Memoar I Padhang mBulan 26 Juli 2010
Sabrank Suparno
Sepeninggal bapak pluralisme (KH. Abdurrahman Wahid), para sejarawan mulai me-nganalisa rumusan pemikiran baru. Rumusan baru itu ditarik berdasarkan gelombang waktu yang mengalami padatan momental. Dimana warna kepemimpinan yang berhasil dan membuat nama besar kerajaan, ditandai dengan lahirnya sosok pemimpin dari kalangan bawah.
Kebesaran Majapahit sesungguhnya bukan pengaruh nama raja-raja yang sedang bertahta, melainkan karena konsep kepemimpinan seorang patih gajah Mada. Karir politik dan militer Gajah Mada berwal sejak pemerintahan Prabu Jaya Negara (1309-1328). Kedudukannya di Majapahit terus melejit sampai era kepemimpinan Jaya Wisnu Wardhani (1328-1360).
Menurut kitab Usana Jawa yang dipercaya orang Bali, Gajah Mada adalah putra Bali yang tak berayah-ibu. Ia terpancar dari dalam buah kelapa, jelmaan Sang Hyang Narayana. Gajah Mada diperkirakan lahir awal abad 14, yakni tahun 1300 M. sebab tahun 1321 ia sudah diangkat menjadi Mahapatih dan meninggal tahun 1364. Menurut sebagian cerita, Gajah Mada lahir di pedesaan sungai Brantas yang mengalir di antara Gunung Kawi dan Gunung Arjuno.
Sebagaimana Majapahit, Singosari juga menjadi kerajaan besar saat dipimpin oleh Ken Arok yang lahir dari kaum proletarian.
Munculnya kerajaan Mataram di alas Mantaok (daerah Yogyakarta) juga dipimpin oleh dinasti ploretarian anak cucu Ki Gede Pemanahan. Pada tahun 1575 Ki Gede Pemanahan sendiri hanyalah sesepuh masyarakat desa. Pola kepemimpinannya merombak dogma dan konvensi feodal, terbukti berpengaruh terhadap kepesatan kerajaan secara universal.
Keterangan yang menunjukkan bahwa dinasti Mataram keturunan petani di katakan oleh Trunojoyo saat perang dengan anak turunan Mataram saat pemerintahan Amangkurat II (1677-1703). “Raja Mataram iku diumpamakake’ tebu : pucuke maneh yen lagi, senajan bongkote ing biyen yo adhem ayem bae, sebab raja trahing wong tetanen, angur maculo bae bari angon sapi”(Mainsma, 1941).
Sebutan “Ki Gede/Ki Ageng” dan bukan “Raden” menunjukkan dari kelas bawah. Perombakan yang dilakukan oleh pemimpin dari kalangan petani lebih bersifat pluralistik yang membongkar sistem sentralistik. Sistem sentralistik dinilai hanyalah bilik kamar mandi kaum feodal untuk ber-ekstase onani. Penandaan perombakan diawali dengan merubah tatakrama bahasa. Saat Jaka Tingkir (Raja Pajang 1568 dengan gelar Sultan Hadiwijaya) menantang Arya Penangsang (Adi Pati Jipang). Dalam surat tantangan itu Jaka Tingkir menuliskan kata “Kakang” di depan nama Arya Penangsang. Padahal Arya Penangsang lebih tinggi derajatnya karena keturunan asli Demak, sedangkan Jaka Tingkir hanyalah menantu Demak.
Dalam tatanan teologi Islam ada beberapa pendapat yang memposisikan hubungan antara makhluk dengan Alloh di dasarkan pada fase nilai. Nilai terendah disebut hubungan (abadah) syari’at, niali ke II hubungan secara hakikat, dan nilai ke III hubungan ma’rifat. Penilaian semacam ini tepat jika yang menilai tingkatan itu adalah Alloh sendiri sebagai hak prerogatif Tuhan. Tetapi jika yang menilai manusia, hanyalah sebagai sarana pengkotaan nilai antara dirinya yang harus dijunjung dengan kaum rendah.
Syari’at adalah aturan riel yang harus dijalani hamba dalam mengabdi pada Alloh: syahadat, sholat, zakat, puasa, haji. Syari’at harus dilakukan secara nyata yang menyangkut syarat dan rukunnya. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghozali membedakan tingkatan syari’at dan hakikat. Puasanya orang-orang syariat adalah tidak makan dan minum. Puasanya orang-orang hakikat adalah zuhud (menjahui dunia). Puasanya orang ma’rifat adalah percintaan terus menerus dengan Alloh. Dari sini jelas bahwa yang dimaksud “Bani Syari’at” adalah orang-orang yang mengerjakan sesuatu secara nyata.
Cak Nun dan Totok Rahajo dalam pengajian Padhang mBulan tangal 26 Juli 2010 mengungkap bahwa posisi syari’at, hakikat, ma’rifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa lepas. Ketiganya merupakan aransemen nilai yang berkesinambungan untuk memperbaiki nilai pada tiap-tiap hamba. Toto Raharjo menjelaskan contoh konkrit dalam menjalankan syari’at. Untuk menjalankan partai misalnya, harus dipenuhi hukum/ketentuan syari’atnya: anggaran dasar, anggaran rumah tangga, ketua dan angotanya.
Selama ini yang dilakukan orang-orang Maiyah adalah kontribusi riel terhadap permasalahan sosial, agama dan negara, dan bukan hanya pengajian semata. Secara pribadi, Cak Nun mencontohkan perihal perilaku syari’at dalam rumah tangganya. Bahwa dalam persoalan kecil berumah tangga, Cak Nun harus menyuci baju, nyapu, bersih-bersih rumah sendiri, tidak harus menyuruh istri dan anak. Namun hal demikian disyukuri Cak Nun sebagai nikmat, sebab banyak kalangan pejabat dan orang-orang yang sudah terkenal, justru tidak mampu melampaui masa-masa mengerjakan segala sesuatunya sendiri.
Sejauh ini para presiden di Indonesia adalah orang-orang yang sejak kecil menghuni rumah kebesaran orang tuanya atau institusinya. Keseharian mereka tidak pernah terlibat langsung dengan permasalahan-permasalahan dasar yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak mengetahui betul berapa harga cabe, garam, dan trasi, yang tiap harga kebutuhan pokok itu harus didapat masyarakat dengan bekerja keras seharian. Ketidaktahuan para presiden tentang kebutuhan masyarakat secara detail ini mempengaruhi presiden ketika menggulirkan transaksi-transaksi pasar berskala besar. Semisal monopoli, oligopoli, pasar bebas dan lain sebagainya, seringkali tidak berpihak pada ekonomi rakyat.
Sabrank Suparno
Sepeninggal bapak pluralisme (KH. Abdurrahman Wahid), para sejarawan mulai me-nganalisa rumusan pemikiran baru. Rumusan baru itu ditarik berdasarkan gelombang waktu yang mengalami padatan momental. Dimana warna kepemimpinan yang berhasil dan membuat nama besar kerajaan, ditandai dengan lahirnya sosok pemimpin dari kalangan bawah.
Kebesaran Majapahit sesungguhnya bukan pengaruh nama raja-raja yang sedang bertahta, melainkan karena konsep kepemimpinan seorang patih gajah Mada. Karir politik dan militer Gajah Mada berwal sejak pemerintahan Prabu Jaya Negara (1309-1328). Kedudukannya di Majapahit terus melejit sampai era kepemimpinan Jaya Wisnu Wardhani (1328-1360).
Menurut kitab Usana Jawa yang dipercaya orang Bali, Gajah Mada adalah putra Bali yang tak berayah-ibu. Ia terpancar dari dalam buah kelapa, jelmaan Sang Hyang Narayana. Gajah Mada diperkirakan lahir awal abad 14, yakni tahun 1300 M. sebab tahun 1321 ia sudah diangkat menjadi Mahapatih dan meninggal tahun 1364. Menurut sebagian cerita, Gajah Mada lahir di pedesaan sungai Brantas yang mengalir di antara Gunung Kawi dan Gunung Arjuno.
Sebagaimana Majapahit, Singosari juga menjadi kerajaan besar saat dipimpin oleh Ken Arok yang lahir dari kaum proletarian.
Munculnya kerajaan Mataram di alas Mantaok (daerah Yogyakarta) juga dipimpin oleh dinasti ploretarian anak cucu Ki Gede Pemanahan. Pada tahun 1575 Ki Gede Pemanahan sendiri hanyalah sesepuh masyarakat desa. Pola kepemimpinannya merombak dogma dan konvensi feodal, terbukti berpengaruh terhadap kepesatan kerajaan secara universal.
Keterangan yang menunjukkan bahwa dinasti Mataram keturunan petani di katakan oleh Trunojoyo saat perang dengan anak turunan Mataram saat pemerintahan Amangkurat II (1677-1703). “Raja Mataram iku diumpamakake’ tebu : pucuke maneh yen lagi, senajan bongkote ing biyen yo adhem ayem bae, sebab raja trahing wong tetanen, angur maculo bae bari angon sapi”(Mainsma, 1941).
Sebutan “Ki Gede/Ki Ageng” dan bukan “Raden” menunjukkan dari kelas bawah. Perombakan yang dilakukan oleh pemimpin dari kalangan petani lebih bersifat pluralistik yang membongkar sistem sentralistik. Sistem sentralistik dinilai hanyalah bilik kamar mandi kaum feodal untuk ber-ekstase onani. Penandaan perombakan diawali dengan merubah tatakrama bahasa. Saat Jaka Tingkir (Raja Pajang 1568 dengan gelar Sultan Hadiwijaya) menantang Arya Penangsang (Adi Pati Jipang). Dalam surat tantangan itu Jaka Tingkir menuliskan kata “Kakang” di depan nama Arya Penangsang. Padahal Arya Penangsang lebih tinggi derajatnya karena keturunan asli Demak, sedangkan Jaka Tingkir hanyalah menantu Demak.
Dalam tatanan teologi Islam ada beberapa pendapat yang memposisikan hubungan antara makhluk dengan Alloh di dasarkan pada fase nilai. Nilai terendah disebut hubungan (abadah) syari’at, niali ke II hubungan secara hakikat, dan nilai ke III hubungan ma’rifat. Penilaian semacam ini tepat jika yang menilai tingkatan itu adalah Alloh sendiri sebagai hak prerogatif Tuhan. Tetapi jika yang menilai manusia, hanyalah sebagai sarana pengkotaan nilai antara dirinya yang harus dijunjung dengan kaum rendah.
Syari’at adalah aturan riel yang harus dijalani hamba dalam mengabdi pada Alloh: syahadat, sholat, zakat, puasa, haji. Syari’at harus dilakukan secara nyata yang menyangkut syarat dan rukunnya. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghozali membedakan tingkatan syari’at dan hakikat. Puasanya orang-orang syariat adalah tidak makan dan minum. Puasanya orang-orang hakikat adalah zuhud (menjahui dunia). Puasanya orang ma’rifat adalah percintaan terus menerus dengan Alloh. Dari sini jelas bahwa yang dimaksud “Bani Syari’at” adalah orang-orang yang mengerjakan sesuatu secara nyata.
Cak Nun dan Totok Rahajo dalam pengajian Padhang mBulan tangal 26 Juli 2010 mengungkap bahwa posisi syari’at, hakikat, ma’rifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa lepas. Ketiganya merupakan aransemen nilai yang berkesinambungan untuk memperbaiki nilai pada tiap-tiap hamba. Toto Raharjo menjelaskan contoh konkrit dalam menjalankan syari’at. Untuk menjalankan partai misalnya, harus dipenuhi hukum/ketentuan syari’atnya: anggaran dasar, anggaran rumah tangga, ketua dan angotanya.
Selama ini yang dilakukan orang-orang Maiyah adalah kontribusi riel terhadap permasalahan sosial, agama dan negara, dan bukan hanya pengajian semata. Secara pribadi, Cak Nun mencontohkan perihal perilaku syari’at dalam rumah tangganya. Bahwa dalam persoalan kecil berumah tangga, Cak Nun harus menyuci baju, nyapu, bersih-bersih rumah sendiri, tidak harus menyuruh istri dan anak. Namun hal demikian disyukuri Cak Nun sebagai nikmat, sebab banyak kalangan pejabat dan orang-orang yang sudah terkenal, justru tidak mampu melampaui masa-masa mengerjakan segala sesuatunya sendiri.
Sejauh ini para presiden di Indonesia adalah orang-orang yang sejak kecil menghuni rumah kebesaran orang tuanya atau institusinya. Keseharian mereka tidak pernah terlibat langsung dengan permasalahan-permasalahan dasar yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak mengetahui betul berapa harga cabe, garam, dan trasi, yang tiap harga kebutuhan pokok itu harus didapat masyarakat dengan bekerja keras seharian. Ketidaktahuan para presiden tentang kebutuhan masyarakat secara detail ini mempengaruhi presiden ketika menggulirkan transaksi-transaksi pasar berskala besar. Semisal monopoli, oligopoli, pasar bebas dan lain sebagainya, seringkali tidak berpihak pada ekonomi rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar