LITURGI PUISI SEPI
sekerat roti yang tak beragi, sengaja dibagi-bagi
untuk diganyang makhluk jalang
tapi maaf ini bukan untuk perut-perut yang kerjanya menuntut
roti tak beragi khusus untuk makhluk sepi
karena dimasak oleh orang yang hakiki, yang punya arti
supaya mereka mabuk dalam karunia
berpesta tiada hentinya, menyanyi tanpa nada
mentahirkan tangan kepada sang perupa
di tengah mezbah lalu mereka rebah
sesekali mereka bersungut-sungut
menjadi tuhan kecil bagi manusia-manusia kerdil
di antara kitab-kitab tua yang berserakan
mereka lupa pada golghota,janji yang ditandai pelangi
embun beku di bukit sion, jadi busa-busa duka cita
terlalu sibuk mencari kembali tanah perjanjian
yang tak mungkin didapatkan, cukup temukan kefanaan
maka mazmurkanlah kidung akhir zaman
dalam sebuah liturgi puisi sepi
Jombang, 2008
SISAKAN ELEGI
lampu neon di cumbu laron-laron
dalam percintaan yang melelahkan
bahkan mirip asmara gadungan
menggeletar, sayapmu patah satu
kau mengadu padaku, tatkala matamu ngilu
pandanganmu kelabu disadap debu
itu tubuhmu memar biru
karena melulu dipukul waktu
mulutmu menganga tatapanmu tak terbaca
kau paksa aku dengar kesahmu
tentang cintamu pada sorot lampu
serta cahaya yang menyetubuhimu
berpilin-pilin rasa, berjubel di rongga dadamu
apalagi lampu mati, laron-laron jadi ngeri
terus lari mencari matahari di malam sepi
lihatlah laron makin sakit hati
aku pun ikut-ikutan lari, pergi membuka lemari
BESETUBUH SIKSA
aku ini adalah tembakau murah
digulung dalam papir lusuh beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
jadilah sepah tanpa mutu, dijual orang sambi lalu
bila disulut, racun berbung-bunga dari asapku
mengharu biru penuhi paru-paru mengisi nadi
merangkul otak menjadi berontak
lalu muntah mengisi langit-langit kosong
saat asapku dicium udara tanpa warna
menggerus nurani terus butakan logika
hingga mereka mencapai pusara
ada yang unjuk rasa, ada yang unjuk gigi
sama saja cari mati
aku tak peduli
karena aku hanya tembakau murahan
digulung dalam papir lusuh, beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
sepah tanpa mutu, di jual sambil lalu
mobilisasi Warung Kopi
agresi sedang terjadi di bawah panci, kompor tua bernyanyi
membara seperti percik api revolusi
mendidihkan air menjadi gila tak terkata
cangkir-cangkir kosong mulai bergetar
dan sepertinya hidup pun siap digelar
lihatlah di pojok sana, ada yang asik merajut dusta
disini kami sibuk merangkai kata-kata
di depan kami orang-orang ramai berdiskusi
tentang hak asasi dan supremasi
ternyata hendak menggadaikan ideologi, dalam hati kami mencaci
di sebelah kanan, ada orang berbicara tanpa titik dan koma
tentang surga penuh taman bunga, neraka yang tinggi suhunya
dan agama tameng kehidupan fana
mendengarnya hati kami kaya rasa, warna gembira
di sebelah kiri, ada pencuri baru keluar bui
ingin menyanyi lagu padamu negri
lalu tertawa tanpa arti, menangis dalam sepi
kemudian lewat pengemis, sedari tadi mengais-ngais
hati kami jadi gerimis, tapi mereka meringis
sungguh masih banyak kata yang tak teraba
dan warung kopi makin demam tinggi
LIDAH API
rasanya kita sudah cukup lelah
mengembara hingga kita berdarah
tak kenal lagi apa yang mesti dinanti
sudah cukup lupa memar di kepala
juga nyeri-nyeri menempel rapi
di tiap jengkal tubuh kita, tergurat rapat
sisa keringat yang telah berkarat
semoga kita bukan korban sejarah
dari zaman lapuk yang lengang
kesadaran kita mungkin kuncinya
serta keberanian untuk membangkang
pada diri kita, bakarlah itu semua
sebab kita bukan berhala
mari kita benamkan tubuh kita
ke dalam muara yang tak henti alirannya
menuju satu pusara, dimana asa bersembunyi disana
dan saat harapan itu merapat
di tengah tembok kesadaran mendesir
pasti akan tercurah hujan berkah
kita akan mengaisnya sampai tandas
sebelum senja benar-benar menghentikan langkah kita
sebelum malam memasung perjalanan kita
LATAR
tubuhku yang luput oleh kabut tlah disapa senja
aku meniupkan air dan asap di kolom udara
kusaksikan pula udara yang memberat
menjadikan langkahku gawat
cukup angin yang tahu warna kepalaku
dan bisa membaca jemariku
maka apa yang kutiupkan
kini kuhisap kembali
Jombang, 2008
TAK HABIS PIKIR
tak habis pikir, duniaku jungkir
suara-suara menjelma warna menyala
merah, kuning, biru akhirnya juga kelabu
berakhir di kursi itu padat rapat
sebuah kursi penggugah birahi
siapa yang duduk di sana jadi lantang suaranya
jadi pandai berjanji, suka memainkan jari
sedikit-sedikit diskusi tentang problema purba
negeri antah berantah yang tak bisa pecah
apa yang dirubah ?
mereka jadi hilang kata, suaranya lenyap seketika
dan mulai memamah jari-jarinya sendiri
menelan kembali janji-janji yang tak terperi
lalu menyelingkuhi kitab-kitab nabi
sedangkan kita yang sempat terlena oleh kata-kata
cuma bisa geleng kepala, mengelus dada
kita yang telah terperkosa oleh warna
masih dibebani menjaga rahasia
agar dongeng ini jangan sampai tahu anak cucu
kita bisa malu
dan mungkin mati kaku
Jombang, 2008
GEROMBOLAN SI BERAT
mereka yang dibesarkan dengan nasi basi
dan botol-botol keras tak pernah ranggas
irama nafasnya serupa musik pengantar pada maut
tak ada lagi harapan yang ingin dirajut
tergerus dan terhisap pada kolom pengap
di bawah kadang di tepi, gelap tapi bernyawa
mereka memunggungi hari, menyangkali diri
rasa hina adalah pengasuh paling setia
sesekali menggelar reuni pesakitan
pesta pora menggila, mabuk di perempatan
merapat satu posisi matilah suci
membakar jiwa, melebur nyawa
satu lagi, menylingkuhi tragedi
mereka ahli
Jombang, 2008
APA YANG BISA BUATMU TERTAWA
tadi siang kudengar kau banyak bercerita pada angin
lalu kau bisikkan ke telingaku, cerita yang sama, cerita yang lama
seperti di tv dan tayangan telenovela
ah itu biasa, wanita yang disakiti lelakinya: kataku
ini keterlaluan, binatang tak punya hati, anjing: katamu
kitapun bersitatap tanpa cakap, lalu kembali kau menggumam
ruangan ini menjadi demam oleh auramu
lihatlah tembok dan pintu yang mengigau
dan atap yang memerah, menyatu dengan amarahmu
semua murung, termasuk aku merasuk dalam cerita panjangmu
ketika kau berhenti berkata,
ganti aku menyergapmu dengan tanya
tapi tak ada suara, hanya gigil tangis dan air mata yang mendidih
aku bergegas mengambil kantung plastik
sebelum amarahmu kau muntahkan ke lantai
Jombang, 2008
AKROBAT
kau gadis malam, aku tahu itu dari keringatmu
dan bau tubuhmu wangi aroma kasur tua
bekas cinta kilat masih nempel di lehermu; kau acuh
bibirmu itu ciptakan bara, berkobar membakar
tenang kau melenggang, menebar jala dengan paha
mereka yang rajin merajut dusta, kawanmu yang setia
ingin berenang bersama, menyelam atau main petak umpet
dibalik sprei yang basah
mereka juga ingin berkuda
tanpa pelana tentunya
Jombang, 2009
ANDAI AKU PUNYA BAPA
seandainya aku punya bapa
aku akan minta mainan di toko surga
yang mahal harganya, dan takkan rusak oleh dunia
seandainya aku punya bapa
akan kuminta rawatan yang berkelebihan
dimandikan oleh peri di sungai tigris
sekali lagi, seandainya aku punya bapa
akan kuminta supaya debu dunia tidak menohok mata
biar aku tak menangis, biar aku terus meringis
ingin rasanya menyaksikan datangnya musim semi
menikmati guruh riuh dan bentara petir
atau menamatkan fajar yang ceria, bersama bapa
tapi sayang aku tak punya bapa
jadi aku tak perlu sibuk merawat mimpi atau merajut asa
maka kuputuskan naik kereta jurusan neraka
kalau ada, kalau bisa
Jombang, 2009
RUMAH TANPA TANGGA
kusaksikan dua wajah memerah nempel di tembok
ada yang menahan kata tersangkut di pitasuara
ada debu meloncat juga airmata pucat
kusaksikan anak tangga patah
setelah di injak-injak rupiah
Jombang, 2009
SAKIT
baca koran sebongkok wanita bertubuh rawan
lihat tv para pencuri memamah besi
di radio memancar tangis kaum tergusur
tukang becak menggantung diri tinggi-tinggi
di dahan pohon harapan yang rapuh
mereka mengais-ngais disudut zaman
yang nampak lengang dan mati
Jombang, 2009
ABU SUKMAKU
cuma kamu yang bisa mengerti
filsafat pemberontakanku
jadi biar aku titipkan padamu
dan rawatlah baik-baik abu sukmaku
tafsirkanlah aku sesuka hatimu
asal kau beri arti
dan paham tentang kata memaknai
maka aku tak akan merindukan apa-apa lagi
kecuali menyandingmu
bertahta di pucuk-pucuk asa
Jombang, 2009
RAKIRI
mari kita beri semangat !
untuk seragam cokelat yang makin pucat
sebetulnya mereka manusia hebat
seperti pemahat dan pelukis
mereka bentuk pekerti dalam sanubari
dan melukiskan jalan dengan warna cerah
pada setiap lembar-lembar kosong
sayang, mereka tak bekerja di ladang uang
hanya cukup hidup di kandang, baunya apek
udaranya beracun, mereka pingsan
masih saja digencet, perutnya lengket
lalu datang suara-suara besar kepala
malah melilit leher mereka
hingga nafasnya ngadat, tersumbat
geliat seragam cokelat penuh hasarat
tersangkut pada lubang-lubang yang gawat
ketika makna menuntut arti
aku akan jadi saksi
Jombang, 2009
ANTI HURU-HARA
kukabarkan padamu
bilamana aku tersedu dan kepalaku buntu
darahku menyeruap sarapku pecah
penetrasi pembekuan naluri menelusup
berseliweran, riang berkejaran dalam nadi
sejauh ini aku telah dipecundangi
khayalan dan keinginan daging
yang menjadi mahkota duri di kepala
aku menaruh curiga atas mimpi-mimpi
tak percaya lagi pada fantasi otak kiri
perutku kenyang makan kebohongan
semua mengendap, pekat dalam dermaga bisu
dimana kapal-kapal saling bertabrakan
sehingga jadi bengkok, malu untuk berlabuh
dalam warna diri yang kian pudar
kupaksa membetot kesadaranku
mulutku terus berucap mantra-mantra
suranya memekik dan tak terdengar habis dimakan hawa
tapi kau punya telinga sangat peka untuk mengkhidmati
dan memperdengarkan suara-suara
yang mengabarkan ketiadaanku
Jombang, 2009
TERTANGKAP KERING
mata-mata cerdik licik berkesiap
tangan bergelayut, susuk masuk tak cukup
makna menari dalam kolom sempit
hingar bingar itu adalah kamar lapang
untuk mencecap mawaryang menyala
mereka seperti bermain opera murahan
tanpa sutradara, reportoar dan nyanyian
tapi koreonya bagus tertata tanpa kata
berdiri merapat, sedikit geliat lalu sikat
sunguh hebat, legion berani mati
aku berasa asing dari diri, tiba-tiba
diceraikan rasa berani, tubuhku mengencang
saku-saku menuntutku, sambil menggerutu
kurogoh kocek tak lagi receh ini makin sepi
lalu pikiranku meletus, luber tercecer
di lantai yang pusing dan mual
dan aku tahu mereka menginjaknya
Jombang, 2009
RATAPAN NYANYIAN PULASARA
lengkap sudah derita menyala di pundakmu
setelah awan hitam terbuka
matahari tak bisa tertawa
kau tampak membisu saja
lihatlah kepalamu
seperti rumput yang terhimpit di bebatuan
ubun-ubunmu dihisap oleh nasibmu yang gagap
bahkan di tiap-tiap lekuk tubuhmu yang telah kuhafal
membentuk ornamen tentang kematian
langit di dalam membara ke segala arah
dan esok adalah padang halimun
yang mengaburkan tatap mata dunia
di depanmu masih meluap air mata
dan senja petaka
juga ada gempa dan guruh riuh sekawannya
aku pesan kepadamu carilah benteng
di kota-kota tua, singgahlah disana
tetaplah bermazmur meski tanpa suara
kidungkan nyanyian akan kemenangan
maka suluh itu
menerangi tiap langkahmu tanpa sedu
dan ratap itu membeku
Jombang, 2009
ADA TERTULIS
aku mengasihimu sejak aku dikandungmu
kini aku tlah matang dan tamak jadinya
suka mabuk oleh udara dunia
sembilan purnama kau dalam siksa
sekarang pun kerap tertinju;
dengan tuturku dan hati liarku
yang kerap ganggu istirahatmu yang keramat
kadang aku dirudung bingung, disergap resah
saat tanya itu melilitku;
harus dengan apa menggantikan aura
yang kau sematkan di kalbuku
dengan apa aku lunaskan segala ilmu kasih
dan nafas hidup yang tunai kau berikan
terkadang aku ingin mengambil sayap malaikat itu
lalu kulekatkan dipunggungmu; bersayaplah
dan kita terbang bertolak dari perkabungan
Jombang, 2009
YANG MAHA SEPI
saat mulut-mulut dibungkus rapi
aku ditipu oleh daun pintu
sedari tadi tersipu mengawasi
langkah gerakku jadi hilang arti
segala rasa mampat di hidung saja
berjelaga; mengendap pada tabularasa
kuputuskan menerobos jantung malam
dimana keangkuhanya berdiri perkasa
lalu kuperdengarkan seru ilalang
tercabik udara nyalang liar
menyeringai bagai tatapan jalang
hening cipta, mati rasa
tubuhku bergidik
aku harus bertelut
atau pergi saja cari selimut
Jombang, 2009
EUFHORIA HUJAN KACA
di malam perjamuan, pada riuh perayaan
suara benturan piring dan gelas-gelas kaca
sangat membantuku menaikan sukacita
rasa, jiwa yang papa, tak tertata
sukacita semua itu mematung sepi
saat kita bertemu dalam satu titik api
yang tak terencana, naluri beku
kupandangi engkau, meski terhalang daun hijau
dan gelas kaca tentunya, terobos saja
dada ini bergetar, memutar, jungkir balik
pula kau pandangi aku dari kedalamanmu
sepertinya semu, ah tak tahu
apapun itu, dalam pandang kita beradu
bersitatap pun kita tak mampu
tapi aku tak mau menamatkan
pandanganku dan pandanganmu
biar beku
biar bisu
Jombang, 2009
HATI YANG DIKEBIRI
melangkah di tengah mendug mengepung
hujan berpesta merayakan keterasinganku
di tengah jentera bianglala
yang porak poranda
aku berkaca pada matamu, dingin beku
serta gelakmu cukup tenang mengambang
pada air yang menggenang luber di dadaku
pada siapa kiranya aku mesti bersaksi
tatkala mendung enggan menjadi hujan
teriakanku tak menyibak duniamu
tangisanku tersangkut, gemetar dan hanyut
hatiku berserakan di trotoar jalan
jangan hiraukan, tapi jangan abaikan
aku hanya berharap pada hujan
agar tercurah penuh membasuh segala peluh
mencuci luka jiwa yang tergerai
mengakhiri elegi di sudut hati
kau terbanglah
biarkan aku menjadi asap
yang akan habis terurai udara
Jombang, 2009
ODE BUAT AKU
perutku dipenuhi suara-suara gegap gempita
nyanyian tentang kelaparan beriring
tabuhan tifa, gendang dan tamborin
memainkan simfoni sakit hati
sebuah pertunjukan tuli
penontonnya tak pasti
makhluk malam
makhluk malang
yang terbuang
suaranya kian menderu
pemberang siap diadu
pembangkang jadilah babu
penjilat tentram selalu
inilah ode buat aku
Jombang, 2009
ARTERI
aku merasa asing berenang di udaramu
sendiri bergurau dalam keramaianmu
memintal dan merajut hasrat menjadi mimpi
tak ada darah
tak ada gairah
hanya resah bersembunyi dalam nadi
tiada lagi yang dapat kuhisap
atau sekedar mengepulkan asap
aku merangkak diantara puing-puing kesadaran
dan tengoklah pilar-pilar sepi
betapa agung dan congkaknya
merampas semua warna yang tersemat di kepala
aku makin asing
dalam deru nafas kian terampas
Jombang, 2009
TERLILIT ASA
tunggulah biar kutarik nafas
esok petang akan kulunasi
bukan dengan pedang
bukan dengan tinju dan belati
tapi dengan senyum lega
yang akan taram-temaram
menghias cakrawala dunia
Jombang, 2009
NISBI-KAH AKU
malam disetubuhi jalang
dalam gairah yang kian kesumat
meniupkan aku dalam tanah suram
tandus penuh raungan dan geram
di mataku tergurat kebencian yang tebal
mulutku kaya dengan kata-kata hujat
aku telah menjadi perusuh batin
bagi manusia pecandu sorga
aku adalah kesucian yang terlantar
laksana debu tersapu waktu
ingin rasanya memegang tuas
akan ku corat-coret langit dan bumi
dan lukis rembulan setengah jadi
ku tinju hingga pecah berserpihan
tapi bumi lebih dulu melumatku
dengan hisapan dalam yang menelan
kemudian langit memuntahkan aku
ke dataran yang tak ku kenal
kujumpai pangeran bermahkota duri
menaiki awan dikelilingi pelangi
dia menghapuskan tiap dendam yang kuselipkan
tubuhku dibasuh dengan air dari cawan suci
dia menggapai tangan kananku
kemudian membawaku merasuki
kerajaan kebenaran sepanjang peradaban
berbaur lebur bersama keabadia
Jombang, 2009
MEMARNYA MALAM
kupegangi punggung malam
kudapati lekukan-lekukan gelap tak berdasar
senyap itu merayap, menabrak dan melabrak
aura pun lenyap begitu saja
sungguh lengang tiada yang terbang
lebih dalam daripada lagu si bisu
aku siuman diatas buaian tenang
ternyata malam yang begitu malam
cukup pintar merawat nafasku
sekalipun legam telah teruntai
untuk malam selanjutnya
Jombang, 2009
TELAH KU BEKUKAN WAKTU
busur dan jarum menunjuk angka
matahari kecil kembali menyala
meskipun lamur setengah kabur
tetap cahayanya berkelindan suram
merumuskan sinar yang hendak dihujamkan
ku mulai meramu awing-awang
tatkala matahari terjebak lemas
diam diseperempat malam
tepat busur dan jarum yang menghunus
membuai aku perlahan-lehan
hingga tangguhku setengah pingsan
dan asa itu diam tak terelakan
Jombang, 2009
TEMPUR : TEMPUR
runcing bambu senjata bangsaku
kini diganti serbuk mesiu
penuhi perut-perut peluru
lalu antri-berjejal pada mesin itu
menunggu simanis menekan picu
merdeka atau mati
itu janji tak ditepati
tinggal hitung hari
perlahan pasti mati
ini inovasi baru; katanya
hanya untuk jaga-jaga; katanya
agar negri damai aman sentosa
ujar bapak bertopi merah
lalu kamimembalasnya:
bukannya ini mesin pelebur nyawa
yang siap mengantar kami ke neraka
daun bambu kuning sudah tidak runcing
karena terisak-isak terpicing-picing
melihat di sekelilingnya menyeramkan
seperti menggali lubang kuburnya sendiri
Jombang, 2009
PEREMPUAN YANG TERLUKA
kiranya telah sempurna kelopak-kelopak lara
terbuka dengan lebarnya
dengan tandas menimpakan kedahsyatannya
melilit tubuh itu mengguarat rapat
tak ada lagi kuasa atasnya
dalam perhelatan melawan dunia
mencoba mengasingkan lara yang mendera
menafikan onggokan pengap di rongga dada
sekali lagi tak ada kuasa atasnya
sungguh kepalanya disadap ngilu
jemari dciiuminya hingga berlalu
habiskan berpuluh-puluh waktu
habis pulalah rasa yang digengngamnya
hingga pulas tergeletak di sudut malam
benar-benar tak ada kuasa atasnya
Jombang, 2009
SAJAK UNTUK IBUNDA
sebelum embun turun menjelma bening air
lebih dulu ia melunaskan tugas ini hari
sebelum menyala pijar matahari
lebih dulu dia mendulangku dengan sinar
yang datang menelusup lewat matanya
bergegas ia menantang seri kehidupan
menapaki ruang-ruang kosong
memainkan peranan sebagai wanita perkasa
kadang terlihat seperti kartini berseri-seri
seperti datangnya musim semi
sore itu merapat melerai panas dunia
mungkin agak tepat untuk bersendawa
tapi tidak baginya
sekali lagi ia memelantingkan dirinya
keras diataas ubin dengan raut sulam
legam tergurat diantara pelipisnya
tak karuan luka ditoreh dengan rapi
di setiap sudut di tubuh bahkan nyawa
terkadang ada darah mematung di sendinya
dengan setia nyeri-nyeri menemani
tapi itu semua tak jadi apa
ngesah seakan tak pernah ada padanya
telah dibayar tunai dengan tawa
dan senyum tipis yang melekat
pada tubuh yang hancur
jahat benar udara telah menikammu
melukaimu dengan sayatan yang tenang
menggerusmu dalam peristiwa asing
sesuatu yang tak seharusnya ditimpahkan atasmu,
sungguh jahat
bagiku kau lebih hebat dari dewa-dewa
lebih pintar dari seorang pakar
lebih tangguh dari pilar yang kokoh
lebih bijaksana dari hakim-hakim tua
segala kelebihan tercurah penuh atasmu
semesta ini dengan kekuatan maha dahsyat
telah kau rangkum, terjelma dalam nafasmu
mulia ibunda, sungguh mulia, sungguh kasih
kaulah benih manusia penuh budi
tak akan meregang segala arti
sesungguhnya kehidupan ada di genggamanmu
sekarang coba mainkanlah untukku
ibunda seandainya kumiliki dua nyawa
akan kuberikan semuanya
biarpun aku terbelah dan menggeletar
kiranya bukanlah hal sia-sia
karena engkau wanita setia, suci tak bercela
kelak bila kita tercerai oleh dunia
akan ada pengasuh yang merawatmu
pengasuh yang sama-sama kita kenal
itu yang kau butuhkan di masa-masa senja
bahkan maranata,
…………….. …oh ibunda
Jombang, 2009
TEMARAM
mengapa tak ada yang melerai
amuk hujan malam itu
hingga malam jadi bangkrut
ada yang berkelahi
berebut dingin,sisa dingin
apa kau tak kasihan
lihat jalanan pada hujan
hanya aroma dingin itu
yang nempel diantara kompor dan wajan
pedagang kaki lima tunduk kepala
mengamini sisa dingin itu
Jombang, 2009
NYANYIAN CAPUNG MERAH
merekah hijau sawah membias ke angkasa
katak dan padi saling berpeluk
melantunkan kidung puja kelangit
yang hijau warnanya
para petani yang tadi berat hati
turut menyerukan nyanyian sambil
bertepuk dengan cangkul dan sabit
terayun oleh keringat yang mampat
semua berpacu dalam irama pesta kerja
rasanya, tak satupun yang mengimbanginya
bukan begitu;saudaraku?
Jombang, 2009
BIODATA: Aditya Ardi Nugroho (Genjus) lahir di Jombang, 7 Januari 1987. Alumni SMAN 1 Ngoro Jombang. Status Mahasiswa semester akhir jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Aktif dalam Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS) Ngoro Jombang.
Antologi puisi bersamanya”Sebelum surga terbakar” (STKIP PGRI Jombang; 2005). Sebagian puisinya dimuat di KOMPAS (Sisikan Elegi, Bersetubuh Siksa, Mobilisasi Warung Kopi, Lidah Api). Kini tinggal dan berkarya di Jombang; Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang 61473 Jawa Timur HP 085646401666
sekerat roti yang tak beragi, sengaja dibagi-bagi
untuk diganyang makhluk jalang
tapi maaf ini bukan untuk perut-perut yang kerjanya menuntut
roti tak beragi khusus untuk makhluk sepi
karena dimasak oleh orang yang hakiki, yang punya arti
supaya mereka mabuk dalam karunia
berpesta tiada hentinya, menyanyi tanpa nada
mentahirkan tangan kepada sang perupa
di tengah mezbah lalu mereka rebah
sesekali mereka bersungut-sungut
menjadi tuhan kecil bagi manusia-manusia kerdil
di antara kitab-kitab tua yang berserakan
mereka lupa pada golghota,janji yang ditandai pelangi
embun beku di bukit sion, jadi busa-busa duka cita
terlalu sibuk mencari kembali tanah perjanjian
yang tak mungkin didapatkan, cukup temukan kefanaan
maka mazmurkanlah kidung akhir zaman
dalam sebuah liturgi puisi sepi
Jombang, 2008
SISAKAN ELEGI
lampu neon di cumbu laron-laron
dalam percintaan yang melelahkan
bahkan mirip asmara gadungan
menggeletar, sayapmu patah satu
kau mengadu padaku, tatkala matamu ngilu
pandanganmu kelabu disadap debu
itu tubuhmu memar biru
karena melulu dipukul waktu
mulutmu menganga tatapanmu tak terbaca
kau paksa aku dengar kesahmu
tentang cintamu pada sorot lampu
serta cahaya yang menyetubuhimu
berpilin-pilin rasa, berjubel di rongga dadamu
apalagi lampu mati, laron-laron jadi ngeri
terus lari mencari matahari di malam sepi
lihatlah laron makin sakit hati
aku pun ikut-ikutan lari, pergi membuka lemari
BESETUBUH SIKSA
aku ini adalah tembakau murah
digulung dalam papir lusuh beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
jadilah sepah tanpa mutu, dijual orang sambi lalu
bila disulut, racun berbung-bunga dari asapku
mengharu biru penuhi paru-paru mengisi nadi
merangkul otak menjadi berontak
lalu muntah mengisi langit-langit kosong
saat asapku dicium udara tanpa warna
menggerus nurani terus butakan logika
hingga mereka mencapai pusara
ada yang unjuk rasa, ada yang unjuk gigi
sama saja cari mati
aku tak peduli
karena aku hanya tembakau murahan
digulung dalam papir lusuh, beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
sepah tanpa mutu, di jual sambil lalu
mobilisasi Warung Kopi
agresi sedang terjadi di bawah panci, kompor tua bernyanyi
membara seperti percik api revolusi
mendidihkan air menjadi gila tak terkata
cangkir-cangkir kosong mulai bergetar
dan sepertinya hidup pun siap digelar
lihatlah di pojok sana, ada yang asik merajut dusta
disini kami sibuk merangkai kata-kata
di depan kami orang-orang ramai berdiskusi
tentang hak asasi dan supremasi
ternyata hendak menggadaikan ideologi, dalam hati kami mencaci
di sebelah kanan, ada orang berbicara tanpa titik dan koma
tentang surga penuh taman bunga, neraka yang tinggi suhunya
dan agama tameng kehidupan fana
mendengarnya hati kami kaya rasa, warna gembira
di sebelah kiri, ada pencuri baru keluar bui
ingin menyanyi lagu padamu negri
lalu tertawa tanpa arti, menangis dalam sepi
kemudian lewat pengemis, sedari tadi mengais-ngais
hati kami jadi gerimis, tapi mereka meringis
sungguh masih banyak kata yang tak teraba
dan warung kopi makin demam tinggi
LIDAH API
rasanya kita sudah cukup lelah
mengembara hingga kita berdarah
tak kenal lagi apa yang mesti dinanti
sudah cukup lupa memar di kepala
juga nyeri-nyeri menempel rapi
di tiap jengkal tubuh kita, tergurat rapat
sisa keringat yang telah berkarat
semoga kita bukan korban sejarah
dari zaman lapuk yang lengang
kesadaran kita mungkin kuncinya
serta keberanian untuk membangkang
pada diri kita, bakarlah itu semua
sebab kita bukan berhala
mari kita benamkan tubuh kita
ke dalam muara yang tak henti alirannya
menuju satu pusara, dimana asa bersembunyi disana
dan saat harapan itu merapat
di tengah tembok kesadaran mendesir
pasti akan tercurah hujan berkah
kita akan mengaisnya sampai tandas
sebelum senja benar-benar menghentikan langkah kita
sebelum malam memasung perjalanan kita
LATAR
tubuhku yang luput oleh kabut tlah disapa senja
aku meniupkan air dan asap di kolom udara
kusaksikan pula udara yang memberat
menjadikan langkahku gawat
cukup angin yang tahu warna kepalaku
dan bisa membaca jemariku
maka apa yang kutiupkan
kini kuhisap kembali
Jombang, 2008
TAK HABIS PIKIR
tak habis pikir, duniaku jungkir
suara-suara menjelma warna menyala
merah, kuning, biru akhirnya juga kelabu
berakhir di kursi itu padat rapat
sebuah kursi penggugah birahi
siapa yang duduk di sana jadi lantang suaranya
jadi pandai berjanji, suka memainkan jari
sedikit-sedikit diskusi tentang problema purba
negeri antah berantah yang tak bisa pecah
apa yang dirubah ?
mereka jadi hilang kata, suaranya lenyap seketika
dan mulai memamah jari-jarinya sendiri
menelan kembali janji-janji yang tak terperi
lalu menyelingkuhi kitab-kitab nabi
sedangkan kita yang sempat terlena oleh kata-kata
cuma bisa geleng kepala, mengelus dada
kita yang telah terperkosa oleh warna
masih dibebani menjaga rahasia
agar dongeng ini jangan sampai tahu anak cucu
kita bisa malu
dan mungkin mati kaku
Jombang, 2008
GEROMBOLAN SI BERAT
mereka yang dibesarkan dengan nasi basi
dan botol-botol keras tak pernah ranggas
irama nafasnya serupa musik pengantar pada maut
tak ada lagi harapan yang ingin dirajut
tergerus dan terhisap pada kolom pengap
di bawah kadang di tepi, gelap tapi bernyawa
mereka memunggungi hari, menyangkali diri
rasa hina adalah pengasuh paling setia
sesekali menggelar reuni pesakitan
pesta pora menggila, mabuk di perempatan
merapat satu posisi matilah suci
membakar jiwa, melebur nyawa
satu lagi, menylingkuhi tragedi
mereka ahli
Jombang, 2008
APA YANG BISA BUATMU TERTAWA
tadi siang kudengar kau banyak bercerita pada angin
lalu kau bisikkan ke telingaku, cerita yang sama, cerita yang lama
seperti di tv dan tayangan telenovela
ah itu biasa, wanita yang disakiti lelakinya: kataku
ini keterlaluan, binatang tak punya hati, anjing: katamu
kitapun bersitatap tanpa cakap, lalu kembali kau menggumam
ruangan ini menjadi demam oleh auramu
lihatlah tembok dan pintu yang mengigau
dan atap yang memerah, menyatu dengan amarahmu
semua murung, termasuk aku merasuk dalam cerita panjangmu
ketika kau berhenti berkata,
ganti aku menyergapmu dengan tanya
tapi tak ada suara, hanya gigil tangis dan air mata yang mendidih
aku bergegas mengambil kantung plastik
sebelum amarahmu kau muntahkan ke lantai
Jombang, 2008
AKROBAT
kau gadis malam, aku tahu itu dari keringatmu
dan bau tubuhmu wangi aroma kasur tua
bekas cinta kilat masih nempel di lehermu; kau acuh
bibirmu itu ciptakan bara, berkobar membakar
tenang kau melenggang, menebar jala dengan paha
mereka yang rajin merajut dusta, kawanmu yang setia
ingin berenang bersama, menyelam atau main petak umpet
dibalik sprei yang basah
mereka juga ingin berkuda
tanpa pelana tentunya
Jombang, 2009
ANDAI AKU PUNYA BAPA
seandainya aku punya bapa
aku akan minta mainan di toko surga
yang mahal harganya, dan takkan rusak oleh dunia
seandainya aku punya bapa
akan kuminta rawatan yang berkelebihan
dimandikan oleh peri di sungai tigris
sekali lagi, seandainya aku punya bapa
akan kuminta supaya debu dunia tidak menohok mata
biar aku tak menangis, biar aku terus meringis
ingin rasanya menyaksikan datangnya musim semi
menikmati guruh riuh dan bentara petir
atau menamatkan fajar yang ceria, bersama bapa
tapi sayang aku tak punya bapa
jadi aku tak perlu sibuk merawat mimpi atau merajut asa
maka kuputuskan naik kereta jurusan neraka
kalau ada, kalau bisa
Jombang, 2009
RUMAH TANPA TANGGA
kusaksikan dua wajah memerah nempel di tembok
ada yang menahan kata tersangkut di pitasuara
ada debu meloncat juga airmata pucat
kusaksikan anak tangga patah
setelah di injak-injak rupiah
Jombang, 2009
SAKIT
baca koran sebongkok wanita bertubuh rawan
lihat tv para pencuri memamah besi
di radio memancar tangis kaum tergusur
tukang becak menggantung diri tinggi-tinggi
di dahan pohon harapan yang rapuh
mereka mengais-ngais disudut zaman
yang nampak lengang dan mati
Jombang, 2009
ABU SUKMAKU
cuma kamu yang bisa mengerti
filsafat pemberontakanku
jadi biar aku titipkan padamu
dan rawatlah baik-baik abu sukmaku
tafsirkanlah aku sesuka hatimu
asal kau beri arti
dan paham tentang kata memaknai
maka aku tak akan merindukan apa-apa lagi
kecuali menyandingmu
bertahta di pucuk-pucuk asa
Jombang, 2009
RAKIRI
mari kita beri semangat !
untuk seragam cokelat yang makin pucat
sebetulnya mereka manusia hebat
seperti pemahat dan pelukis
mereka bentuk pekerti dalam sanubari
dan melukiskan jalan dengan warna cerah
pada setiap lembar-lembar kosong
sayang, mereka tak bekerja di ladang uang
hanya cukup hidup di kandang, baunya apek
udaranya beracun, mereka pingsan
masih saja digencet, perutnya lengket
lalu datang suara-suara besar kepala
malah melilit leher mereka
hingga nafasnya ngadat, tersumbat
geliat seragam cokelat penuh hasarat
tersangkut pada lubang-lubang yang gawat
ketika makna menuntut arti
aku akan jadi saksi
Jombang, 2009
ANTI HURU-HARA
kukabarkan padamu
bilamana aku tersedu dan kepalaku buntu
darahku menyeruap sarapku pecah
penetrasi pembekuan naluri menelusup
berseliweran, riang berkejaran dalam nadi
sejauh ini aku telah dipecundangi
khayalan dan keinginan daging
yang menjadi mahkota duri di kepala
aku menaruh curiga atas mimpi-mimpi
tak percaya lagi pada fantasi otak kiri
perutku kenyang makan kebohongan
semua mengendap, pekat dalam dermaga bisu
dimana kapal-kapal saling bertabrakan
sehingga jadi bengkok, malu untuk berlabuh
dalam warna diri yang kian pudar
kupaksa membetot kesadaranku
mulutku terus berucap mantra-mantra
suranya memekik dan tak terdengar habis dimakan hawa
tapi kau punya telinga sangat peka untuk mengkhidmati
dan memperdengarkan suara-suara
yang mengabarkan ketiadaanku
Jombang, 2009
TERTANGKAP KERING
mata-mata cerdik licik berkesiap
tangan bergelayut, susuk masuk tak cukup
makna menari dalam kolom sempit
hingar bingar itu adalah kamar lapang
untuk mencecap mawaryang menyala
mereka seperti bermain opera murahan
tanpa sutradara, reportoar dan nyanyian
tapi koreonya bagus tertata tanpa kata
berdiri merapat, sedikit geliat lalu sikat
sunguh hebat, legion berani mati
aku berasa asing dari diri, tiba-tiba
diceraikan rasa berani, tubuhku mengencang
saku-saku menuntutku, sambil menggerutu
kurogoh kocek tak lagi receh ini makin sepi
lalu pikiranku meletus, luber tercecer
di lantai yang pusing dan mual
dan aku tahu mereka menginjaknya
Jombang, 2009
RATAPAN NYANYIAN PULASARA
lengkap sudah derita menyala di pundakmu
setelah awan hitam terbuka
matahari tak bisa tertawa
kau tampak membisu saja
lihatlah kepalamu
seperti rumput yang terhimpit di bebatuan
ubun-ubunmu dihisap oleh nasibmu yang gagap
bahkan di tiap-tiap lekuk tubuhmu yang telah kuhafal
membentuk ornamen tentang kematian
langit di dalam membara ke segala arah
dan esok adalah padang halimun
yang mengaburkan tatap mata dunia
di depanmu masih meluap air mata
dan senja petaka
juga ada gempa dan guruh riuh sekawannya
aku pesan kepadamu carilah benteng
di kota-kota tua, singgahlah disana
tetaplah bermazmur meski tanpa suara
kidungkan nyanyian akan kemenangan
maka suluh itu
menerangi tiap langkahmu tanpa sedu
dan ratap itu membeku
Jombang, 2009
ADA TERTULIS
aku mengasihimu sejak aku dikandungmu
kini aku tlah matang dan tamak jadinya
suka mabuk oleh udara dunia
sembilan purnama kau dalam siksa
sekarang pun kerap tertinju;
dengan tuturku dan hati liarku
yang kerap ganggu istirahatmu yang keramat
kadang aku dirudung bingung, disergap resah
saat tanya itu melilitku;
harus dengan apa menggantikan aura
yang kau sematkan di kalbuku
dengan apa aku lunaskan segala ilmu kasih
dan nafas hidup yang tunai kau berikan
terkadang aku ingin mengambil sayap malaikat itu
lalu kulekatkan dipunggungmu; bersayaplah
dan kita terbang bertolak dari perkabungan
Jombang, 2009
YANG MAHA SEPI
saat mulut-mulut dibungkus rapi
aku ditipu oleh daun pintu
sedari tadi tersipu mengawasi
langkah gerakku jadi hilang arti
segala rasa mampat di hidung saja
berjelaga; mengendap pada tabularasa
kuputuskan menerobos jantung malam
dimana keangkuhanya berdiri perkasa
lalu kuperdengarkan seru ilalang
tercabik udara nyalang liar
menyeringai bagai tatapan jalang
hening cipta, mati rasa
tubuhku bergidik
aku harus bertelut
atau pergi saja cari selimut
Jombang, 2009
EUFHORIA HUJAN KACA
di malam perjamuan, pada riuh perayaan
suara benturan piring dan gelas-gelas kaca
sangat membantuku menaikan sukacita
rasa, jiwa yang papa, tak tertata
sukacita semua itu mematung sepi
saat kita bertemu dalam satu titik api
yang tak terencana, naluri beku
kupandangi engkau, meski terhalang daun hijau
dan gelas kaca tentunya, terobos saja
dada ini bergetar, memutar, jungkir balik
pula kau pandangi aku dari kedalamanmu
sepertinya semu, ah tak tahu
apapun itu, dalam pandang kita beradu
bersitatap pun kita tak mampu
tapi aku tak mau menamatkan
pandanganku dan pandanganmu
biar beku
biar bisu
Jombang, 2009
HATI YANG DIKEBIRI
melangkah di tengah mendug mengepung
hujan berpesta merayakan keterasinganku
di tengah jentera bianglala
yang porak poranda
aku berkaca pada matamu, dingin beku
serta gelakmu cukup tenang mengambang
pada air yang menggenang luber di dadaku
pada siapa kiranya aku mesti bersaksi
tatkala mendung enggan menjadi hujan
teriakanku tak menyibak duniamu
tangisanku tersangkut, gemetar dan hanyut
hatiku berserakan di trotoar jalan
jangan hiraukan, tapi jangan abaikan
aku hanya berharap pada hujan
agar tercurah penuh membasuh segala peluh
mencuci luka jiwa yang tergerai
mengakhiri elegi di sudut hati
kau terbanglah
biarkan aku menjadi asap
yang akan habis terurai udara
Jombang, 2009
ODE BUAT AKU
perutku dipenuhi suara-suara gegap gempita
nyanyian tentang kelaparan beriring
tabuhan tifa, gendang dan tamborin
memainkan simfoni sakit hati
sebuah pertunjukan tuli
penontonnya tak pasti
makhluk malam
makhluk malang
yang terbuang
suaranya kian menderu
pemberang siap diadu
pembangkang jadilah babu
penjilat tentram selalu
inilah ode buat aku
Jombang, 2009
ARTERI
aku merasa asing berenang di udaramu
sendiri bergurau dalam keramaianmu
memintal dan merajut hasrat menjadi mimpi
tak ada darah
tak ada gairah
hanya resah bersembunyi dalam nadi
tiada lagi yang dapat kuhisap
atau sekedar mengepulkan asap
aku merangkak diantara puing-puing kesadaran
dan tengoklah pilar-pilar sepi
betapa agung dan congkaknya
merampas semua warna yang tersemat di kepala
aku makin asing
dalam deru nafas kian terampas
Jombang, 2009
TERLILIT ASA
tunggulah biar kutarik nafas
esok petang akan kulunasi
bukan dengan pedang
bukan dengan tinju dan belati
tapi dengan senyum lega
yang akan taram-temaram
menghias cakrawala dunia
Jombang, 2009
NISBI-KAH AKU
malam disetubuhi jalang
dalam gairah yang kian kesumat
meniupkan aku dalam tanah suram
tandus penuh raungan dan geram
di mataku tergurat kebencian yang tebal
mulutku kaya dengan kata-kata hujat
aku telah menjadi perusuh batin
bagi manusia pecandu sorga
aku adalah kesucian yang terlantar
laksana debu tersapu waktu
ingin rasanya memegang tuas
akan ku corat-coret langit dan bumi
dan lukis rembulan setengah jadi
ku tinju hingga pecah berserpihan
tapi bumi lebih dulu melumatku
dengan hisapan dalam yang menelan
kemudian langit memuntahkan aku
ke dataran yang tak ku kenal
kujumpai pangeran bermahkota duri
menaiki awan dikelilingi pelangi
dia menghapuskan tiap dendam yang kuselipkan
tubuhku dibasuh dengan air dari cawan suci
dia menggapai tangan kananku
kemudian membawaku merasuki
kerajaan kebenaran sepanjang peradaban
berbaur lebur bersama keabadia
Jombang, 2009
MEMARNYA MALAM
kupegangi punggung malam
kudapati lekukan-lekukan gelap tak berdasar
senyap itu merayap, menabrak dan melabrak
aura pun lenyap begitu saja
sungguh lengang tiada yang terbang
lebih dalam daripada lagu si bisu
aku siuman diatas buaian tenang
ternyata malam yang begitu malam
cukup pintar merawat nafasku
sekalipun legam telah teruntai
untuk malam selanjutnya
Jombang, 2009
TELAH KU BEKUKAN WAKTU
busur dan jarum menunjuk angka
matahari kecil kembali menyala
meskipun lamur setengah kabur
tetap cahayanya berkelindan suram
merumuskan sinar yang hendak dihujamkan
ku mulai meramu awing-awang
tatkala matahari terjebak lemas
diam diseperempat malam
tepat busur dan jarum yang menghunus
membuai aku perlahan-lehan
hingga tangguhku setengah pingsan
dan asa itu diam tak terelakan
Jombang, 2009
TEMPUR : TEMPUR
runcing bambu senjata bangsaku
kini diganti serbuk mesiu
penuhi perut-perut peluru
lalu antri-berjejal pada mesin itu
menunggu simanis menekan picu
merdeka atau mati
itu janji tak ditepati
tinggal hitung hari
perlahan pasti mati
ini inovasi baru; katanya
hanya untuk jaga-jaga; katanya
agar negri damai aman sentosa
ujar bapak bertopi merah
lalu kamimembalasnya:
bukannya ini mesin pelebur nyawa
yang siap mengantar kami ke neraka
daun bambu kuning sudah tidak runcing
karena terisak-isak terpicing-picing
melihat di sekelilingnya menyeramkan
seperti menggali lubang kuburnya sendiri
Jombang, 2009
PEREMPUAN YANG TERLUKA
kiranya telah sempurna kelopak-kelopak lara
terbuka dengan lebarnya
dengan tandas menimpakan kedahsyatannya
melilit tubuh itu mengguarat rapat
tak ada lagi kuasa atasnya
dalam perhelatan melawan dunia
mencoba mengasingkan lara yang mendera
menafikan onggokan pengap di rongga dada
sekali lagi tak ada kuasa atasnya
sungguh kepalanya disadap ngilu
jemari dciiuminya hingga berlalu
habiskan berpuluh-puluh waktu
habis pulalah rasa yang digengngamnya
hingga pulas tergeletak di sudut malam
benar-benar tak ada kuasa atasnya
Jombang, 2009
SAJAK UNTUK IBUNDA
sebelum embun turun menjelma bening air
lebih dulu ia melunaskan tugas ini hari
sebelum menyala pijar matahari
lebih dulu dia mendulangku dengan sinar
yang datang menelusup lewat matanya
bergegas ia menantang seri kehidupan
menapaki ruang-ruang kosong
memainkan peranan sebagai wanita perkasa
kadang terlihat seperti kartini berseri-seri
seperti datangnya musim semi
sore itu merapat melerai panas dunia
mungkin agak tepat untuk bersendawa
tapi tidak baginya
sekali lagi ia memelantingkan dirinya
keras diataas ubin dengan raut sulam
legam tergurat diantara pelipisnya
tak karuan luka ditoreh dengan rapi
di setiap sudut di tubuh bahkan nyawa
terkadang ada darah mematung di sendinya
dengan setia nyeri-nyeri menemani
tapi itu semua tak jadi apa
ngesah seakan tak pernah ada padanya
telah dibayar tunai dengan tawa
dan senyum tipis yang melekat
pada tubuh yang hancur
jahat benar udara telah menikammu
melukaimu dengan sayatan yang tenang
menggerusmu dalam peristiwa asing
sesuatu yang tak seharusnya ditimpahkan atasmu,
sungguh jahat
bagiku kau lebih hebat dari dewa-dewa
lebih pintar dari seorang pakar
lebih tangguh dari pilar yang kokoh
lebih bijaksana dari hakim-hakim tua
segala kelebihan tercurah penuh atasmu
semesta ini dengan kekuatan maha dahsyat
telah kau rangkum, terjelma dalam nafasmu
mulia ibunda, sungguh mulia, sungguh kasih
kaulah benih manusia penuh budi
tak akan meregang segala arti
sesungguhnya kehidupan ada di genggamanmu
sekarang coba mainkanlah untukku
ibunda seandainya kumiliki dua nyawa
akan kuberikan semuanya
biarpun aku terbelah dan menggeletar
kiranya bukanlah hal sia-sia
karena engkau wanita setia, suci tak bercela
kelak bila kita tercerai oleh dunia
akan ada pengasuh yang merawatmu
pengasuh yang sama-sama kita kenal
itu yang kau butuhkan di masa-masa senja
bahkan maranata,
…………….. …oh ibunda
Jombang, 2009
TEMARAM
mengapa tak ada yang melerai
amuk hujan malam itu
hingga malam jadi bangkrut
ada yang berkelahi
berebut dingin,sisa dingin
apa kau tak kasihan
lihat jalanan pada hujan
hanya aroma dingin itu
yang nempel diantara kompor dan wajan
pedagang kaki lima tunduk kepala
mengamini sisa dingin itu
Jombang, 2009
NYANYIAN CAPUNG MERAH
merekah hijau sawah membias ke angkasa
katak dan padi saling berpeluk
melantunkan kidung puja kelangit
yang hijau warnanya
para petani yang tadi berat hati
turut menyerukan nyanyian sambil
bertepuk dengan cangkul dan sabit
terayun oleh keringat yang mampat
semua berpacu dalam irama pesta kerja
rasanya, tak satupun yang mengimbanginya
bukan begitu;saudaraku?
Jombang, 2009
BIODATA: Aditya Ardi Nugroho (Genjus) lahir di Jombang, 7 Januari 1987. Alumni SMAN 1 Ngoro Jombang. Status Mahasiswa semester akhir jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Aktif dalam Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS) Ngoro Jombang.
Antologi puisi bersamanya”Sebelum surga terbakar” (STKIP PGRI Jombang; 2005). Sebagian puisinya dimuat di KOMPAS (Sisikan Elegi, Bersetubuh Siksa, Mobilisasi Warung Kopi, Lidah Api). Kini tinggal dan berkarya di Jombang; Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang 61473 Jawa Timur HP 085646401666
Tidak ada komentar:
Posting Komentar