Sabrank Suparno
1. Temu Halal Bi Halal antar Seniman.
Dalam kancah perteateran, debut komunitas Alief Mojoagung patut diperhitungkan. Kecakapan berkreasi terbukti semakin menohok dalam kurun 5 tahun terahir. Sampai menjelang 3 bulan pergantian tahun 2010, komunitas Alief tetap eksis mandegani sebagai sesepuh belasan komunitas lingkup kecamatan Mojoagung. Di bawah panji kepiawaian Edi Haryoso, komunitas Alief telah mengepakkan sayap kebesarannya ke berbagai event dalam dan luar kota, terutama teater, radius pemanggungannya hingga menyentuh kota megapolitan, Surabaya dan kota pendidikan, Malang.
Sisi lain yang perlu diteladani dari komunitas Alief adalah strategi keterlibatannya dalam mengembangkan sistem perekonomian. Tak hanya bergelut di dunia seni, anggotanya juga merintis usaha kecil mandiri(UKM). Produk handycarf hasil guratan tangan kreatif anggotanya, dimenejemen strategi joint, yang memungkinkan terbukanya pintu di antara beberapa jendela perekonomian mikro. Pernik aksesoris semisal gantungan kunci, logo almamater, mini kaligrafi, yang dilengkapi koleksi buku-buku sastra, dipajang di stand artshop tiap komunitas ini menggelar acara.
Dalam rangka memaknai Idul Fitri 1431 H, pada Sabtu 18 September 2010, komunitas Alief menggelar acara bertajuk’Silaturrahim Antar Generasi Pecinta Seni’ yang diadakan di pendopo kecamatan Mojoagung. Acara yang dipandu MC Umi Chofsoh tersebut mampu menyedot 87 peserta tercatat nimbrung dalam buku tamu. Joke-joke ringan ala pergaulan anak muda dilontarkan Umi Chofsoh( mahasiswa bahasa dan sastra STKIP Jombang) menghangatkan suasana pendopo serasa lebih egalitarian.
Sepanjang acara berlangsung diselingi ramuan aransemen musik band yang dimainkan beberapa musisi komunitas Alief. Purwanto(pemegang keybord) mengiringi rancak anggota bandnya dengan melantunkan tembang garapan Padi, Iwan Fals, dan beberapa tembang jawa.
Ahmad Nugroho, sutradara, cerpenis, kawakan asal Mojoagung yang juga anggota biro sinematografi DeKaJo(Dewan Kesenian Jombang) memberi arahan dan rasa salut atas kekompakan komunitas Alief. Sambil melantunkan lari-larik puisi WS. Rendra//sambil menyeberangi sepi//kupanggili namamu wanitaku//, Ahmad Nugroho mengahiri sambutannya.
Waktu kemudian didaulatkan ke Cak Nas. Selaku pemerhati budaya Jombang, Cak Nas yang sedang menghabiskan prapensiun dinasnya dari Disporabudpar Jombang ini masih menyempatkan diri telaten bina pergerakan seni-budaya di wilayah Jombang. Termasuk memberi wejangan komunitas Alief siang itu. Tehnik ritmik dan pemahaman puisi sublim dipaparkan Cak Nas. Dengan harapan agar generasi seniman muda Jombang lebih sumringah dalam berkarya.
Menurut Cak Nas, komunitas ‘Alief’ sendiri direduksi dari nama sesepuh yang mbabat alas desa Bete`k, yaitu mBah Alif yang makamnya berdekatan dengan makam mBah Sayyid Sulaiman. Bahkan, makam yang tiap malam Jum’at Legi diziarahi ribuan kaum nahdhiyyin dan beberapa pendekar persilatan itu menyarankan agar penziarah mendahulukan berdo’a bersama ruh mBah Alif dulu sebelum berdo’a bersama ruh mBah Sayyid Sulaiman. Hal ini wajar sebagai tatakrama kepada perintis tanah republik ini.
Kata ‘Alif’ simbol huruf hija’iyyah pertama al-qur’an. Cak Nas memahami komunitas Alief sebagai ‘pintu gerbang’ yang akan menghantarkan ke dalam kokoh dan indahnya tekstur bangunan dalam, dan tidak mandeg sebatas pintu gerbang saja.
2. Pesta Parade Monolog.
Selaku sesepuh komunitas Alief, Edy Haryoso sengaja menyuguhkan parade monolog. Rekan Sigit didapuk membuka performa pertama. Total suaranya menyeruak dari balik layar. Baju dan peci pejuang masih dipakai. Sambil jalan terseok akibat satu kakinya diamputasi setelah tertembus peluru bayonet Belanda 65 tahun lalu. Puncak rintih ketragisan pejuang itu adalah ketika melihat orang-orang di sekitarnya sedang asyik’ murak berkat kenduri kemerdekaan’. Tidaak! Bukan kalian yang aku harapkan//kalian hanya penghianat yang berpesta melahapjerih perjuanganku//. Pejuang itu ahirnya memilih mati untuk membebaskan belenggu kekecewaannya. Maut! Bersembunyi dimanapun, kau pasti kucari. Pejuang itu terperangah, terkejut. Betapa setelah mati, ia pun masih sibuk menentukan tujuan, antara ke-siang dan ke arah malam. Sebab siang dan malam masih dalam ruang. Rapat ‘para ruh’ pejuang memutuskan berontak melawan maut dan bergegas menuju ke-kosongan. Namun lagi-lagi rencana mereka burai dikejar malaikat peradilan. Untungnya, ruh-ruh itu segera disorong malaikat ke sorga keabadian.
Tak kalah asyiknya pada monolog ke dua. Akting Jaenal Faudin( Mas Jay) penuh improvisasi dengan audiens. Kekenesan nasib Jay, dipicu ulah penulis yang maha syahwat berinisial Nugroho. Penulis ngawur itu serta merta memloroti dan menentukan nasib Jay dengan tajamnya goresan pena. Mentang-mentang jadi penulis terkenal, membuat berita seenaknya//apasih yang didapat para panulis//paling banter ucapan selamat dari rekan//sedangkan tasnya//cuma berisi bolpoin, note book, flasdisk, dan laptop video porno//kalaupun ada uangnya, cuma kepingan dua ratus perak//. Jay baru sadar di anding cerita, bahwa kekuatan penulis ternyata mampu merubah dan mewarnai perubahan dunia dengan tuangan idenya.
Yang ditunggu lapisan peserta adalah pementasan monolog ketiga yang dimainkan dedengkotnya perteateran Mojoagung, yaitu Edy Haryoso. Penonton dalam ruangan pendopo kecamatan Mojoagung seketika senyap. Semua terhepnotis. Putu Wijaya, Riantiano, Rita Motu Mona seolah ngeranjing ke tubuh Edy Haryoso. Derita yang digembolnya kian lama kian mengangah. Duapuluh tahun lalu mimpi itu terus menghantuiku// harta yang kubangun berpuluh-puluh tahun lenyap//kawanan perampok dengan bengisnya memperkosa istri dan membunuh anak semata wayangku di depan mataku//sementara aku diikat, dijerat, disrimpung//aku tak bisa berbuat apa-apa//. Sebagaimana Sigit dan Jay, Edy Haryoso mengangkat naskahnya sendiri. Ketiganya mengahiri lakonnya secara mengenaskan dijemput sang ‘maut’. Ia memang datang menyusup dan berlahan mencuri hal yang paling penting dalam hidup: nyawa.
Pementasan ketiga aktor monolog ini mirip karakteristik karya Maurice Maeterlink, penulis drama liris asal Belgia peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1911. Dimana ciri yang disajikan Maeterlink dikenal minim laku dramatik, fatalisme, mistisisme, dan kehadiran yang konstan dari sang maut. Bukan maut yang biasa dan mudah. Maut yang menyusup ke dalam sebuah rumah, seutas jiwa, dalam lapis-lapis simbolisme sunyi, kosong, kelam, penuh bisikan dan rintihan, tapi marah mematikan.
Keberanian dan pengembangan kreatifitas ini akan menghantarkan komunitas Alief memasuki gerbang perteateran baru. Yakni merujuk arahan Sosiawan Leak saat diskusi di GOR Jombang tanggal 10 Juli 2010. Menurut Sosiawan Leak, dunia teater perlu mengemas pertunjukan lebih efektif dengan perkembangan jaman. Caranya, teater harus berani mengubah hukum panggung dan memerankan naskah mentah, dan bukan naskah standart, apalagi naskah barat.
1. Temu Halal Bi Halal antar Seniman.
Dalam kancah perteateran, debut komunitas Alief Mojoagung patut diperhitungkan. Kecakapan berkreasi terbukti semakin menohok dalam kurun 5 tahun terahir. Sampai menjelang 3 bulan pergantian tahun 2010, komunitas Alief tetap eksis mandegani sebagai sesepuh belasan komunitas lingkup kecamatan Mojoagung. Di bawah panji kepiawaian Edi Haryoso, komunitas Alief telah mengepakkan sayap kebesarannya ke berbagai event dalam dan luar kota, terutama teater, radius pemanggungannya hingga menyentuh kota megapolitan, Surabaya dan kota pendidikan, Malang.
Sisi lain yang perlu diteladani dari komunitas Alief adalah strategi keterlibatannya dalam mengembangkan sistem perekonomian. Tak hanya bergelut di dunia seni, anggotanya juga merintis usaha kecil mandiri(UKM). Produk handycarf hasil guratan tangan kreatif anggotanya, dimenejemen strategi joint, yang memungkinkan terbukanya pintu di antara beberapa jendela perekonomian mikro. Pernik aksesoris semisal gantungan kunci, logo almamater, mini kaligrafi, yang dilengkapi koleksi buku-buku sastra, dipajang di stand artshop tiap komunitas ini menggelar acara.
Dalam rangka memaknai Idul Fitri 1431 H, pada Sabtu 18 September 2010, komunitas Alief menggelar acara bertajuk’Silaturrahim Antar Generasi Pecinta Seni’ yang diadakan di pendopo kecamatan Mojoagung. Acara yang dipandu MC Umi Chofsoh tersebut mampu menyedot 87 peserta tercatat nimbrung dalam buku tamu. Joke-joke ringan ala pergaulan anak muda dilontarkan Umi Chofsoh( mahasiswa bahasa dan sastra STKIP Jombang) menghangatkan suasana pendopo serasa lebih egalitarian.
Sepanjang acara berlangsung diselingi ramuan aransemen musik band yang dimainkan beberapa musisi komunitas Alief. Purwanto(pemegang keybord) mengiringi rancak anggota bandnya dengan melantunkan tembang garapan Padi, Iwan Fals, dan beberapa tembang jawa.
Ahmad Nugroho, sutradara, cerpenis, kawakan asal Mojoagung yang juga anggota biro sinematografi DeKaJo(Dewan Kesenian Jombang) memberi arahan dan rasa salut atas kekompakan komunitas Alief. Sambil melantunkan lari-larik puisi WS. Rendra//sambil menyeberangi sepi//kupanggili namamu wanitaku//, Ahmad Nugroho mengahiri sambutannya.
Waktu kemudian didaulatkan ke Cak Nas. Selaku pemerhati budaya Jombang, Cak Nas yang sedang menghabiskan prapensiun dinasnya dari Disporabudpar Jombang ini masih menyempatkan diri telaten bina pergerakan seni-budaya di wilayah Jombang. Termasuk memberi wejangan komunitas Alief siang itu. Tehnik ritmik dan pemahaman puisi sublim dipaparkan Cak Nas. Dengan harapan agar generasi seniman muda Jombang lebih sumringah dalam berkarya.
Menurut Cak Nas, komunitas ‘Alief’ sendiri direduksi dari nama sesepuh yang mbabat alas desa Bete`k, yaitu mBah Alif yang makamnya berdekatan dengan makam mBah Sayyid Sulaiman. Bahkan, makam yang tiap malam Jum’at Legi diziarahi ribuan kaum nahdhiyyin dan beberapa pendekar persilatan itu menyarankan agar penziarah mendahulukan berdo’a bersama ruh mBah Alif dulu sebelum berdo’a bersama ruh mBah Sayyid Sulaiman. Hal ini wajar sebagai tatakrama kepada perintis tanah republik ini.
Kata ‘Alif’ simbol huruf hija’iyyah pertama al-qur’an. Cak Nas memahami komunitas Alief sebagai ‘pintu gerbang’ yang akan menghantarkan ke dalam kokoh dan indahnya tekstur bangunan dalam, dan tidak mandeg sebatas pintu gerbang saja.
2. Pesta Parade Monolog.
Selaku sesepuh komunitas Alief, Edy Haryoso sengaja menyuguhkan parade monolog. Rekan Sigit didapuk membuka performa pertama. Total suaranya menyeruak dari balik layar. Baju dan peci pejuang masih dipakai. Sambil jalan terseok akibat satu kakinya diamputasi setelah tertembus peluru bayonet Belanda 65 tahun lalu. Puncak rintih ketragisan pejuang itu adalah ketika melihat orang-orang di sekitarnya sedang asyik’ murak berkat kenduri kemerdekaan’. Tidaak! Bukan kalian yang aku harapkan//kalian hanya penghianat yang berpesta melahapjerih perjuanganku//. Pejuang itu ahirnya memilih mati untuk membebaskan belenggu kekecewaannya. Maut! Bersembunyi dimanapun, kau pasti kucari. Pejuang itu terperangah, terkejut. Betapa setelah mati, ia pun masih sibuk menentukan tujuan, antara ke-siang dan ke arah malam. Sebab siang dan malam masih dalam ruang. Rapat ‘para ruh’ pejuang memutuskan berontak melawan maut dan bergegas menuju ke-kosongan. Namun lagi-lagi rencana mereka burai dikejar malaikat peradilan. Untungnya, ruh-ruh itu segera disorong malaikat ke sorga keabadian.
Tak kalah asyiknya pada monolog ke dua. Akting Jaenal Faudin( Mas Jay) penuh improvisasi dengan audiens. Kekenesan nasib Jay, dipicu ulah penulis yang maha syahwat berinisial Nugroho. Penulis ngawur itu serta merta memloroti dan menentukan nasib Jay dengan tajamnya goresan pena. Mentang-mentang jadi penulis terkenal, membuat berita seenaknya//apasih yang didapat para panulis//paling banter ucapan selamat dari rekan//sedangkan tasnya//cuma berisi bolpoin, note book, flasdisk, dan laptop video porno//kalaupun ada uangnya, cuma kepingan dua ratus perak//. Jay baru sadar di anding cerita, bahwa kekuatan penulis ternyata mampu merubah dan mewarnai perubahan dunia dengan tuangan idenya.
Yang ditunggu lapisan peserta adalah pementasan monolog ketiga yang dimainkan dedengkotnya perteateran Mojoagung, yaitu Edy Haryoso. Penonton dalam ruangan pendopo kecamatan Mojoagung seketika senyap. Semua terhepnotis. Putu Wijaya, Riantiano, Rita Motu Mona seolah ngeranjing ke tubuh Edy Haryoso. Derita yang digembolnya kian lama kian mengangah. Duapuluh tahun lalu mimpi itu terus menghantuiku// harta yang kubangun berpuluh-puluh tahun lenyap//kawanan perampok dengan bengisnya memperkosa istri dan membunuh anak semata wayangku di depan mataku//sementara aku diikat, dijerat, disrimpung//aku tak bisa berbuat apa-apa//. Sebagaimana Sigit dan Jay, Edy Haryoso mengangkat naskahnya sendiri. Ketiganya mengahiri lakonnya secara mengenaskan dijemput sang ‘maut’. Ia memang datang menyusup dan berlahan mencuri hal yang paling penting dalam hidup: nyawa.
Pementasan ketiga aktor monolog ini mirip karakteristik karya Maurice Maeterlink, penulis drama liris asal Belgia peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1911. Dimana ciri yang disajikan Maeterlink dikenal minim laku dramatik, fatalisme, mistisisme, dan kehadiran yang konstan dari sang maut. Bukan maut yang biasa dan mudah. Maut yang menyusup ke dalam sebuah rumah, seutas jiwa, dalam lapis-lapis simbolisme sunyi, kosong, kelam, penuh bisikan dan rintihan, tapi marah mematikan.
Keberanian dan pengembangan kreatifitas ini akan menghantarkan komunitas Alief memasuki gerbang perteateran baru. Yakni merujuk arahan Sosiawan Leak saat diskusi di GOR Jombang tanggal 10 Juli 2010. Menurut Sosiawan Leak, dunia teater perlu mengemas pertunjukan lebih efektif dengan perkembangan jaman. Caranya, teater harus berani mengubah hukum panggung dan memerankan naskah mentah, dan bukan naskah standart, apalagi naskah barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar