Sabrank Suparno
Pengajian Padhang mBulan tanggal 26 Juli 2010 kemarin Cak Nun datang terlambat hingga jam 23:00. Kegelisahan Jama’ah mulai tampak pada setiap wajah. Sebagian sudah tidak serantan dan langsung nyelonong pulang. Sebagian lagi bertahan dengan kegelisahan. Mungkin dalam Jama’ah menyimpulkan hasil ‘rugi’ dalam gambling/ perjudian niatnya, jika Cak Nun tidak datang.
Kita coba total kata ‘rugi’ ini bagi Jama’ah secara psiko-analisis. Pertama: mungkin sejak berangkat dari rumah Jama’ah sudah memasang standar untung rugi jika Cak Nun datang. Dengan modal berangkat jauh-jauh, menyibak jalanan, meluangkan waktu dan tenaga. Ini berarti keberadaan Cak Nun secara verbal masih diletakkan sebagai ‘single power’ dari acuan serap untuk memenuhi kebutuhan Jama’ahnya.
Tingkat kebutuhan terhadap Cak Nun sangatlah variatif dan luas cakupannya, idola, kebanggaan, kuwalitas pemikiran, kewibawaan, ingin mendebat, mengukur diri, mencari perhatian khusus, mencari bahan untuk kemudian digunakan berdebat dengan orang lain (bukan Jama’ah), ataupun obsesi diri, atau juga mengintip peluang agar mendapatkan suatu hasil dari tendernya Cak Nun. Dan saya kira masih banyak hal yang Jama’ah sendiri mengetahui dari jendela kaca hati Jama’ah. Kedua: kegagalan Jama’ah dalam memahami, dan menerapkan nilai Ma’iyah. Kegagalan ini bersifat fenomenal, bergantung dari seberapa prosen individu menemukan rumusan atas psikoanalisis pertama. Cak Nun sebagai idola, kebanggaan, artinya, tiap manusia diberi kelebihan berbeda. Salah satu fungsinya adalah agar yang kekurangan dapat terpenuhi dari yang kelebihan.
Sebagaimana Rosul, disempurnakan untuk mencukupi kekurangan umatnya. Kekurangan pada umatnya dimaksudkan Tuhan agar manusia tidak sombong, dan hanya Tuhan yang berhak sombong. Kita (Jama’ah) tingkat kekurangannya tergolong berkadar tinggi. Terutama dari segi wawasan, dan rumusan-rumusan hidup yang lebih tepat. Disinilah Jama’ah Ma’iyah menyerap kekurangan dirinya dari sosok Cak Nun. Sudah barang tentu dan alamiyah sekali jika sebagai rasa terima kasih (pada kadar terendah) Jama’ah yembulih dengan membanggakannya. Dengan syarat, Jama’ah Ma’iyah mengerti betul seluk beluk sikap membanggakan itu. Mengenai idola ini, Cak Nun pernah menjelaskan. Idola berasal dari bahasa Inggris, I=saya, dool=boneka. Mengidolakan Cak Nun = menganggap Cak Nun boneka. Dan hal itu bisa meruntuhkan eksistensi Jama’ah dan Cak Nun di hadapan Tuhan.
Sosok kewibawaan dan kebesaran jiwa Cak Nun dalam memahami dirinya sebagai totokromo dihadapan Alloh, dapat anda baca ulang dalam tulisan Cak Nun “Orang-Orang Ma’iyah dan Gerbang Ghaib”, dalam Gerbang Ghaib ini radikal-sufistik Emha terpancar: pilihan moral untuk menentukan yang ‘ia’ dan meninggalkan yang ‘tidak’, meyisir secara jeli hal-hal yang bersifat profan. Padahal maqom keunggulan dibanding yang lain adalah hak Emha untuk menempatinya. Artinya, skala kebesaran Emha adalah kuasa Tuhan.
Segala perangkat Emha (jasat dan jiwa) adalah sosok yang di-sewa Tuhan, untuk dititipi ilmunya yang tidak mungkin Alloh sendiri turun ke manusia. Emha adalah sosok yang diranjingi (dirasuki) sifat kesempurnaan Alloh dalam menyikapi kehidupan. Jika Alloh berkenan, dan Alloh ‘nginggati’ sifat-Nya yang dirasukkan ke Emha, maka Emhanya tidak berubah sebagai sosok manusia, tetapi tidak lagi seperti Emha yang selama ini. Gerbang Ghaib adalah sifat Alloh tertepat yang diranjingkan Alloh ke Emha.
Ada ilustrasi misalnya, si Fulan diajak masuk ke dalam bumi oleh Alloh, ditunjukkan lapisan bumi, kekayaan bumi, kesaktian bumi. Kemudian ia diterbangkan menjelajahi jajaran langit. Ia mengetahui keluasan langit, harta kekayaan di langit, kesaktian di langit. Kemudian ia diperkenankan Alloh atas ridlhoNya untuk memilih salah satu yang ditawarkan, dan pasti diwujudkan. Si Fulan ternyata menjawab “kalau memang aku disuruh meminta dan engkau mengabulkan, aku hanya akan meminta: takdir yang sudah engkau tentukan terhadapku, lakukanlah. Aku ikhlas menerimanya walau pahit”. Semacam inilah sifat bijak Alloh yang diranjingkan ke Emha di Gerbang Ghaib.
Cerita di atas ada 2 hal yang kita timbang. Pertama : disuruh Alloh, difasilitasi memilih, tetapi tidak nurut, ini juga tidak bertotokromo terhadap Alloh. Kedua : mengembalikan urusan kepada Alloh, berarti menempati keberadaan manusia sebagai hamba, dan sekaligus memposisikan Tuhan sebagai Tuhan. Pilihan pada tawaran pertama adalah hak, sedang pilihan pada tahap kedua adalah sublimitas-evelatif pemaknaan total.
Pemikiran-pemikiran Emha: Bagi jama’ah yang ‘kutu buku’ sesungguhnya seluruh pemikiran Emha pati ada rujukan kembar dengan para penulis yang sudah ada, baik buku-buku Barat atau Kitab Kuning sekalipun. Yang menarik dari pemikiran Emha adalah Ia mampu menghadirkan bentuk pemikiran dalam buku itu secara luwes, gamblang dan mudah dipahami dalam konteks kekinian. Padahal Emha sendiri dalam kesibukannya tidak mungkin sempat membaca buku. Dan tidak jarang pemikiran baru Emha justru menyempurnakan atau sekaligus menolak ketika atau merevisi pemikiaran pakar pandahulunya.
Yang berbeda antara Emha dan tokoh besar seangkatannya adalah konsistensi peng-amal-an atas keilmuan itu sendiri, yang dilakukan secara intens dan periodik dari segala lapisan zaman. Dan ketika tokoh besar lainnya mandeg kreatifitasnya, Emha tetap langgeng.
Kenapa tokoh lain mandeg? Kenapa juga Emha tetap langgeng? Jawabnya adalah murni keterlibatan Alloh. Emha itu ibarat burung berkwalitas. Dengan sendirinya, sang pemilik akan mengurusi burung itu secara intensif dan menempatkan burung dalam sangkar tertentu.
Selayaknyalah Jama’ah Ma’iyah menyadari hal ini. Emha hanyalah sosok dari sekian anak manusia yang disewa Alloh untuk memancarkan cahaya-Nya, dalam kadar yang lebih terang dibanding kita semua. Seandainya Alloh bertanya “Hai orang-orang Ma’iyah, apa yang kau lakukan setelah Aku tunjukkan cahaya terbaikku yang berupa Emha? Kita harus menjawab!” semampuku, aku akan mensyukurinya dengan cara turut menyebarkan cahaya Mu itu, bukan karena Emha, melainkan karena Alloh. Ma’iyah sejati sesungguhnya bersifat ekspektatif, dimana entitas peradaban baru tidak terwujud semudah membalik telapak tangan, melainkan ada energi power yang terbentuk jauh sebelumnya. Maka ketidakhadiran Emha dalam Forum Ma’iyah ketika berhalangan, bukan masalah signifikan. Jama’ah Ma’iyah tetap bisa berdiskusi untuk mengembangkan sayap-sayap wawasannya. Dengan syarat, jama’ah harus mampu mengosongkan diri dari segala ego kepemilikannya, sehingga ketika berdiskusi mampu menyerap ilmu seremeh apapun dari Jama’ah lain, sekalipun komentar anak kecil.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar