Siti Sa’adah
__Bulletin Hiesteria
Kini perjalananku kepadamu begitu jauh. Belum pula pasti sampai. Hatiku berontak : ini tak ada guna! Tapi nafsu bisikkan mau yang tak peduli keberadaanku. Tertegun di ambang. Kekuatanku meriang. Berjuang aku luruskan arah yang acap kali berbelok semuanya. Peluh hanya nista merembes dari sakitku saat kau bungkam saja. Aku tak ingin lama bergayut pada mimpi yang enggan nyata.
***
Kau lelaki yang kadung menelan tentang diriku setengah matang saja. Tak lengkap rasuki ceruk diriku. Dua kisah telah membuatmu nyinyir, menggelontorkan gelondongan persaan yang telah kau titipkan dan akhirnya beringsut getir.
Kau kira dengan hasil tanganku menyentuh bibir dan dada setiap lelaki dan mereka –kau tahu itu- selalu menikmati dalam setiap cecapan dihayati, dengan demikian tangan serta hatiku juga mereka rasakan?!
Tak tahukah kau jika tandang , ada secangkir cantik kopi yang belum pernah mereka rasa, dan takkan ku berikan memang, secangkir kopi yang ku buat dengan hati. Ya, setelah kau tahu aku menyambung nafas dengan melayani orang di kedai, yang selalu lelaki, kau urung merangsek lebih dalam lagi. Tekadmu kendur. Ah, seandainya aku jadi majikan saja dengan pelayan yang ku bayar… tapi belum ada untuk itu, nafas keluargaku sedang tersengal, apakah jika begitu kau tak mungkin urung?!
Rupanya kau belum tahu, ada senyum yang belum pernah terbayang dan belum pernah terkulum dengan binar perawan mataku akan menyambut gempita kedatanganmu. Seharusnya kau tahu, dan ini begitu penting, untuk meluruskan pemahamanmu dengan menganggit aku juga mereka nikmati, setidaknya terbayang aku saat malam jelma kutilang yang menggoda mereka, bahwa tubuh dan gerakku berbenteng! Tak ada –dan mereka akan membenarkan jika kau tanya- yang berani menyapa godaku! Niat lelaki belang tunduk dalam tudung kepala dan serimpet sarungku. Mereka selalu ku hantam dengan layanan sekedar mengabdi pada ibu dan mereka selalu ku bungkam dengan bisu.
Sebenarnya dari mana kau dapati berita tentang pelencengan tentangku? Bahwa aku memuaskan pelanggan meski sekedar mengerling mata?! Rupanya kau tak memiliki sisi diri peminang sejati yang sanggup mendedah kabar hingga ke akar. Semua yang kau terima kau telan begitu saja.
Mulanya kau memang sudah gentar begitu sadar aku adalah putri dari kerajaan yang runtuh dan sekarang sedang merangkak bangkit hanya dengan ibu. Semua orang yang melingkari kelurgaku buyar semuanya setelah abah rebah tiada. Aku dan ibu adalah puing-puing reruntuhan masa kejayaan keluarga, dan aku tidak tahu mengapa orang-orang yang telah banyak menyerap sari keluargaku amblas semua dengan kepentingan mereka yang cukup terpuaskan dan cukup sampai masa kehidupan abah saja. Tapi sudahlah, aku tak mau terlalu berkelemun dengan nasib, mengisaki keterasingan. Itu semua membuatku mengerti, kejayaan dulu adalah manis dari perjuangan abah, aku hanya yakin bahwa aku menyimpan madu yang nanti bisa ku kecapkan tidak hanya untuk kehidupanku dan ibu, juga orang-orang yang ingin terentas dari pahit. Semoga saja. Dan mulanya ku harap ada penyatuan dengan kemanisanmu…
Seharusnya kau beranjak lebih dekat denganku untuk konfirmasi atau meyakinkan kebenaran yang belum sempat ku perjelas. Kau termakan prasangka atau cemburumu mampu memutus semuanya begitu saja? Sungguh malang jika hanya berdasar prasangka.
Sebenarnya kita bisa menata batu-bata kejayaan yang telah runtuh. Karena kita memiliki masa sendiri. Menyingkirkan aral dan berani meramaikan rumah dengan dengung mengaji para santri.
Apa kau sebenarnya memang penakut? Atau aku memang sudah tak berkedudukan di matamu dengan menjadi gadis penjaga warung? Ini hanya perhentian sementaraku, setiap hariku adalah berontak, masih beginilah yang bisa aku dan ibu lakukan, apakah aku harus berandai-andai seandainya kau mengerti pengharapanku atas mu? Atau kau mundur karena tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dariku? Untuk apa kecantikan jika untuk memuaskan semua orang, begitukah pikirmu? Yang menegaskan alasanmu masih begitu samar.
Apa kau takut aku berpindah hati? Ku layani para lelaki menuang segelas kopi, mereka hanya menikmati kopi dengan gelas panas! Tapi tidak akan untukmu, begitu yang layang di pikiranku, aku takkan membiarkanmu mengipat-kipatkan tangan karena kepanasan, secangkir kopilah kan ku saji dan mampu menawarkan kegilaanmu akan minuman ini. Aku jadi teringat kegandrungan kita akan kopi… dan sekarang kau lucuti segala keinginan untuk bersama, termasuk tenggelam dalam kenikmatan meneguknya. Apa kau benar-benar sudah tidak ingin merasakan kopi buatanku yang kerap ku ceritakan?!
Kau memang tak rasakan dalam setiap malam yang hingar dan berkalang asap rokok, aku tertegun dalam setiap gerakku untuk menata rasa yang kau hujam!
***
Kini kau biarkan kawanmu menawar kepada ibu dan reruntuhan kerajaanku untuk membangunnya. Kebisuanku mereka tanggap gembira, setelah luput aku menjelma air mata. Akhirnya ku pasrahkan pada keridloan ibu saja.
Sebelum aku benar-benar beranjak dari perjamuan yang kusiapkan untukmu apa ada nyanyian terampas kenyataan terlantun dari kejujuranmu biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, agar menjadi saksi cinta kita, berdua…
Nyatalah perjalananku padamu adalah benar-benar jauh dan takkan sampai. Aku beranjak dan tak lagi bergayut pada mimpi untuk kau datangi, apalagi mengecap secangkir kopi untuk rasakan kehangatan bersama. Yang perlu kau sadari, mulanya ku pancangkan pengabdianku untukmu. Tak kan ku biarkan kau mencium bau yang tak kau sukai, tak kan ku suguhkan masam yang kau benci, tak kan ku silahkan langkah lelaki lain masuk ke rumah kita tanpa seizinmu. Semua itu berbelok untuk yang telah sanggup mengambilku.
Kamar cilik, 08 Mei 2009
__Bulletin Hiesteria
Kini perjalananku kepadamu begitu jauh. Belum pula pasti sampai. Hatiku berontak : ini tak ada guna! Tapi nafsu bisikkan mau yang tak peduli keberadaanku. Tertegun di ambang. Kekuatanku meriang. Berjuang aku luruskan arah yang acap kali berbelok semuanya. Peluh hanya nista merembes dari sakitku saat kau bungkam saja. Aku tak ingin lama bergayut pada mimpi yang enggan nyata.
***
Kau lelaki yang kadung menelan tentang diriku setengah matang saja. Tak lengkap rasuki ceruk diriku. Dua kisah telah membuatmu nyinyir, menggelontorkan gelondongan persaan yang telah kau titipkan dan akhirnya beringsut getir.
Kau kira dengan hasil tanganku menyentuh bibir dan dada setiap lelaki dan mereka –kau tahu itu- selalu menikmati dalam setiap cecapan dihayati, dengan demikian tangan serta hatiku juga mereka rasakan?!
Tak tahukah kau jika tandang , ada secangkir cantik kopi yang belum pernah mereka rasa, dan takkan ku berikan memang, secangkir kopi yang ku buat dengan hati. Ya, setelah kau tahu aku menyambung nafas dengan melayani orang di kedai, yang selalu lelaki, kau urung merangsek lebih dalam lagi. Tekadmu kendur. Ah, seandainya aku jadi majikan saja dengan pelayan yang ku bayar… tapi belum ada untuk itu, nafas keluargaku sedang tersengal, apakah jika begitu kau tak mungkin urung?!
Rupanya kau belum tahu, ada senyum yang belum pernah terbayang dan belum pernah terkulum dengan binar perawan mataku akan menyambut gempita kedatanganmu. Seharusnya kau tahu, dan ini begitu penting, untuk meluruskan pemahamanmu dengan menganggit aku juga mereka nikmati, setidaknya terbayang aku saat malam jelma kutilang yang menggoda mereka, bahwa tubuh dan gerakku berbenteng! Tak ada –dan mereka akan membenarkan jika kau tanya- yang berani menyapa godaku! Niat lelaki belang tunduk dalam tudung kepala dan serimpet sarungku. Mereka selalu ku hantam dengan layanan sekedar mengabdi pada ibu dan mereka selalu ku bungkam dengan bisu.
Sebenarnya dari mana kau dapati berita tentang pelencengan tentangku? Bahwa aku memuaskan pelanggan meski sekedar mengerling mata?! Rupanya kau tak memiliki sisi diri peminang sejati yang sanggup mendedah kabar hingga ke akar. Semua yang kau terima kau telan begitu saja.
Mulanya kau memang sudah gentar begitu sadar aku adalah putri dari kerajaan yang runtuh dan sekarang sedang merangkak bangkit hanya dengan ibu. Semua orang yang melingkari kelurgaku buyar semuanya setelah abah rebah tiada. Aku dan ibu adalah puing-puing reruntuhan masa kejayaan keluarga, dan aku tidak tahu mengapa orang-orang yang telah banyak menyerap sari keluargaku amblas semua dengan kepentingan mereka yang cukup terpuaskan dan cukup sampai masa kehidupan abah saja. Tapi sudahlah, aku tak mau terlalu berkelemun dengan nasib, mengisaki keterasingan. Itu semua membuatku mengerti, kejayaan dulu adalah manis dari perjuangan abah, aku hanya yakin bahwa aku menyimpan madu yang nanti bisa ku kecapkan tidak hanya untuk kehidupanku dan ibu, juga orang-orang yang ingin terentas dari pahit. Semoga saja. Dan mulanya ku harap ada penyatuan dengan kemanisanmu…
Seharusnya kau beranjak lebih dekat denganku untuk konfirmasi atau meyakinkan kebenaran yang belum sempat ku perjelas. Kau termakan prasangka atau cemburumu mampu memutus semuanya begitu saja? Sungguh malang jika hanya berdasar prasangka.
Sebenarnya kita bisa menata batu-bata kejayaan yang telah runtuh. Karena kita memiliki masa sendiri. Menyingkirkan aral dan berani meramaikan rumah dengan dengung mengaji para santri.
Apa kau sebenarnya memang penakut? Atau aku memang sudah tak berkedudukan di matamu dengan menjadi gadis penjaga warung? Ini hanya perhentian sementaraku, setiap hariku adalah berontak, masih beginilah yang bisa aku dan ibu lakukan, apakah aku harus berandai-andai seandainya kau mengerti pengharapanku atas mu? Atau kau mundur karena tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dariku? Untuk apa kecantikan jika untuk memuaskan semua orang, begitukah pikirmu? Yang menegaskan alasanmu masih begitu samar.
Apa kau takut aku berpindah hati? Ku layani para lelaki menuang segelas kopi, mereka hanya menikmati kopi dengan gelas panas! Tapi tidak akan untukmu, begitu yang layang di pikiranku, aku takkan membiarkanmu mengipat-kipatkan tangan karena kepanasan, secangkir kopilah kan ku saji dan mampu menawarkan kegilaanmu akan minuman ini. Aku jadi teringat kegandrungan kita akan kopi… dan sekarang kau lucuti segala keinginan untuk bersama, termasuk tenggelam dalam kenikmatan meneguknya. Apa kau benar-benar sudah tidak ingin merasakan kopi buatanku yang kerap ku ceritakan?!
Kau memang tak rasakan dalam setiap malam yang hingar dan berkalang asap rokok, aku tertegun dalam setiap gerakku untuk menata rasa yang kau hujam!
***
Kini kau biarkan kawanmu menawar kepada ibu dan reruntuhan kerajaanku untuk membangunnya. Kebisuanku mereka tanggap gembira, setelah luput aku menjelma air mata. Akhirnya ku pasrahkan pada keridloan ibu saja.
Sebelum aku benar-benar beranjak dari perjamuan yang kusiapkan untukmu apa ada nyanyian terampas kenyataan terlantun dari kejujuranmu biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, agar menjadi saksi cinta kita, berdua…
Nyatalah perjalananku padamu adalah benar-benar jauh dan takkan sampai. Aku beranjak dan tak lagi bergayut pada mimpi untuk kau datangi, apalagi mengecap secangkir kopi untuk rasakan kehangatan bersama. Yang perlu kau sadari, mulanya ku pancangkan pengabdianku untukmu. Tak kan ku biarkan kau mencium bau yang tak kau sukai, tak kan ku suguhkan masam yang kau benci, tak kan ku silahkan langkah lelaki lain masuk ke rumah kita tanpa seizinmu. Semua itu berbelok untuk yang telah sanggup mengambilku.
Kamar cilik, 08 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar