta, mati rasa
tubuhku bergidik
aku harus bertelut
atau pergi saja cari selimut

Jombang, 2009



EUFHORIA HUJAN KACA

di malam perjamuan, pada riuh perayaan
suara benturan piring dan gelas-gelas kaca
sangat membantuku menaikan sukacita
rasa, jiwa yang papa, tak tertata
sukacita semua itu mematung sepi

saat kita bertemu dalam satu titik api
yang tak terencana, naluri beku
kupandangi engkau, meski terhalang daun hijau
dan gelas kaca tentunya, terobos saja
dada ini bergetar, memutar, jungkir balik
pula kau pandangi aku dari kedalamanmu
sepertinya semu, ah tak tahu
apapun itu, dalam pandang kita beradu
bersitatap pun kita tak mampu
tapi aku tak mau menamatkan
pandanganku dan pandanganmu
biar beku
biar bisu

Jombang, 2009



HATI YANG DIKEBIRI

melangkah di tengah mendug mengepung
hujan berpesta merayakan keterasinganku
di tengah jentera bianglala
yang porak poranda
aku berkaca pada matamu, dingin beku
serta gelakmu cukup tenang mengambang
pada air yang menggenang luber di dadaku

pada siapa kiranya aku mesti bersaksi
tatkala mendung enggan menjadi hujan
teriakanku tak menyibak duniamu
tangisanku tersangkut, gemetar dan hanyut
hatiku berserakan di trotoar jalan
jangan hiraukan, tapi jangan abaikan

aku hanya berharap pada hujan
agar tercurah penuh membasuh segala peluh
mencuci luka jiwa yang tergerai
mengakhiri elegi di sudut hati

kau terbanglah
biarkan aku menjadi asap
yang akan habis terurai udara

Jombang, 2009



ODE BUAT AKU

perutku dipenuhi suara-suara gegap gempita
nyanyian tentang kelaparan beriring
tabuhan tifa, gendang dan tamborin
memainkan simfoni sakit hati
sebuah pertunjukan tuli
penontonnya tak pasti

makhluk malam
makhluk malang
yang terbuang

suaranya kian menderu
pemberang siap diadu
pembangkang jadilah babu
penjilat tentram selalu
inilah ode buat aku

Jombang, 2009



ARTERI

aku merasa asing berenang di udaramu
sendiri bergurau dalam keramaianmu
memintal dan merajut hasrat menjadi mimpi
tak ada darah
tak ada gairah
hanya resah bersembunyi dalam nadi
tiada lagi yang dapat kuhisap
atau sekedar mengepulkan asap
aku merangkak diantara puing-puing kesadaran

dan tengoklah pilar-pilar sepi
betapa agung dan congkaknya
merampas semua warna yang tersemat di kepala
aku makin asing
dalam deru nafas kian terampas

Jombang, 2009



TERLILIT ASA

tunggulah biar kutarik nafas
esok petang akan kulunasi
bukan dengan pedang
bukan dengan tinju dan belati

tapi dengan senyum lega
yang akan taram-temaram
menghias cakrawala dunia

Jombang, 2009



NISBI-KAH AKU

malam disetubuhi jalang
dalam gairah yang kian kesumat
meniupkan aku dalam tanah suram
tandus penuh raungan dan geram
di mataku tergurat kebencian yang tebal
mulutku kaya dengan kata-kata hujat

aku telah menjadi perusuh batin
bagi manusia pecandu sorga
aku adalah kesucian yang terlantar
laksana debu tersapu waktu
ingin rasanya memegang tuas
akan ku corat-coret langit dan bumi
dan lukis rembulan setengah jadi
ku tinju hingga pecah berserpihan

tapi bumi lebih dulu melumatku
dengan hisapan dalam yang menelan
kemudian langit memuntahkan aku
ke dataran yang tak ku kenal
kujumpai pangeran bermahkota duri
menaiki awan dikelilingi pelangi
dia menghapuskan tiap dendam yang kuselipkan
tubuhku dibasuh dengan air dari cawan suci
dia menggapai tangan kananku
kemudian membawaku merasuki
kerajaan kebenaran sepanjang peradaban
berbaur lebur bersama keabadia

Jombang, 2009



MEMARNYA MALAM

kupegangi punggung malam
kudapati lekukan-lekukan gelap tak berdasar
senyap itu merayap, menabrak dan melabrak
aura pun lenyap begitu saja
sungguh lengang tiada yang terbang
lebih dalam daripada lagu si bisu
aku siuman diatas buaian tenang

ternyata malam yang begitu malam
cukup pintar merawat nafasku
sekalipun legam telah teruntai
untuk malam selanjutnya

Jombang, 2009



TELAH KU BEKUKAN WAKTU

busur dan jarum menunjuk angka
matahari kecil kembali menyala
meskipun lamur setengah kabur
tetap cahayanya berkelindan suram
merumuskan sinar yang hendak dihujamkan

ku mulai meramu awing-awang
tatkala matahari terjebak lemas
diam diseperempat malam
tepat busur dan jarum yang menghunus
membuai aku perlahan-lehan
hingga tangguhku setengah pingsan
dan asa itu diam tak terelakan

Jombang, 2009



TEMPUR : TEMPUR

runcing bambu senjata bangsaku
kini diganti serbuk mesiu
penuhi perut-perut peluru
lalu antri-berjejal pada mesin itu
menunggu simanis menekan picu

merdeka atau mati
itu janji tak ditepati
tinggal hitung hari
perlahan pasti mati

ini inovasi baru; katanya
hanya untuk jaga-jaga; katanya
agar negri damai aman sentosa
ujar bapak bertopi merah

lalu kamimembalasnya:
bukannya ini mesin pelebur nyawa
yang siap mengantar kami ke neraka

daun bambu kuning sudah tidak runcing
karena terisak-isak terpicing-picing
melihat di sekelilingnya menyeramkan
seperti menggali lubang kuburnya sendiri

Jombang, 2009



PEREMPUAN YANG TERLUKA

kiranya telah sempurna kelopak-kelopak lara
terbuka dengan lebarnya
dengan tandas menimpakan kedahsyatannya
melilit tubuh itu mengguarat rapat
tak ada lagi kuasa atasnya

dalam perhelatan melawan dunia
mencoba mengasingkan lara yang mendera
menafikan onggokan pengap di rongga dada
sekali lagi tak ada kuasa atasnya

sungguh kepalanya disadap ngilu
jemari dciiuminya hingga berlalu
habiskan berpuluh-puluh waktu
habis pulalah rasa yang digengngamnya
hingga pulas tergeletak di sudut malam
benar-benar tak ada kuasa atasnya

Jombang, 2009



SAJAK UNTUK IBUNDA

sebelum embun turun menjelma bening air
lebih dulu ia melunaskan tugas ini hari
sebelum menyala pijar matahari
lebih dulu dia mendulangku dengan sinar
yang datang menelusup lewat matanya

bergegas ia menantang seri kehidupan
menapaki ruang-ruang kosong
memainkan peranan sebagai wanita perkasa
kadang terlihat seperti kartini berseri-seri
seperti datangnya musim semi

sore itu merapat melerai panas dunia
mungkin agak tepat untuk bersendawa
tapi tidak baginya
sekali lagi ia memelantingkan dirinya
keras diataas ubin dengan raut sulam
legam tergurat diantara pelipisnya

tak karuan luka ditoreh dengan rapi
di setiap sudut di tubuh bahkan nyawa
terkadang ada darah mematung di sendinya
dengan setia nyeri-nyeri menemani
tapi itu semua tak jadi apa

ngesah seakan tak pernah ada padanya
telah dibayar tunai dengan tawa
dan senyum tipis yang melekat
pada tubuh yang hancur

jahat benar udara telah menikammu
melukaimu dengan sayatan yang tenang
menggerusmu dalam peristiwa asing
sesuatu yang tak seharusnya ditimpahkan atasmu,
sungguh jahat

bagiku kau lebih hebat dari dewa-dewa
lebih pintar dari seorang pakar
lebih tangguh dari pilar yang kokoh
lebih bijaksana dari hakim-hakim tua
segala kelebihan tercurah penuh atasmu
semesta ini dengan kekuatan maha dahsyat
telah kau rangkum, terjelma dalam nafasmu

mulia ibunda, sungguh mulia, sungguh kasih
kaulah benih manusia penuh budi
tak akan meregang segala arti
sesungguhnya kehidupan ada di genggamanmu
sekarang coba mainkanlah untukku

ibunda seandainya kumiliki dua nyawa
akan kuberikan semuanya
biarpun aku terbelah dan menggeletar
kiranya bukanlah hal sia-sia
karena engkau wanita setia, suci tak bercela
kelak bila kita tercerai oleh dunia
akan ada pengasuh yang merawatmu
pengasuh yang sama-sama kita kenal
itu yang kau butuhkan di masa-masa senja
bahkan maranata,
…………….. …oh ibunda

Jombang, 2009



TEMARAM

mengapa tak ada yang melerai
amuk hujan malam itu
hingga malam jadi bangkrut

ada yang berkelahi
berebut dingin,sisa dingin

apa kau tak kasihan
lihat jalanan pada hujan
hanya aroma dingin itu
yang nempel diantara kompor dan wajan

pedagang kaki lima tunduk kepala
mengamini sisa dingin itu

Jombang, 2009



NYANYIAN CAPUNG MERAH

merekah hijau sawah membias ke angkasa
katak dan padi saling berpeluk
melantunkan kidung puja kelangit
yang hijau warnanya

para petani yang tadi berat hati
turut menyerukan nyanyian sambil
bertepuk dengan cangkul dan sabit
terayun oleh keringat yang mampat

semua berpacu dalam irama pesta kerja
rasanya, tak satupun yang mengimbanginya
bukan begitu;saudaraku?

Jombang, 2009


BIODATA: Aditya Ardi Nugroho (Genjus) lahir di Jombang, 7 Januari 1987. Alumni SMAN 1 Ngoro Jombang. Status Mahasiswa semester akhir jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Aktif dalam Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS) Ngoro Jombang.
Antologi puisi bersamanya”Sebelum surga terbakar” (STKIP PGRI Jombang; 2005). Sebagian puisinya dimuat di KOMPAS (Sisikan Elegi, Bersetubuh Siksa, Mobilisasi Warung Kopi, Lidah Api). Kini tinggal dan berkarya di Jombang; Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang 61473 Jawa Timur HP 085646401666

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar